Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FILSAFAT NILAI

Ajaran kaum subjektivis

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

1. Misro Adawiyah Hasibuan (4519004)


2. Rahmad Subakti (451017)

DOSEN PENGAMPU

Dr. Gazali, M.Ag

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

T.A 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hidup ini, kita tentunya mempunyai beberapa hal yang menjadi favorit kita untuk
dilakukan, baik itu yang berhubungan dengan tempat, permainan, film, kegiatan, ataupun
dengan makanan. Sebut saja beberapa orang mempunyai kegemaran untuk bermain sepak bola.
di sisi lain, terdapat orang-orang yang memiliki kegemaran terhadap salah satu jenis makanan,
seperti menyukai es krim. Sering kali mereka tidak akan berpikir panjang untuk menghabiskan
uangnya demi makanan favoritnya tersebut. Mereka pun akan merasa sangat senang bila diberi
es krim yang menjadi favorit mereka. Kedua hal yang telah dipaparkan sebelumnya tentu
memiliki sebuah nilai bagi orang-orang tersebut. Permainan sepak bola ataupun es krim
memiliki suatu nilai yang mungkin saja bagi orang lain kedua hal tersebut tidak memiliki nilai
sama sekali. Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, perlu kita pahami apa yang dimaksud
dengan nilai. Nilai merupakan suatu sifat atau kualitas yang tidak nyata yang dimiliki oleh
objek tertentu yang dikatakan “baik”.
Nilai tidaklah membutuhkan suatu pengemban untuk berada. Nilai juga tidak menambah
eksistensi dari benda itu sendiri. Kualitas merupakan bagian dari eksistensi sebuah objek.
Hingga sekarang ini, masih terdapat beberapa orang yang memperdebatkan permasalahan
mengenai nilai. Di satu sisi, orang-orang menyebut bahwa nilai itu bersifat subjektif sedangkan
di sisi lainnya beranggapan bahwa nilai itu bersifat objektif. Bagi kaum objektivis, nilai
objektif tidak bergantug pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif berada di luar
naik-turunnya kesenangan yang kita alami. Bagi kaum subjektivis, nilai bergantung bergantung
pada reaksi subjek itu sendiri. Subjektivisme berlindung pada pengalaman yang telah dialami
oleh subjek. Dalam contoh yang telah diberikan sebelumnya, seseorang yang gemar bermain
sepak bola tentu memiliki pandangannya akan apa yang dilakukannya tersebut. Bagi kaum
subjektivis, nilai permainan sepak bola tersebut tergantung pada kenikmatan yang dialami oleh
subjek ketika memainkan permainan sepak bola.
Hal yang sama juga ditemukan pada seseorang yang menjadikan es krim sebagai makanan
favoritnya. Bagi kaum subjektivis, nilai es krim tergantung pula pada kenikmatan yang dialami
oleh subjek ketika ia memakan es krim. Akan tetapi, hal tersebut dapat berubah dikarenakan
oleh faktor fisiologis ataupun psikologis. Sebut saja ketika seseorang sedang dalam keadaan
sakit yang dapat memengaruhinya dalam melakukan suatu hal. Ketika ia merasa lemah, maka
ia tidak mempunyai semagat lagi untuk bermain sepak bola. Faktor psikologis juga dapat
memengaruhi seseorang untuk tidak merasakan suatu kenikmatan dari es krim yang
dimakannya. Seseorang yang merasa sedih dapat saja kehilangan nafsu makannya terhadap apa
yang menjadi favoritnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ia gagal untuk merasakan
kenikmatan. Kegagalan yang terjadi ini dapat mengakibatkan es krim itu tidak bernilai. Sama
halnya dengan apa yang terjadi dengan permainan sepak bola di atas yang membuat permainan
sepak bola tersebut juga tidak memiliki nilai. Kaum objektivis sendiri menegaskan bahwa
kenikmatan ataupun kesenangan itu bersifat inheren di dalam permainan sepak bola atau di
dalam es krim. Jika hal ini tidaklah terjadi, maka permainan sepak bola atau es krim tersebut
tidak akan menimbulkan suatu kenikmatan atau kesenangan.
Akan tetapi, terdapat kompleksitas masalah yang muncul di antara pemikiran kaum
subjektivis dan kaum objektivis. Seseorang tidak akan senantiasa menilai bermain sepak bola
dengan cara yang sama. Dalam hal ini terdapat pengaruh dari aspek psikologis maupun aspek
fisiologis. Sebagai contohnya adalah ketika seseorang baru dapat bermain sepak bola lagi
setelah mengalami kecelakaan. Rasa senang yang ada tentunya berbeda dengan perasaan
senang yang ia rasakan sebelumnya. Hal serupa juga terjadi dengan orang yang memakan es
krim dalam cuaca yang panas dengan memakan es krim dalam cuaca yang tidak panas. Di sisi
lain, rasa nikmat yang dirasakan ketika memakan es krim tentunya berbeda ketika kita dalam
suasana sedih ataupun sedang berbahagia. Semua kondisi fisiologis dan psikologis nyatanya
sama-sama mempunyai pengaruh.
Masalah kompleksitas juga ditemui di dalam objek. Ketika kita berbicara mengenai
permainan sepak bola ataupun es krim, kita mempunyai pandangan bahwa objek tersebut
seakan mempunyai esensi yang tidak dapat berubah. Pada kenyataannya, hal ini tidaklah
sesuai. Terdapat berbagai macam es krim yang ada di dunia ini. Jika rasa ataupun tekstur dari
es krim berubah, maka rasa nikmat yang dirasakan juga berubah. Sama halnya dengan tekstur
bola atau kondisi lapangan saat bermain bola juga ikut berpengaruh. Selain itu, faktor sosial
budaya pun ikut memengaruhi. Kita dapat melihat perasaan senang yang dialami seseorang
ketika bermain dengan sahabat-sahabatnya akan berbeda ketika ia bermain sepak bola dengan
orang yang tidak dekat dengannya. Oleh sebab itu, situasi dikenakan pada kompleks unsur dan
suasana individual, sosial, budaya, dan sejarah. Nilai memiliki keberadaan dan makna hanya di
dalam situasi yang konkret dan tertentu.

B. Perumusan Masalah
1. Menjelaskan peranan Nilai dalam filsafat nilai
2. Menjelaskan mengenal situasi dalam filsafat nilai

C. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui mengenai peranan nilai dalam suatu ilmu filsafat
2. Mengetahui mengenai situasi dalam filsafat nilai.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Nilai
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang
benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwan.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi ataukah kepentingan
masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai.
Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Hal inilah yang
menjadi dasar pengenalan teori nilai.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai,
berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Secara teori, aksiologi dibagi
kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct (tindakan moral), (2) Esthetic
Expression (Ekspresi Keindahan), dan (3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial
Politik).
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Teori nilai menyangkut
sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak.
Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari
obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak
mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat
bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap
mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau
susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik
dan lurus.Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula
perbedaan penafsiran .
Dalam teori nilai, masalah etika atau susila mengakibatkan berbagai pendapat
tentang etika tergantung citra dan tujuannya. Ada etika individual dan sosial, ada etika
situasi dan esensial. Dua pertentangan dalam etika modern, yaitu etika yang
memperhatikan faktor psikologi secara nilai kebahagiaan, dan etika situasi atau
historisme yang berpendapat bahwa ukuran baik dan jahat ditentukan oleh situasi atau
keadaan zaman.
Adapun teori nilai dari sisi estetika, titik tekannya adalah pada penilaian subjek
terhadap objek, atau berusaha memilah dan membedakan suatu sikap atau perbuatan
objek. Penilaian ini, kadang objektif dan kadang subjektif tergantung hasil pandangan
yang muncul dari pikiran dan perasaan manusia. Penilaian menjadi subjektif apabila
nilai sangat berperan dalam segala hal. Mulai dari kesadaran manusia yang melakukan
penilaian sampai pada eksistensinya dalam lingkungan. Untuk itu, makna dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek pada objek yang dinilai tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Artinya, penilaian subjektif
akan selalu memperhatikan akal budi manusia, seperti perasaan dan intelektualitas.
Makanya, hasil dari penilaian ini selalu mengarah pada suka atau tidak sukanya subjek,
atau senang dan tidak senang. Seperti, keindahan sebuah karya seni tidak dikurangi
dengan selera (perasaan) rendah orang yang menilai.
Lain halnya pelacakan teori nilai melalui kacamata sosial, penilaian ini berangkat
dari penilaian pola tingkah laku, pola berfikir, dan interaksi Objek dengan
lingkungannya. Sehingga titik tekannya pada cara mengamati kecenderungan objek
dalam lingkungan. Menurut Ambroise seperti yang dikutip oleh Rahmat Mulyana,
menekankan bahwa dalam pengamatan ketiga realitas nilai itu terdapat perbedaan
kultural antara suatu masyarakat atau bangsa dengan yang lainnya.
Untuk itu, dapat difahami bahwa ketiga teori nilai tersebut di atas, terdapat prinsip-
prinsip relatifitas dalam penilaiannya. Tapi walaupun demikian, kata kunci ialah dibalik
relatifitas nilai tersebut setiap orang yang menggunakan ilmu harus mengembalikan
kepada tujuan awal dari ilmu tersebut, yaitu ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau bahkan mengubah hakikat kemanusiaan.

b. situasi
Pada dasatnya individu selalu berada dalam situasi. Situasi yang merangsang
individu sehingga individu bertingkah laku yang oleh sherif and sherif disebut situasi
perangsang atau stimulus situation.

Situasi perangsang ini digolongkan menjadi 2 golongan besar, yaitu :


 Orang lain, yang dapat berupa :
1. Individu-individu lain sebagai perangsang.
2. Kelompok sebagai situasi perangsang yang dapat dibedakan lagi atas:
3. Hubungan intragroup yaitu hubungan antara individu lain dalam kelompok lain atau
antara kelompok dengna kelompok.

Misalnya : anggota kelompok A dengan anggota kelompok B atau kelompok A itu


sendiri dengan kelompok B.
1. Hubungan intergroup yaitu hubungan antara individu satu dengan yang lain dalam
kelompok itu sendiri. Jadi tidak keluar dari kelompok.
 Hasil kebudayaan yang di bedakan :
1. Kebudayaan materi (materiil cultural)
2. Kebudayaan non materi (non material culture). (sherif and sherif,1957).
 Kelompok sebagai situasi perangang social
Pengertian kelompok di sini memiliki norma sosial, pedoman tingkah laku serta cita-cita
kelompok. Jadi bukan sekedar orang yang berkumpul saja. Misalnya : sikap kelompok A
terhadapa kelompok B perangsaka kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
 Hasil-hasil kebudayaan sebagai situasi perangsang

Diluar orang lain dan kelompok sebagai perangsang yang berupa manusia ternyata ada
situasi perangsang sosial lainnya. Misalnya : bangunan rumah,perkakas,candi,hasil ukir-
ukiran,bahasa,seni musik,adat istiadat, dan sebagainya.

Semuanya itu merupakan hasil kebudayaan manusia yang di anggap sebagai perangsang
kultural atau perangsang kebudayaan. Seorang antropolog yang bernama herkovist
mengatakan bahwa : kebudayaan adalah bagian daripada lingkungan yang dibuat oleh
manusia.

Misalnya : orang merasa terpesona mendengar musik yang lembut, menikmati indahnya
ukir-ukiran dan sebagainya.
 Kebudayaan material
Berupa hasil kerja dan interaksi manusia yang berupa benda atau struktur kebendaan.
Misalnya : bangunan, Tv, radio, kendaraan, candi, dan sebagainya.
 Kebudayaan non material
Hasil non material ini terjadi dari hasil interaksi manusia misalnya
bahasa,norma,organisasi sosial, manajemen, sistem nilai, dan sebagainya. Semuanya
ini berupa kebudayaan yang tidak berupa benda.
Situasi sosial adalah suatu kondisi tertentu di masa berlangsung hubungan antara
individu yang satu dengan yang lain atau terjadi saling hubungan antara 2 individu
atau lebih. Situasi sosial dibedakan atas :
1. Togetherness situation atau situasi kebersamaan yaitu suatu situasi dimana
sejumlah individu berkumpul.
2. Group situation disebut juga situasi kelompok atau kelompok sosial.

Situasi Kebersamaan

Situasi ini berupa situasi dimana sejumlah individu berkumpul pada suatu tempat
dan waktu t ertentu.

Misalnya : sejumlah orang berbelanja di toko, penonton sepak bola, penonton


bioskop, penunggu kereta api, dan sebagainya.

Situasi kebersamaan ini memiliki ciri-ciri :


1. Sejumlah orang berkumpul
2. Mempunyai kepentingan yang sama
3. Pada tempat yang tertentu
4. Untuk sementara waktu.

Crowds menerut blumer dan park ( 1959, p. 204) adalah sekelompok individu yang
saling menarik simpati satu sama lain dengan perhatian yang memusat pada suatu
obyek yang khusus yang membawanya kegiatan kolektif.

Beberapa tipe crowd yang sangat terkenal adalah :


1. The mob adaalah suatu masa yang kacau atau ribut yang bertanggung jawab
terhadap kegiatan yang menyimpang dari peraturan
2. A riot adalah suatu kegiatan yang mengganggu ketentraman oleh sekelompok
indidvidu dengan menyerang atau mengeritik kelompok lain.
3. Panic adalah suatu perasaan dalam bahaya dan takut, yang di duga
menimbulkann dan mengganggu ketentraman.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang
benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwan.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi ataukah kepentingan
masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai.
Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Hal inilah yang
menjadi dasar pengenalan teori nilai, sedangkan Pada dasatnya individu selalu berada
dalam situasi. Situasi yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku yang
oleh sherif and sherif disebut situasi perangsang atau stimulus situation.

B. Saran
Suatu nilai dan situasi sangatlah penting dalam kesihupan keseharian maka perlu
di diperhatikan dalam memahami berbagai nilai dan situasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, Jakarta, Yayasan Kertagama, 2014


Irmayanti M. Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas
Kerja Ilmiah, Depok: Fakultas Sastra UI, 2001.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2003.
Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004. Riseiri
Frondiz, What Is Value?, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001.
Riseeri, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
Soetriono & Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi,
2007.

Anda mungkin juga menyukai