Anda di halaman 1dari 38

Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik

Disusun Oleh:

Nama: Eda Amrina Rosada


Nim: 21281033
Daftar isi

Daftar isi…………………………………….ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………… 2

1.3 Tujuan…………………………………………... 3

1.4 Manfaat………………………………………….. 4

BAB 11 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nilai,Norma dan Moral…………………….. 5

2.2 Hubungan nilai,Norma dan Moral……………………… 10

2.3 Pengertian Etika…………………………..12

2.4 Pengertian politik…………………………. 14

2.5 Dimensi Politisi Manusia……………………….15


2.6 Pancasila sebagai Etika Politik…………………. 16

2.7 Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila……………………..17

BAB 111 PENUTUP

2.8 Kesimpulan……………………………………. 20

2.9 Saran…………………………………………… 20

3.0 Daftar pustaka……………………………………20

KATA PENGANTAR 

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpah Rahmat da

n Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dalam bentuk y

ang sangat sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran P

ancasila juga karena 

ingin berbagi kepada pembaca tentang “PANCASILA SEBAGAI

SISTEM ETIKA POLITIK”.
 Kami mohon maaf apabila ketika dibaca pekerjaan kami ini banyak kesalahan bai

k pemakaian kata, penyusunan kalimat, menjelaskan, menguraikan isi atau data ya

ng kurang lengkap karena kami baru belajar, kritik dan saran sangat kami harapkan 

untuk perbaikan pekerjaan kami dimasa yang akan datang. Semoga tugas sederhan

a ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami, umumnya bagi pembaca dan khalayak 

semoga Allah memberkahi pekerjaan kami. Mataram 5 Desember 2021

Penyusun

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek

sebagai  pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan

bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian

‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka

kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya,

karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia.

Di era politik saat ini, banyak sekali pembaharuan-pembaharuan isi undang-

undang dan aturan-aturan pemerintah lainnya, yang di dalamnya terdapatisi yang

harus dipatuhi oleh seluruh kalangan, baik si pembuat maupun masyarakat,

namun dalam kenyataannya aturan-aturan tersebut hanya ampuh untuk

mendiktekita sebagai kalangan masyarakat, sedangkan para

pegawai pemerintahan cenderung acuh atau bahkan tak mau tahu. Hingga

bermunculan kasus-kasus memalukan yang kian marak diperbincangkan baru-

baru ini, salah satunya adalah korupsi yang seakan menjadi rahasia umum, dan

bagaimana pemerintah dan aparat hokum dalam menyikapinya? Sudah sesuai

kah antara permasalahan yang dibuat dengan hukum yang berlaku?  

Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat

fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu

norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma


tersebut meliputi norma moral dan norma hukum. Dalam norma inilah maka

Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara

Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hokum nilai-nilai Pancasila yang

sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud

dalam kehidupan sehari-sehari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara.

Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari

bangsa Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai

asal-mula materi nilai-nilai Pancasila (Toyiban, 1997).

Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman

yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu

sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma

moral maupun norma hukum, yang pada giliran nya harus dijabarkan lebih lanjut

dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan

kenegaraan maupun kebangsaan.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan nilai, norma dan moral?

2. Bagaimanakah hubungan antara nilai, norma dan moral?

3. Apa yang dimaksud dengan etika?


4. Apa yang dimaksud dengan politik?

5. Bagaimanakah dimensi politisi manusia?

6. Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai etika politik?

7. Apa saja prinsip dasar etika politik Pancasila?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian dari nilai, norma dan moral

2. Mengetahui hubungan antara nilai, norma dan moral

3. Mengetahui pengertian dari etika 

4. Mengetahui pengertian dari politik

5. Memahami dimensi politisi manusia

6. Memahami Pancasila sebagai etika politik

7. Mengetahui lima prinsip dasar etika politik Pancasila

1.4 Manfaat Penulisan

1. Bagi penulis

a. Menambah pengetahuan mengenai Pancasila sebagai etika politik baik

mengenai pengertian etika politik, nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila, maupun keterkaitan antara etika politik dan Pancasila


b. Sebagai bahan pembelajaran untuk menanamkan nila-nilai Pancasila

dalam kehidupan sehari-hari

2. Bagi pembaca

a. Mengetahui lebih dalam mengenai Pancasila sebagai etika politik

b. Menambah wawasan mengenai kasus-kasus yang terjadi di Indonesia

yang berkaitan dengan Pancasila sebagai etika politik

 
BAB II

   PEMBAHASAN

2.1 Pengertia Nilai, Norma dan Moral

2.1.1 Nilai

Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut “value” termasuk dalam

bidang kajian filsafat. Di dalam Dictionary of Sociology and

Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan

yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan

manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat

seseorang atau kelompok. Sesuatu yang memiliki nilai artinya ada

sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Misalnya, bunga

itu indah. Indah adalah sifat atau kualitas yang melekat pada

bunga. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu

kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan lain.

Menilai berarti menimbang , sesuatu kegiatan manusia untuk

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian

untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan

keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak

berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau

tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai


untuk berhubungan dengan unsur yang ada pada manusia sebagai

subjek penilai yaitu unsur jasmani, akal, rasa, karsa, dan

kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu

berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain sebagainya

(Kaelan, 2014).

Di dalam tatanan kehidupan bernegara, nilai terdiri atas nilai

dasar, nilai instrumental dan nilai praktis.

1. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil

yang kurang lebih mutlak. Nilai dasar berasal dari nilai kultural

atau budaya yang berasal dari bangsa indonesia itu sendiri yaitu

yang berakar dari kebudayaan sesuai dengan UUD 1945 yang

mencerminkan hakikat nilai kultural.

2. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum nilai-nilai dasar

biasanya dalam wujud norma sosial atau norma hukum yang

selanjutkan akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang

sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental

merupakan tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum.

3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan

dalam kenyataan. Nilai inilah yang sesungguhnya merupakan

bahan ujian apakah dasar dasar dan nilai intrumental sungguh-

sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak.


Selain nilai-nilai tersebut terdapat sumber nilai dalam

kehidupan berbangsa yaitu sila-sila dalam Pancasila khususnya

sila ketuhanan yang maha esa. Sila ini merupakan norma dasar

yang mengatur hubungan antara manusia sebagai individu dan

anggota kelompok dan sesamanya, Negara, pemerintah serta

bangsa lain di dunia. Nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan

berbangsa adalah :

1. Nilai ideal;

2. Nilai material;

3. Nilai spiritual;

4. Nilai pragmatis;

5. Nilai positif.

6. Nilai logis;

7. Nilai etis;

8. Nilai estetis;

9. Nilai sosial;

10. Nilai religius atau keagamaan.

Nilai lain yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah

nilai perjuangan bangsa indonesia dalam merebut kemerdekaan

RI. Nilai dalam pengembangan Pancasila antara lain:

1. Ketuhanan yang maha esa:

a. Percaya dan takwa kepada tuhan yang maha esa;


b. Masing masing atas dasar kemanusiaan yang beradab;

c. Membina adanya kerjasama dan toleransi antara sesama

pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab:

a. Tidak saling membedakan warna kulit.

b. Saling menghormati dengan bangsa lain.

c. Saling bekerja sama dengan bangsa lain.

d. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

3. Persatuan Indonesia:

a. Menempatkan persatuan kepentingan bangsa dan negara

diatas kepentingan pribadi atau golongan.

b. Menetapkan keselamatan bangsa dan negara diatas

kepentingan pribadi atau golongan.

c. Bangga berkebangsaan Indonesia.

d. Memajukan pergaulan untuk persatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan:

a. Mengakui bahwa manusia Indonesia memiliki kedudukan

dan hak yang sama.

b. Melaksanakan keputusan bersama dengan penuh tanggung

jawab dan itikad baik.


c. Mengambil keputusan yang harus sesuai dengan nilai

kebenaran dan keadilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia:

a. Adanya hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan

keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

atau dalam kehidupan sehari-hari, dan kehidupan bernegara.

b. Menjunjung tinggi sifat dan suasana gotong royong dengan

rasa kekeluargaan dan penuh kegotongroyongan.

2.1.2 Norma

Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam

berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Nilai yang abstrak dan

normatif diwujudkan dalam bentuk norma. Sebuah nilai mustahil

menjadi acuan berperilaku kalau tidak diwujudkan dalam sebuah

norma. Dengan demikian, pada dasarnya norma adalah

perwujudan nilai. Tanpa adanya norma, nilai tidak dapat praktis

artinya tidak dapat berfungsi konkret dalam kehidupan sehari-

hari (Winarno, 2001: 7).

Setiap norma pasti mengandung nilai. Nilai sekaligus menjadi

sumber bagi norma. Tidak ada nilai maka tidak mungkin terwujud

norma. Sebaliknya, tanpa dibuatnya norma, maka mustahil nilai

itu dapat berfungsi atau terwujud. Sebagai contoh ada norma yang

berbunyi “dilarang membuang sampah sembarangan” atau


“buanglah sampah pada tempatnya”. Norma tersebut berusaha

mewujudkan nilai kebersihan.

Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada empat

yaitu :

1. Norma agama

Norma ini disebut juga dengan norma religi atau norma

kepercayaan. Norma ini ditujukan kepada kehidupan beriman

yaitu kewajiban manusia untuk beriman dan bertakwa kepada

Tuhan yang maha Esa.sumber norma ini adalah ajaran-ajaran

kepercayaan atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya

dianggap sebagai perintah Tuhan. Tuhanlah yang mengancam

manusia jika melanggar perintah yang ada pada norma ini yaitu

berupa dosa.

2. Norma moral

Norma moral ini disebut juga norma etik atau norma

kesusilaan atau budi pekerti.norma ini merupakan nilai yang

paling mendasar karena norma ini sangat berhubungan dengan

manusia sebagai individukarena menyangkut kehidupan pribadi

bagaimana kita menilai seseorang. Asal dari norma ini adalah

manusia sendiri yang bersifat otonom dan tidak ditujukan

kepada sikap lahir tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia.

Sanksi atau pelanggaran norma moral berasal dari diri sendiri.


3. Norma kesopanan

Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun

atau tatakrama. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan

kepatuhan atau kepantasan dalam masyarakat. Daerah

berlakunya norma kesopanan ini sempit, local atau bersifat

pribadi. Sopan santun disuatu daerah berbeda dengan didaerah

lain. Sanksi atas pelanggaran norma kesopanan berasal dari

masyarakat.

4. Norma hukum

Norma ini berasal dari luar diri manusia. Norma hukum

berasal dari kekuasaan luar manusia yang memaksakan kepada

kita. Masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk member sanksi

atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini pengadilanlah

sebagai lembaga yang mewakili masyarakat resmi untuk

menjatuhkan hukuman.

2.1.3 Moral 

Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau

kelakuan (akhlak). Jadi, moral adalah tingkah laku manusia yang

dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruknya

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral

dihubungkan dengan etika dan etiket yang membicarakan tata

susila dan tata sopan santun.


Moral meliputi hidup manusia itu sendiri sebagai makhluk

individu (diri sendiri) dan sebagai makhluk sosial (dalam

kehidupan bersama dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara serta dunia.

Pancasila sebagi moral perorangan, moral bangsa dan moral

negara mempunyai pengertian:

1. Dasar negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber

dari segala sumber hukum yang ada dan berlaku.

2. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat

mempersatukan serta memberi petunjuk dalam mencapai

kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam

masyarakat yang beraneka ragam sifatnya.

3. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila

merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang tidak dapat

dipisahkan dari bangsa Indonesia serta yang membedakan

bangsa Indonesia dengan bangsa lain. 

2.2 Hubungan Nilai, Norma dan Moral

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari

sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun

batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan dasar, landasan atau

motivasi yang dalam bersikap atau bertingkah laku baik disadari

maupun tidak.
Nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan,

dihayayati dan dimengerti oleh manusia.nilai berkaitan juga dengan

harapan,cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal

manusia.nilai dengan demikian tidak bersifat konkret yaitu tidak dapat

ditangkap denganindra manusia dan nilai dapat bersifat subjektif

maupun objektif. 

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan

tingkah laku manusia, makaperlu lebih dikongkritkan lagi serta

diformulasikan menjadi lebih objektif sehinggga memudahkan manusia

untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka

wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu

norma. Terdapat berbagai macam norma, dan dari berbagai norma

tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena

dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa

atau penegak hukum.

Selanjutnya nilai dan norma berkaitan dengan moral. Istilah moral

mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat

keperibadian seseorang ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.

Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu

tercermin dari sikap dan prilakunya. Dalam pengertian inilah maka kita

memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan prilaku manusia.


Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan

kadang kali kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun

sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu

merupakan suatu ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan,

kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana

manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu

pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-

pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodiharjo,

1996). Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos tahun 1987,

bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang

kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik

dengan pengertian moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah

sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip

moralitas.

Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri. Tetapi tidak

demikian halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan

pemikiran yang kritis terhadap etika. Terdapat suatu kemungkinan

bahwa seseorang mengikuti begitu saja pola-pola moralitas yang ada

dalam suatu masyarakat tanpa perlu mereflesikannya secara kritis.

Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan apa yang

tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada


dipihak-pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi

kekurangan dari etika jikadibandingkan dengan ajaran moral.

Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa,

dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu.

Hal yang tartil inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau

dibandingkan dengan moral. 

Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku

petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan

baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang

struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang

sistematis antara nilai, norma dan moral yang pada gilirannya ketiga

aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam

kehidupan manusia (Kaelan, 2014).

2.3 Pengertian Etika

Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang

ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu

yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu

ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang

bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno,

1987).

Di era sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika dalam

kehidupan masih perlu bahkanamat penting untuk ditetapkan. Hal ini


terwujud dari keluarnya ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang

etika kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam

ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai

Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap dan bertingkah

laku yang merupakan cerminan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan

yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Etika

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini bertujuan

untuk:

1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa

dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek;

2. Menentukan pokok-pokok kehidupan bermasyarakat berbangsa

dan bernegara;

3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-

nilai etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

Etika kehidupan berbangsa meliputi sebagai berikut.

1. Etika Sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan

menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami,

saling menghargai, saling mencintai dan tolong menolong diantara

sesama manusia dan anak bangsa. Selain itu juga menghidupkan


kembali budaya malu yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang

bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya

bangsa. Untuk itu juga perlu dihidupkan kembali budaya

keteladanan yang harus dimulai dari dan diperhatikan contohnya

oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat.

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan

mengembangkan kembali kehidupan berbangsa dan berbudaya tinggi

dengan menggugah, menghargai dan mengembangkan budaya local

dan nasional serta mengembangkan budaya yang dimaksud untuk

mampu melakukan adaptasi dan tindakan proaksisejalan dengan

tuntutan globalisasi. Untuk itu dibutuhka ketahanan budaya,

kemampuan adaptasi dan kreatifitas budaya dari masyarakat. Segala

bentuk kemajemukan harus dipaduka sebagai satu kesatuan yang

utuh, harmonis, damai, sejahtera dan maju.

2. Etika Pemerintahan dan Politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang

bersih, efektif dan efisien serta menumbuhkan suasan politik yang

demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab,

tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbadaan, jujur dalam

persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar

serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan

mengamanatkan pejabat memiliki rasa kepedulian yang tinggidalam


memberikan pelayanan kepada public, siap mundur apabila dirinya

telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak

mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.

3. Etika Ekonomi dan Bisnis

Etika ini dimaksudkan agar prinsip dan pilaku ekonomi, baik

oleh pribadi, institusi maupun maupun pengambil keputusan dalam

bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi

yang bercirikan: persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong

berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan

kemampuan saing dan terciptanya suasana kondusif untuk

pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara

berkesinambungan, menghindarkan terjadinya praktik-paraktik

monopoli oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN

maupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan

sehat dan keadilan serta menghindarkan prilaku menghalalkan segala

cara untuk mendapatkan keuntungan.

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa

“sosial”, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat

diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan

yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya


supremasi hukum sejalan dengan dan menuju pada pemenuhan rasa

keadilan yang hidup danm berkembang didalam masyarakat.

Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan

yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara

dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara

salah sebagai alat kekuasaan.

5. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan

Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

ilmu pengetahuan dan teknologi akar mampu berfikir rasional, kritis,

logis dan objektif. Etika ini ditampiulkan secara pribadi maupun

kolektif dalam prilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis,

membahas dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta

secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika disiplin

kehidupan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan

menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berfikir dan

berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk menapai hasil

yang terbaik. Disamping itu, etika ini mendorong tumbuhnya

kemampuan menghadapi hambatan, rintangan, dan tantangan dalam

kehidupan. Mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mampu

menumbuhkan kreatifitas untuk menciptakan kesempatan baru dan

tahan uji serta pantang menyerah.


2.4 Pengertian Politik

Pengertian “Politik” berasal dari kata “Politics”, yang memiliki

makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau

“negara”, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem

itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. “Pengambilan

keputusan” atau “decision making” mengenai apakah yang menjadi

tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa

alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah

dipilih itu (Kaelan, 2014).

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan

kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan

pembagian dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan

kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, diperlukan suatu kekuasaan dan

kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama

maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam

proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika

perlu dilakukan suatu pemaksaan. Tanpa adanya suatu pemaksaan

kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka yang

tidak akan pernah terwujud.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat,

dan bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik menyangkut


kegiatan berbagai kelompok pengasuh partai politik, lembaga

masyarakat maupun perseorangan.

Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka

secara oprasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok

yang berkaitan dengan negara (stale), kekuasaan (power), pengambilan

keputusan (decision-making), kebijaksanaan (policy), pembagian

(distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981).

Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit

sebagaimana diuraikan diatas, maka seolah-olah bidang politik lebih

banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara,

lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktifis politik serta para

pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

Bila mana lingkup pengertian politik dipahami seperti itu maka

terdapat suatu kemungkinan akan terjadi ketimpangan dalam

aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek rakyat baik

sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat dalam

masyarakat. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan etika politik,

pengertian politik tersebut harus dipahami dalam pengertian yang lebih

luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu

persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara (Kaelan, 2014). 

2.5 Dimensi Politisi Manusia

2.5.1 Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial


Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham

liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang

bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama

senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan

paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Kalangan

kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme

memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja.

Manusia di pandang sebagai sekedar sarana bagi masyarakat.

Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam

hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur

berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.

Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai

individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya

senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan

manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial.

Manusia di dalam hidupnya mampu bereksistensi karena orang

lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam

hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang

dibutuhkannya agar berhasil dalam segala kehidupannya serta

berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat.

Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang

nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan


hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka

sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,

bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan

monodualistis.

2.5.2 Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan

sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum

dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan

legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat

manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis

manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum,

sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat

secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala

diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai

suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia

dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya

sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang

menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh

kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan –

tindakannya.

Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental,

yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi


fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan

manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan

tindakkan moral manusia.

2.6 Pancasila Sebagai Etika Politik

Setiap orang pasti mempunyai moral, tetapi belum tentu setiap orang

berpikiran kritis tentang moralnya. Pemikiran yang kritis tentang moral

inilah yang disebut etika (Darmodihardjo, 1996).

Manusia yang baik tidak cukup hanya bermoral, tetapi juga harus

beretika. Dengan berpikir kritis terhadap moral yang diyakininya, ia

tidak akan gamang apabila sewaktu-waktu seseorang yang dijadikan

panutan moralnya telah tiada atau kehilangan pamornya.

Nilai, norma, dan moral yang terkandung dalam Pancasila sebagai

dasar dan falsafah bangsa Indonesia harus dikaji secara kritis, sehingga

kita menerima Pancasila bukan sesuatu yang diwariskan dari pada

orangtua atau pendahulu kita. Dengan mengkaji secara objektif dan

ilmiah, kita tidak mudah goyah oleh masuknya ideologi lain yang

sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Jadi, Pancasila sebagai etika mengajak kita untuk berfikir kritis,

otokritik, kaji banding sehingga Pancasila yang kita terima sebagai

dasar negara dan dasar kehidupan berbangsa benar-benar hasil pilihan

bangsa dan negara Indonesia, bukan sesuatu yang dipaksakan.


Dalam suatu suatu reformasi sekarang ini Pancasila juga merupakan

etika politik. Artinya, kehidupan berpolitik (berpemerintahan,

bernegara, dan sebagainya) harus dilandasi nilai-nilai Pancasila

sehingga arah perjuangan reformasi benar-benar sesuai dengan cita-cita

nasional Indonesia. Kehidupan berpolitik diarahkan tidak untuk

kepentingan pribadi, golongan ataupun partai politik tertentu tetapi

untuk kelangsungan bangsa dan Negara Indonesia.

2.7 Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila

Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia

mempunyai lima prinsip berikut iniyang disusun menurut

pengelompokan Pancasila, bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan

situasi di Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika

internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik

modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada

lingkungan hidup).

1. Pluralisme

Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya,

untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal

bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama,

budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap

kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari


informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan

kepribadian seseorang dan sekelompok orang (Anonim, 2010).

2. Hak Asasi Manusia 

Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang

adil dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan

bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak

diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar

sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak-hak

asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam

pengertian sebagai berikut.

a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena

pemberian negara, masyarakat, melainkan karena ia

manusia pemberian Sang Pencipta.

b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu

mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi

dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh negara

modern.

Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat

dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:

1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal,

demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum.

2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial.


3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak

kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).

3. Solidaritas Bangsa

Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri

sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib

sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila

tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu

pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang

secara melingkar: keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok

agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini

termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila

semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan

keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar

oleh korupsi.

4. Demokrasi

Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia,

atau sebuah elit, atau sekelompok ideologi, atau sekelompok

pendeta/pastur/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan

(menuntut dengan memakai ancaman) bagaimana orang lain harus

atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka

yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka


dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan

rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memerlukan

sebuah sistem penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan

politik(Khairunnisa, 2011).

Demokrasi hanya dapat berjalan baik karena didasari oleh dua

dasar berikut.

a. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM,perlindungan terhadap

HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran

mayoritas.

b. Kekuasaan dijalankan atas dasar,dan dalam ketaatan terhadap

hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum

merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah

pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial

Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan

masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar

keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap

ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah

ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah

yang paling-paling bisa bertahan di hari berikut.


Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis,

sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama

tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan

sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan

sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan

yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa

ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan pertama-

pertama individual.

Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap

kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin),

melainkan dalam struktur-struktur

politik/ekonomi/sosial/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya

dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan

kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling gawat

sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan

struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap

perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius

di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.


2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralisms, pertama-tama

ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak

Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada

masyarakat.

3. Korupsi

 
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Etika politik merupakan filsafat teoritis yang membahas tentang

makna hakiki segala sesuatu antara lain: manusia, alam, benda fisik,

pengetahuan bahkan tentang hakikat yang transenden.

Sedangkan Pancasila sebagai etika politik, bahwa Pancasila adalah

pedoman hidup bersama bangsa Indonesia yang mengatur

bagaimana harus bersikap dan bertindak antar satu dengan lain yang

disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah

moral identitas bangsa, baik sebagai warga dunia, sebagai warga

negara, maupun sebagai anggota masyarakat. 

Adapun hubungan Pancasila dengan etika politik adalah

Pancasila merupakan  dasar atau ideologi negara dan kemudian

menjadi “way of live ” masyarakat Indonesia, sedang etika politik

adalah tata tertib, aturan, “sopan santun” politik. Dengan demikian

agar etika politik dapat diterima oleh masyarakat Indonesia haruslah

sesuai dengan sila- sila yang tercantum pada Pancasila atau sesuai

dengan “way of live” masyarakat Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya

merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan


tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu,

penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap

adil, jujur, dan menjunjung tinggi hukum. Karena itu dalam etika

pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaan secara

adil, seperti bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi

di negeri ini, bukan malah melindungi dan saling tutup menutupi,

hingga membuat mereka (pelaku kejahatan) tak jera sedikitpun jika

mengulang bahkan mewarisi tindakan perusak moral dan etika

bangsa.

Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan

kekuasaan fisik tetapi berdasar asas kesamaan/kesetaraan,

kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum.

3.2 Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam

sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi

terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian

masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan,

karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi

pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai

bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.

 
 

DAFTAR PUSTAKA 

Pasaribu, Rowland Bismark Fernando.2013.Pancasila sebagai Etika Politi

k. Widisuseno, Iriyanto dkk.2007.Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Kaela

n. 2016.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta.Paradigma Suseno dan Franz 

Magnis.1987.Etika Politik : prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan mode

rn.Jakarta.Gramedia. https://repository.unikom.ac.id/37222/1/%28Pertem

uan%20IV%29%20Pancasila%20sebagai%20etika%20%28moral

%29%20Politik.pdf

Anda mungkin juga menyukai