Anda di halaman 1dari 5

NAMA : ALPENDRI

NIM : 11830112915

TUGAS : HADIS TEMATIK TASAWUF

DOSEN : Dr. AGUSTIAR., M.Ag.

Soal

Buatlah contoh lain dari fungsi Hadis terhadap Al-qur’an dari masing-masing
pe,nagian fungsi hadis terhadap Al-Qur’an

1. Bayan Ta’kid
Secara bahasa bayan berarti statement (pernyataan), tipe (syle) dan
penjelasan. Sedangkan ta’kid berarti penetapan atau penegasan. Maksud dari
Hadits/Sunnah sebagai bayan al-ta’kid adalah Hadits /Sunnah berfungsi
menetapkan atau menegaskan hukum yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam al-Quran dan
Hadits/Sunnah sangat penting untuk diimani dan dijalankan oleh setiap
muslim.
Di antara masalah-masalah yang ada dalam al-Quran dan disampaikan
pula oleh Rasulullah di dalam Hadits/Sunnah ialah tentang ketentuan awal
puasa Ramadhan, di antaranya terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat
185;
ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
(185 :‫ص ْمه ُ) البقرة‬ َ ْ‫فَ َمن‬
َّ ‫ش ِه َد ِم ْن ُك ْم ال‬

“Barang siapa yang menyaksikan bulan maka berpuasalah.”(QS.Al-


Baqarah: 185).

Hal ini ditegaskan dalam hadis

(‫ (رواه مسلم‬. َ‫صو ُموا َوإ َذا َرأيتُ ُموهُ فَأ ْف ِط ُروا فَإنْ أُ ْع ِم َي َعلَ ْي ُك ْم فَ ُعد ُّْوا ثَاَل ثِيْن‬
ُ َ‫إ َذا َرأيتُ ُموهُ ف‬

“Jika kalian melihatnya (bulan) maka berpuasalah, dan jika kalian


melihatnya (bulan) maka berbukalah (hari Raya Fitri), namun jika bulan tertutup
mendung yang menyulitkan kalian untuk melihatnya, maka sempurnakanlah
sampai 30 hari.”(HR. Muslim)
2. Bayan Al-Tafsir
Tafsir secara bahasa berarti penjelasan, interpretasi atau keterangan.
Maksud dari Hadits/Sunnah sebagai bayan al-tafsir adalah Hadits/Sunnah
berfungsi sebagai penjelasan atau interpretasi kepada ayat-ayat yang tidak
mudah dipahami. Hal ini dikarenakan ayat-ayat tersebut bersifat mujmal
(umum) sehingga perlu penjelasan yang bisa menjelaskannya lebih terperinci.
Sebagai contoh ayat al-Quran kewajiban shalat dalam surat al-Baqarah ayat
43;
َّ ‫َوأَقِ ْي ُموا ال‬
ْ ‫صاَل ةَ َواتُوا ال َّز َكاةَ َو‬
(43:‫ (البقرة‬. َ‫ار َك ُع ْوا َم َع ال َّرا ِك ِعيْن‬

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-


orang yang ruku’.”(QS.Al-Baqarah: 43)

Dalam hal ini diceritakan tatacaranya dalam hadis berikut

َ ُ‫صلُّ ْوا َك َما َرأَ ْيتُ ُم ْونِي أ‬


)‫ (رواه البخاري‬.‫صلِّي‬ َ

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR.al-


Bukhari)

Dalam ayat diatas hanya ada perintah melaksanakan shalat, namun tidak
dijelaskan secara rinci bagaimana cara melaksanakan shalat. Sehingga
datanglah Hadits yang menjelaskan bahwa cara melaksanan shalat adalah
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Bayan at-tafsir ini terbagilagi menjadi beberapa bagian diantaranya


adalah sbb:
 Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang mujmal (bersifat
global).
Contohnya, seperti penjelasan Hadis Nabi SAW tentang tata
cara pelaksanaan shalat:“... Dan shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku shalat....” (Al Bukhari, Shahih Bukhari, juz. 1,
hal. 155).
Secara fi'li (Hadis Fi'li) Nabi SAW mendemonstrasikan tata
cara pelaksanaan shalat di hadapan para Sahabat, mulai dari yang
sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat tangan ketika
bertakbir, sampai kepada hal-hal yang harus dilaksanakan dan
merupakan rukun dalam pelaksanaan shalat, seperti membaca
surat Al-Fatihah, sujud, rukuk, serta jumlah ra-kaat masing-
masing shalat, dan sebagainya.

 Mengkhususkan (takhshish) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am).


Penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur'an, di samping memperinci
hukum yang bersifat global (mujmal), juga ada yang bersifat
takhshish, yaitu mengkhususkan keumuman ayat, seperti
penjelasan Rasul SAW tentang ayat:

ۖ ‫ َر َك‬aَ‫ا ت‬aa‫ا َم‬aaَ‫ق ا ْثنَتَ ْي ِن فَلَ ُهنَّ ثُلُث‬ َ ِ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فَإِنْ ُكنَّ ن‬
ْ aَ‫ا ًء ف‬a‫س‬
َ ‫و‬a َّ ِ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَ ْواَل ِد ُك ْم ۖ ل‬ ِ ‫يُو‬
‫ُس ِم َّما تَ َركَ إِنْ َكانَ لَهُ َولَ ٌد ۚ فَإِنْ لَ ْم‬ ُ ُّ‫د‬ ‫س‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ‫د‬ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬ ُ
‫ك‬ ‫ل‬ ‫ه‬
َ ُ ِ ٍ ِ َ ِّ ِ ِ ْ َ َ ‫ْ فُ َأِل‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ب‬َ ‫و‬ ۚ ‫ص‬ ِّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ً ‫ة‬‫د‬ ‫ح‬ ‫ا‬
َِ َ ‫و‬ ْ‫ت‬ َ ‫ن‬ ‫ا‬ َ
‫ك‬ ْ‫َوإِن‬
‫ي‬a‫وص‬ ِ ُ‫يَّ ٍة ي‬a‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬a‫ُس ۚ ِمنْ بَ ْع‬ ُ ‫د‬a‫الس‬ُّ ‫ َوةٌ فَأِل ُ ِّم ِه‬a‫ث ۚ فَإِنْ َكانَ لَهُ إِ ْخ‬ ُ ُ‫َي ُكنْ لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َواهُ فَأِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
‫ا‬aa‫انَ َعلِي ًم‬aa‫ةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ إِنَّ هَّللا َ َك‬a‫يض‬َ ‫ا ۚ فَ ِر‬aa‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًع‬ُ ‫ َر‬a‫ ْدرُونَ أَ ُّي ُه ْم أَ ْق‬aَ‫ِب َها أَ ْو َد ْي ٍن ۗ آبَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْم اَل ت‬
‫َح ِكي ًما‬

Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-NIssa ayat 11)

 Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat Al-Qur'an yang


bersifat muthlaq
Umpamanya, Hadis Nabi SAW yang memberikan penjelasan
tentang batasan untuk melakukan pemotongan tangan pencuri,
yang di dalam Al-Qur'an disebutkan secara muthlaq, yaitu:

َ ‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُعوا أَ ْي ِديَ ُه َما َج َزا ًء بِ َما َك‬
‫سبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Maidah ayat 38)

Ayat tersebut masih bersifat muthlag, yaitu belum diterangkan tentang batasan
yang jelas dari ta¬ngan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potong tangan
tersebut. Maka Hadis Nabi SAW da¬tang menjelaskan batasannya (taqyid),
yaitu bah¬wa yang dipotong itu adalah hingga pergelangan tangan saja. (Al-
Zuhayli, Ushul al Fiqh al-Islami, juz 1, h.462)

3. Menciptakan hokum baru


yaitu menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-
Qur'an. Hal yang demikian adalah, seperti ketetapan Rasul SAW tentang
haramnya mengumpulkan (menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita
dengan bibinya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hadis beliau:

“Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama (menjadikan istri


sekaligus) dengan makcik (saudara perempuan ayah)-nya, tidak juga dengan
bibi (saudara perempuan ibu)-nya, dan tidak dengan anak perempuan
saudara perempuannya atau anak perempuan saudara laki-lakinya. (Hadis
ini di antaranya diriwayatkan oleh Bukhari, Shahih Bukhari, juz 6, h. 128;
Muslim, Shahih Muslim, juz 1, h. 645.)

Ketentuan yang terdapat di dalam Hadis di atas tidak ada di dalam Al-
Qur'an. Ketentuan yang ada hanyalah larangan terhadap suami yang memadu
istrinya dengan saudara perempuan sang istri, sebagaimana yang disebut
dalam firman Allah SWT:

“... (Diharamkan atas kamu) menghimpun (dalam perkawinan) dua


orang perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; ... [23] ...Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian ... [24].
(QS. Al Nisa’: 23-24).

Demikian juga dengan keberadaan Hadis Nabi yang menetapkan


haramnya himar ahliyyah, binatang buas, dan penetapan beberapa diyat. (Ajjaj
Al-Khatib, Ushulul Al Hadits, h. 45-90).
Terhadap fungsi Sunnah terhadap al Quran yang pertama dan kedua,
para Ulama telah sepakat. Namun, terhadap fungsinya yang ketiga, yaitu
fungsi tasyri' (penetapan hukum yang tidak diatur sama sekali oleh Al-
Qur'an), para Ulama berbeda pendapat: pertama, ada yang melihatnya sebagai
hukum yang secara permulaan ditetapkan oleh Sunnah; dan kedua, ada yang
melihatnya sebagai hukum yang asalnya tetap dari Al-Qur'an.

Dalam hal ini, jumhur Ulama berpendapat bahwa Rasul SAW dapat
saja membuat hukum tambahan yang tidak diatur oleh Al-Qur'an. Dalam
konteks inilah umat Islam dituntut untuk taat kepada Rasul SAW sebagaimana
dituntut untuk taat kepada Allah SWT. Imam Syafi'i pernah menyatakan
bahwa dia tidak mengetahui adanya Ulama yang berbeda pendapat tentang
fungsi Sunnah (Hadis), termasuk di dalamnya fungsi membuat hukum
tambahan (hukum baru) yang tidak diatur oleh Al-Qur'an. Diktum pernyataan
Imam Syafi'i tersebut adalah sebagai berikut:

"Saya tidak mengetahui ada di antara Ulama yang tidak sependapat


bahwa Sunnah (Hadis) itu mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama, apa yang
telah diturunkan Allah di dalam Al-Qur'an, maka Sunnah datang dengan
permasalahan yang sama dengan yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an
itu; kedua, apa yang dijelaskan secara umum oleh Allah di dalam Al-Qur'an,
maka Sunnah datang menjelaskan (memperinci) makna yang dimaksud oleh
kandungan Al-Qur'an tersebut; dan fungsi yang ketiga adalah, Sunnah
datang membawa hukum baru, yang belum dan tidak ada disinggung-
singgung oleh Al-Qur'an". (Al Syafi’i, Ar Risalah, hal. 92).

Anda mungkin juga menyukai