Anda di halaman 1dari 3

Nama : Lutfiah Amalia

Nim :192410001
Mata Kuliah : Hukum Lingkungan (Semester 3)

Jawaban :

1. Dalam melakukan penyelesaian sengketa pencemaran lintas batas tersebut Indonesia


dengan Australia sudah seharusnya kedua negara melakukan penelitian serta melakukan
pengambilan sampel langsung ke lapangan secara bersama-sama, di tempat atau titik yang
dirasa oleh kedua negara baik Indonesia maupun Australia mengalami pencemaran langsung
ataupun terkena dampak dari pencemaran laut tersebut. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa
Indonesia memang telah mengambil tindakan atas kasus pencemaran yang terjadi, yaitu
diawali dengan pembentukan posko untuk memonitor tumpahan minyak Montara langsung
ke lapangan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akan tetapi seharusnya Indonesia lebih memanfaatkan keberadaan Tim Nasional
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang diketuai Freddy Numbed,
untuk mengambil tindakan cepat dan tanggap terhadap pencemaran laut
maupun dampaknya. Selain itu TIMNAS Penanggulangan Keadaan Darurat tersebut tentunya
memiliki hak penuh sebagai perwakilan dari Indonesia untuk bernegosiasi maupun
mengajukan gugatan kepada Australia.

2. penyelesaian sengketa dalam hukum internasional pada umumnya berdasarkan Pasal 33


Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa (“Piagam PBB”), pihak yang terlibat dalam
pertikaian/sengketa pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum (badan yudisial),
menggunakan pengaturan-pengaturan atau badan-badan regional, atau dengan cara damai
lainnya yang dipilih mereka sendiri.

Sehingga, pada dasarnya, berdasarkan hukum internasional, atau lebih spesifiknya dalam
Piagam PBB, setiap negara-negara yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian sengketa secara damai sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 33 Piagam PBB.

Meski demikian, Pasal 36 ayat 3 Piagam PBB menyatakan bahwa sengketa/pertikaian hukum
pada umumnya harus diajukan oleh para pihak ke Mahkamah Internasional, yang merupakan
organ yudisial utama dalam PBB.

3. Hukum lingkungan yang bersifat use-oriented maksudnya produk


hukum yang selalu memberikan hak kepada masyarakat internasional untuk
mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani
kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya. Dengan kata lain,
produk hukum yang ada sebelum lahirnya Deklarasi Stockholm hanya
menjustifikasi hak manusia untuk memakai lingkungan seperti
mengeksploitasi sumber daya alam.
Sementara produk hukum yang bersifat environment-oriented adalah
produk hukum yang tidak saja memberi hak kepada manusia untuk memakai
lingkungan, tetapi didalamnya juga mengandung sebuah kewajiban bagi
manusia untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan lingkungan dan sumber
daya alam. Misalnya tentang Konvensi Hukum Laut 1982. konvensi ini tidak
saja memberikan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
kelautan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada negara-negara agar
menjaga lingkungan laut dari perusakan dan pencemaran dalam melakukan hal
tersebut. Kewajiban menjaga lingkungan ini diatur secara khusus pada Part
XII Konvensi Hukum Laut 1982.
Oleh karena itu, maka berdasarkan pada pembentukannya, hukum
internasional terbagi dua, yaitu hukum kebiasaan internasional (international
customary law) dan hukum konvensi internasional (conventional international
law).

4. strategi penataan lingkungan yang sesuai dengan UUPLH


Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer
otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
o Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
o Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
o Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
o Menetapkan pendekatan kewilayahan.

5. Perbedaan dari sanksi administrasi dan sanksi perdata dalam masalah lingkungan yaitu :
Sanksi administrasi dalam hukum lingkungan terdiri atas:
1. Teguran tertulis.
2. Paksaan pemerintah.
3. Pembekuan izin lingkungan.
4. Pencabutan izin lingkungan. dan/atau perusakannya.
Sanksi perdata dalam hukum lingkungan terdiri dari :
1). Pasal 109 UUPPLH
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
2). Pasal 110 UUPPLH
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
3). Pasal 111 ayat (1) UUPPLH
Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan
amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga
miliar rupiah).
4). Pasal 111 ayat (2) UUPPLH
Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan
tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

Anda mungkin juga menyukai