Penambangan Pasir Laut

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

PENAMBANGAN PASIR LAUT

(Sejarah, Pengaturan, dan Dampak)

Riki Rahmad
awangrikirahmad@gmail.com

Pasir laut merupakan salah satu sumberdaya alam non hayati apabila dikelola dengan
baik, memiliki prospek dimasa mendatang untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber
pendapatan negara untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga pengelolaannya harus dilakukan
secara tertib dan bertanggung jawab. Kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan dan
perdagangan pasir laut selama ini cenderung tidak terkendali, sehingga menyebabkan
kerusakan ekosistem pesisir dan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan keterpurukan
nelayan akibat dampak dari terganggunya ekosistem di wilayah tangkap pesisir. Agar
penambangan pasir laut dapat dilakukan secara baik dan benar serta menghindari terjadinya
penyimpangan merusak lingkungan hidup, perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan
terhadap pengusahaan pasir laut.

1. Sejarah Penambangan dan Pengusahaan Pasir Laut di Indonesia

Secara historis, ekspor sumber daya alam pasir laut mulai dibuka pada akhir 1970-an.
Pemanfaatan potensi pasir laut di Kepulauan Riau semula dilakukan demi mencegah
pendangkalan laut. Namun, dalam perkembangannya pasir itu kemudian ditawarkan sebagai
komoditas ekonomi kepada Pemerintah Singapura. Berdasarkan survei sudah sekitar 300 juta
meter kubik pasir dari Indonesia yang digunakan Singapura untuk memperluas daratannya. Luas
lautan Indonesia semakin menyempit karena pasirnya dipakai untuk memperluas daratan negara
lain. Sementara di sisi lain, dampak kerusakan laut sangat merugikan masyarakat nelayan karena
sulitnya mencari ikan dan merusak habitat bawah laut.
Kegiatan usaha penambangan pasir laut di perairan Kepulauan Riau, yang terdiri atas
kegiatan pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut, untuk reklamasi pantai
Singapura telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut, rusaknya daerah
perikanan tangkap dan perikanan budidaya, keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, serta
jatuhnya harga pasir laut. Untuk mencegah berlanjutnya dampak negatif tersebut, Pemerintah
sejak awal dimulainya pengusahaan dan penambangan pasir laut pada tahun 1970-an telah
mengadakan upaya-upaya pengendalian dan pengawasan. Upaya-upaya pengendalian dan
pengawasan tersebut antara lain adalah menempatkan pengelolaan pasir laut pada tahun 1970-
1990 di bawah Departemen Pertambangan dan Energi. Pada tahun 1991-1997 kewenangan
pengelolaan pasir laut diserahkan kepada Otorita Batam, yang kemudian pada tahun 1998- 2000
dikembalikan kepada Departemen Pertambangan dan Energi, dan pada tahun 2001 sampai
sekarang berada di bawah pemerintah daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 19992 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada tanggal 30 Desember 2000, Gubernur Riau mengeluarkan Keputusan
Gubernur Riau Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembuktian Kesanggupan dan Kemampuan
Pemohon Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya, dan Kontrak Karya Batu Bara. Keputusan
Gubernur Riau ini diberlakukan bagi semua kegiatan pertambangan di daerah Provinsi Riau,
termasuk penambangan dan pengusahaan pasir laut. Dua setengah bulan sebelum pembentukan
TP4L, Gubernur Riau dan para Bupati serta Walikota memberlakukan Keputusan Bersama
Gubernur Riau dan Bupati/Walikota di Provinsi Riau3 Tahun 2002 tentang Pengelolaan
Pertambangan Pasir Laut.
Setelah permasalahan pasir laut menjadi perhatian masyarakat di tingkat nasional,
Presiden pada tanggal 31 Agustus 2001 memberi instruksi kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan sebagai Ketua Harian Dewan Maritim Indonesia untuk menangani permasalahan pasir
laut tersebut. Pada tanggal 7 Februari 2002 Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan
Gubernur Riau sepakat untuk membenahi kembali sistem pengusahaan dan ekspor pasir laut.
Pada tanggal 14 Februari 2002 Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan
Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan keputusan bersama untuk
menghentikan sementara ekspor pasir laut.

2. Gambaran Umum Sejarah Pengaturan Pasir Laut


Lokasi pengusahaan dan penambangan pasir laut terletak di perairan tiga provinsi, yaitu
Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten
dan kota dari masing-masing provinsi yang wilayah perairannya menjadi target pengusahaan dan
penambangan pasir laut meliputi:
a. Provinsi Kepulauan Riau: Kota Batam; Kabupaten Karimun; Kabupaten Bengkalis; Kabupaten
Kepulauan Riau.
b. Provinsi Bangka Belitung: Kabupaten Bangka; Kabupaten Belitung.
c. Provinsi Kalimantan Barat: Kota Pontianak; Kabupaten Pontianak.
Di antara daerah kota dan kabupaten tersebut di atas, Kota Batam (Pulau Batam),
Kabupaten Karimun, dan Kabupaten Kepulauan Riau merupakan daerah yang perairannya paling
banyak menerima tekanan dari kegiatan usaha penambangan pasir laut dibandingkan daerah
kabupaten dan kota lainnya.Wilayah perairan dari ketiga daerah tersebut langsung berbatasan
dengan Singapura, suatu Negara kota yang mempunyai permintaan pasir laut yang cukup besar
setiap tahunnya. Dalam kaitan ini, Johor Baru telah memanfaatkan banyak pasir laut dari
Indonesia untuk mengembangkan kota Johor Baru menjadi New Johor Baru. Pembangunan kota
New Johor Baru yang dimulai sekitar tahun 1994 saat ini boleh dikatakan sudah selesai. Di
samping New Johor Baru, beberapa daerah pantai di ujung selatan Semenanjung Malaysia yang
berbatasan dengan Singapura juga membutuhkan pasir dari Indonesia untuk membangun dua
pelabuhan samudera yang dapat menyaingi Singapura.
Sebagian dari kebutuhan pasir laut diperoleh dari kegiatan usaha penambangan di
perairan Wilayah Batam. Sejak tahun 1992,Wilayah Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton,
Pulau Nipah, Pulau Setoko, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Ketujuh
pulau di Wilayah Batam tersebut dihubungkan dengan enam jembatan megah yang
menyeberangi selat-selat di antara pulau-pulau tersebut. Kegiatan pertambangan dan penggalian,
termasuk penambangan pasir laut, pada tahun 1999 menempati urutan terakhir dalam kegiatan
ekonomi Wilayah Batam dengan persentase sebesar 0,82%. Persentase tertinggi sebesar 71,60%
ditempati oleh kegiatan industri pengolahan, yang didominasi oleh pengilangan minyak bumi,
dan kedua sebesar 11,13% diduduki oleh kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran.

3. Dampak Penambangan Pasir Laut

Walaupun kegiatan pertambangan dan penggalian merupakan kegiatan ekonomi terendah


dalam persentase, dampak yang timbul dari kasus-kasus penambangan dan pengusahaan pasir
laut memiliki cakupan nasional. Pengusahaan dan penambangan pasir laut di perairan Kepulauan
Karimun,Wilayah Batam, dan Kepulauan Riau yang diusahakan sejak tahun 1970-an sampai saat
ini memang memiliki prospek ekonomi dan bisnis yang cukup menjanjikan.
Kegiatan pengusahaan dan penambangan pasir laut di satu sisi telah memberikan manfaat
bagi para pengusaha dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), namun di sisi lain juga
telah mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan yang menimbulkan kerugian. Beberapa
permasalahan yang menimbulkan kerugian atau externalities tersebut antara lain :
 kerusakan ekosistem pesisir dan laut,
 pulau tenggelam,
 kerusakan sumber daya perikanan tangkap dan perikanan budidaya,
 penggelapan volume dan harga pasir laut,
 penyelundupan pasir laut ke luar negeri,
 kegiatan penambangan pasir laut secara ilegal,
 eksploitasi pasir laut secara berlebihan,
 persaingan usaha secara tidak sehat.
Berhubung potensi kebutuhan pasir laut di Singapura dan Malaysia masih cukup besar,
maka dapat dipastikan bahwa kegiatan penambangan dan pengusahaan pasir laut akan terus
berlanjut dan permasalahanpermasalahan yang ditimbul-kannya akan terus meningkat. Apabila
tidak dilakukan peningkatan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan pengusahaan dan
penambangan pasir laut, maka kerugian negara, pengusaha perikanan tangkap, pengusaha
perikanan budidaya, pengusaha jasa pariwisata laut, nelayan, dan sebagian besar masyarakat
pantai dari pulau-pulau di sekitar lokasi penambangan tidak akan berhenti.
Externalities sebagaimana diuraikan di atas juga dapat muncul sebagai akibat adanya
sengketa batas-batas wilayah laut antardaerah dan antara daerah dengan instansi pemerintah
pusat. Konflik perbatasan tersebut muncul sebagai konsekuensi logis dari penerapan UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sebelumnya sudah diduga akan muncul
sebagai akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam penetapan batas-batas laut antar
daerah yang ditinggalkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999. Sengketa antardaerah dalam
penetapan batas wilayah laut ini, baik langsung maupun tidak langsung, akan sangat
mempengaruhi iklim investasi dan situasi pemanfaatan pasir laut. Batas-batas wilayah laut
antardaerah yang tidak jelas akan mempengaruhi kepastian hukum.
Ketidakpastian hukum akan sangat mempengaruhi, misalnya, pola pengusahaan dan
penambangan pasir laut. Konflik kepentingan dalam penetapan batas-batas wilayah laut antar
daerah juga akan dapat dilihat dalam bentuk perebutan lahan investasi, serta pemekaran suatu
daerah sering dapat menimbulkan perebutan kegiatan-kegiatan usaha yang sudah ada dan sedang
berjalan.
Permasalahan tersebut di atas memang sebaiknya harus diselesaikan melalui hukum,
karena hukum memiliki mekanisme penjatuhan sanksi dan pemberian ganti rugi secara jelas.
Kerugian yang merupakan externalities bagi para pihak tersebut di atas dapat diinternalkan
melalui proses hukum, baik di dalam maupun di luar proses peradilan. Ada pepatah mengatakan
bahwa prevention better than cure atau mencegah lebih baik dari pada mengobati, karena usaha
pencegahan jangan sampai sakit akan lebih mudah dan lebih murah jika dibandingkan usaha
pengobatan terhadap orang yang terlanjur sakit. Oleh karena itu, lebih baik meningkatkan
kegiatan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan pengusahaan dan penambangan pasir
laut sebagai langkah untuk melakukan pencegahan terhadap timbulnya dan atau berkembangnya
permasalahan dari pada harus berhadapan dengan permasalahan pengusahaan dan penambangan
pasir laut yang terlanjur timbul atau terlanjur berkembang sehingga sulit penyelesaiannya.
Dengan demikian, pengusahaan dan penambangan pasir laut senantiasa harus dikendalikan,
dipantau, diamati, dan diawasi apabila pemerintah tidak ingin terus-menerus mengalami
kerugian.
Permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha penambangan pasir
laut juga telah menyebar sampai ke wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pontianak
(termasuk Kota Pontianak), walaupun belum separah kabupaten dan kota yang disebutkan
terdahulu. Hal ini disebabkan oleh karena Kabupaten Bengkalis belum mau secara luas
membuka daerahnya bagi penambangan dan pengusahaan pasir laut, sedangkan Kabupaten
Pontianak terletak jauh dari pusat pasar pasir laut, yaitu Singapura dan ujung selatan
Semenanjung Malaysia. Kebalikan dari Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pontianak adalah
Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung yang daerahnya telah cukup lama dan cukup parah
dijamah oleh kegiatan penambangan dan pengusahaan pasir laut.
Kasus-kasus penambangan dan pengusahaan pasir laut dengan dibarengi oleh kasus-
kasus pembuangan limbah dari Singapura telah dialami oleh kedua kabupaten tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, kegiatan pengendalian dan pengusahaan pasir laut perlu
dioptimalisasikan, terutama di daerah-daerah yang intensitas pemanfaatan sumber daya pasir
lautnya terus meningkat, seperti di daerah-daerah tersebut di atas.
Eforia otonomi di bidang penambangan dan pengusahaan pasir laut telah membawa
kekisruhan kebijakan, seperti misalnya tumpang tindih zonasi pertambangan dengan tata ruang
daerah, serta benturan kepentingan antar pemegang KP dan antar daerah. Jumlah KP yang
melonjak secara drastis telah memberi banyak peluang dan pilihan kepada pihak Singapura untuk
mengadakan perjanjian dengan para pemegang KP baru.
Kondisi ini telah mempengaruhi penurunan harga dan peningkatan biaya dalam kegiatan
penambangan dan pengusahaan pasir laut. Akibat lain yang dapat dikemukakan di sini adalah
peningkatan pencemaran dan perusakan lingkungan, mata pencaharian nelayan hilang, lahan
budi daya ikan rusak, dan kegiatan penambangan dan pengusahaan pasir laut yang tak terkendali
akan merugikan Indonesia dalam merundingkan penetapan batas laut dengan Singapura.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.forplid.net/studi-kasus/7-pertambangan-pertambangan-.html

Instruksi presiden republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Tentang Pengendalian penambangan
pasir laut

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,


2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia. Jakarta

Rahmad, R. (2016). IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI STRATEGI


PENGELOLAAN PESISIR PURWOREJO-JAWA TENGAH (Studi Kasus: Areal
Bekas Penambangan PT ANTAM). JURNAL GEOGRAFI, 8(1).

Rahmad, R., Rimba, F., & Wirda, M. A. (2017). Study of Population Activities in Establishing
the Economic Welfare of Belawan Coastal Communities, North Sumatra. Journal of
Environment and Earth Science, 7(10), 146-152.

Rahmad, R. (2018, January 24). PRINCIPLES OF COASTAL AREA & WATERSHED


MANAGEMENT (Review: Strategic Plan for Integrated Coastal Management of
Lampung). http://doi.org/10.17605/OSF.IO/DHT3G

Anda mungkin juga menyukai