Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

POLITIK DI INDONESIA PADA ZAMAN ORDE LAMA

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

KEWARGANEGARAAN

Drs. AHMAD YASIN, M .Ag.

DI SUSUN OLEH:

AHMAD HISAN ARIANTO

NIM: 05040421061
NO ABSEN: 21

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

HUKUM TATA NEGARA

2021/2022

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-NYA, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Kewarganegaraan, dengan judul: “politik di
Indonesia pada zaman orde lama”.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh kerena itu, saya mengharapkan
segala bentuk saran dan masukan dari pihak kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua.
Lumajang, September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Rumusan masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Demokrasi liberal

B. Demokrasi parlementer

C. Demokrasi terpimpin

D. Gerakan 30 September
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung
sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita
yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe.
Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi
dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti Orde Lama, Orde Baru Dan Kini Orde
Reformasi.

Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat
apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan
dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada
ikatan historis sama sekali Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru
sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi.
Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah
perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula
tidak sama.Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah
memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara
itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi
pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya
(Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses
pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi
penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum
dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan
dinamika yang terjadi.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang hendak di uraikan dalam makalah ini adalah ;

a. Bagaimana kondisi politik Indonesia pada masa Orde Lama ?


b. Bagaimana kondisi politik pada masa demokrasi liberal, parlementer, dan
terpimpin?
c. Kenapa tragedi G30S PKI bisa terjadi?

BAB II

PEMBAHASAN

A.Demokrasi Liberal (1950 – 1959)

Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem
demokrasi yang dipakai yaitu sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya
bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet.
Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Dalam sistem
demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi, PNI,dan PKI mempunyai partisipasi yang besar
dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS
1950.Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen (DPR
pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus
mengembalikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk
mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan
sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan
pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 September 1950 adalah kabinet
Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai
politik terbesar saat itu.

Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a. Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.

b. Memajukan perekonomian, kesehatan dan kecerdasan rakyat.

c. Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.

d. Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.

e. Memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari tubuh
parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih berada
ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut.
Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan antara presiden
dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah berlaku sebelumnya,
bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan parlemen. Secara berturut-
turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal, presiden
membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.

Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29
September 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956.
Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya
badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri,
terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan
PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk
menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang
muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak
menentu.

Pada pidatonya di Istana Merdeka pada 21 februari 1957 Ir.Soekarno mulai memperkenalkan sebuah
sistem baru untuk menggantikan sistem demokrasi liberal. Inti pidatonya itu adalah Demokrasi
terpimpin dan pembentukann Dewan Nasional. Konsep tersebut menjadi pertentangan di DPR,
karena tugas mengubah sistem pemerintahan hanya dapat dialakukan oleh konstituante bukan
presiden. Saat itu presiden telah memandang konstituante gagal dalm merumuskan rancangan UUD
selama mereka bertugas setelah mereka diangkat sebagai hasil pemilu 1955.

Pada 22 April 1959, di depan sidang konstituante, presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali
ke UUD 1945 sebagai UUD negara RI. Menanggapi pernyataan presiden tersebut, pada tanggal 30
Mei 1959 konstituante mengadakan pemungutan suara. Hasilnya adalah mayoritas anggota
konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD negara RI. Namun jumlah
suara tidak mencapai dua pertiga dari anggota konstituante seperti yang di isyaratkan dalam pasal
137 UUDS 1950. Kemudian pemungutan suara diulang kembali pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959,
tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat mencapai dua pertiga dari jumlah suara yang
dibutuhkan. Dengan demikian konstituante mengadakan reses.

Setelah pengumuman reses konstituante juga diikuti larangan melakukan segala bentuk kegiatan
terhadap partai-partai politik. Dalam kondisi seperti ini beberapa tokoh partai politik mengajukan
usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan
membubarkan konstituante serta tidak memberlakukannya lagi UUDS 1950. Karena itu tanggal 5 Juli
1959 Presiden Soekarno mengelurkan dekrit yang berisi :

a. Pembubaran Konstituante.
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.

c. Segera dibentuk MPRS dan DPRS.

B.Demokrasi parlementer

Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950an ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan
utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini terlihat
dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi pada tahun 1955
dan dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun sebelum Indonesia
bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua partai Islam yang besar yaitu Masyumi
dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul Ulama telah memisahkan diri dari Masyumi pada tahun
1952) mendapatkan masing-masing 20,9% dan 18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI
meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan
sehingga kabinet di masa parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai
aliran ideologi. Dari 1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat,
dan setiap kabinet gagal membuat perubahan yang signifikan untuk negara.

Selain perselisihan dalam elit politik Jakarta, ada masalah-masalah lain yang membahayakan
persatuan Indonesia pada era tahun 1950an. Gerakan militan Darul Islam, yang bertujuan
mendirikan negara Islam dan menggunakan teknik perang gerilya untuk mencapai tujuannya, telah
memenangkan wilayah-wilayah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini telah dimulai
selama periode kolonial namun cepat merubah arahnya melawan pemerintahan di bawah Soekarno
hingga penyerahannya pada tahun 1962.

Gerakan subversif lain yang berdampak adalah Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi
Utara dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Keduanya dimulai
pada akhir tahun 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan tuntutan-tuntutan
reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin para perwira militer,
didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat
(AS) yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah ancaman besar.

Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil menghancurkan gerakan-gerakan


ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan anggota militer bentukan Pemerintah Kolonial Belanda
yang bernama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memproklamasikan Republik Maluku
Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil dikalahkan oleh kekuatan militer Indonesia pada tahun
yang sama, konflik bersenjata berlanjut hingga tahun 1963

C.Demokrasi terpimpin

Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia
karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah
“Demokrasi Terpimpin” yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem
kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih banyak
kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang dengan
perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga saat itu, mendukung perubahan orientasi ini. Pada
tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah ‘kelompok fungsional’ yang
berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode Demokrasi Terpimpin,
perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar.
Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia membubarkan parlemen dan
menggantinya dengan parlemen baru yang setengah dari anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno.
Soekarno juga sadar akan bahayanya bagi kedudukannya bila militer menjadi terlalu kuat. Karena itu,
Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk mengimbangi kekuatan militer. Baik militer
maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya yang disebut ‘Nasakom’, sebuah akronim yang
mencampurkan tiga buah ideologi yang paling penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun
1950an dan awal 1960an yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini hanya
memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap komponen bermasalah dengan komponen lainnya.
Semuanya tergantung pada kemampuan politik, kharisma dan status Soekarno untuk tetap menjaga
kesatuan ketiga komponen ini.

Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam
kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau
Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini ke
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun
selanjutnya.

Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Ia menganggap
pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya
dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan melaksanakan
kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’ Malaysia. Bagian dari kebijakan
konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi
negara anggota. Pada tahun 1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis
Barat dengan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan
Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal
ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat
itu.

D.Gerakan 30 September 1965

Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia
adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih
menimbulkan Kontroversi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang
gerakan 30 S tersebut Telah dikemukakan diantaranya ;

- Peristiwa G 30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupakan suatu tindakan
makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta
tersebut dilakukan untuk Merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa Tertinggi
Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidup berdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi
onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.
- Peristiwa G 30 S versi Cornell Paper yang diterbitkan oleh R.O.G Anderson dan Ruth T.Mc.
tulisan Ilmiah tersebut mengemukakan serangkaian bukti-bukti yang secara garis besar
menyangsikan fakta-Fakta tentang G 30 S yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru.
Secara garis besar Cornell Paper Meragukan keterlibatan penuh Bung Karno dan PKI dalam
gerakan itu. Dan dalam Cornell Paper Dinyatakan bahwa kudeta yang sesungguhnya terjadi
di wilayah Jawa Tengah terutama dalam tubuh Kesatuan Angkatan Darat Divisi Teritorial
Diponegoro.
- Peristiwa G 30 S versi Asvi Warman Adam, Ia adalah sejarawan dari Universitas Indonesia
yang Mengemukakan pendapatnya mengenai G 30 September. Pendapat tersebut
dikemukakan dalam Rangka mengkritisi rencana penulisan kembali peristiwa G 30 S oleh
pemerintah. Menurutnya peristiwa G 30 S terdiri atas tiga bagian penting, yaitu bagian
pertama peristiwa G 30 S dengan segala versinya, Bagian kedua pembantaian , dan bagian
ketiga pembuangan ke Pulau Buru.

Adapun kronologi dari peristiwa G 30 S berawal dari adanya isu tentang Dewan Jenderal yang mulai
di lancarkan sampai akhirnya isu itu di perberat menjadi “dewan jenderal akan mengadakan coup”.
Bersamaan dengan membumbungnya tentang dewan jenderal, tersiar pula adanya adanya Dokumen
Gilchrist. Dalam dokumen itu (yang kemudian ternyata palsu) antara lain disebutkan kata-kata “our
local army friends” yang kemudian dihubung-hubungkan dan diartiakan sama dengan dewan
jenderal.Dalam sidang politbiro CC PKI tanggal 28 Agustus 1995, aidit antara lain menguraikan
masalahnya, yaitu siapa yang sebenarnya mengetahui lebih dahulu jika seandainya presiden Ir.
Soekarno sampai meninggal. Apabila Angkatan Darat mengetahui terlebih dahulu mereka akan
bertindak dan PKI pasti akan dimusnakan. Oleh karena itu, persoalannya yaitu, lebih baik didahului
atau mendahului. Aidit lebih condong untuk mendahuluinya. Aidit juga menyebut-nyebut tentang
tampilnya seorang perwira menengah yang menentang Dewan Jenderal dan digolongkan sebagai
perwira yang berfikiran maju . orang ini rupanya Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon
Pengawal Pribadi(presiden) Resimen Cakrabirawa yang bakal memainkan peranan penting bagi awal
gerakan yang akan dilakukan oleh PKI dan bermuara di Lubang Buaya.

Suasana di Lubang Buaya menjelang malam hari kamis tanggal 30 oktober 1965 benar-benar sibuk.
Kesibukan itu karena berkumpulya berbagai pasukan bersenjata antara lain terdiri dari anggota-
anggota Brigif I Kodam V/Jaya, sukarelawan dan sukarelawati yang berasal dari Pemuda Rakyat Dan
Gerwani yang dinamakan SUKTA ( Sukarelawan TAKARI ). Kesibukan bertambah dengan kedatangan
kompi-kompi Yon 45/Diponegoro, Yon 530/Brawijaya, dan Men Cakrabirawa yang semuanya
tergabung dalam divisi yang mereka namakan Devisi Ampera. Lewat tengah malam memasuki
tanggal 1 oktober 1965 dini hari,dikala orang sedang tidur nyenyak, tepatnya pukul 03.30 dimulailah
penculikan terhadap mayjen Haryono MT, Deputy III/Men Pangad. Peristiwa ini terjadi dengan
tembakan pasukan yang berseragam Cakrabirawa. Mayjen Haryono dibawa lari dengan
meninggalkan bekas-bekas darah pada dinding kamar tidurnya dan dilantai. Pukul 04.00 penculikan
terhadap Jenderal A. H. Nasution, Menko Hankam/ KASAB. Jenderal Nasution Berhasil lolos, tetapi
ajudannya di bawah gerombolan G 30 S dan putri Jend Nasution mendapat luka-Luka
beratmendapat luka-luka berat tembakan yang kemudian meninggal. Bersamaan dengan itu,
Dilakukan pula penculikan terhadap Dr.J.Leimena Waperdam II. Dr.J.Leimena lolos, tetapi seorang
Penjaga anggota Brimob tewas. Pukul 04.25 penculikan terhadap Men/Pangad LetJen Achmad Yani,
Terjadi dengan pelepasan tembakan dan Letjen A.Yani diangkut dengan truk. Selanjutnya berturut-
turut Dilakukan penculikan terhadap BrigJen D.I Pandjaitan, Ass.IV Men/Pangad, MayJen S.
Parman,Ass. I Men/Pangad, dan Brigjen Sutoyo, Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Pada pukul
06.30 jaringan Telepon dan gedung RRI dikuasai. Pada pukul 07.20 mereka mengeluarkan siaran
melalui RRI pusat yang Pada pokoknya menyatakan bahwa G 30 S yang dikepalai oleh Kolonel
Untung telah melekukan Penangkapan terhadap perwira tinggi yang mereka namakan Dewan
Jenderal serta menduduki alat-alat Komunikasi dan objek-objek vital lainnya. Pada pukul 08.15
siaran ini diulang. Di markas Kostrad pada Pukul 08.00 Pangkostrad Mayjen Soeharto tlah
mempelajari dan menelaah sesuatu. Dan pada pukul 10.30 Kostrad sudah dapat melakukan
konsolidasi pasukan yang ada di Jakarta dan penarikan pasukan Yang digunakan G 30 S. Mayjen
Soeharto pada pukul 18.00 hari itu jiga menggerakan pasukan dua Yon 328/ Para Kujang menjaga di
jalan depan RRI dan sisanya dipersiapkan untuk gerakan ke Halim.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari Sejarah panjang mengenai dinamika politik pada masa orde lama di Indonesia yang
berhubungan Dengan praktek politik berdasar demokrasi muncul semenjak dikelurkannya Maklumat
Wakil Presiden No.X, 3 November 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik.
Perkembangan Demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer dicirikan oleh distribusi
kekuasaan yang Khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan
ceremonial, sementara Kekuasaan pemerintah yang nyata dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet
dan parlemen. Kegiatan Partisipasi politik di masa itu berjalan dengan hingar bingar, terutama
melalui saluran partai politik yang Mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai
primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, demikian, masa itu ditandai oleh
terlokalisasinya proses politik dan formulasi kebijakan pada Segelintir elit politik semata, hal tersebut
ditunjukan pada rentang 1945-1959 ditandai dengan adanya Tersentralisasinya kekuasaan pada
tangan elit-elit partai dan masyarakat berada dalam keadaan Terasingkan dari proses politik.

Namun pada akhirnya masa tersebut mengalami kehancuran setelah adanya perpecahan antar-elit
dan Antar-partai politik di satu sisi dan pada sisi yang lain adalah karena penentangan dari Soekarno
dan Militer terhadap distribusi kekuasaan yang ada, terlebih Bung Karno sangat tidak menyukai jika
dirinya Hanya dijadikan Presiden simbolik. Perpecahan yang terjadi diantara partai politik yang
diperparah oleh Konflik tersembunyi antara kekuatan partai dengan Bung Karno dan Militer, serta
adanya Ketidakmampuan sistem cabinet dalam merealisasikan program-programnya dan mengatasi
potensi Perpecahan regional, telah membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer oleh krisis
integrasi Dan stabilitas yang parah. Pada keadaan inilah Bung Karno memanfaatkan situasi dan pihak
militer untuk Menggeser tatanan pemerintahan ke arah demokrasi terpimpin pun ada di depan
mata. Dengan adanya Konsepsi Presiden tahun 1957, direalisasikannya nasionalisasi ekonomi, dan
berlakunya UU darurat, Maka pintu ke arah Demokrasi terpimpin pun dapat diwujudkan seperti apa
yang telah dia idam-Idamkan. Mengenai demokrasi terpimpin yang sudah di depan mata Bung
Karno. Jelas permasalahan Dari demokrasi terpimpin sendiri kita ketahui adalah berubahnya peta
distribusi kekuasaan. Kekuasaan Yang semula terbagi dalam sistem parlementer berubah menjadi
kekuasaan yang terpusat (sentralistik) Pada tangan Bung Karno, dan secara signifikan diimbangi oleh
peran dan kekuasaan PKI dan Angkatan Darat. Dan akhirnya menjadi blunder bagi Bung Karno
sendiri dengan adanya peristiwa pemberontakan PKI tanggal 30 september 1965 dalam
kepemerintahannya. Setelah itu terjadi penyerahan kekuasaan Dari Orde Lama ke Orde Baru.

Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960-an menandai
tumbuhnya Harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini,
banyak kalangan Berharap akan terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokrasi. Salah
satu harapan Dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara
negara dan Masyarakat.

Daftar pustaka

Sejarah Nasional Indonesia Dan Dunia untuk Kelas XII SMA Program IPS.

Anda mungkin juga menyukai