Sekar Intias h0107082
Sekar Intias h0107082
id
Skripsi
Disusun oleh :
SEKAR INTIAS
H0107082
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Skripsi
Untuk memenuhi sebagai persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Disusun oleh :
SEKAR INTIAS
H0107082
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2012
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS Ir. Sri Nyoto, MS Ir. Amalia Tetrani Sakya, MS.MPhil
NIP. 196107171986011001 NIP. 195708031985031001 NIP. 196607181991032003
commit to user
ii
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaannnya
kepada penulis sehingga penyusunan skripsi dengan judul ”Pengaruh pemberian
berbagai konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap pembentukan kalus purwoceng
(Pimpinella pruatjan molkenb) secara in-vitro”
dapat terselesaikan dengan baik tanpa halangan yang berarti. Penulis
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu. Terima kasih
penulis ucapkan kepada pihak-pihak antara lain :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian
UNS.
2. Dr.Ir. Pardono., MS selaku Ketua Jurusan Program Studi Agronomi FP UNS.
3. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Dosen Pembimbing Utama Skripsi atas
segala bimbingan, masukan, dan pengarahan demi lebih baiknya skripsi ini.
4. Ir. Sri Nyoto, MS selaku Dosen Pembimbing Pendamping Skripsi, terima
kasih atas masukan maupun koreksinya dalam penulisan skripsi ini.
5. Ir. Amalia Tetrani Sakya, MS.MPhil, MP selaku Dosen Pembahas yang telah
memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Ir. Maidatun K. Himawati, MP, selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan
dan masukannya selama kuliah, penelitian, dan skripsi ini.
7. Keluarga tercinta : Bapak, Ibu, Rosario Jenias, Sintia Christy, selalu memberi
semangat dan doa yang tidak pernah putus.
8. Mas Bangkit dan Mbak Triana yang selalu dukung dalam sprit untuk terus
sama Tuhan Yesus dan keluarga besar Jubilee Solo-Sragen
9. Teman-teman Agronomi angkatan 2007 dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Demikian, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
commit to user Surakarta, Januari 2012
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Penulis
DAFTAR ISI
iii
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
RINGKASAN .................................................................................................... ix
SUMMARY ....................................................................................................... x
I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
A. Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan) ............................................. 5
B. Kultur In Vitro ........................................................................................... 6
C. Zat Pengatur Tumbuh ............................................................................... 8
D. Hipotesis.................................................................................................... 9
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 10
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 10
B. Bahan dan Alat Penelitian ......................................................................... 10
1. Bahan Penelitian ................................................................................. 10
2. Alat Penelitian ..................................................................................... 10
C. Cara Kerja Penelitian ................................................................................ 10
1. Rancangan Penelitian .......................................................................... 10
2. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 11
3. Variabel Pengamatan .......................................................................... 13
commit to user
4. Analisis Data ....................................................................................... 14
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
commit to user
vivi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
commit to user
vii
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
viii
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sekar Intias1
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS2, Ir. Sri Nyoto. MS3
ABSTRAK
commit to user
ixix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sekar Intias1
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS2, Ir. Sri Nyoto. MS3
ABSTRACT
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id 1
digilib.uns.ac.id
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai tanaman obat atau ramuan herbal telah lama digunakan
berbagai suku bangsa. Tidak saja sebagai bahan obat untuk penyakit (terapi),
tetapi juga meliputi penguat tubuh (roburansia), penguat seks, dan bahkan
pencegah kehamilan baik pada perempuan ataupun pria. Meski banyak negara
Asia, termasuk Indonesia, mempunyai sejarah panjang dengan tanaman obat,
Cina lebih dikenal karena mempunyai dokumentasi tertulis.
Salah satu tanaman obat yang terdapat di Indonesia adalah purwoceng.
Menurut Darwati dan Roostika (2006), purwoceng (Pimpinella pruatjan)
merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah
pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, gunung Pangrango
di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Tanaman purwoceng
tidak tumbuh dengan baik di semua tempat.
Keterbatasan tempat budidaya purwoceng ini, karena tanaman
purwoceng hanya bisa tumbuh di dataran tinggi. Tanaman purwoceng dapat
tumbuh pada ketinggian sekitar 1800- 3000 mdpl (Yuhono, 2004). Purwoceng
sampai saat ini diperkirakan hanya terdapat di dataran tinggi Dieng dan
semakin dikenal keberadaannya karena khasiat yang dimilikinya.
Khasiat dari tanaman purwoceng dibuktikan awalnya dari
penduduk/petani di dataran tinggi Dieng yang setiap habis bekerja keras,
kemudian mengkonsumsi air seduhan purwoceng dengan air panas. Tujuan
awalnya untuk menjaga supaya kesehatannya terpelihara, tidak masuk angin
dan sekedar untuk meningkatkan derajat kesehatan. Tetapi kemudian terjadi
pergeseran kesan (image), bahwa tanaman purwoceng mengandung senyawa
yang bersifat aprodisiak (Yuhono, 2004).
Hernani (1990) memaparkan bahwa seluruh bagian tanaman
purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Akarnya
kandungan yang digunakan sebagai afrodisiak yaitu khasiat suatu obat yang
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id
kelompok auksin yaitu 2,4-D atau IAA, maka harus ditambahkan pula hormon
dari kelompok sitokinin yaitu kinetin atau BAP (Suryowinoto, 1996).
B. Perumusan Masalah
Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah
untuk mendapatkan bibit purwoceng dalam jumlah banyak dalam waktu yang
singkat. Dalam pembentukan kalus secara kultur jaringan dibutuhkan adanya
zat pengatur tumbuh. Penggunaan modifikasi zat pengatur tumbuh dapat
menjadi faktor penentu keberhasilan kultur jaringan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan dikaji pengaruh penggunaan berbagai konsentrasi 2,4-D
dan BAP terhadap induksi kalus secara in vitro. Berdasarkan uraian di atas,
maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu masalah yaitu berapakah
konsentrasi 2,4-D dan BAP yang tepat pada pembentukan kalus purwoceng
secara in vitro.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui konsentrasi 2,4-D yang tepat pada pembentukan kalus
purwoceng?
2. Untuk mengetahui konsentrasi BAP yang tepat pada pembentukan kalus
purwoceng?
3. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP untuk
pembentukan kalus purwoceng secara in vitro?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id
5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id
B. Kultur Jaringan
Kemajuan teknologi yang didasarkan pada teknik in vitro atau kultur
jaringan sangat nyata dampaknya dalam peningkatan kualitas dan produksi
pada komoditas pertanian. Kultur jaringan tersebut mempunyai dua kegunaan
utama. Pertama adalah untuk perbanyakan cepat dalam jumlah yang banyak
dan seragam sesuai induknya, dan kedua untuk menghasilkan kultivar-kultivar
baru yang unggul dalam perbaikan tanaman. Sedikitnya terdapat lima aplikasi
kultur jaringan dalam bidang pertanian, yaitu : (1) untuk memproduksi bahan-
bahan farmasi dan produk alami lainnya, (2) perbaikan sifat genetik tanaman,
(3) memperoleh klon yang bebas penyakit sistemik, (4) pelestarian plasma
nutfah (Mattjik, 2005).
Hendaryono dan Wijayani (1994) mengemukakan bahwa kultur
jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan
jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan
yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya
kecil-kecil.
Bagian tanaman yang akan dikulturkan disebut eksplan. Eksplan bisa
berupa mata tunas, anthera, commit
batang, to user dan akar yang masih muda dan
daun,
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id
terdiri dari sel-sel meristematis, yang mana sel-selnya masih aktif membelah-
belah dan apabila dikulturkan pada media yang sesuai secara in vitro, maka
eksplan tersebut akan tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak
(Nugroho dan Sugito, 2004).
Selain faktor dalam yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan,
faktor luar juga sangat berpengaruh, seperti yang dikatakan Widiastoety dan
Purbadi (2003) bahwa keberhasilan pertumbuhan sel, jaringan, dan organ pada
kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh hubungan timbal balik antara tanaman
dan faktor lingkungan, seperti komposisi dan pH media, cahaya, suhu,
kelembaban, dan kadar oksigen. Selain itu, ketekunan pengalaman dan
keahlian serta sarana yang memadai dapat meningkatkan persentase jaringan
yang tumbuh.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit
dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan
mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik
dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak
terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan
jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih
terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan
perbanyakan konvensional. Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan
tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah: pembuatan media, inisiasi,
sterilisasi, multiplikasi, pengakaran, aklimatisasi (Hendaryono dan Wijayani,
1994).
commit
menghambat dan merubah proses to user
fisiologi tumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
D. Hipotesis
Penggunaan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP memberikan
pengaruh untuk pembentukan kalus purwoceng secara in vitro.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id
51
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
B. Kultur Jaringan
Kemajuan teknologi yang didasarkan pada teknik in vitro atau kultur
jaringan sangat nyata dampaknya dalam peningkatan kualitas dan produksi
pada komoditas pertanian. Kultur jaringan tersebut mempunyai dua kegunaan
utama. Pertama adalah untuk perbanyakan cepat dalam jumlah yang banyak
dan seragam sesuai induknya, dan kedua untuk menghasilkan kultivar-kultivar
baru yang unggul dalam perbaikan tanaman. Sedikitnya terdapat lima aplikasi
kultur jaringan dalam bidang pertanian, yaitu : (1) untuk memproduksi bahan-
bahan farmasi dan produk alami lainnya, (2) perbaikan sifat genetik tanaman,
(3) memperoleh klon yang bebas penyakit sistemik, (4) pelestarian plasma
nutfah (Mattjik, 2005).
Hendaryono dan Wijayani (1994) mengemukakan bahwa kultur
jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan
jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan
yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya
kecil-kecil.
Bagian tanaman yang akan dikulturkan disebut eksplan. Eksplan bisa
berupa mata tunas, anthera, commit
batang, to user dan akar yang masih muda dan
daun,
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
terdiri dari sel-sel meristematis, yang mana sel-selnya masih aktif membelah-
belah dan apabila dikulturkan pada media yang sesuai secara in vitro, maka
eksplan tersebut akan tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak
(Nugroho dan Sugito, 2004).
Selain faktor dalam yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan,
faktor luar juga sangat berpengaruh, seperti yang dikatakan Widiastoety dan
Purbadi (2003) bahwa keberhasilan pertumbuhan sel, jaringan, dan organ pada
kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh hubungan timbal balik antara tanaman
dan faktor lingkungan, seperti komposisi dan pH media, cahaya, suhu,
kelembaban, dan kadar oksigen. Selain itu, ketekunan pengalaman dan
keahlian serta sarana yang memadai dapat meningkatkan persentase jaringan
yang tumbuh.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit
dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan
mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik
dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak
terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan
jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih
terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan
perbanyakan konvensional. Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan
tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah: pembuatan media, inisiasi,
sterilisasi, multiplikasi, pengakaran, aklimatisasi (Hendaryono dan Wijayani,
1994).
commit
menghambat dan merubah proses to user
fisiologi tumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
A. Hipotesis
Penggunaan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP memberikan
pengaruh untuk pembentukan kalus purwoceng secara in vitro.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
12
2 g. Larutan tersebut diaduk serta didihkan dengan menggunakan magnetic stirer dan
hot plate. Setelah mendidih, larutan tersebut dituangkan ke botol kultur ± 25 ml setiap
botolnya. Botol ditutup dengan plastik PP 0,4 mm dan diikat dengan karet. Media
disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121oC, tekanan 1,5 kg/cm3 selama 45 menit.
Setelah itu, botol-botol ditempatkan pada rak-rak kultur.
4) Sterilisasi eksplan dan penanaman
Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah tangkai daun tanaman
purwoceng. Eksplan dicuci dengan deterjen sampai bersih dan dibilas dengan air
mengalir, kemudian direndam dalam campuran larutan Dithane 3 gr dan Agrept 2 gr
selama 6 jam dan dibilas dengan aquadest steril.
Penanaman eksplan dilakukan di dalam LAFC (Laminar Air Flow Cabiner)
yang telah dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70 % dan ruang LAFC
disemprot spirtus. Penanaman diawali dengan mendekatkan mulut botol kultur
dengan bunsen. Selama penanaman mulut botol kultur harus berada dekat dengan
lampu bunsen guna mencegah kontaminasi. Eksplan yang telah steril dibawa ke
dalam LAFC dan disterilisasi dalam larutan bayclin 20 %+air 80 % selama 5 detik,
setelah itu dimasukkan larutan alkohol 20 %+air 80 % selama 5 detik kemudian
ditanam dalam botol kultur dan kemudian ditutup kembali dengan plastik PP 0,4 mm.
Botol-botol yang telah selesai diberi label sesuai dengan perlakuan dan tanggal
penanaman.keadaan dalam botol harus benar-benar panas (memegang botol dengan
sarung tangan).
5) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalisasi resiko kontaminasi dengan cara
menyemprotkan spirtus ke botol-botol kultur setiap 2 hari sekali serta mengeluarkan
botol-botol kultur yang terkontaminasi dari ruang inkubasi.
3. Variabel Pengamatan
a. Saat muncul kalus
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan menghitung hari saat muncul kalus
pertama kali yang dinyatakan dalam HST (hari setelah tanam). Ditandai dengan
adanya pembengkakan atau munculnya jaringan berwarna putih kehijauan pada
permukaan eksplan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1113
b. Warna Kalus
Pengamatan warna kalus dilakukan pada akhir pengamatan 90 HST (Hari Setelah
Tanam) dengan mengamati secara visual. Penentuan warna kalus ditetapkan
berdasarkan Keterangan warna kalus: hijau, putih, kuning, kuning kecoklatan, dan
coklat
c. Tekstur Kalus
Pengamatan tekstur kalus dilakukan pada akhir pengamatan 90 HST (Hari
Setelah Tanam) dengan mengamati tekstur kalus yang terbentuk, apakah termasuk
kalus yang kompak atau remah.
d. Saat muncul akar
Pengamatan saat muncul akar dilakukan dengan menghitung hari sejak
penanaman sampai muncul akar, dinyatakan dalam HST. Ditandai dengan adanya
tonjolan-tonjolan putih kekuningan (± 2 mm) pada permukaan eksplan bagian bawah.
e. Jumlah akar
Jumlah akar diamati dengan cara menghitung total akar dalam setiap eksplan
yang tumbuh, dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 90 HST (Hari Setelah Tanam).
f. Saat muncul tunas
Pengamatan saat muncul tunas dilakukan dengan menghitung hari saat muncul
tunas pertama kali, dinyatakan dalam HST. Terbentuknya tunas ditandai dengan
adanya tonjolan berwarna kehijauan (± 2 mm) pada permukaan eksplan bagian atas.
g. Jumlah Tunas
Jumlah tunas diamati pada akhir pengamatan 90 HST (Hari Setelah Tanam),
dilakukan dengan menghitung jumlah tunas yang muncul dari permukaan eksplan.
h. Saat Muncul Daun
Pengamatan saat munculnya daun dilakukan dengan menghitung jumlah hari
sejak penanaman sampai terbukanya daun secara sempurna. Dinyatakan dalam HST.
i. Jumlah daun
Jumlah daun diamati dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk pada
plantlet, dilakukan pada akhir pengamatan 90 HST (Hari Setelah Tanam).
j. Jumlah plantlet
Jumlah plantlet diamati dengan menghitung jumlah plantlet yang terbentuk,
dilakukan pada akhir pengamatan 90 HST (Hari Setelah Tanam).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
14
4. Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh disajikan secara deskriptif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
tanaman dibutuhkann pemilihan perbandingan auksin, sitokinin, dan suplemen yang tepat,
karena hal ini akan menetukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman baru
(Nurwahyuni et al., 1994).
Eksplan yang dipilih pada penelitian kali ini yaitu tangkai daun purwoceng. Karena
menurut Nurwahyuni (2002) bahwa pertumbuhan kalus pada eksplan semakin meningkat apabila
tulang-tulang daun apalagi tangkai daun yang mengandung berkas/jaringan pengangkut, hal ini
disebabkan oleh karena pada jaringan pengangkut tersebut terdapat nutrien yang lebih banyak
bila dibandingkan dengan jaringan daun yang tidak mempunyai jaringan pengangkut
mengakibatkan pemacuan pertumbuhan kalus tidak meningkat
Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal, dan
pembentukan kalus. Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara
alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan (George et al., 2007).
Sementara sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan mengatur pembelahan sel serta
mempengaruhi diferensiasi tunas.
Auksin dan sitokinin yang digunakan dalam teknik in vitro purwoceng ini yaitu auksin (2,4-D)
dan sitokinin (BAP). Penggunaan 2,4-D pada teknik in vitro kali ini karena menurut Meneses et
al., (2005) dalam Lestari, E.G. dan Rosa, Y (2008) bahwa 2,4-D merupakan golongan auksin
yang sering digunakan untuk menginduksi pembentiukan kalus embriogenik. BAP merupakan
sitokinin yang dapat merangsang pembentukan tunas (Nurhayati, 2002).
A. Saat Muncul Kalus
Munculnya kalus ditandai dengan membengkaknya eksplan dan munculnya bercak-
bercak putih. Bagian eksplan yang membentuk kalus, menurut Suryowinoto (1996)
disebabkan karena sel-sel yang kontak dengan media terdorong untuk menjadi meristematik
dan selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka.
Tabel 1. Saat muncul kalus eksplan purwoceng pada berbagai konsentrasi 2,4-D dan BAP
(HST)
2,4-D BAP (ppm)
(ppm) 0 0,5 1,0 1,5
0 ~ ~ ~ ~
0,25 43 ~ 39 ~
0,5 29 27 19 25
0,75 19 19 19 19
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
Kemampuan suatu organ tanaman untuk memunculkan kalus sangat ditentukan oleh
media yang digunakan dan komposisi zat pengatur tumbuh dalam media. Winata (1987)
menyatakan bahwa dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur
jaringan tanaman yaitu auksin dan sitokinin. Dalam hal ini zat pengatur tumbuh yang biasa
digunakan untuk perkembangan kalus yaitu 2,4-D.
Hasil penelitian menunjukkan kombinasi antara perlakuan 2,4-D dan BAP terhadap
saat muncul kalus (Tabel 1) menunjukkan perlakuan tanpa adanya pemberian 2,4-D (0 ppm)
mengakibatkan eksplan purwoceng tidak menunjukkan adanya pembentukan dan
pertumbuhan kalus. Hal ini diduga tanpa adanya penambahan konsentrasi zat pengatur
tumbuh 2,4-D, eksplan tidak mampu membentuk kalus.
Hasil yang sama juga ditemui pada proses induksi kalus untuk keladi tikus
membutuhkan pasokan auksin eksogen yang cukup tinggi (1 mg/l), karena diduga
kandungan auksin endogen dalam jaringan tanaman rendah (Syahid, 2007). Pembentukan
kalus membutuhkan jumlah zat pengatur tumbuh yang cukup (Gunawan, 1997). Auksin
mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal, dan pembentukan kalus.
Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak
mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan (George et al., 2007).
Tabel 1. menunjukkan adanya penambahan 2,4-D (0,25 ppm) yang dikombinasikan
dengan BAP (0 ppm) dapat memunculkan kalus dengan waktu yaitu 43 HST yang disusul
oleh kombinasi antara perlakuan 2,4-D (0,25 ppm) dengan BAP (1 ppm) yaitu 39 HST,
sedangkan pada perlakuan 2,4-D (0,25 ppm) dengan BAP (0,5 ppm) dan 2,4-D (0,25 ppm)
dengan BAP (1,5 ppm) tidak menunjukkan adanya kemunculan kalus. Maka dari itu, dalam
penambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin) perlu adanya
keseimbangan konsentrasi yang tepat, sehingga kinerja dari auksin serta sitokinin dapat
bekerja secara sinergis. Seperti pernyataan Davies (1993) dalam Nurhayati (2002) bahwa
didalam tubuh tanaman zat pengatur tumbuh tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi saling
berinteraksi yang dicirikan adanya perkembangan tanaman.
Auksin dan sitokinin yang cukup dan seimbang dibutuhkan dalam kultur in vitro
karena auksin seperti 2,4-D dapat meningkatkan daya aktifitas dalam memacu pembelahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
sel. Pemberian sitokinin konsentrasi rendah dalam media yang mengandung auksin dapat
membantu inisiasi kalus (Wattimena, 1988 dalam Limas, 2011).
Kombinasi penambahan zat pengatur tumbuh yang tepat untuk memunculkan kalus
tercepat yaitu pada kombinasi antara perlakuan 2,4-D dengan BAP terhadap saat muncul
kalus (Tabel 1) menunjukkan saat tumbuh kalus tercepat pada perlakuan 2,4-D (0,75 ppm)
yang dikombinasikan dengan BAP (0-1,5 ppm) dan juga pada perlakuan 2,4-D (0,25 ppm)
dengan BAP (1,0 ppm) yaitu 19 HST. Penambahan zat pengatur tumbuh yang tepat
menyebabkan kalus muncul lebih cepat pada eksplan tangkai daun purwoceng. Menurut
Nurhayati (2002), bahwa pembentukan kalus organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat
dari zat pengatur tumbuh. Sama halnya juga dengan penelitian arum pada perlakuan BAP (2
ppm) dan 2,4-D (0,25 ppm) merupakan kombinasi konsentrasi optimal yang mampu
menginduksi kalus jarak pagar tercepat yaitu 5,67 HST (Andaryani, 2010).
B. Warna Kalus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan eksplan yang membentuk kalus
mulai terlihat pada salah satu sisi potongan tangkai daun (eksplan) dan terus membesar
hingga akhir pengamatan 90 HST. Tapi pada beberapa eksplan, kalus yang terbentuk tidak
bertambah besar. Pada penelitian ini warna kalus purwoceng yang terbentuk sampai umur 90
HST beraneka macam mulai dari hijau, putih, kuning, kuning kecoklatan, dan coklat.
Tabel 2. Warna Kalus eksplan purwoceng pada berbagai konsentrasi 2,4-D dan BAP 90
HST
2,4-D BAP (ppm)
(ppm)
0 0,5 1,0 1,5
0 ~ ~ ~ ~
0,25 0 ~ 3 ~
0,5 2 3 3 4
0,75 1 3 3 4
Keterangan warna kalus :
(~) = tidak muncul kalus, 0 = hijua 1 = putih 2 = kuning 3 = kuning kecoklatan 4 = coklat
Pada kombinasi perlakuan 2,4-D (0,25 ppm) dengan tanpa BAP mengakibatkan kalus
berwarna hijau. Setelah itu kalus pun mengalami proliferasi lagi dengan diberikan 2,4-D dan
BAP yang semakin tinggi konsentrasinya yang mengakibatkan kalus berubah warna menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
coklat setelah itu hitam sampai akhirnya kalus tidak mengalami pertumbuhan dan mati
seperti perlakuan 2,4-D (0,5 ppm) dengan BAP (1,5 ppm) dan perlakuan 2,4-D (0,75 ppm)
dengan BAP (1,5 ppm). Berbeda dengan warna pada perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan
BAP (0 ppm) berwarna putih dan perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0,5 ppm)
didapat warna kalus kuning kecoklatan. Kalus akan menunjukkan warna kuning dan akan
berubah menjadi kecoklatan seiring dengan pertumbuhan kalus yang semakin tua. Warna
coklat secara umum menunjukkan keadaan kalus tanaman mahkota dewa yang sel-selnya
telah mati (Dwiyono, 2009) serta penelitian Widyarso (2010) bahwa pada perlakuan BAP (3
ppm) dengan IBA (1 ppm) menghasilkan warna kalus coklat.
C. Tekstur Kalus
Menurut Kreunger et al., (1995) dalam Sitinjak, R.R et al., (2006). kultur jaringan
memiliki potensi yang besar sebagai cara propagasi vegetative bagi tumbuhan. Regenerasi
tumbuhan dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dilakukan melalui
embriogenesis somatik secara tidak langsung. Embriogenesis somatik merupakan proses
pembentukan embrio dari sel somatik melaui proses perkembangan non seksual (Stasolla et
al., 2002 dalam Sitinjak R.R et al., 2006).
Tabel 3. Tekstur kalus eksplan purwoceng pada berbagai konsentrasi 2,4-D dan BAP pada
akhir pengamatan 90 HST
2,4-D BAP (ppm)
(ppm) 0 0,5 1,0 1,5
0 ~ ~ ~ ~
0,25 Remah ~ Kompak ~
0,5 Remah Remah Kompak Kompak
0,75 Remah Remah Kompak Kompak
Keterangan tekstur kalus : ~ = Tidak Muncul Kalus
1 = remah 2 = kompak
Kalus mulai tumbuh pada bagian eksplan bekas luka yang merupakan pinggiran yang
bersentuhan langsung dengan media, dan selanjutnya pertumbuhan meluas keseluruh
permukaan eksplan. Sehingga lama-kelamaan kalus tersebut menampilkan kualitasnya lewat
tekstur dan warna kalus hingga dapat diamati secara visual pada akhir pengamatan 90 HST.
Kualitas suatu kalus tentunya dapat dilihat berdasarkan penampakan tekstur dan warnanya
berbeda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa kombinasi antara perlakuan 2,4-
D dan BAP terhadap tekstur kalus (Tabel 3) menunjukkan pemberian kombinasi konsentrasi
2,4-D (0,25-0,75 ppm) dengan BAP (0-0,5 ppm) secara umum memberikan tekstur kalus
remah, sedangkan kombinasi antara perlakuan 2,4-D dan BAP terhadap tekstur kalus (Tabel
3) menunjukkan pemberian kombinasi konsentrasi 2,4-D (0,25-0,75 ppm) dengan BAP (1,0-
1,5 ppm) secara umum memberikan tekstur kalus kompak. Hal ini dikarenakan semakin
meningkatnya BAP maka tekstur kalus semakin kompak. Purwito (2005) mengatakan pada
umumnya peningkatan konsentrasi BAP akan meningkatkan ukuran kalus dimana kalus
yang dihasilkan umumnya bersifat yang kompak.
Pertumbuhan kalus yang baik dicirikan dari penampakan kalus yang berwarna
bening/keputihan dan mempunyai struktur yang remah. Wiedenfeld (1997) dalam Anniasari,
Tanjung Dewi (2010) mengatakan tekstur kalus yang kompak dan terjadi perubahan warna
kekuningan atau kehijauan, mengindikasikan terjadinya diferensiasi sel. Sehingga pada
penelitian ini dapat dikatakan kombinasi antara perlakuan 2,4-D dan BAP yang optimal
terjadi pada pemberian kombinasi konsentrasi 2,4-D (0,25-0,75 ppm) dengan BAP (0-0,5
ppm) dengan kalus bertekstur remah.
Membandingkan kalus yang satu dengan kalus yang lain dari hasil penelitian ini
merupakan parameter yang sangat penting karena dapat mengetahui variasi kombinasi zat
pengatur tumbuh yang tepat dalam pembentukan kalus yang berkualitas. Kualitas suatu
kalus tentunya dapat dilihat berdasarkan penampakan tekstur dan warnanya berbeda.
Gambar 1. Kalus pada kombinasi perlakuan 2,4-D (0,5 ppm)+BAP (1,0 ppm)
Pemberian 2,4-D dan BAP pada setiap perlakuan sangat berpengaruh pada warna dan
tekstur kalus. Dimana pemberian auksin tunggal dengan konsentrasi 2,4-D (0,25 ppm) dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
memunculkan sedikit kalus pada eksplan yang luka dengan warna hijau bertekstur remah.
Kalus dinyatakan sebagai suatu massa sel yang pertumbuhannya tidak terorganisasi sehingga
tampak seperti gumpalan berwarna putih, kuning, atau hijau (Prihatmanti dan Nurhayati,
2004). Peningkatan konsentrasi 2,4-D (0,5 ppm) dengan BAP (0,5-1,5 ppm) menghasilkan
kalus menjadi banyak, bertekstur kompak dan berwarna kuning sampai coklat seperti pada
perlakuan 2,4-D (0,5 ppm) dengan BAP (1,0 ppm) menghasilkan ukuran kalus terbanyak,
berwarna kuning kecoklatan dan kompak. Pada umumnya peningkatan konsentrasi BAP
akan meningkatkan ukuran kalus dimana kalus yang dihasilkan umumnya bersifat kompak
(Purwito et al., 2000).
Perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0 ppm) didapat kalus bertekstur remah dan
berwarna putih serta dapat memunculkan akar, baik secara langsung dari ekplan maupun
tidak langsung. Pada perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0 ppm) dapat dikatakan
optimal dengan melihat kualitas kalus karena pada perlakuan ini dengan adanya kombinasi
konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dan seimbang, eksplan tidak hanya dapat
mengalami dediferensiasi saja menjadi kalus yang baik tetapi kombinasi konsentrasi ini
mampu mendiferensiasikan eksplan menjadi akar dan kalus tumbuh menjadi akar. Ini
tentunya baik untuk perkembangan kultur in vitro. Berbeda dengan perlakuan 2,4-D (0,75
ppm) dengan BAP (1,5 ppm) menghasilkan kalus kompak, berwarna coklat, ukuran kalus
menjadi sedikit dan tentunya lama-kelamaan mati. Ini menunjukkan bahwa dalam
pemberian 2,4-D dan BAP jangan melebihi batas optimal. Sama halnya juga pada penelitian
Sukamto (2000) dimana dengan adanya perlakuan peningkatan kombinasi Zeatin 1 mg/L
dan 2,4-D meningkatkan eksplan yang mati yaitu menjadi 70,37%.
16
2,4-D dan BAP memperlihatkan pertumbuhan (kemunculan) akar terlama pada saat umur
eksplan 35 HST.
Meskipun tidak ada penambahan zat pengatur tumbuh dari luar baik itu auksin
maupun sitokinin, eksplan purwoceng tetap mampu mendorong untuk memunculkan akar.
Hal ini membuktikan bahwa beberapa sel tanaman dapat tumbuh dan berkembang dan
selanjutnya beregenerasi menjadi tanaman baru dalam media tanpa hormon tumbuh. Dengan
demikian, tanpa suplai auksin dan sitokinin secara eksogen, akar tanaman akan tetap tumbuh
dan memanjang (Ammirato, 1986 dalam Marlin, 2005). Justru dengan adanya penambahan
auksin dan sitokinin secara eksogen semakin tinggi membuat eksplan purwoceng tidak dapat
menumbuhkan akar bahkan pada beberapa perlakuan lainnya eksplan mengalami
dediferensiasi menjadi kalus. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Marlin (1998)
terhadap bawang putih bahwa semakin tinggi konsentrasi BA dan NAA yang ditambahkan
dalam medium kultur menyebabkan akar tanaman semakin pendek dan ukurannya tebal.
Kusumo (1984) dalam Azriati et al., (2006) mengatakan bahwa apabila auksin
diberikan melebihi kadar optimum pertumbuhan akar akan berkurang dan apabila diberikan
pada kadar yang lebih tinggi lagi menyebabkan pertumbuhan akar terhenti. Marlin (2005)
menambahkan adanya penambahan sitokinin (BAP) kedalam medium dapat menghambat
pemanjangan dan perkembangan akar.
Kemunculan akar pada penelitian kali ini ada 2 macam yaitu akar yang muncul
langsung dari eksplan dan akar yang muncul bukan dari eksplan. Akar yang muncul
langsung dari eksplan terdapat pada perlakuan A0B0 (2,4-D 0 ppm+BAP 0 ppm), A3B0
(2,4-D 0,5 ppm+BAP 0 ppm) dan A3B1 (2,4-D 0,75 ppm+BAP 0,5 ppm) sedangkan
kemunculan akar melalui kalus terlebih dahulu (yang muncul bukan dari eksplan) yaitu
kalus mengalami diferensiasi menjadi akar pada perlakuan A3B0 (2,4-D 0,5 ppm+BAP 0
ppm) dan A2B3 (2,4-D 0,5 ppm+BAP 1,5 ppm).
Kemunculan akar pada perlakuan 2,4-D (0,5 ppm) dengan BAP (1,5 ppm) yaitu 33
HST dan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0 ppm) yaitu 28 HST merupakan organogenesis
dari kalus sehingga akar yang terbentuk tidak terhubung dengan batang. Hasil terbaik untuk
kecepatan pembentukan akar ditujukan oleh interaksi 2,4-D 0,75 ppm dan BAP 0 ppm.
Dengan meningkatkan auksin (2,4-D) dan menurunkan sitokinin BAP maka eksplan akan
lebih memunculkan akar dan menekan munculnya tunas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
E. Jumlah akar
Dari berbagai jenis perlakuan terlihat adanya variasi pertumbuhan akar purwoceng
yang dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur. Pola
pertumbuhan akar tanaman bervariasi untuk kelompok perlakuan, jumlah akar yang paling
banyak ditemukan pada perlakuan A3B0 (2,4-D 0,75 ppm+BAP 0 ppm), diikuti oleh
perlakuan A2B3 (2,4-D 0,5 ppm+BAP 1,5 ppm), serta perlakuan A3B1 (2,4-D 1,5
ppp+BAP 0,5 ppm) dan A0B0 (2,4-D 0 ppm+BAP 0 ppm).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang dikulturkan pada media tanpa
penambahan 2,4-D dan BAP dalam waktu 90 HST memperlihatkan jumlah akar sebanyak 1
buah. Hal ini membuktikan bahwa sel akar umumnya mengandung cukup auksin untuk
pertumbuhan memanjang secara normal (Salisburry and Ross, 1992 dalam Marlin, 2005).
Hasil ini diperkuat juga oleh Ammirato (1986) dalam Marlin (2005) bahwa beberapa sel
tanaman dapat tumbuh dan berkembang dan selanjutnya beregenerasi menjadi tanaman baru
dalam media tanpa hormon tumbuh. Dengan demikian, tanpa suplai auksin dan sitokinin
secara eksogen, akar tanaman akan tetap mengalami perkembangan.
Pada akhir pengamatan 90 HST jumlah daun lebih banyak daripada jumlah akar yaitu
jumlah daun 7 sedangkan jumlah akar 1 pada perlakuan 2,4-D (0 ppm) dengan BAP (0
ppm), itu artinya pertumbuhan eksplan purwoceng lebih mengarah pada pertumbuhan tunas
daripada pembentukan akarnya. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa zat pengatur tumbuh
sitokinin dalam eksplan lebih banyak daripada auksin dan bekerja secara sinergis. Davies
(1993) dalam Nurhayati (2002) menyatakan bahwa didalam tubuh tanaman zat pengatur
tumbuh tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi saling berinteraksi yang dicirikan adanya
perkembangan tanaman.
Pada perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0 ppm) jumlah akar yang dihasilkan
langsung dari eksplan adalah 4, sedangkan jumlah akar yang berasal dari kalus menjadi akar
yaitu sebanyak 10. Pada perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 0,5 ppm jumlah akar yang
berasal dari eksplan adalah 2, sedangkan pada perlakuan 2,4-D 0,5 ppm dengan BAP 1,5
ppm memiliki jumlah akar yang berasal dari kalus adalah sangat banyak. Banyaknya jumlah
akar ditentukan oleh kandungan zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin) dalam tubuh
tumbuhan dan penambahan zat pengatur tumbuh secara eksogen. Pada dasarnya eksplan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
yang digunakan dalam penelitian kali ini sudah memiliki zat pengatur tumbuh endogen yang
cukup.
Halperin (1978) menyatakan bahwa adanya suplai sitokinin dalam media tanam
menyebabkan akar tidak berkembang. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian
Marlin (1998) terhadap bawang putih bahwa semakin tinggi konsentrasi BA dan NAA yang
ditambahkan dalam medium kultur menyebabkan akar tanaman semakin pendek dan ukuran
tebal. Selanjutnya pemberian BAP dan NAA pada taraf 1 ppm menyebabkan akar-akar
cenderung tidak berkembang baik, pendek dan tebal (Marlin dan Rohim, 2000).
A2B3 A3B1
Ket: : Akar yang tumbuh langsung dari eksplan
: Akar yang tumbuh dari kalus
A2B3 = penambahan 2,4 (0,5 ppm) dengan BAP (1,5 ppm), A3B1 = penambahan 2,4 (0,75 ppm) dengan
BAP (0,5 ppm)
Gambar 2. Jumlah akar yang terbentuk pada eksplan purwoceng
Pada gambar 2 akar terbentuk dari eksplan yang mengalami dediferensiasi menjadi
kalus dan kalus mengalami diferensiasi menjadi akar. Akar yang demikian tidak akan
berfungsi pada saat aklimatisasi (Purwito et al., 2000 dalam Purwito, 2005). Dodds (1987)
dalam Farid (2003) mengatakan kalus merupakan pertumbuhan yang tidak normal yang
berpotensi untuk membentuk akar, tunas dan embrio yang dapat membentuk tanaman. Akar
yang terbentuk dari kalus tanpa tunas tersebut lambat laun menjadi coklat atau kehitaman
dan akhirnya mati.
Adanya penambahan auksin secara eksogen mengakibatkan eksplan mampu
berdediferensiasi menjadi kalus, tumbuh membentuk akar. Wattimena et al., (1991)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
menambahkan bahwa untuk pertumbuhan akar hanya diperlukan auksin, tanpa sitokinin atau
sitokinin dalam konsentrasi yang rendah. Wattimena et al., (2000) dalam Yunus (2007)
menyatakan bahwa pada konsentrasi yang tinggi, sitokinin mampu mendorong profilerasi
tunas, sebaliknya menghambat pertumbuhan akar. Krikoria et al., (1987) dalam Marlin
(2005) menyatakan pula bahwa pada saat level auksin relative tinggi daripada taraf sitokinin,
maka morfogenesis jaringan akan lebih mengarah ke pembentukan akar.
16
anggrek semakin kecil. Serta sama halnya juga dengan Imelda et al., (2008) bahwa
peningkatan konsentrasi BAP menjadi 4 mg/L tidak meningkatkan jumlah tunas yang
terbentuk karena setelah mencapai kadar optimal, peningkatan kadar BAP menghambat
pertumbuhan/perpanjangan tunas.
Kelkar dan Krishnamoorthy (1998) menyatakan bahwa BAP untuk tahap
organogenesis, sedangkan rentang konsentrasi BAP yang digunakan tergantung spesies
tanaman yang diteliti, jenis eksplan, dan kondisi lingkungan kultur. Sehingga pada penelitian
tanaman purwoceng dapat dikatakan sudah cukup mengandung zat pengatur tumbuh
sitokinin sehingga eksplan mampu mendorong munculnya tunas serta didukung pula dengan
kondisi lingkungan pada kultur yang baik.
Regenerasi tanaman melalui organogenesis, ada dua macam yaitu organogenesis
langsung dan tidak langsung. Pada organogenesis langsung, tunas dapat terbentuk dari
potongan organ seperti daun atau batang dan akar, sedangkan pada organogenesis tidak
langsung, tunas yang terbentuk melalui tahapan pembentukan kalus (Zhang dan Lemaux,
2004 dalam Lestari, E.G. dan Rosa, Y., 2008). Sehingga dapat dikatakan eksplan purwoceng
mengalami organogenesis langsung karena eksplan langsung memunculkan tunas dengan
tanda tonjolan hijau.
G. Jumlah Tunas
Untuk mengetahui terjadinya diferensiasi suatu jaringan tanaman dalam kultur aseptik
dapat dilihat dari kemampuannya untuk berakar dan bertunas, salah satu kriterianya yaitu
dengan menghitung jumlahnya. Dengan adanya pertumbuhan tunas yang baik, maka akan
merangsang pertumbuhan vegetative yang baik untuk pertumbuhan selanjutnya (Farid,
2003).
Prihatmanti dan Nurhayati (2004) menambahkan tunas dinyatakan sebagai tonjolan
berbentuk krucut yang berwarna hijau atau ujungnya berwarna lebih hijau dengan panjang 1
mm dan selanjutnya memanjang atau mengeluarkan daun. Jumlah tunas yang diamati pada
akhir pengamatan yaitu 90 HST menunjukkan tunas sudah tumbuh memanjang menjadi
daun yaitu 7 buah. Hal tersebut dapat dijadikan parameter hasil terbaik untuk jumlah tunas
yang terbentuk diberikan hanya pada kombinasi 2,4-D (0 ppm) dengan BAP (0 ppm).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
Walaupun media kultur ini tanpa diberikan sitokinin untuk memacu pertumbuhan tunas
tetapi eksplan dapat mengalami pembelahan sel menjadi tunas.
Jumlah tunas yang banyak akan menghasilkan jumlah daun yang banyak pula. Diduga
kandungan sitokinin dalam jaringan tanaman telah optimum sehingga meskipun tanpa
adanya pemberian zat pengatur tumbuh sitokinin secara eksogen eksplan tetap mampu
terbentuk tunas. Dengan adanya sitikonin dalam jaringan tanaman, maka akan memacu
pembelahan sel dan menghilangkan dormansi yang diikuti oleh pertumbuhan tunas dan
batang (Prawiranata et al, 1981 dalam Farid, 2003).
Armini et al., (1992) yang menyatakan bahwa aplikasi sitokinin eksogen akan
menentukan arah pertumbuhan dari jaringan yang dikulturkan. Penelitian ini pada media
kultur yang diberikan zat pengatur tumbuh akibatnya menghambat eksplan memunculkan
tunas atau eksplan tidak mengalami kemunculan tunas. Sama halnya dengan Panjaitan,
(2005) didapat hasil penelitian bahwa semakin meningkatnya konsentrasi BAP, maka
pertambahan jumlah tunas planlet tanaman anggrek semakin kecil.
I. Jumlah Daun
Daun dinyatakan sebagai lembaran berwarna hijau baik yang masih menggulung
maupun telah terbuka (Prihatmanti dan Nurhayati, 2004). Pengaruh interaksi antara
perlakuan 2,4-D dan BAP menunjukkan jumlah daun terbanyak yaitu 7 buah pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
konsentrasi 2,4-D (0 ppm) dengan BAP (0 ppm). Sedangkan pengaruh 2,4-D dan BAP
dengan memberikan variasi kombinasi konsentrasi masing-masing zat pengatur tumbuh
mengakibatkan ekplan tidak dapat menghasilkan tunas untuk berkembang menjadi daun.
Ket : Daun
Gambar 3. Daun yang terbentuk pada eksplan dengan perlakuan tanpa 2,4-D dan BAP
Suyadi (2003), mengatakan semakin banyak tunas maka akan diikuti oleh
meningkatnya jumlah daun. Menurut Salisbury dan Ross (1992), primordia tidak
berkembang secara acak disekitar apeks tajuk, tetapi memiliki susunan yang khas yang
disebut filotaksis (tata letak daun). Tanda arah pembentukan daun adalah pembelokan sel di
salah satu dari ketiga lapisan terluar dari permukaan luar apeks tajuk. Dengan adanya
pertumbuhan tunas awal yang baik, maka akan merangsang pertumbuhan vegetative yang
baik untuk pertumbuhan selanjutnya.
Jumlah tunas yang banyak akan menghasilkan jumlah daun yang banyak pula. Selain
itu dengan adanya sitokinin dalam jaringan tanaman, maka akan memacu pembelahan sel
dan menghilangkan dormansi yang diikuti oleh pertumbuhan tunas dan batang (Prawiranata
et al., 1981). Justru dengan adanya penambahan sitokinin mengakibatkan eksplan terhambat
untuk menumbuhkan tunas. Sama halnya dengan hasil penelitian Yunus (2007) bahwa
kombinasi IAA dan kinetin tampak bersifat menghambat jumlah daun bawang merah karena
penambahan keduanya secara bersamaan pada masing-masing konsentrasi menghasilkan
jumlah daun yang lebih sedikit.
J. Jumlah Planlet
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
Jumlah planlet diamati dengan menghitung jumlah planlet yang terbentuk dilakukan
pada akhir pengamatan 90 HST hanya kombinasi perlakuan antara 2,4-D (0 ppm) dan BAP
(0 ppm) yang mampu mendorong eksplan membentuk planlet yaitu 1 planlet. Kemampuan
eksplan untuk multiplikasi tunas dan membentuk planlet diduga didalam ekplan sudah
cukup tersedia zat pengatur tumbuh endogen dengan proporsi sitokinin dan auksin yang
seimbang sehingga ekplan mampu terbentuk planlet yang baik.
Didalam tubuh tanaman zat pengatur tumbuh tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi
saling berinteraksi yang dicirikan dalam perkembangan tanaman. Dua golongan zat pengatur
tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan tanaman auksin dan sitokinin. George
and Sherington (1984) dalam Yunus, A. (2007) menyatakan bahwa auksin berpengaruh luas
terhadap pertumbuhan, merangsang, dan mempercepat pertumbuhan akar, serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas akar. Sedangkan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh
yang berperan mengatur pembelahan sel serta mempengaruhi diferensiasi tunas. Dengan
semakin meningkatnya pembelahan sel pada jaringan tanaman maka akan semakin
meningkat pula tinggi tanaman (George et al., 2007 dalam Kristina, N.N, 2009). Karena
adanya kerjasama yang sinergis antara auksin dan sitokinin di dalam ekplan purwoceng ini
maka akhirnya terbentuk planlet yang baik.
Planlet hanya terdapat pada perlakuan tanpa pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin
(BAP). Meskipun tidak ada pemberian zat pengatur tumbuh eksogen tetapi eksplan mampu
mengalami pertumbuhan dan perkembangan tunas sehingga dapat membentuk planlet
dengan penampilan yang baik. Sehingga tidak perlu lagi adanya pemberian zat pengatur
tumbuh eksogen karena justru dengan adanya pemberian zat pengatur tumbuh eksplan tidak
mampu untuk memunculkan tunas sebagai awal untuk terbentuknya suatu planlet. Berbeda
dengan pernyataan Azriati et al., (2006) bahwa pemberian sitokinin eksogen juga diperlukan
untuk mendorong organogenesis eksplan untuk membentuk planlet karena kemungkinan
sitokinin endogen tidak mencukupi untuk pembentukan planlet. Interaksi dan keseimbangan
antara zat pengatur tumbuh eksogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur.
Sama halnya dengan penelitian Nurhayati (2002) dikatakan bahwa peningkatan konsentrasi
BAP dari 0-0,25 mg/L nyata menghambat pertumbuhan tinggi planlet sedangkan planlet
tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa BAP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Kesimpulan
1. Kombinasi perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (0 ppm) paling baik dalam
menginduksi kalus.
2. Kombinasi perlakuan 2,4-D (0,75 ppm) dengan BAP (1,5 ppm) dapat menginduksi kalus
dengan warna coklat.
3. Kombinasi perlakuan 2,4-D (0,5 ppm) dengan BAP (1,0 ppm) dapat menginduksi kalus
dengan tekstur kompak.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu adanya penelitian kajian konsentrasi 2,4-D yang dipadukan dengan konsentrasi
sitokinin jenis lain untuk dapat menumbuhkan kalus pada eksplan tanaman purwoceng.
2. Perlu kajian macam eksplan yang lain dari tanaman purwoceng.
33
commit to user