Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LEGITIMITE PORTIE MASING-MASING AHLI WARIS


Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata
Kuliah Hukum Keluarga dan Waris BW, yang diampu oleh:
Neng Yani Nurhayati, S.H., M.H

Kelompok VI
Ai Fitriah Ikrimah (1193050008)
Fakhri muhammad ihsan (1193050039)
Fida Fauziyyah Pasya Atmaja (1193050043)
Gina Kurnia Mutmainah (1193050046)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat Menyusun makalah Hukum Waris BW yang berjudul
“LEGITIMITE FORTIE MASING-MASING HUKUM WARIS” tepat pada waktunya.

Penyusun makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan dukungan bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat mempelacar dalam penyusunannya. Untuk itu kami ucapkan terima kasih
kepada yang telah memberikan bimbingan kepada kami khususnya kepada dosen pembimbing
mata kuliah Hukum Keluarga dan Waris BW ibu Neng Yani Nurhayati, S.H., M.H Dan teman-
teman yang meluangkan waktu ini serta pihak yang telah membantu makalah ini sehingga kami
dapat menyelasikan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga
dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat
menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-
makalah selanjutnya.

Bandung, 15 November 2021

Penulis

i
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusn Masalah.............................................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................................3
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
TINJAUAN TEORITIS...............................................................................................................................4
BAB III.......................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
A. Pengertian Legitime Portie..............................................................................................................7
B. Ketentuan Umum Legitieme Portie Dalam Pewarisan.....................................................................8
C. Ahli Waris Yang Berhak atas Legitime Portie dan Pembagianya..................................................11
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial, selama hidup mempunyai tempat dalam masyarakat
dengan disertai berbagai hak dan kewajiban terhadap orang-orang dan anggota lain dari
masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Manusia
memiliki berbagai hubungan hukum antar manusia itu disuatu pihak dan dunia luar dan
sekitarnya dan lain pihak Apabila ada anggota masyarakat meninggal dunia maka tidak
dapat dikatakan seluruh hubungan-hubungan itu lenyap seketika itu juga, akan tetapi ada
hubungan hukum yang menyangkut dalam harta kekayaan orang yang meninggal dengan
sendirinya beralih kepada ahli waris yang ditinggalkannya. Oleh karena itu diperlukan
suatu cara penyelesaian peralihan hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seorang
yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.1
Apabila seseorang meninggal dunia maka dengan sendirinya akan timbul pertanyaan
apakah yang akan terjadi dengan hubungan-hubungan hukum tersebut, dan yang mungkin
akan erat sifatnya pada saat seseorang masih tersebut masih hidup, seperti bagaimana
pengurusan harta miliknya dan sebagianya.
Seseorang meningghal dunia, hal ini menimbulkan sebuah akibat hukum yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban bagi seseorang
yang telah meninggal dunia. Penyelesaian dan hak-hak dan kewajibansebagai sebab
adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum waris.2
Adanya pristiwa kematian sebagai dasar untuk menentukan ukuran terbukanya
warisan. Pengertian yang disebutkan “warisan”, yang dengan perkataan lain yang suatu
cara menyelesaikan perhubungan-perghubungan hukum dalam masyarakat, yang
melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seorang
manusia. 3
1
Wirjono Proddojodikoro, 1983, “Hukum Warisan Di Indonesia”, Sumur Bandung:Bandung hal. 11-13
2
Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, 2014 “Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan Menurut Hukum Waris
Islam Di Indonesia”, Citapustaka Media : Medan 2014, hal 2
3
Oemarsalim, 2000, “Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia”, Rineka Cipta : Jakarta, hal. 1-2

1
Pada dasarnya yang menjadi perdebatan adalah tentang harta peninggalan yang
ditingghalkan. Umumnya dalam pembagian harta peninggalan itu dapat diselesaikan
secara musyawarah, namun pabila timbul sengketa antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lainya, maka pembagian harta warisan itu baru dapat diselesaikan melalui
pengadilan.
Hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini, kita telah mengenal suatu hukum
yang disebut dengan hukum waris, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang doitinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya
bagi ahli wariwsnya.4
Unsur paksaan yang terdapat didalam hukum waris perdata misalnya ketentuan
tentang pemberian hak mutlak ( legitime portie) kepada ahli waris tertentu dari harta
warisan tertentu dari harta warisan dan ketentuan yang melarang pewaris telah membuat
ketetapan seperti menghibahkan bagian tertentu dari harta warisanya, maka penerima
hibah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta yang dihibahkan kepadanya
kedalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak ( legitime fortie) ahli waris yang
mempunya hak mutlak tersebut, dengan memperhatikan Pasal 1086 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, tentang hibah -hibah yang wajib inbreng ( pemasukan). 5 Jadi
harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu legitime portie dan
beskhikbaar (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat
dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkanya sewaktu ia masih hidup atau
mewariskanya.
Ahli waris yang memiliki bagian mutlak disebut juga legitimaris, artinya selama
ajli waris yang bagianya ditetapkan dalam surat wasiat tidak merugikan bagian mutlak
ahli waris legitimaris, wasiat tersebut bisa dilaksanakan, walaupun bagian mutlak ahli
waris legitimaris dirugikan oleh ahli waris testementair, maka harus dekembalikan ahli
waris legitimaris, ssuai dengan bagian yang seharusnya mereka dapatkan.
Dewasa ini, sedangkan waris sering sekali terjadi dan menimbulkan masalah
dalam keluarga kehidupan sehari-hari. Persengketaan warisan tersebut sering muncul
dikarenakan berbagai hal. Salah satyunya ialah karena terjadinya pembagian warisan atau
wasiat, atau hibah yang tidak merata oleh pewaris kepada ahli warisnya, yang kemudian
4
Efendi Peragin, 2014, “Hukum Waris”, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal, 3.
5
Ibid.

2
mendapatkan porsi yang seharusnya atau bagian mutlak (legitime portie) dari ahlki waris
terlanggar.

B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, maka penulis bermaksud membahas materi
yang terangkum dalam rumusan pembahasan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan legitime portie
2. Apa yang dimaksu ketentuan jumum legitime portie dan pewarisan
3. Siapa saja Ahli waris yang berhak atas legitime portie dan bagianya

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahu Apa yang dimaksud dengan legitime portie
2. Untuk mengetahui ketentuan umum legitime portie dan pewarisan
3. Untuk mengetahui Ahli waris yang berhak atas legitime portie dan bagiannya

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari pembuatan makalah ini diharapkan apat memberikan manfaat secara
teoriris dan praktis, yakni:
1. Secara teoritis hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan bahan-
bahan referensi yang dapat digunakan dalam menambahkan keputusan
pengetahuan.
2. Secara praktis hasil penulisan makalah ini diharapkan kelak dapat diterapkan
dalam pengambil kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum waris di Indonesia
secara khusus terutama dalam hal untuk menegakan legitime portie ahli waris
dan pewaris
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Hukum mengatur segala permasalahan di dalam kehidupan manusia salah satunya adalah
Hukum Waris. Semua manusia yang hidup pasti akan mengalami mati, setelah kematian
seseorang pasti timbul permasalahan tentang pembagian harta pewaris atau permasalahan yang
lainnya yang berkaitan juga dengan ahli waris. Burgelijk Wetboek atau dalam bahasa Indonesia
3
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menurut sejarah adalah berasal dari
Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Meskipun pada awalnya
diberlakukan bagi orang keturunan Belanda, namun setelah Indonesia merdeka masyarakat
Indonesia tetap menggunakan Burgelijk Wetboek untuk memecahkan masalah-masalah perdata.6
Menurut Pasal 913 Burgelijk Wetboek, bagian mutlak (legitieme portie) adalah suatu
bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut
undang-undang, terhadap bagian mana pewaris tidak diperbolehkan menguranginya dengan
suatu pemberian di masa hidup atau pemberian dengan wasiat.
Namun pewaris mempunyai hak/wewenang atas barang-barang yang semasa hidupnya
menjadi miliknya. Menurut pasal 874 Burgelijk Wetboek, suatu ketetapan yang sah yang diambil
oleh pewaris yang dimaksud testament didahulukan terhadap ketentuan pewarisan berdasarkan
Undang-Undang. Namun atas kemerdekaan pewaris, pembuat Undang-Undang membuat
beberapa perkecualian, yang tak lain berarti pembatasan-pembatasannya. Bahwa suatu bagian
sebanding tertentu dari hak waris ab-intestato mereka, tidak dapat diganggu gugat oleh pewaris,
baik melalui suatu tindakan hukum semasa pewaris masih hidup, maupun melalui testament,
kecuali atas persetujuan oleh yang bersangkutan. Bagian sebanding tertentu tersebut, yang
dijamin oleh Undang-Undang, disebut legitieme portie.
Hukum waris menurut Burgelijk Wetboek diatur dalam buku kedua bab 13, dalam Pasal
875 Burgelijk Wetboek, secara tegas dijelaskan pengertian tentang surat wasiat, yaitu: “Surat
wasiat atau testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”. Dalam
pembuatan surat wasiat ini harus memperhatikan ketentuan bahwa pembuat wasiat harus
menyatakan kehendaknya yang berupa amanat terakhir ini secara lisan maupun tulisan dihadapan
notaris dan saksi-saksi. Dalam surat wasiat, surat wasiat selalu dapat ditarik kembali oleh
pembuatnya. Hal ini disebabkan tindakan membuat surat wasiat adalah merupakan perbuatan.
Pewaris sebagai pemilik harta, mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang
dikehendaki atas hartanya. Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak
tersedia dari harta warisan, disebut ahli waris legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia
dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris legitimaris, dinamakan Legitieme Portie.

Syarat-syarat untuk dapat mempunyai hak atas legitieme portie adalah ahli waris yang
memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:7
1) Mereka ahli waris dalam garis lurus yaitu keluarga dari garis lurus ke atas maupun ke bawah.
Sehingga istri atau suami yang hidup lebih lama tidak termasuk ke dalam kelompok ahli waris
yang mempunyai hak atas Legitieme Portie sekalipun dalam Pasal 852a Burgelijk Wetboek, hak
waris mereka besarnya sama dengan anak.

6
Erie Hariyanto, ‘Burgelijk Wetboek Menelusuri Sejarah Hukum Pemberlakuannya Di Indonesia’ (2009) IV Al-Ihkâ.
Hal. 150
7
Ibid hlm, 10

4
2) Selanjutnya kata “ahli waris” dalam Pasal 913 Burgelijk Wetboek menunjukkan pada kita
bahwa yang mempunyai Legitieme Portie adalah orang yang benarbenar terpanggil untuk
mewaris berdasarkan Undang-Undang pada saat matinya pewaris.
Dengan adanya bagian mutlak tersebut oleh Burgelijk Wetboek pewaris dibatasi
kehendak terakhirnya terhadap harta peninggalan. Bagi legitimaris Undang-Undang telah
menjamin, bahwa legitimaris akan menerima bagian minimum tertentu, yaitu bagian yang
dijamin oleh Undang-Undang atau bagian mutlak.
Penafsiran Burgelijk Wetboek dengan adanya legitieme portie terhadap harta peninggalan
yang ditinggalkan oleh pewaris, sebenarnya harta peninggalan terbagi dua bagian, yaitu : bagian
tersedia dan bagian mutlak. Bagian tersedia adalah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, dan
dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Sedangkan bagian mutlak adalah bagian
yang tidak dapat dikuasai oleh pewaris dan tidak dapat diberikan kepada ahli waris lain (pihak
ketiga yang mewaris berdasarkan wasiat) selain ahli waris legitimaris, hal ini sudah secara tegas
diatur di dalam Undang-Undang, yang mana bagian mutlak “harus” dimiliki oleh legitimaris,
dengan ketentuan apabila legitimaris menuntut untuk mendapatkan haknya. Tetapi untuk
memperoleh bagian mutlak itu tentunya harus sesuai dengan Burgelijk Wetboek dan hukum
acara perdata di Indonesia.
Menurut Pasal 914 Burgelijk Wetboek, bagian mutlak ahli waris ditetapkan sebagai
berikut:
1) Apabila hanya ada satu orang anak sah, bagian mutlak adalah seperdua dari harta warisan
yang diperolehnya tanpa surat wasiat.
2) Apabila ada dua orang anak sah, bagian mutlak anak adalah dua pertiga dari harta warisan
yang diperolehnya tanpa surat wasiat.
3) Apabila ada tiga orang anak sah, bagian mutlak adalah tiga perempat dari harta warisan yang
diperolehnya tanpa surat wasiat.

Cara menghitung besar bagian mutlak harus memerhatikan ketentuan Pasal 916 a
Burgelijk Wetboek. Menurut ketentuan Pasal tersebut, dalam hal ada ahli waris mutlak dan ahli
waris tidak mutlak, penghibahan harus tidak melanggar bagian mutlak yang ditentukan.
Penentuan bagian mutlak itu tanpa memperhitungkan adanya ahli waris tidak mutlak. Apabila
penghibahan itu melebihi jumlah bagian mutlak yang ditentukan tanpa memperhitungkan ahli
waris tidak mutlak, kelebihannya dapat dituntut kembali oleh ahli waris mutlak.

5
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Legitime Portie


Legitime portie (bagian mutlak) Menurut Pasal 913 KUH Perdata yaitu bagian mutlak
atau Legitime portie merupakan sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan
kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal
tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup,
maupun selaku wasiat” Sedangkan menurut Pitlo menyatakan bahwa bagian yang dijamin
oleh undang-undang legitime portie atau wettlijk erfdel adalah merupakan hak dia atau
mereka yang mempunyai kedudukan utama atau istimewa dalam warisan, hanya sanak
saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab
intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud.8

Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan
terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewarios mepunyai
kebebasan untuk mencabut hak waris para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan-
ketentuan didalam undang-undang yang menentuakan siapa-siapa yang akan mewarisi harta
peninggalanya dan berapa bagi masing-masing, akan terapu ketentuan-ketentuan tentang
pembagian itu bersifat hukum mengatur dan bukan hukum memaksa.

Akan tetapi untuk ahli waris ab intestanto (tanpa wasiat) oleh undang-undang
diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh
hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungnya kekeluargaan dengan si pewaris
sehingga membuat undang-undang menganggap tidak pandat apabila mereka tidak menerima
apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka
undang-undang melarang seseorang semasa hiduplnya menghibahkan atau mewasiatkan
harta kekayaanya kepada orang lain dengan smelanggar dari ahli waris ab institution itu. Ahli
waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian syang dilindungi undang-undang itu

8
Op.Cit., Gregorvan derburght, hal. 422

6
dinamakan “legitimaris” sedang bagianya yang dilindungi oleh undang-undang itu
dinamakan “legitime portie”.

Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua “legitime portie”
(bagian mutlak) dan “bescikhbaar” (bagian yang tesedia). Bagi yang tersedia ialah bagian
yang dikuasai oleh pewaris, ia boleh mengibahkannya wakltu ia masih hidup atau
mewarisinya. Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal Lembaga legitisme
portie. Peraturan di negara satu tudak sama dengan peraturan di negara lain, terutama
mengenai siapa-siapa sajala yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.9

Bagian yang kedua itu (bagian mutlak) diperuntukan pada bagian para legitimaris
Bersama-sama, biamana seorang legitimaris menolak (virwerp) atau tidak patut mewaris
(onwaarding) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak
dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris
lainya. Jadi bila terdapat legitimaris lainya maka bagian mutlak itu tetap diperuntunkan bagi
mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini berarti apabila legitimaris itu
sepankjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai, “baschikkingsrech” atas
seluruh hartanya.10

Ketentuan mengenai legitime portie bersifat hukum pemaksa akan tetapi bukan untuk
kepentoingan umum. Legitimaris dapat membiarkan haknya dilanggar, hal mana sangat erat
berhubungan dengan pendapat bahwa pelanggaran legitime tidak mengakibatkan
“nietigheid” (kebatalan demi hukum) melainan mengakibatkan “envoudige vernetigbareeid”
(dapat diminta pembatalanya secara sederhana).

B. Ketentuan Umum Legitieme Portie Dalam Pewarisan

Legitieme porite (wettelijk erfdeel), secara harfiah diterjemahkan sebagai warisan


menurut Undang-Undang, prkatisi hukum mengenalnya sebagai bagian mutlak. Bagian
mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan undang-undang kepada ahli waris dalam

9
Hartono Soerjopratiknjo, 1984, “Hukum Waris Testamenter”, Seksi notarias Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada: Yogyaklarta, hal. 308
10
Ibid hlm, 9

7
garis lurus kebawah dan ke atas. Bagian mutlak ini tidak boleh ditetapkan atau dicabut
dengan cara apapun oleh pewaris, baik melalui cara hibah yang diberikan semasa pewaris
hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat dan erdftelling).11

legitieme portie dianggap sebagai hak-hak yang diakui secara hukum (statutoris) atau
berdasarkan undang-undang (statute), dan hak-hak statutoris lainya yang muncul kemudian.
Hak-hak statutoris lainya memberikan perlindungan pada pasangan dan anak-anak. Mereka
akan menerima setidaknya jumlah minimum tertentu dari harta peninggalan. Hak-hak itu
berfungsi sebagai jarring pengaman. Para undang-undang ingin agar beberapa individu
terlindungi dan terjamin dengan baik, bahkan sekalipun orang-orang ini tidak berhak atau
hanya atau berhak menerima harta warisan dalam jumlah yang sedikit berdasarkan
wasiat.12pihak pewaris tidak menghabiskan harta kekayaanya karena ia sudah
menghibahkanya atau mewasiatkanya, maka sisanya tau yang ada, dibagi antara ahli waris
ab intestanto dalam mana juga termasuk para legitimaris. Dalam kedudukanya itu tentunya
legitimaris mempunyai saistine (Pasal 833 KUHPerdata). Tetapi bagaimana jadinya pabila si
pewaris telah mengasingkan seluruh harta kekayaanya.

Peratauran perundang-undangan menghuanakan kata-kata “wetlijk erfdeel” (bagian


warisan menurut unang-undang) dan juga digunakanya sering kata-kata “erfgenamen” (ahli
waris) bila yang dimaksud adalah legitimaris adalah ahli waris dan apabila legitimaris
menerima pelanggaran atas hak legitimenya maka ia tetap tidak kehilangan kedudukanya
sebagai ahli waris. Kedudukanya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan cara
seperti disebutkan dalam Pasal 1057 KHUPerdata. Ialah “verwerping” (penolakan) terhadap
harta warisan yang harus dilakukan secara tegas dengan surat pernyataan yang harus
dilakukan secara tegas dilakukan dihadapan panitera pengadialn negeri.13

Kecakapan bertindak merupakan merupakan syarat bagi berlakunya ketentuan ini,


sebagaimana di atur dalam Pasal 330 alenia 1 KUHPerdata, yaitu harus mencpai usia dua
puluh satu tahun dan juga harus belum menikah. Berdasarkan argumrntum a contrario dapat

11
Nani Suwondono, 1981, “Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat”, Ghalia Indonesia :
Jakarta, hal, 113.
12
Ibid, hlm,68
13
Hartono Soerjopratiknjo, 1984 “Hukum Waris Testamenter”, (Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada : Yogyakarta , hal. 109

8
ditafsirkan jika salah satu syarat minderjarig tidak terpenuhi, secara langsung dapat
dikatakan manusia tersenut termsuk kiteria meerderjarig.

Kecakapan dalam KUHPerdata termasuk kedalam kiteria biologis, sehingga semua


orang akan memperoleh kecakpan pada saat yang sama, yaitu pada saat seorang sudah
mencapai usia dua puluh satu tahun atau telah menikah. 14Keadaan ini menunjukan bahwa
suatu pewarisan dalam legitisme portie disandarkan pada kecakapan secara biologis
legitimaris, yaitu dengan merujuk kepada kemampunnya untuk melangsungkan pernikahan,
atau dengan kata lain dapat dinyatakan telah mampu untuk bertanggung jawab dalam suatu
perkawinan.

Ketentuan ini tidak hanya ditunjukan kepada laki-laki saja, melainkan kepada Wanita
juga. Karena kemampuan biologis laki-laki cenderung lebih lambat dibandingkan Wanita,
walaupun keduanya secara hukum memiliki kedudukan yang setara dan sama sebagai subjek
hukum yang cakap. Ketentuan waris lahir adalah upaya untuk memberikan perlindungan bagi
pewaris, ahli waris, maupun harta yang menjadi objek pewarisan, baik itu berasal
(berdasarkan) sistem waris Islam, sistem hukum perdata baarat maupun sistem hukum adat.

Ketentuan itu dirpresentasikan dalam konsep legitime portie. Konsep ini mengatakan
orang tua maupun istri atau suami tidak diperkenankan mendapatkan bagian haknya tanpa
ada ketiga subjek waris tersebut. Orang tua pewaris berperan sebagai asal dari munculnya
anak pewaris, begiti pula dengan istri atau suaminya, karena tidak mungkin akan lahir anak
pewaris tan kehadiran ketiganya.

Ketentuan lain yang kontradiktif dalam konsep legitieme portie adalah bahwa waris
perdata barat hanya dapar deberikan kepada ahli waris bila telah dianggap cukup atau telah
mampu melangsunh pernikajhan atau mampu bertanhggung jawab dalam suatu ikatan
keluarga yang membagi peran., tugas maupun fungsi dari suami istri itu sendiri dalam
kehidupan berumnah tangga, Waris Islam tidak mengenal persyartan pembagian waris
ditentukan oleh cukup atau tidaknya subnjek hukum atau dikenal dengan taklif yang masih
berada dalam kandungan dan diangap hidup tetap mendapatkan bagian dari haknya, dendgan
ketentuan Ketika dilahirkan dalam keaaan hidup.
14
Sulastriyono, Hukum Keluarga Dan Harta Perkawinan Adat, Dalam hukum Tentang orang, Hukum Keluarga Dan
Hukum Waris DI Belanda Dan Indonesia, (Diterbitkan Oleh Pustaka Larasan Denpasar atas Kerjasama antara
Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan Universitas Groningen, 2012), hal, 167-168

9
C. Ahli Waris Yang Berhak atas Legitime Portie dan Pembagianya.
Undang-undang hanya menyatakan, bahwa agar seseorang berhak untuk menuntut atas
bagian mutlak (legitime portie), dengan tidak memperhatikan apakah ahli waris tersebut
secara langsung atau merupakan ahli waris sebagai akibat dari penolakan terhadap harta
peninggalanya.

a. Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitme portie) adalah : orang
harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus dalam hal ini kedudukan garwa
( suami/istri) adalah berbeda dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal
852a KUHperdata menyamakan garwa (suami/istri) dengan anak, akan tetapi
suami/istri tidak ada dalam garis lurus kebawah, mereka termasuk garis kesamping.
Oleh karena itu istri /suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non
legitimaris.
b. Orang harus ahli waris ab intestate. Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga
sedarah dalam garis lurus memiliki ha katas baghian mutlak. Yang memilki hanyalah
mereka yang juga waris ab instestato.
c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli
waris secara ab intestate.

Ahli waris dalam garis kebawah, jika ahli waris hanya meninggalkan satu orang sah
anak sah menurut Pasal 914 KUHPerdata adalah ½ dari bagianya menurut undang-undang,
jika meninggalkan dua anak sah, maka besarnya bagaian mutlak adalah 2/3 dari bagian
menueut undang-undang dari kedua anak sah, satu atau lebih, maka beasar bagianya mutlak
adalah ¾ dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan undng-undang.

Bagian menurut undang-undnag adalah bagian ahli waris atas harta warisan seandainya
tidak ada hibah atau testament yang bisa dilaksanakan. Sedangkan ahli waris dalam garis ke
atas, besarnya bagian mutlak menurut ketentuan Pasal KUHPerdata, sela 15manya ½ dari
bagian menueut perundang-undangan. Sedangkan bagian mutlak darianak luar kawin yang
telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata) selamanya ½ dari bagian anak luar kawin menurut
ketentuan undnag-undnag. Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime
15
Ibid.,hal.68

10
portie, yaitu pertama suami/istri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudar pewaris/
mereka tidak berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis kesamping.prihal
digunakanya tidak perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung pada ada atau
tidaknya hibah atas testament yang bisa dilaksanakan legitimaris hanya merupakan ahli
waris apabila ia mengemukakan haknya atas bagian mutlaknya. Tujuan dari tuntutan
inkorting (pengurangan) adalah agar pemberian-pemberian yang dialkykan dengan hiabh
atau wasiat dikurangi, jadi batal hal itu diperlukan untuk dibrikan kepada legitimaris apa
yang menjadi haknya sebagai ahli waris.

Apabila legitimaris mengiurangi suatu hibah barang tak bergherak, maka barang ini
bukanya berpindah dari si penerima hibah ke legitimarisi, melainkan hibah itu batal dan
dianggap tidak pernah terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan barang dan
dianggap masih selalu berada di dalam budelnya, ternyata etelah pengurangan itu berpindah
karena pewarisan dari si pewaris kepada si legitimaris, maka ia tidak memeperoleh
keddukan sebagai ahli waris karena hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris oleh karena ia
mengemukakan pembatalan dari ketetapan-ketetapan yang melanggar -legitimeNya. Syarat-
syarat materil yang berkenaan denga nisi suatu wasiat. Terdapat pengatuaranya dalam paal-
pasal di bawah ini.
a. Pasal 879 KUHPerdata mengatur pelarangan wasiat dengan fifei commis
(pengangkatan waris atau pemberian hibah dengan lompat tangan)
b. Pasal 885 KUHperdata mengatur tentang pelaksanaan wasiat tidak boleh menyimpan
dari isi dan maksud dari kata-kata yang ada dalam wasiat.
c. Pasal 904 KUHPerdata mengatur tentang larangan pembuatan wasiat oleh anak yang
belum dewasa walaupun sudah berusia18 tahun, untuk menghibah wasiatnya suatu
guna kepantingan wali.

Berdasarkan hal-hal diatas maka ketentuan prihal pelaksanaan hak mutlak atau legitime
portie di Indonesia terdapat dalam undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu
Pasal 913 perihal pengertian hak mutlak atau legitime portiei, Pasal 914 prihal bagian hak
mutlak atau lagitime portie dalam garis kebawah Pasal 915 tentang bagian hak mutlak atau
legitime portiei dan garis keatas. Terdapatnya ketentuan prihal hak mutlak atau legitime
portie mewujudkan salah satu dari tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kepastian adalah

11
kata asal dari pasti, yang artinya tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, suatu hal yang sudah
16
tentu. melalui kepastian hukum dapat mengatur tentang bagian hak mutlak atau legitime
portie sehingga dapat mewujudkan keadilan, ketertiban dan serta dapat mencegah terjadinya
kekacauan.

Berdasarkan Pasal 913 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Legitime


Portie (hak mutlak) adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan
kepada waris, garis lurus menurut ketentuan undang undang, terhadap mana si yang
meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian yang masih hidup,
maupun selaku wasiat.
Besarnya bagian mutlak (legitime portie) bagi anak-anak sah menurut Pasal 914
KUHPerdata yaitu :
1. Kalau hanya seorang anak sah saja, besarnya 1/2 dari bagian jika ia mewaris tanpa
wasiat.
2. Kalau hanya 2 orang anak sah saja, besarnya 2/3 dari bagian jika ia mewaris tanpa wasiat.
3. Kalau 3 orang atau lebih anak sah ,besarnya 3/4 dari bagian jika ia mewaris tanpa wasiat
(Pasal 914 KUH Perdata).
Apabila ada anak yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka haknya atas bagian mutlak
(legitime portie) beralih kepada anak atau cucu dengan plaatsverfulling.
Hak mutlak (legitime portie) para ahli waris dalam garis lurus ke atas adalah 1/2 dari
bagiannya apabila mewaris tanpa wasiat (Pasal 915 KUH Perdata). Jika tidak ada waris yang
berhak atas legitime portie, maka pewaris dapat memberikan seluruh harta peninggalannya
kepada orang lain dengan hibah semasa hidup atau dengan wasiat (Pasal 917 KUH
Perdata).17
Selanjutnya pasal 914 mengatur :
“Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing
masing 2/3 dari apa yang sedianya harus diwaris oleh mereka masing masing dalam
pewarisan”.
Jadi dua anak, LP-nya ialah 2/3 bagian yang seandainya harus diperolehnya.
Contoh :
16
W.J.S. Poerwardinata, 2006, “Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Jakarta:Balai Pustaka, hal. 847
17
https://lassaadvocate.com/hak-mutlak-ahli-waris-dalam-warisan/ diakses pada tanggal 15 November pukul
12.00

12
A

B A
LP B ialah 2/3x1/2 = 2/6
LP C ialah 2/3x1/2 = 2/6

C D

LP B ialah 2/3x1/3 = 2/9


LP C ialah 2/3x1/3 = 2/9
Jadi :
a. Jika hanya ada satu orang anak sah, maka LP-nya = 1/2 x bagian menurut undang
undang
b. Jika ada dua orang anak sah, maka LP-nya = 2/3 x bagian menurut undang undang
c. Jika ada tiga orang atau lebih anak sah, maka LP-nya = 3/4 x bagian menurut undang
undang18

18
Effendi Perangin, S.H., “Hukum Waris”, hal. 86

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Legitime portie (bagian mutlak) Menurut Pasal 913 KUH Perdata yaitu bagian
mutlak atau Legitime portie merupakan sesuatu bagian dari harta peninggalan yang

14
harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap
mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku
pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat” Sedangkan menurut
Pitlo menyatakan bahwa bagian yang dijamin oleh undang-undang legitime portie
atau wettlijk erfdel adalah merupakan hak dia atau mereka yang mempunyai
kedudukan utama atau istimewa dalam warisan, hanya sanak saudara dalam garis
lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja
yang berhak atas bagian yang dimaksud
2. Legitieme porite (wettelijk erfdeel), secara harfiah diterjemahkan sebagai warisan
menurut Undang-Undang, prkatisi hukum mengenalnya sebagai bagian mutlak.
Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan undang-undang kepada
ahli waris dalam garis lurus kebawah dan ke atas. Bagian mutlak ini tidak boleh
ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik melalui cara hibah
yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah
wasiat (legaat dan erdftelling). Pengatuaran mengenai hak Mutlak dan legitime
portie di Indonesia terdapat di dalam Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
yaitu di dalam Pasal 913 sampai dengan pasal 916. Ketentuan prihal hak Mutlak atau
legitime portie di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan hukum lainya
yaitu prihal hukum waris meliputi pembagian warisan, ahli waris dan serta ketentuan
yang berhubungan dengan hibah serta hibah wasiat.
3. Undang-undang hanya menyatakan, bahwa agar seseorang berhak untuk menuntut
atas bagian mutlak (legitime portie), dengan tidak memperhatikan apakah ahli waris
tersebut secara langsung atau merupakan ahli waris sebagai akibat dari penolakan
terhadap harta peninggalanya.
a. Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitme portie) adalah : orang
harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus dalam hal ini kedudukan garwa
( suami/istri) adalah berbeda dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal
852a KUHperdata menyamakan garwa (suami/istri) dengan anak, akan tetapi
suami/istri tidak ada dalam garis lurus kebawah, mereka termasuk garis kesamping.
Oleh karena itu istri /suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non
legitimaris.

15
b. Orang harus ahli waris ab intestate. Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga
sedarah dalam garis lurus memiliki ha katas baghian mutlak. Yang memilki hanyalah
mereka yang juga waris ab instestato.
c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli
waris secara ab intestate.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis terkait dengan pembahasan di atas
adalah:
1. Pengaturan mengenai hak mutlak atau legitiem portie di Indonesia diharapkan dapat
disesuaikan dengan perkembangan saat ini. Diharapkan suatu kepastian prihal
plaksanaan hak mutlak atau legitme portie yaitu apabila terdapat Tindakan atau
perbuatan yang menyebabkan berkurangnya atau tidak mendapatkan hak mutlak atau
legitime portie, maka secara otomatis batal demi hukum tanpa harus mendapatkan
putusan dari pengadilan. Hal ini menjadikan penting agar pihak yang seharusnya dan
wajib mendapatkan hak mutlak atau legitime portie tersebut tidak memerlukan waktu
lama untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya dan tidak harus mengalami
kerugian materil, inmateril serta kerugian danlam prosespengadilan dan diharapkan
diharapkan khusus kepada notaris agar selektif dalam membiuat kata hibah sehingga
tidak membuat akta yang menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya hak mutlak
atau legitime portie dari ahli waris legitimaris
2. Pertimabangan hukum dan putuskan hakim dalam penegakan legitime portie bagi
para ahli waris diharapkan dapat memberiakn kepastian hukum tidak hanya prihal
setatus seseorang sebagai ahli waris dari pewaris tetapi juga kepastian hukum yaitu
perihal surat wasiat serta akta hibahnya yang melanggar hak mutlak atau legitime
portie ahli waris adalah tidak sah atau cacat dalam hukum sehingga batal demi
hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
3. Akibat-akibat hukum-hukum yang timbul dalam penegakan hak mutlak atau legitime
portie para ahli waris diharapkan dapat segera dieksekusi setelah mendapatkan
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menjadi penting agar ahli waris

16
tersebut dapat segera memperoleh kepastian hukum serta perlindungan hukum atas
hak mutlak atau legitime portie nya.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi Peragin, 2014, “Hukum Waris”, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.


Hartono Soerjopratiknjo, 1984 “Hukum Waris Testamenter”, (Seksi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
Hartono Soerjopratiknjo, 1984, “Hukum Waris Testamenter”, Seksi notarias Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada: Yogyaklarta
Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, 2014 “Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan
Menurut Hukum Waris Islam Di Indonesia”, Citapustaka Media : Medan 2014.
Nani Suwondono, 1981, “Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat”, Ghalia
Indonesia : Jakarta.
Oemarsalim, 2000, “Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia”, Rineka Cipta : Jakarta
Sulastriyono, Hukum Keluarga Dan Harta Perkawinan Adat, Dalam hukum Tentang orang,
Hukum Keluarga Dan Hukum Waris DI Belanda Dan Indonesia, (Diterbitkan Oleh Pustaka
Larasan Denpasar atas Kerjasama antara Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan
Universitas Groningen, 2012)
W.J.S. Poerwardinata, 2006, “Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Jakarta:Balai
Pustaka.
Wirjono Proddojodikoro, 1983, “Hukum Warisan Di Indonesia”, Sumur Bandung:Bandung
https://lassaadvocate.com/hak-mutlak-ahli-waris-dalam-warisan/

17

Anda mungkin juga menyukai