Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ESAI (INDIVIDU)

TURUNKAN STUNTING UNTUK INDONESIA MAJU 2045

MATA KULIAH
KESEHATAN GLOBAL

Dosen Mata Kuliah :


dr. SRI MANOVITA PATEDA, M.Kes, Ph.D

Oleh :
JOICE (717521047)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
GORONTALO TAHUN 2021
Turunkan Stunting untuk Indonesia Maju 2045
Rakyat adil makmurnya kapan? Sebuah penggalan lagu Garuda Pancasila yang
dipelesetkan di kalangan mahasiswa ketika masa orde baru. Ya, adil dan makmur,
itulah impian rakyat Indonesia ketika menyatakan kemerdekannya dari penjajahan.
Impian adil makmur kembali bergairah ketika Presiden Joko Widodo
mengumandangkan Visi Indonesia 2045. Secara umum Visi Indonesia 2045 diarahkan
pada perwujudan Indonesia yang maju, adil, dan makmur dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia menuju tahun 2045 menjadi negara maju dan
salah satu 5 kekuatan ekonomi dunia dengan kualitas manusia yang unggul serta
menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik
dan merata, serta ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan yang kuat dan
berwibawa (Visi Indonesia 2045, bappenas.go.id).
Visi tersebut diaktualkan melalui 4 (empat) pilar, yaitu 1) pembangunan SDM dan
penguasaan Iptek, 2) perkembangan ekenomi berkelanjutan, 3) pemerataan
pembangunan, dan 4) ketahanan nasional dan tatakelola pemerintahan (Peta Jalan
Generasi Emas 2045, halaman 3).
Mari melihat salah satu pilar, yaitu Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup
rakyat). Salah satu piranti utama untuk peluang pembangunan menuju negara maju
adalah jendela peluang bonus demografi periode 2020-2030, yang berarti dalam
periode 2020-2045, jumlah penduduk Indonesia usia produktif besar (rentang usia 15-
64 tahun) dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif (usia kurang dari 15
tahun dan di atas 65 tahun). Rasio ketergantungan (dependency ratio) mencapai
tingkat terendah sekitar tahun 2022.
Untuk menjemput Generasi Emas 2045, bonus demografi harus disikapi dengan
sebaik-baiknya. Pembangunan manusia Indonesia harus ditopang dengan kebijakan
pembangunan berwawasan kependudukan, yaitu bagaimana mengembangkan potensi
kualitas dan kuantitas penduduk, serta bagaimana mengembangkan sumber daya yang
ada. Pembangunan berwawasan kependudukan diantaranya melalui pengendalian
populasi penduduk, yang bertujuan untuk memelihara keseimbangan antara
pertumbuhan dan penyebaran penduduk. Selain pengendalian pertumbuhan penduduk,
pemerataan sebaran penduduk harus dilakukan. Jika sebaran penduduk merata maka
memperkecil ruang terpusatnya di sentra-sentra pembangunan ekonomi tertentu. Hal
ini berdampak pada mengecilnya angka urbanisasi. Kebijakan soal kependudukan
juga harus dimaksimalkan. Kebijakan populasi penduduk harus selaras dengan
kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi dan desentralisasi. Dalam mengelola
bonus demografi, faktor pendidikan sangat menentukan. Pendidikan memang
bukanlah persoalan yang mudah, bila ditanam sekarang maka baru dapat dirasakan
hasilnya pada 10 hingga 20 tahun mendatang. Maka dari itu, bangsa Indonesia harus
bersinergi untuk mewujudkan generasi emas 2045 (100 tahun Indonesia Merdeka).
Persoalan-persoalan dapat dipecahkan bersama-sama dengan berkolaborasi,
karenanya pendidikan yang bermutu harus terus diupayakan oleh semua pihak. Guru
adalah kunci, mereka adalah mutiaranya agent of change, pelaku perubahan agar
menghasilkan manusia Indonesia yang religius, cerdas, produktif, andal dan
komprehensif melalui layanan pembelajaran yang prima terhadap peserta didiknya,
sehingga terwujud generasi emas tahun 2045.
Pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 319 juta. Dalam
jangka panjang, Total Fertility Rate (TFR) dijaga pada tingkat 2,1 agar penduduk
dapat tumbuh seimbang. Pertumbuhan penduduk mendorong urbanisasi dan
tumbuhnya kota kecil dan sedang di seluruh Indonesia. Kota-kota besar dan daerah
peri urban akan membentuk mega urban. Pada tahun 2045, masyarakat yang tinggal di
perkotaan menjadi 72,8 persen
Derajat kesehatan dan gizi masyarakat indonesia semakin baik dengan rata-rata usia
harapan hidup mencapai 75,5 tahun. Penyakit HIV/AIDS, tubercolosis, dan penyakit
tidak menular lainnya menurun. Malaria tereliminasi di seluruh kabupaten/kota dan
balita stunting menurun menjadi 5 persen.

24 tahun lagi, kita akan menjemput masa emas itu. Kelihatannya masih lama. Namun
jika lengah maka momen itu akan lewat. Ingat waktu akan terus berjalan dan
penyesalan selalu mengintai. Saatnya merencanakan bibit-bibit unggul dari
sekarang. Anak-anak kecil maupun yang baru lahir tahun ini sudah berada di
sekeliling kita dan mereka akan menjadi manusia produktif nantinya. Merekalah yang
akan memimpin bangsa ini di tahun 2045 kelak. Di tangan mereka yang masih bayi
dan anak-anak sekarang inilah, masa depan dan nasib bangsa ini dipertaruhkan.
Mimpi besar untuk Indonesia Emas harus terafirmasi dalam pikiran generasi muda.
Generasi muda harus dipersenjatai modal seperti: 1) memiliki kecerdasan yang
komprehensif, yakni produktif, inovatif, 2) Damai dalam interaksi sosialnya, dan
berkarakter yang kuat, 3) sehat, menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan 4)
Berperadaban unggul.

Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik akan berdampak buruk
terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, dan tingkat
kriminalitas yang tinggi. Melihat dari fakta yang akan dihadapi Indonesia tersebut
bonus demografi memang tidak bisa dihindari. 

Mimpi generasi emas 2045 bukan hal mudah, namun bukan pula hal yang mustahil
untuk dicapai. Salah satu tantangannya adalah stunting. Stunting masih menyelimuti
bayi dan anak di bawah usia dua tahun di Indonesia. Kondisi tersebut harus segera
dientaskan akan menghambat momentum generasi emas Indonesia 2045. 

Srimulyani (republika.co.id) mengemukakan bahwa “Apabila Indonesia berciat-cita


menjadi negara maju tahun 2045 maka syarat utama adalah generasi muda yang sehat
dan tidak mengalami stunting”.

Stunting merupakan isu global yang di Indonesia mengemuka setelah badan kesehatan
dunia (WHO) mengeluarkan survei stunting Indonesia pada tahun 2007. Stunting
adalah kondisi gagal tumbuh pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat
kekurangan gizi dalam waktu lama dan infeksi berulang terutama periode 1000 hari
pertama kehidupan (HPK), sejak janin hingga anak berusia 23 bulan. Akibatnya, anak
lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki
keterlambatan dalam berpikir. Umumnya disebabkan asupan makan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi.
Presiden Joko Widodo menetapkan stunting sebagai salah satu prioritas nasional yang
harus di dukung dan wajib diseriusi pemerintah dan pemerintah daerah pada tahun
2018.
Pada 25 Januari 2021, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) mendapatkan mandat dari Presiden Joko Widodo menjadi Ketua
Pelaksanaan program percepatan penurunan prevalensi stunting di Indonesia. Dalam
mencapai target penurunan prevalensi stunting tersebut, menteri koordinator bidang
pembangunan manusia dan kebudayaan akan berperan sebagai koordinator program.
BKKBN diharapkan mampu merealisasikan target stunting 14 persen pada tahun 2024
atau 680 ribu per tahun. Kondisi saat ini, prevalensi stunting di Indonesia pada lima
tahun lalu berada di angka 37 persen. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Balita
Indonesia (SSGBI) tahun 2019, saat ini telah terjadi penurunan prevalensi stunting
dari 30,8% pada tahun 2018 (Riskesdas 2018) menjadi 27,67% tahun 2019 atau turun
sekitar 3,13%, namun diperkirakan akan mengalami sedikit kenaikan disebabkan
adanya pandemi Covid-19.
BKKBN dengan core bisnis keluarga memiliki peranan dalam pemberdayaan
keluarga melalui kelompok kegiatan bina keluarga balita (BKB) dengan cara Promosi
dan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai Pengasuhan 1000 HPK
(sejak saat kehamilan hingga anak berusia 2 tahun). Target promosi dan KIE
pengasuhan 1000 HPK adalah ibu hamil dan keluarga baduta yang terpapar 1000
HPK.
Program BKKBN adalah percepatan perbaikan gizi melalui Proyek Prioritas Promosi
dan KIE Pengasuhan 1000 HPK dalam rangka Pencegahan Stunting sejak tahun 2017.
Hal tersebut tidak lepas kaitannya untuk mendukung penyiapan generasi emas yang
berkualitas, terhindar dari masalah stunting. Permasalahan stunting dapat dicegah
dengan mengoptimalkan pengasuhan pada periode 1000 HPK, yaitu 3 P (3 pola) yang
terdiri atas:
1. Pola Asuh meliputi (1) edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja dan calon
pengantin, (2) Pemeriksaan kandungan, (3) nutrisi ibu hamil, (4) inisiasi
menyusui dini (IMD), (5) air susu ibu eksklusif, dan (6) makanan pendamping
ASI.
2. Pola Makan dengan gizi seimbang
3. Perilaku sanitasi lingkungan bersih dan air bersih
Kepala BKKBN Dr (HC) dr. Hasto Wardoyo (kominfo.go.id) mengungkapkan salah
satu faktor penyumbang stunting adalah kekurangan gizi pada bayi. Dari 5 juta
kelahiran bayi setiap tahun, sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan
kondisi stunting. Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan seorang
ibu. Ibu hamil yang melahirkan bayi stunting. Saat ini, bayi lahir saja sudah 23%
prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi
kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka 23%
muncul dari kelahiran yang sudah tidak sesuai standar.
Penyumbang stunting lainnya adalah 11,7% bayi yang lahir dengan gizi kurang yang
diukur melalui panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan ukuran berat badan
tidak sampai 2,5 kilogram. Ada juga bayi lahir normal yang kemudian
jadi  stunting  karena tidak dapat ASI dengan baik, kemudian asupan makanannya
tidak cukup .
Tak kalah pentingnya adalah calon pengantin yang merencanakan kehamilan atau
yang dikenal dengan istilah prakonsepsi. Prakonsepsi sangat menentukan dan
biayanya sangat murah, yaitu calon ibu disarankan minum asam folat, periksa hb
(hemoglobin), minum tablet tambah darah gratis kalau di Puskesmas. Sementara,
suami hanya perlu mengurangi rokoknya, kemudian suami minum zinc agar
spermanya bagus. 
Salah satu wadah untuk promosi dan KIE 1000 HPK dalam pencegahan stunting
adalah melalui kelompok Bina Keluarga Balita (BKB) sebagai bagian dari Program
Banggakencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana)
mempunyai tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran ibu
beserta anggota keluarga lainnya yang menjadi anggota kelompok dalam membina
tumbuh kembang balitanya melalui rangsangan fisik, motorik, kecerdasan, sosial
emosional serta moral yang berlangsung dalam proses interaksi antara ibu/anggota
kelompok. Pelaksanaan layanan BKB yang sudah terintegrasi dengan layanan
Posyandu dan PAUD biasa di kenal dengan sebutan BKB Holistik Integratif (BKB
HI). Pelaksanaan BKB HI dapat berjalan dengan baik jika mendapat dukungan dan
komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan dan masyarakat akan pentingnya
penyiapan kualitas kualitas sumber daya manusia sejak usia dini.
Dengan adanya pembinaan kelompok BKB, semakin berpeluang bagi orangtua dan
anggota keluarga yang mengikuti BKB dapat memahami dan mempraktekkan
pengasuhan tumbuh kembang anak pada 1000 HPK, khususnya demi terwujudnya
Generasi Emas. Selain promosi Pengasuhan 1000 HPK dan KIE di kelompok BKB,
dilapangan peran penyuluh KB sebagai pembantu teknis kepala desa/lurah dalam
pelaksanaan dan pengendalian program banggakencana di tingkat desa dan kelurahan
dan penggerak masyarakat desa/kelurahan dalam pelaksanaan program
banggakencana. Guna memaksimalkan promosi dan KIE pengasuhan 1000 HPK yang
efektif dan efisien.
Salah satu amanat Presiden Joko Widodo adalah fokus pada program penurunan
stunting di sepuluh provinsi yang memiliki tingkat prevalensi tertinggi di Indonesia.
Adapun 10 provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat
(Sulbar), Nusa Tenggara Barat (NTB), Gorontalo, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan
Barat (Kalbar), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Sulawesi Tengah (Sulteng).
Berdasarkan data BPS tahun 2020, penduduk Sulawesi Tengah (Sulteng) sebanyak
2,98 juta jiwa yang umumnya mendiami daerah pedesaan dengan presentasi 71
persen. Jika ditelisik lebih dalam maka ditemukan bahwa dalam komposisi penduduk
Sulteng, pada kelompok umur 0 - 4 tahun, 299.228 jiwa (9,80%).
Sedangkan kondisi stunting di Sulawesi Tengah masih tinggi bahkan lebih tinggi dari
kondisi nasional. Meski telah turun dari 41 persen (riskesdas 2013) menjadi 32,5
persen (riskesdas 2018). Kemudian turun lagi di tahun 2019, yaitu 21,4 persen dari
total bayi usia 0-59 bulan (Dinkes Provinsi Sulteng). Sulteng masuk 10 besar nasional
penyumbang anak stunting.
Belum ada penelitian secara konprehensif mengenai penyebab stunting di Sulawesi
Tengah. Namun, dugannya adalah (1) masih tingginya proporsi berat badan lahir
<2500 gram (bblr) pada anak umur 0-59 bulan, yaitu 8,9 persen tertinggi di Indonesia
(riskesdas, 2018). Kondisi bayi lahir dengan berat badan kurang dan prematur bisa
terjadi karena ibu masuk kategori kurang gizi, memiliki anemia, serta usia saat hamil
di bawah 20 tahun, serta ibu hamil terpapar asap rokok. (2) angka pernikahan dini
masih tinggi. (3) Prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang 19,7 persen (Riskesdas
tahun 2018).
Dengan melihat fenomena di atas maka sudah saatnya semua pihak pemerintah pusat
hingga daerah, perguruan tinggi, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat
bergandengan tangan bergotong royong menurunkan stunting. Seiring dengan
dikeluarkannya peraturan presiden No 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan
Stunting maka sasaran stunting adalah keluarga berisikoyaitu (1) remaja, (2) calon
pengantin, (3) ibu hamil, (4) ibu menyusui, (5) balita (0-59 bulan).
Segmentasi ini memberikan pilihan kepada siapa saja untuk memilah sasaran yang
akan dituju sehingga target prevalensi stunting 14 persen dapat terwujud. Dengan
demikian secara perlahan tapi pasti maka Indonesia Emas di tahun 2045 semakin
dekat untuk digapai.

Anda mungkin juga menyukai