Anda di halaman 1dari 25

Keperawatan Gerontik

Strategi Komunikasi Terapeutik (Komunikasi dengan


Lansia dan Keluarga) Sesuai dengan Masalah dan Kondisi
Perkembangan Lansia
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik yang diampuh oleh Ns. Andi
Mursyidah, M. Kes

Disusun Oleh:
Kelas A Kelompok 2
1. Ibrahim Yasin (841418022) 10.Nurlin Arsyad (841418031)

2. Fitriyaningsi Laiya (841418023) 11. Deal M. Huntoyungo (841418032)

3. Lis Sugiarti Yusup (841418024) 12. Hartin S. Apia (841418033)

4. Rayhan Binti Hasan (841418025) 13. Rozianti H. Biya (841418034)

5. Ni Wayan Sukariani (841418026) 14. Ilman Asman (841418035)

6. Widya Puspa Molou (841418027) 15. Rahmatia Kadir (841418036)

7. Zatul Hikmah A. Katili(841418028) 16. Moh. Amin Mosi (841418037)

8. Fitriyanti Pohiyalu (841418029) 17. Anggi Abdullah (841418048)

9. Rezgina Mahmud (841418030) 18. Safira R. Pagau (841418113)


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, tauf
ik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. laporan ini terwujud berkat
partisispasi berbagai pihak. Oleh Karena itu, kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-bes
arnya.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari harapan, yang mana di dalamnya masih
terdapat berbagai kesalahan baik dari segi penyusunan bahasanya, sistem penulisan maupun
isinya. Oleh karena itu Kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga
dalam makalah berikutnya dapat diperbaiki serta ditingkatkan kualitasnya. Adapun harapan kami
semoga makalah ini dapat diterima dengan semestinya dan bermanfaat bagi kita semua dan
semoga Allah SWT meridhai kami. Aamiin.

Gorontalo , November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii

BAB I............................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2 Rumusan masalah........................................................................................................................1

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.............................................................................................................................................3

2.1 Pengertian Komunikasi dan Komunikasi Terapeutik....................................................................3

2.2 Konsep Lansia..............................................................................................................................4

2.3 Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia Dan Keluarga..............................................................9

2.4 Teknik Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan......................................................................15

2.5 Hambatan Berkomunikasi dengan Lansia..................................................................................16

BAB III........................................................................................................................................................19

PENUTUP...................................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan keseharian kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan komunikasi
bahkan hampir seluruh waktu yang kita habiskan adalah untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Manusia sebagai pribadi maupun makhluk social akan saling berkomunikasi dan saling
mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang beraneka ragam, dengan gaya dan cara
yang berbeda pula. Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar
manusia.Interaksi manusia baik antara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak
mungkin terjadi tanpa komunikasi.  Begitupun dalam interaksi keluarga, baik antar pribadi
anggota keluarga, orang tua dengan anak maupun dengan keluarga yang lain sebagai
perorangan , kelompok maupun sebagai keluarga itu sendiri.
Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang
merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi dengan anggota lainnya,
sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan
sebagai pegangan hidup. Agar anak dapat menjalani hidupnya ketika berada dalam
lingkungan masyarakat, apa yang terjadi jika sebuah pola komunikasi keluarga tidak terjadi
secara harmonis tentu akan mempengaruhi perkembangan anak.
Komunikasi pada lansia membutuhkan peratian khusus. Perawat harus waspada terhadap
perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola komunikasi.
Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris dapat mengakibatkan
kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga mengalangi
proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran teradap suara.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia Dan Keluarga ?
2. Bagaimana Prinsip Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Dan Keluarga ?
3. Bagaimana Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Dan Kekuarga ?
4. Bagaimana Strategi Komunikasi Pada Klien Lansia Dan Keluarga ?
5. Bagaimana Komunikasi Trapeutik Secara Umum ?
6. Bagaimana Lansia, Krakteristik Lansia, Dan Kondisi Perkembangan Lansia ?

1
7. Bagaimana Teknik Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan ?
8. Bagaimana Hambatan Komter Pada Lansia?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia Dan Keluarga?
2. Mahasiswa dapat mengetahui Prinsip Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Dan Keluarga
3. Mahasiswa dapat mengetahui Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Dan Kekuarga
4. Mahasiswa dapat mengetahui Strategi Komunikasi Pada Klien Lansia Dan Keluarga
5. Mahasiswa dapat mengetahui Komunikasi Trapeutik Secara Umum
6. Mahasiswa dapat mengetahui Lansia, Krakteristik Lansia, Dan Kondisi Perkembangan
Lansia
7. Mahasiswa dapat mengetahui Teknik Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan
8. Mahasiswa dapat mengetahui Hambatan Komter Pada Lansia

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi dan Komunikasi Terapeutik


Definisi Komunikasi Istilah ‘komunikasi’ (communication) berasal dari Bahasa Latin
‘communicatus’ yang artinya berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan demikian
komunikasi menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Secara harfiah, komunikasi berasal dari Bahasa Latin: “Communis” yang
berarti keadaan yang biasa, membagi. Dengan kata lain, komunikasi adalah suatu proses di
dalam upaya membangun saling pengertian. Jadi kominukasi dapat diartikan suatu proses
pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau
tingkah laku. (Pendi, 2017)
Komunikasi merupakan suatu proses mendasar bagi manusia sebagai mahkluk sosial.
karena melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan mendapatkan pesan baik secara
verbal maupun non verbal. Komunikasi dalam hal ini mempunyai dua tujuan, yaitu :
mempengaruhi orang lain dan untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi, komunikasi
dapat digambarkan sebagai komunikasi yang memiliki kegunaan atau berguna (berbagi
informasi, pemikiran, perasaan) dan komunikasi yang tidak memiliki kegunaan atau tidak
berguna (menghambat/ blok penyampaian informasi atau perasaan). Keterampilan
berkomunikasi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang untuk membangun
suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan yang sederhana
melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan non verbal yang dimiliki
oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya, perasaannya dan apa yang ia sukai
dan tidak sukai. Melalui komunikasi seorang individu dapat bertahan hidup, membangun
hubungan dan merasakan kebahagiaan. (Pendi, 2017)
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi interpersonal antara perawat dan pasien
yang dilakukan secara sadar ketika perawat dan pasien saling mempengaruhi dan
memperoleh pengalaman bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah pasien serta
memperbaiki pengalaman emosional pasien yang pada akhirnya akan mencapai
kesembuhan (Anjaswarni, 2016). Komunikasi yang baik dan terstandar akan memperbaiki
proses asuhan untuk pasien (KARS, 2017).

3
Penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat ini dihubungkan dengan peningkatan
rasa saling percaya antara pasien dan perawat, apabila penerapannya kurang akan
mengakibatkan pada hubungan yang kurang baik yang akan berdampak pada
ketidakpuasan pasien. Pasien akan merasakan kepuasan saat kinerja layanan kesehatan
yang mereka terima melebihi harapan (Rorie, 2014)
2.2 Konsep Lansia
a. Pengertian Lansia
Manusia secara alamiah akan mengalami proses penuaan atau menjadi tua.
Menua (menjadi tua) adalah proses kehilangan perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri. Manusia yang sudah menjadi tua akan
mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Seseorang dikatakan sudah
menjadi tua dalam Undang-Undang No 13 Tahun 1998 dikenal dengan nama
lansia yang sudah berusia lebih dari 60 tahun. Lanjut usia (lansia) adalah salah
satu bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Lansia didefinisikan
berdasarkan karakteristik sosial masyarakat, dimana orang yang sudah lanjut usia
memiliki ciri-ciri rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi. Perubahan
yang terjadi pada lansia tidak hanya pada kondisi fisik, tetapi juga terdapat
perubahan psikologis. Perubahan psikologis pada lansia terjadi karena adanya
perubahan peran dan kemampuan fisik orang tua dalam melakukan kegiatan, baik
kegiatan untuk diri sendiri maupun di kegiatan sosial masyarakat.
(Kusumawardani dan Andanawarih 2018)
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. (Ratnawati,
2017).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(Ratnawati, 2017).
b. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :

4
1) Young old (usia 60-69 tahun)
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
c. Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017); Darmojo & Martono
(2006) yaitu :
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan.
Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan (Ratnawati, 2017).
3) Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik
dari status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai
mati (37 %). Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus
cerai mati sekitar 56,04 % dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-
laki yang berstatus kawin ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup
perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki,
sehingga presentase lansia perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak
dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya kawin lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas
adalah proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental
sehingga dapat tetap sejahtera sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan
data Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia
sebagian besar pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%) adalah
tabungan, saudara atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).

5
5) Pendidikan terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa
pekerjaan lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang
bekerja sebagai tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan
akan menjadi lebih baik.
6) Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016)
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat
kesehatan penduduk. Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat
kesehatan penduduk yang semakin baik.
Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05%, artinya
bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya mengalami
sakit. Penyakit terbanyak adalah penyakit tidak menular (PTM) antar lain
hipertensi, artritis, strok, diabetes mellitus (Ratnawati, 2017).
d. Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan lansia
Menurut Kusumawardani dan Andanawarih 2018 Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan lansia antara lain yaitu
1) faktor ekonomi, lansia dengan kondisi ekonomi rendah akan berpengaruh
pada kemampuannya untuk rutin pemeriksaan kesehatan.
2) faktor keluarga, keluarga yang tinggal atau hidup dengan keluarga yang
lebih muda dan memperhatikan kesehatannya akan lebih terjaga kondisi
kesehatan dan psikologi lansia tersebut.
3) faktor nutrisi, asupan nutrisi lansia akan berpengaruh pada proses
metabolisme tubuh yang nantinya juga berpengaruh pada kesehatan.
4) faktor pengetahuan, lansia yang memiliki pengetahuan baik mengenai
pentingnya menjaga kesehatan akan berupaya untuk terus menjaga
kesehatannya walaupun sudah tua
e. Proses perubahan pada lansia
Proses menua mengakibatkan terjadinya banyak perubahan pada lansia
yang meliputi :
1) Perubahan Fisiologis

6
Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada
persepsi pribadi atas kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki
kegiatan harian atau rutin biasanya menganggap dirinya sehat, sedangkan
lansia yang memiliki gangguan fisik, emosi, atau sosial yang menghambat
kegiatan akan menganggap dirinya sakit.
Perubahan fisiologis pada lansia bebrapa diantaranya, kulit kering,
penipisan rambut, penurunan pendengaran, penurunan refleks batuk,
pengeluaran lender, penurunan curah jantung dan sebagainya. Perubahan
tersebut tidak bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan
terhadap beberapa penyakit. Perubahan tubuh terus menerus terjadi seiring
bertambahnya usia dan dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup,
stressor, dan lingkungan.
2) Perubahan Fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan
sosial. Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan
dengan penyakit dan tingkat keparahannya yang akan memengaruhi
kemampuan fungsional dan kesejahteraan seorang lansia. Status
fungsional lansia merujuk pada kemampuan dan perilaku aman dalam
aktivitas harian (ADL).
ADL sangat penting untuk menentukan kemandirian lansia.
Perubahan yang mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut
atau perburukan masalah kesehatan.
3) Perubahan Kognitif
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan dengan
gangguan kognitif (penurunan jumlah sel dan perubahan kadar
neurotransmiter) terjadi pada lansia yang mengalami gangguan kognitif
maupun tidak mengalami gangguan kognitif. Gejala gangguan kognitif
seperti disorientasi, kehilangan keterampilan berbahasa dan berhitung,
serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses penuaan yang normal.
4) Perubahan Psikososial

7
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan
proses transisi kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia
seseorang, maka akan semakin banyak pula transisi dan kehilangan yang
harus dihadapi. Transisi hidup, yang mayoritas disusun oleh pengalaman
kehilangan, meliputi masa pensiun dan perubahan keadaan finansial,
perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan, kemampuan
fungsional dan perubahan jaringan sosial.
Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat kaitannya
dengan keterbatasan produktivitas kerjanya. Oleh karena itu, lansia yang
memasuki masa-masa pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan
sebagai berikut:
a. Kehilangan finansial (pedapatan berkurang).
b. Kehilangan status (jabatan/posisi, fasilitas).
c. Kehilangan teman/kenalan atau relasi
d. Kehilangan pekerjaan/kegiatan.
Kehilangan ini erat kaitannya dengan beberapa hal sebagai berikut:
1) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara
hidup (memasuki rumah perawatan, pergerakan lebih sempit).
2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya
hidup meningkat padahal penghasilan yang sulit, biaya pengobatan
bertambah.
3) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik.
4) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
5) Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan kesulitan.
6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
7) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan keluarga.
8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri)

8
2.3 Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia Dan Keluarga
Komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup
diri sendiri yang meliputi keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi,
menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua,
untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan
mengembangkan keberadaan suatu masyarakat.
Semakin tua umur seseorang, maka semakin rentan seseorang tersebut mengenai
kesehatannya. Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut
usia, atau selanjutnya penulis sebut sebagai lansia tidak hanya bergantung kepada
kebutuhan biomedis semata namun juga bergantung kepada kondisi disekitarnya, seperti
perhatian yang lebih terhadap keadaan sosialnya, ekonominya, kulturalnya, bahkan
psikologisnya dari pasien tersebut. Walaupun seperti kita ketahui pelayanan kesehatan
dari waktu ke waktu mengalami perbaikan yang cukup signifikan pada pasien lansia,
namun mereka pada akhirnya tetap memerlukan komunikasi yang baik dan empati juga
perhatian yang “cukup” dari berbagai pihak, terutama dari keluarganya sebagai bagian
penting dalam penanganan masalah kesehatan mereka.
Hubungan saling memberi dan menerima antara perawat dan pasien dalam
pelayanan keperawatan disebut sebagai komunikasi terapeutik perawat yang merupakan
komunikasi profesional perawat. Komunikasi terapeutik sangat penting dan berguna bagi
pasien, karena komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien
dan membantu pasien dalam menghadapi persoalan yang dihadapi olehnya (Damayanti,
2017).
a) Prinsip Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia dan Keluarga

1. Komunikasi pada lansia memerlukan pendekatan khusus. Pengetahuan yang


dianggapnya benar tidak mudah digantikan dengan pengetahuan baru sehingga
kepada orang lansia, tidak dapat diajarkan sesuatu yang baru.
2. Dalam berkomunikasi dengan lansia diperlukan pengetahuan tentang sikap-sikap
yang khas pada lansia. Gunakan perasaan dan pikiran lansia, bekerja sama untuk
menyelesaikan masalah dan memberikan kesempatan pada lansia untuk

9
mengungkapkan pengalaman dan memberi tanggapan sendiri terhadap
pengalaman tersebut.
3. Berkomunikasi dengan lansia memerlukan suasana yang saling hormat
menghormati, saling menghargai, saling percaya, dan saling terbuka.
4. Penyampaian pesan langsung tanpa perantara, saling memengaruhi dan
dipengaruhi, komunikasi secara timbal balik secara langsung, serta dilakukan
secara berkesinambungan, tidak statis, dan selalu dinamis.
5. Kesulitan dalam berkomunikasi pada lanjut usia disebabkan oleh berkurangnya
fungsi organ komunikasi dan perubahan kognitif yang berpengaruh pada tingkat
intelegensia, kemampuan belajar, daya memori, dan motivasi klien.
b) Teknik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia dan Keluarga
Menurut (Sarfika, dkk. 2018) Teknik komunikasi terapeutik yang penting
digunakan perawat adalah asertif, responsif, fokus, supportif, klarifikasi, sabar,
dan ikhlas. Pada pasien lanjut usia, di samping karakteristik psikologis yang harus
dikenali, perawat juga harus memperhatikan perubahan-perubahan fisik,
psikologis atau sosial yang terjadi sebagai dampak proses menua. Penurunan
pendengaran, penglihatan dan daya ingat akan sangat mempengaruhi komunikasi,
dan hal ini harus diperhatikan oleh perawat.
Suasana komunikasi dengan lansia yang dapat menunjang tercapainya
tujuan yang harus anda perhatikan adalah adanya suasana saling menghormati,
saling menghargai, saling percaya, dan terbuka. Komunikasi verbal dan nonverbal
adalah bentuk komunikasi yang harus saling mendukung satu sama lain. Seperti
halnya komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal sama pentingnya pada
orang dewasa dan juga lansia. Ekspresi wajah, gerakan tubuh dan nada suara
memberi tanda tentang status emosional dari orang dewasa dan lansia. “Lansia
memiliki pengetahuan, pengalaman, sikap, dan ketrampilan yang menetap dan
sukar untuk dirubah dalam waktu singkat.” “Memberi motivasi dan
memberdayakan pengetahuan/pengalaman dan sikap yang sudah dimiliki adalah
hal yang penting untuk melakukan komunikasi dengan lansia”.
c) Strategi Komunikasi Pada Klien Lansia dan Keluarga

10
Strategi komunikasi pada lansia harus menggunakan pendekatan-pendekatan
sebagai berikut:
1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadiankejadian
yang dialami pasien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh,
tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat
dicegah atau ditekan progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi pasien lanjut
usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni pasien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan
fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhan
sehari-hari masih mampu melakukan sendiri; pasien lanjut usia yang pasif atau tidak
dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus
mengetahui dasar perawatan pasien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan (personal hygiene) sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila keberihan kurang
mendapat perhatian.
2. Pendekatan Psikis
Perawat harus mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan
waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para
lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu
sabar, simpatik, dan service. Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan
pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara
perlahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah
beban, bila perlu diusahakan agar dimasa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas
dan bahagia.
3. Pendekatan Sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul

11
bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka.
Pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang
dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial antara lanjut usia
dan lanjut usia maupun lanjut usia dan perawat sendiri. Para lanjut usia perlu
dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton tv, mendengar radio,
atau membaca majalah dan surat kabar. Dapat disadari bahwa pendekatan
komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan
medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para pasien lanjut usia.
4. Pendekatan Spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya, terutama bila pasien
lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian. Sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi pasien lanjut usia yang menghadapi kematian, Dr. Tony
Setyabudhi mengemukakan bahwa maut seringkali menggugah rasa takut. Rasa
takut semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti tidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit atau penderitaan yang sering
menyertainya, kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga atau
lingkungan sekitarnya.
Adapun 4 (empat) keharusan yang harus dimiliki oleh seorang perawat,
yaitu pengetahuan, ketulusan, semangat dan praktik. Dalam usaha berkomunikasi
dengan baik, seorang perawat harus mempunyai pengetahuan yang cukup,
sehingga memudahkan dalam melaksanakan tugasnya setiap hari. Untuk
ketulusan, jika seseorang telah memutuskan sebagai perawat harus dapat
dipastikan mempunyai ketulusan yang mendalam bagi para pasiennya siapa pun
itu. Semangat serta pantang menyerah harus selalu dikobarkan setiap harinya agar
para pasiennya selalu ikut bersemangat pada akhirnya terutama bagi para pasien
lansia yang terkadang suka merasa dirinya “terbuang” dan “sakit karena tua”.
Sedangkan untuk praktiknya, seorang perawat harus dapat berbicara komunikatif
dengan para pasiennya, sehingga tidak saja hanya jago dalam teori namun
praktiknya pun harus bisa melakukan dengan baik dan benar.

12
Strategi Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia

Kondisi Pasien Pasien ibu Sofi umur 68 tahun masuk rumah sakit (MRS)
dengan peradangan hati (hepar). Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan suhu
badan 380 C, banyak keluar keringat, kadang-kadang mual dan muntah. Palpasi
teraba hepar membesar. Pasien mengatakan bahwa diagnosis dokter salah,
“Dokter salah mendiagnosa, tidak mungkin saya sakit yang demikian karena saya
selalu menjaga kesehatan”, Pasien menolak pengobatan dan tidak mau dirawat.
Pasien yakin bahwa dia sehat-sehat saja dan tidak perlu perawatan dan
pengobatan.
Diagnosis/Masalah Keperawatan: Denial (Penolakan)
Rencana Keperawatan:
a. Istirahatkan pasien di atas tempat tidur (bedrest).
b. Tingkatkan pemahaman pasien terkait kesehatannya.
c. Diskusikan masalah yang dihadapi dan proses terapi selama di Rumah Sakit (RS).
Tujuan : Pasien menerima sakitnya dan kooperatif selama perawatan dan pengobatan.

Strategi Komunikasi
1. Fase Orientasi
Salam terapeutik:
Perawat : “Selamat pagi. Saya Ibu Tri. Apa benar saya dengan Ibu Sofi?” (mendekat
ke arah pasien dan mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan). Pasien
menjabat tangan perawat dan menjawab “selamat pagi”.
Evaluasi dan Validasi :
Perawat : “Apa kabar Ibu? Bagaimana perasaan hari ini? Ibu sepertinya tampak
lelah?”
Pasien : “Saya sehat-sehat saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan terhadap diri
saya”.
Perawat : Tersenyum sambil memegang tangan pasien.
Kontrak:

13
Perawat : “Ibu, saya ingin mendiskusikan masalah kesehatan ibu supaya kondisi ibu
lebih baik dari sekarang”.
Pasien : “Iya, tapi benarkan saya tidak sakit? Saya selalu sehat”.
Perawat : (Tersenyum)...”Nanti kita diskusikan. Waktunya 15 menit saja ya”. “Ibu
mau tempatnya yang nyaman di mana? Baik di sini saja ya”.
2. Fase Kerja:
(Tuliskan kata-kata sesuai Tujuan dan Rencana yang Akan Dicapai/ Dilakukan)
Perawat : “Saya berharap sementara ini, ibu mau istirahat dulu untuk beberapa hari di
rumah sakit. Batasi aktivitas dan tidak boleh terlalu lelah”.
Pasien : “Saya kan tidak apa-apa... kenapa harus istirahat? Saya tidak bisa hanya
diam/duduk saja seperti ini. Saya sudah biasa beraktivitas dan melakukan tugas-
tugas sosial di masyarakat”.
Perawat : “Saya sangat memahami aktivitas ibu dan saya sangat bangga dengan
kegiatan ibu yang selalu semangat”.
Pasien : (mendengarkan) Perawat : “Ibu juga harus memahami bahwa setiap manusia
mempunyai keterbatasan kemampuan dan kekuatan (menunggu respons pasien)”.
Perawat : “Saya ingin tahu, apa alasan keluarga membawa ibu ke rumah sakit ini?”
Pasien : “Badan saya panas, mual, muntah dan perut sering kembung. Tapi itu sudah
biasa, tidak perlu ke rumah sakit sudah sembuh”.
Perawat : “Terus, apa yang membuat keluarga khawatir sehingga ibu diantar ke
rumah sakit?” Pasien : “Saya muntah muntah dan badan saya lemas kemudian
pingsan sebentar”.
Perawat : “Menurut pendapat ibu kalau sampai pingsan, berarti tubuh ibu masih kuat
atau sudah menurun kekuatannya?”
Pasien : “Iya, berarti tubuh saya sudah tidak mampu ya, berarti saya harus istirahat?”
Perawat : “Menurut ibu, perlu istirahat apa tidak?”
Pasien : “Berapa lama saya harus istirahat? Kalau di rumah sakit ini jangan lamalama
ya?”

14
Perawat : “Lama dan tidaknya perawatan, tergantung dari ibu sendiri”. “Kalau ibu
kooperatif selama perawatan, mengikuti anjuran dan menjalani terapi sesuai
program, semoga tidak akan lama ibu di rumah sakit”.
Pasien : “Baiklah saya bersedia mengikuti anjuran perawat dan dokter, dan akan
mengikuti proses terapi dengan baik”.
Perawat : “Terima kasih, ibu telah mengambil keputusan terbaik untuk ibu sendiri.
Semoga cepat sembuh ya”.89
3. Fase Terminasi:
Evaluasi subjektif/objektif : “Bagaimana perasaan ibu sekarang?” “Sekarang Jelaskan
kenapa ibu harus istirahat dulu untuk sementara ini!”
Rencana tindak lanjut : “Saya berharap ibu bisa kooperatif selama di rawat. Ibu harus
istirahat dan tidak boleh banyak aktivitas, makan sesuai dengan diet yang
disediakan, dan minum obat secara teratur”.
Kontrak yang akan datang : “Satu jam lagi saya akan kembali untuk memastikan
bahwa Ibu telah menghabiskan makan ibu dan minum obat sesuai program.
Sampai jumpa nanti, ya. Selamat siang”.

2.4 Teknik Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan


Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk mengakui secara
sadar terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadiaan-kejadian
nyata atau sesuatu yang merupakan ancaman. Penolakan merupakan reaksi ketidaksiapan
lansia menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Perawat dalam menjamin
komunikasi perlu memahami kondisi ini sehingga dapat menjalin komunikasi yang
efektif, tidak menyinggung perasaan lansia yang relatif sensitif.
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien lansia
dengan reaksi penolakan, antara lain :
1) Kenali segera reaksi penolakan klien
Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu
tertentu. Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak
membahayakan klien, orang lain serta lingkunganya.

15
2) Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri
Langkah tersebut bertujuan untuk mempermudah proses
penerimaan klien terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya
untuk memandirikan klien.
3) Libatkan keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat
Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas
kesehatan memperoleh sumber informasi atau data klien dan
mengefektifkan rencana / tindakan dapat terealisasi dengan baik dan tepat

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia


1. Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila sebelumnya pasien
telah meminta anda untuk memanggil panggilan kesukaannya.
2.  Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
3. Pertahankan kontak mata dengan pasien
4. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci
komunikasi efektif
5. Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya
6. Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat
yang sederhana.
7. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
8. Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien
9. Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
10. Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
11. Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan yang
cukup saat berinteraksi.
12. Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu.
13. Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.

2.5 Hambatan Berkomunikasi dengan Lansia


Hambatan komunikasi yang efektif pada lansia berhubungan dengan keterbatasan
fisik yang terjadi akibat dari proses menua (aging process), antara lain fungsi

16
pendengaran yang menurun, mata yang kabur, tidak adanya gigi, suara yang mulai
melemah, dan sebagainya. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas berkomunikasi
dengan lansia, diperlukan penguasaan terhadap cara-cara mengatasi hambatan
komunikasi (Anjaswarni, 2016). Hal lain yang menjadi hambatan perawat saat
menyampaikan pesan terhadap lansia selain fisik adalah mental lansia yang menurun
yang menyebabkan gangguan untuk berkomunikasi (Maskhuri, 2017).
Berdasarkan salah satu jurnal penelitian “Proses Komunikasi Interpersonal Antara
Perawat Dengan Pasien Lanjut Usia (Lansia) di Rumah Usiawan Panti Surya Surabaya”
didapatkan, hambatan komunikasi yang terjadi merupakan hambatan fisik berupa adanya
suara-suara keras dari televisi ketika mereka sedang berkomunikasi. Kalau lagi tidak
senang dan suasana hatinya lagi buruk, mereka senang membanting pintu kamar.
Hambatan lainnya yang terjadi dalam proses komunikasi antara perawat dan lansia adalah
hambatan semantik, perawat yang biasanya ngomong dengan bahasa Jawa, sering kali
membuat lansia tidak paham dengan apa yang dikatakan karena perawat berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Jawa, dimana lansia tidak paham dengan bahasa Jawa,
melainkan paham jika orang lain berbicara dengan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda
saja. Awal-awal masih terjadi salah paham, karena perawat biasanya masih menggunakan
dialek bahasa Jawa, sedangkan lansia tidak memahami apa yang dikatakan oleh perawat
ketika tidak menggunakan bahasa Indonesia, sehingga lansia sering salah mengartikan
maksud dari perawat (Prayogo, 2017).
Berikut ini adalah cara mengatasi hambatan berkomunikasi pada lansia
(Anjaswarni, 2016).
1. Menjaga agar tingkat kebisingan minimum.
2. Menjadi pendengar yang setia, sediakan waktu untuk mengobrol
3. Menjamin alat bantu dengar yang berfungsi dengan baik.
4. Yakinkan bahwa kacamata bersih dan pas.
5. Jangan berbicara dengan keras/berteriak, bicara langsung dengan telinga yang
dapat mendengar dengan lebih baik.
6. Berdiri di depan klien, jangan terlalu jauh dari lansia.
7. Pertahankan penggunaan kalimat yang pendek dan sederhana.
8. Beri kesempatan bagi klien untuk berpikir.

17
9. Mendorong keikutsertaan dalam aktivitas sosial, seperti perkumpulan orang tua,
kegiatan rohani.
10. Berbicara pada tingkat pemahaman klien.
11. Selalu menanyakan respons, terutama ketika mengajarkan suatu tugas atau keahlian.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Komunikasi merupakan suatu proses mendasar bagi manusia sebagai mahkluk
sosial. karena melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan mendapatkan pesan baik
secara verbal maupun non verbal. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi
interpersonal antara perawat dan pasien yang dilakukan secara sadar ketika perawat dan
pasien saling mempengaruhi dan memperoleh pengalaman bersama yang bertujuan untuk
mengatasi masalah pasien serta memperbaiki pengalaman emosional pasien yang pada
akhirnya akan mencapai kesembuhan. Komunikasi pada lansia membutuhkan peratian
khusus. Perawat harus waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial
yang memperngaruhi pola komunikasi.

3.2 Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari tulisan
maupun bahasa yang kami sajikan. Oleh karena itu, kami mohon diberikan sarannya agar
kami bisa membuat makalah ini lebih baik lagi. dan bermanfaat bagi kita semua.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anjaswarni, Tri. (2016). Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta Selatan:Pusdik SDM


Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Aspiani, Reny Yuli. 2014. Buku ajar keperawatan gerontik aplikasi jilid 2 aplikasi NANDA,
NIC, NOC. Jakarta: CV. Trans Info Media

Ayunityas, Fitria & Prihatiningsih, Witanti. 2017. Komunikasi Terapeutik pada Lansia di Graha
Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok. Media Tor Vol 10 (2). Jurnal Online: diakses
pada 11 November 2021, dari https://upnvj.ac.id

Benediktus, Boly, Wiyono, Joko, & Dewi, Novita. 2017. Hubungan tingkat pengetahuan
keluarga tentang komunikasi dengan penerapan komunikasi 62 pada lansia. Nursing
News Volume 2, Nomor 2. Jurnal Online: diakses pada 11 November 2021 dari
https://publikasi.unitri.ac.id

Daimayanti, Mukhripah.2016. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung.


PT Refika Aditama.

Damaiyanti, Mukhripah. (2017). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung:


Refika Aditama.

Dian Kusumawardani, Putri Andanawarih. PERAN POSYANDU LANSIA TERHADAP


KESEHATAN LANSIA DI PERUMAHAN BINA GRIYA INDAH KOTA
PEKALONGAN. Jurnal SIKLUS volume 7 Nomor 1 Januari 2018p-ISSN:2089-6778 e-
ISSN:2549-5054

Khalifah, Siti Nur. 2016. Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan gerontik. Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan. Diakses pada pada 11 November 2021 dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/

Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). (2017). Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Edisi 1. www.pormikidki.org/.../84-standar-nasionalakreditasi-rs-snars-ed-1-tahun-2017.
Maskhuri, Sriyono Ali. 2017. “Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Lansia”. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nugroho, W. 2012. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

20
Pendi, 2017. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Prayogo, Florencia Bela. 2017. Proses Komunikasi Interpersonal Antara Perawat Dengan Pasien
Lanjut Usia (Lansia) di Rumah Usiawan Panti Surya Surabaya. Jurnal E-Komunikasi,
5(1): 1-13

Ratnawati, E. 2017. Asuhan keperawatan gerontik.Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Rorie, Pricylia A.C. (2014). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat DenganKepuasan Pasien
Di Ruang Rawat Inap Irina A RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
https://ejournal.unsrat.ac.id
Sarfika R., Dkk. 2018. Buku Ajar Keperawatan Dasar 2 Komunikasi Terapeutik Dalam
Keperawatan. Padang : Andalas University Press

21

Anda mungkin juga menyukai