Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Preterm


2.1.1. Definisi

Persalinan preterm didefinisikan sebagai suatu persalinan yang terjadi antara

usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu, atau 259 hari gestasi,

dihitung dari haid pertama hari terakhir (Cunningham et al., 2018). Berdasarkan

rentang waktu tersebut, kemudian persalinan preterm diklasifikasikan lagi oleh WHO.

Klasifikasi persalinan preterm ini antara lain:

a. Extremely preterm, persalinan pada usia kehamilan 20 minggu 0 hari sampai 27

minggu 6 hari

b. Very preterm, persalinan pada usia kehamilan 28 minggu 0 hari sampai 31

minggu 6 hari

c. Moderate to late preterm, persalinan pada usia kehamilan antara 32 minggu 0

hari sampai 36 minggu 6 hari.

Definisi lain mengenai persalinan preterm yaitu munculnya kontraksi uterus

dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan

dilatasi serviks sebelum memasuki usia gestasi yang matang (antara 20 sampai 37

minggu).(Ross dan Eden, 2009). Persalinan preterm merupakan perrsalinan yang

8
terjadi pada usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali tiap 209

menit atau delapan kali tiap 60 menit selama enam hari, dan

diikuti dengan satu dari beberapa hal berikut, yakni ketuban pecah dini (premature

rupture of membrane, PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau

perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara serial.

Indikator yang sering dipakai untuk menyatakan terjadinya persalinan adalah

kontraksi uterus dengan frekuensi 4 kali setiap 20 menit dengan lama kontraksi 30

detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang progresif, dilatasi serviks > 1 cm dan

penipisian ≥ 80 % (Cunninghamet al., 2018).

2.1.2.Epidemiologi persalinan preterm

Insiden persalinan preterm memiliki angka yang bervariasi di seluruh dunia,

bergantung pada populasinya.Di Amerika Serikat, insiden persalinan preterm berkisar

pada angka12-13%, Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%. Pada

tahun 2013, insiden persalinan preterm di Jerman adalah 8,7%, di Brazil adalah

10,7%, dan di Inggrissebanyak 12%. Pada dua decade terakhir ini, insiden persalinan

preterm masih belum berubah, dan bahkan meningkat, meskipun seiring dengan

pengetahuan tentang faktor risiko dan mekanisme persalinan preterm. Di Amerika

Serikat dari 9,5% pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005 (Halimi et al.,

2017)
Di seluruh dunia, angkakejadianpersalinan preterm paling banyakterjadi di

wilayah Asia dan Afrika yaknisebesar 85%, di mana system kesehatan masih lemah10

dan belum memadai. Di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm belum

dapat dipastikan jumlahnya. Proporsi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia

diperkirakan mencapai 11,5%,namun angka BBLR ini tidak dapat dinyatakan

mewakili angka kejadian persalinan preterm (RISKESDAS, 2007)

Tingkat kelahiran preterm secara substansial meningkat di banyak lokasi di

Indonesia, yang terdaftar sebagai salah satu negaradengan jumlah terbesar kelahiran

prematur. Sebanyak 15,5% kelahiran preterm tercatatat dari semua kelahiran.

Kelahiran preterm dikaitkan dengan risiko ibu, janin, dan neonatal, menyumbang

angka 28% penyebab kematian neonatal dan hingga 75% morbiditas neonatal. Di

Indonesia, kelahiran preterm berkontribusi sebanyak 36% dari semua

neonatalpenyebab kematian. Hal tersebut dapat menyebabkan bayi yang baru lahir

mengalami defisit neurokognitif, disfungsi parudan gangguan ophthalmologi, Intra

uterine fetal death (IUFD), Intra uterine growth restriction (IUGR), kelainan denyut

jantung, onset dinisepsis neonatal, perdarahan intraventrikular, cerebral palsy,

anemia, sembelit, dan twin-twin transfusion syndrome juga terkait dengan kelahiran

preterm (Zachariassen dan Fenger-Gron, 2014). Situasi tersebut meningkatkan

kebutuhan untuk studi epidemiologi kelahiran prematur di setiap tingkat rumah sakit

di Indonesia (Sungkar et al., 2017)


11

Lima provinsi dengan persentase BBLR tertinggi di Indonesia antara lain

Provinsi Papua (27,0%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%),

Sumatera Selatan (19,5%), dan Kalimantan Barat (16,6%). Insiden persalinan preterm

di beberapa rumah sakit pemerintah di Indonesia beberapa tahun terakhir bervariasi

antara 3-9%. Di RS. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000 sebesar 8,2%, di

RS. Sanglah Denpasar pada tahun 2001-2003 sebesar 8,3% dari seluruh persalinan

(Udiarta, 2004). Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 1999-2004

terdapat 1,3% bayi prematur dari seluruh persalinan. Di Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Pandan Arang Boyolali pada bulan April sampai Mei 2010 didapatkan 13%

bayi prematur. Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 didapatkan

2.28% persalinan preterm dari total 6600 kelahiran (Oroh et al., 2016). Di RSUP

Cipto Mangunkusumo pada tahun 2013 terdapat 38,5% angka persalinan preterm

(Sungkar et al., 2017).

Pada suatu studi oleh Ardhana di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 1999,

didapatkan insiden persalinan preterm sebesar431 dari 4.984 persalinan (8,65 %)

(Ardhana et al, 1999). Sedangkan, Udiarta pada tahun 2004 dalam penelitiannya yang

dilakukan pada tahun 2003 mendapatkan angka persalinan preterm di RSUP Sanglah,

berurutan, pada tahun 2001 6,82 %, tahun 2002 sebesar 7,50 % dan pada tahun 2003

sebesar 11,4 % (Udiarta, 2004). Pada tahun 2016, di RSUP Sanglah, persalinan

preterm terjadisekitar 195 kasus (18.6%) (Gauthamaet al, 2017).

2.1.3. Etiologi dan faktor risiko persalinan preterm


Persalinan preterm merupakan persalinan yang dipengaruhi oleh banyak

faktor. Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme seperti infeksi,

inflamasi, iskemi atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang berlebihan,

stres, dan berbagai macam proses imunologi (Romero et al., 2007). Untuk menambah 12

pengetahuan mengenai faktor tesiko persalinan preterm, telah

dilakukan berbagai macam penelitian. Meskipun Sebagian besar penyebab persalinan

preterm ini adalah idiopatik, namun beberapa faktor risiko seperti faktor janin, rahin,

dan plasenta dapat mempengaruhi persalinan preterm. Namun, adanya faktor risiko

tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan preterm, bahkan sebagian

persalinan preterm yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas

(Halimi et al., 2017)

Beberapa faktor risiko yang memiliki peran pada kejadian persalinan preterm

(Berghellaet al., 2017), antara lain:

1. Riwayat

a. Riwayat obstetrik dan ginekologis yang terdiridaripersalinan preterm spontan

sebelumnya, keguguran trimester kedua, LEEP, anomaly uterus, paparan

DES, interval antar kehamilan pendek (<6 bulan), ART, KJDR<24 minggu

dan persalinan spontan pada hamilkembar,

b. Gaya hidup ibu (merokok, penyalah gunaan obat-obatan)

c. Berat badan ibu sebelumkehamilan<50 kg atau BMI rendah (<19.8 kg/m2),

tinggi badan yang rendah (3 SD dibawahras/etnik dan status nutrisiburuk


13

d. Usia maternal (<19 dan >35 tahun)

e. Ras (terutama Afrika-Amerika)

f. Lama edukasi (<12 tahun)

g. Kondisi medis tertentu (seperti DM, hipertensi, penyakit ginjal dan

kolestasis intra hepatik dalam kehamilan)

h. Status sosio ekonomi rendah

i. ANC yang terbatas

j. Riwayat keluarga dari persalinan preterm spontan

k. Perdarahan pervaginam (terutama selama trimester kedua)

l. Stress sosial atau psikologis

2. Dapat diidentifikasi dengan skrining

a. Anemia

b. Infeksi (IMS, penyakit periodontal)

c. CL dengan TVS <25 mm (terutama< 24 minggu)

3. Biasanya asimtomatik (kontraksi uterus)

4. Tidak spontan (iatrogenik)

a. Kematian janin/ kelainan mayor janin

b. Kehamilan ganda/polihidramnion

c. IUGR

d. Plasenta previa

e. Solusio plasenta
14

f. Penyakit maternal mayor (komplikasi hipertensi, DM dan lainnya)

Faktorr isiko lain yang diketahui meningkatkan kejadian persalinan preterm

(Smith, 2007; Thompson, 2006; Hendler, 2005), yaitu :

1. Faktor psiko-sosio demografik

a. Sosial, ekonomi dan pendidikan rendah

b. Status perkawinan

c. Usia ibu (< 16 tahun atau > 35 tahun)

d. Ras dan etnis

e. Status gizi

f. Perilaku gizi

g. Stress

2. Faktor ibu

a. Riwayat kehamilan sebelumnya (persalinan prematur, abortus, interval

kehamilan

b. Inkompetensi serviks

c. Kelainan uterus

d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan

hipertiroid)

e. Peregangan uterus yang berlebihan (kehamilan kembar, polihidramnion)

f. Perdarahan pervaginam (plasenta previa atau solusio plasenta)

3. Faktor infeksi
15
a. Infeksi intra uterin :

1) Ascenden dari vagina dan servik

2) Hematogen melewati plasenta

3) Iatrogenic akibat prosedur invasif

4) Penyebaran melalui saluran telur

b. Infeksi ekstra uterin

1) Pielonefritis

2) Bakteriuria asimptomatis

3) Pneumonia

4) Periodontitis

5) Infeksi virus (varicella, malaria)

c. Infeksi genital

1) Bakterial vaginosis

2) Chlamydia trachomatis

d. Faktor genetik dan biologi

Klasifikasi faktor risiko persalinan menjadi dua kelompok utama yaitu faktor

risiko mayor dan minor. Berdasarkan penggolongan ini, wanita hamil akan tergolong

memiliki risiko tinggi mengalami persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih

faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor atau ditemukan kedua

faktor risiko (mayor dan minor) (Suwardewa, 2011).

1. Faktor risiko mayor


a. Kehamilan multipel

b. Hidramnion

c. Anomali uterus

d. Pembukaan serviks 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu

e. Panjang serviks <2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS)

f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x

g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya

h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm


16
i. Riwayat konisasi

j. Iritabilitas uterus

k. Penggunaan cocaine atau amfetamin

2. Faktor risiko minor

a. Penyakit-penyakit yang disertai demam

b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu

c. Riwayat pielonefritis

d. Merokok lebih dari 10 batang per hari

e. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x.

2.1.4. Patogenesis persalinan preterm

Secara garis besar, persalinan aterm dan preterm mempunyai alur mekanisme

yang sama, terjadi peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan pecah

ketuban sehingga bayi dapat lahir. Perbedaan kedua persalinan ini terletak pada
17

aktivasi persalinan, pada persalinan aterm terjadi aktivasi yang fisiologis. Persalinan

preterm terjadi karena sebuah proses penyakit atau aktivasi patologis yang

mengaktivasi satu atau lebih komponen dari alur umum persalinan, yang meliputi

perubahan anatomis, biokimia, imun, endokrin dan klinis. Penyebab persalinan

preterm ini sangatlah kompleks dan patofisiologi persalinan preterm masih belum

diketahui secara jelas (Quinn et al., 2016)

Beberapa studi epidemiologi dan persalinan preterm menyimpulkan 4 jalur

penyebab yang mendasari terjadinya persalinan preterm. Jalur penyebab persalinan

ini akan memicu kontraksi uterus, dilatasi serviks, pecah ketuban, yang kemudian

akan diikuti dengan persalinan preterm. Jalur penyebab ini antara lain (Suwardewa,

2013):

1. Infeksi dan inflamasi

2. Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal

3. Perdarahan desidua

4. Peregangan uterus

Pada proses persalinan, hormon prostaglandin merupakan suatu mediator

krusial untuk onset persalinan. Prostaglandin ini dapat memicu kontraksi

miometrium, yang akan merangsang proteolysis dari matriks ekstraseluler dari

serviks serta ketuban. Proses ini kemudian akan menyebabkan pematangan serviks

dan ketuban pecah. Mekanisme kerja prostaglandin ini adalah dengan meningkatkan
18

influx kalsium di sarkoplasma dan trans membrane melalui peningkatan transkripsi

dari reseptor oksitosin, connexin-43 (gap junction), reseptor prostaglandin E2 (PGE2)

1, 2, 3, 4 dan reseptor prostaglandin F2α(PGF2α). Prostaglandin akan menginduksi

sistesis dari matriks metalloproteinase (MMPs) di ketuban dan sel di serviks uteri

untuk memicu pecahnya ketuban dan pematangan serviks. PGE2 dan PGF2α

meningkatkan rasio ekspresi reseptor progesteron (PR) isoform, PR-A dan PR-B,

yang kemudian menginduksi penurunan progesterone fungsional. Aktivitas dari

faktor nuklear-κB meningkat pada amnion dan myometrium selanjutnya menginduksi

aktivasi dari sejumlah gen-gen inflamasi yang juga menginduksi penurunan

progesterone fungsional (Buhimschi dan Norman, 2014).

Prostaglandin ini juga berperan dalam patofisiologi persalinan preterm.

Inflamasi, peregangan uterus dan serviks akibat overdistensi serta aktivasi aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) karena stres, akan menghasilkan prostaglandin

sebagai salah satu produk akhir, selain faktor imunitas lainnya (Buhimschi dan

Norman, 2014). Jalur Potensial dan Mediator Persalinan dapat dilihat pada Gambar

2.1
Gambar 2.1. Jalur dan mediator potensial dalam persalinan preterm
19

(Vrachnis et al., 2012)

2.1.4.1. Infeksi dan inflamasi


Infeksi adalah penyebab tersering persalinan preterm, di mana terjadi

penyebaran bakteri ke uterus dan cairan amnion sehingga memicu terjadinya

inflamasi, dan berakhir pada persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Beberapa

bakteri yang dikaitkan dengan persalinan preterm antara lain: Treponema pallidum,

Neisseria gonorrhoeae, Group B streptococus (GBS) Gardrenella vaginalis,

Mycoplasma hominis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium,

Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan Hemophilus

vaginalis (Romeroet al., 2007). Selain bakteri, infeksi akibat virus juga dapat memicu

persalinan preterm, Infeksi virus pada jaringan plasenta ini berhubungan dengan

persalinan spontan yang terjadi pada trimester kedua. Infeksi Human Papilloma Virus

(HPV) dan Cytomegalovirus (CMV) dapat merangsang kematian sel trofoblas

ekstravilli dan mengurangi invasi plasenta pada dinding uterus sehingga

menyebabkan disfungsi plasenta dan berakibat pada keluaran bayi, termasuk

persalinan preterm (Gomezet al., 2008).

Infeksi pada membran janin dan cairan amnion, atau dikenal sebagai

korioamnionitis, dapat berkaitan dengan persalinan preterm. Korioamnionitis juga

dikenal sebagai infeksi intra-amniotik (IAI), adalah peradangan akut pada membran

dan chorion plasenta atau infeksi cairan ketuban, uterus, dan / atau desidua (Fishman

dan Gelber, 2012). Definisi korioamnionitis dimodifikasi sesuai dengan kriteria

diagnostik utama, yang dapat berupa klinis, mikrobiologis, atau histopatologis.

Korioamnionitis klinis adalah suatu kondisi akut yang didiagnosis ketika terdapat
20

tanda-tanda klinis yang khas:demam pada maternal ditambah 2 temuan tambahan

maternal dan/atau takikardia pada janin, leukositosis ibu, nyeri tekan uterus, dan

cairan ketuban yang berbau busuk atau berbau (Grobman et al., 2014). Pemeriksaan

mikrobiologis korioamnionitis ditentukan melalui kultur mikroba dari cairan amnion

yang dikumpulkan secara tepat atau korioamnion. Korioamnionitis histologis adalah

diagnosis berdasarkan temuan patologis pada pemeriksaan mikroskopis plasenta yang

mengungkapkan infiltrasi granulosit akut ke dalam ruang janin-ibu atau ke dalam

jaringan janin. Kira-kira 30% wanita dengan persalinan preterm dan membran utuh

menunjukkan korioamnitis histologis, seperti pada 80% wanita dengan preterm

premature rupture of membranes (PPROM). Funisitis, juga merupakan diagnosis

histopatologis, yaitu adalah perluasan infeksi atau peradangan ke tali pusat. Diagnosis

tersebut ditegakkan dengan adanyaneutrofil di dinding pembuluh darah pusar dan /

atau dalam Wharton’s Jelly (Tita dan Andrew, 2010).

Pada korioamnionitis terjadi reaksi peradangan atau inflamasi. Sumber

Peradangan adalah respons tubuh alami untuk adanya suatu cedera, baik itu berasal

dari fisik, kimia, atau infeksi, dan itu adalah pendahuluan yang diperlukan untuk

adanya proses penyembuhan. Infeksi disebabkan oleh bakteri, virus, atau

jamur,sedangkan peradangan adalah respons tubuh terhadapnya (Polin dan Randis,

2015). Meskipun proses peradangan mempunyai sifat sebagai protektor,efeknya pada

jaringan dan organ tubuh mungkin dapat berlebihandan menyebabkan kerusakan.

Demam menginduksi respon inflamasi pada ibu, dimanifestasikan oleh peningkatan


21

level interleukin (IL)-6. Penelitian penyelidikan telah mencatat mengenai IL-6

sebagai penanda inflamasi pada intrauterin (Grobman et al., 2014). Lesi inflamasi

plasenta adalah suatu bagian tak terpisahkan dari proses kelahiran, dan bekerja

sebagai respon fisiologis terhadap proses persalinan, terutama pada kasus di mana

tidak ada infeksi klinis dan subklinis terkait diagnosis suatu peradangan. Hubungan

antarapersalinan dan risiko peradangan plasenta dapat dikaitkan dengan efek alami

dari kontraksi uterus, yang memungkinkan cairan vagina mengandung mikroba untuk

naik atau bersifat ascenderen ke dalam rongga rahim (Redline, 2012). Ketika proses

peradangan terdeteksi di dalam membran janin dan terbatas pada chorion-decidua,

proses inflamasi berasal dari ibu sedangkan respons janin juga diaktifkan ketika

peradangan menyerang rongga amniotik dan tali pusat. Infeksi intrauterin pada janin

dan bayi baru lahir bergantung pada durasi dan waktu proses inflamasi. Infeksi akut

adalah faktor risiko sepsis neonatal onset dini. Infeksi kronis sering bersifat subklinis

dan telah dikaitkan dengan berbagai cedera organ neonatal, termasuk otak, paru-paru,

mata, usus, dan timus. Peradangan yang melibatkan janin dikenal sebagai fetal

inflammatory response syndrome (FIRS) (Grobman et al., 2014).

Patogenesis persalinan preterm oleh karena infeksi dapat terjadi dengan proses

awal, di mana terjadi invasi bakteri pada korio desidua. Invasi bakteri ini akan

memicu pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan mengaktifkan desidua dan membrane

janin melepaskan berbagai sitokin, seperti TNF-α, IL-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan

granulocyte colony-stimulating factor (GCSF). Kadar sitokinini dalam cairan amnion


berhubungan dengan adanya infeksi korioamnion. Produksi prostanoid pada desidua, 22

korion, amnion dan sel miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel

desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan

TNF-α (gambar 2.2) (Goldenberget al., 2008).

Gambar 2.2. Tempat Potensial Infeksi pada Kehamilan (Goldenberget al., 2008)

Sitokin, endotoksin, dan eksotoksin ini akan merangsang pembentukan dan

pelepasan prostaglandin, kemudianakan mengawali kemotaksis neutrofil, infiltrasi

dan aktivasi. Puncak dari proses ini akan terjadi pembentukan dan pelepasan

metalloproteaseserta substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsang kontraksi

uterus, sedangkan invasi metalloprotease pada membran korioamnion menyebabkan


23

pecahnya ketuban. Metalloprotease juga menyebabkan perlunakan dan remodelling

kolagen servik. Cairan amnion pada wanita dengan persalinan preterm yang disertai

dengan infeksi intra amnion memperlihatkan peningkatan kadar sitokin seperti IL-1,

TNF-α, IL-6 dan RANTES (regulated on activation, normal T-cell-expressed and

secreted). Aktivasi dari jejaring sitokin menyebabkan peningkatan apoptosis plasenta

dan selaput korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand (Fasl). Ekspresi Fasl

diatur oleh TNF-α pada plasenta. Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam

pembukaan sevik dan mengambil tempat pada sel epitel amnion dalam sel selaput

janin dan menyebabkan pecahnya selaput (Goldenberget al., 2008).

Prostaglandin dehidrogenase di jaringan korion dapat menghambat masuknya

prostaglandin ke miometrium sehingga mencegah terjadinya kontraksi uterus. Jalur

kedua pathogenesis persalinan preterm terjadi melalui jalur ini. Pada pasien dengan

infeksi korionik, maka akan terjadi penurunan prostaglandin dehidrogenase.

Penurunan prostaglandin dehidrogenasei ni berakibat pada peningkatan jumlah

prostaglandin yang mencapai myometrium, yang kemudian memicu kontraksi uterus

(Goldenberget al., 2008).

Jalur ketiga pathogenesis persalinan preterm melibatkan janin itu sendiri. Pada

janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi CRH (Corticotropin Releasing

Hormone) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan

sekresi kortikotropin janin. Peningkatan kortikotropin menyebabkan peningkatan

produksi kortisol oleh adrenal janin, yang berakhir pada peningkatan produksi
24

prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Janin yang terinfeksi

akanterjadi peningkatan produksi sitokin dan waktu persalinan menjadisemakin cepat.

Pada 88% kasus janin yang terinfeksi akanterjadi persalinan dalam waktu 48-72 jam

kemudian. Perbedaan waktu antara terjadinya infeksi dengan kejadian persalinan

preterm belum diketahui pasti penyebabnya (Goldenberget al., 2008).

Perjalanan infeksi pada janin dapat melalui tiga cara yang dilihat dari pintu

masuknya mikroorganisme (Cunninghamet al., 2018) yaitu:

1. Descending peritoneal tubal route, di mana mikroorganisme masuk melalui tuba

fallopi dan menimbulkan infeksi pada janin.

2. Transplacental route, yakni ketika mikroorganisme masuk melalui plasenta

kemudian melalui tali pusat mencapai janin dan menimbulkan infeksi.

3. Ascending cervical route, rute infeksi terbanyak, dan terutama disebabkan oleh

bakteri. Mikroorganisme masuk melalui vagina bagian atas atau dari kanalis

servikalis. Biasanya disebabkan oleh flora dalam vagina atau mikroorganisme

antara lain GBS, Mycoplasma vaginalis dan jamur. Ada empat tahap terjadinya

infeksi ascendens. Tahap pertama adalah pertumbuhan berlebihan organisme

fakultatif atau organisme patogen pada vagina dan servik, contoh infeksi tahap

pertama adalah vaginosis bakteri. Selanjutnya, pada tahap kedua, bila bakteri

telah sampai ke desidua dan mengakibatkan khorionitis, maka ia akan menyebar

ke peredaran darah atau masuk ke rongga amnion, dan berlanjut menjadi

amnionitis (tahap ketiga). Tahap keempat, bila aspirasi cairan amnion terinfeksi
25

yang menyebabkan pneumonia kongenital atau kontak langsung dengan janin

(Griffinet al, 2007).

Mikrobiom pada saluran vagina pada wanita mempunyai peran penting

terhadap terjadinya angka kelahiran preterm. Meskipun kaitan antara genetika ibu dan

janin, dan interaksi antara gen dengan lingkungan memainkan peran dalam

menentukan waktu kehamilan, faktor lingkungan, termasuk mikrobiom, adalah

kontributor paling penting untuk terjadinya persalinan preterm (Fettweis et al., 2019).

Peradangan yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih, infeksi menular seksual,

termasuk trikomoniasis, atau bakterial vaginosis dianggap sebagai penyebab

terjadinya persalinan preterm. Penyebaran melalui sifat ascenderen dari suatu

mikroba yang berkolonisasi di saluran reproduksi bawah ke plasenta, selaput janin

dan rongga rahim, dan penyebaran patogen periodontal yang hematogen dari mulut,

menjelaskan hingga 40-50% dari kelahiran prematur yangterkait dengan etiologi

mikroba (Murray et al., 2017).

Komposisi mikrobiom vagina memiliki dampak signifikan terhadap populasi

spesifik pada risiko persalinan preterm. Beberapa penelitian yang berfokus pada

populasi yang sebagian besar keturunan Eropa (Brown et al., 2018) telah

menghubungkan Lactobacillus crispatus dengan risiko kelahiran preterm yang lebih

rendah. Profil mikrobiom vagina mempunyai perbedaan antar ras di dunia ini dengan

perbedaan yang signifikan (Borgdorff et al., 2017).

Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Herawati mengenai pola

mikroorganisme pada liang vagina wanita hamil di RSUD dr Soetomo memperoleh


26

37% hasil pembenihan positif pada ostium cervix dan 47% positif pada forniks

posterior vagina. Pada ostium cervix terdiri dari Streptococcus a. Hemoliticus (23%),

Lactobacillus (31%), Staphylococcus aureus (15%), Staphylococcus albus (8%) dan

Escherichia coli (23%). Sedangkan pada forniks posterior vagina yang terbanyak

adalah Streptococcus a. Hemoliticus dan Escherichia coli (36%) (Herawati, 2005).

2.1.4.2. Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal

Patogenesis persalinan preterm yang selanjutnya adalah dari aktivasi

maternal-fetal pada sumbu hipotalamus-hipofisis-pituitary-adrenal (HPA). Sumbu

HPA memediasi respons stress glukokortikoid, melepaskan hormon kortikotropin

(CRH) dari nukleus paraventrikular di hipotalamus sebagai responsuntuk stres dan

merangsang pelepasan hormon adrenocorticotrophin (ACTH) dari kelenjar di bawah

otak. Pada gilirannya ACTH menstimulasi korteks adrenal untuk mengeluarkan

kortisol ke dalam aliran darah. Kortisol memberi umpan balik ke reseptor

glukokortikoid dan mineralokortikoid (GR danMR) di hipofisis dan hipotalamus

untuk mengatur sekresi sendiri. Selama kehamilan, poros regulasi HPA ibu

mengalami perubahan dramatis. Kadar kortisol yang beredar didalam darah

meningkat secara signifikan menjadi sekitar tiga kali jika dibandingkan dengan orang

yang tidak hamil dengan orang dengan kehamilan trimester ketiga. Peningkatan

kortisol ini sebagian disebabkan oleh stimulasi estrogen dari corticosteroid binding

globulin (CBG) dengan peningkatan kadar kortisol bebas. Selain itu, plasenta

mengeluarkan CRH dalam jumlah besar ke dalam aliran darah ibu selama kehamilan
27

trimester kedua dan ketiga. CRH plasenta merangsang kelenjar hipofisis untuk

semakin meningkatkan ACTH dan akibatnya terjadi peningkatan tingkat kortisol.

Sebagai gantinya, kortisol ibu merangsang sintesis CRH plasenta dan menciptakan

dorongan feedback yang positif dengan tingkat kortisol yang dihasilkan lebih tinggi.

Meskipun kadar kortisol pada sirkulasi meningkat, sekresi kortisol diurnal

dipertahankan sepanjang kehamilan. Pada saat kehamilan berlanjut, peningkatan

sirkulasi kortisol menurunkan regulasi produksi CRH di hipotalamus, dan dengan

demikian responsif dari sumbu HPA untuk fisiologis dan stres psikologis dilemahkan

selama kehamilan trimester akhir (gambar 2.3) (Duthie dan Reynolds, 2013).

Gambar 2.3. Sumbu HPA pada kehamilan (Duthie dan Reynolds, 2013)

2.1.4.3. Perdarahan desidua

Patogenesis persalinan preterm juga disebabkan oleh adanya perdarahan

desidua. Desidua merupakan jaringan endometrium yang membatasi uterus, yang


28

berhubungan dengan membran janin dan plasenta. Perdarahan desidua adalah

perdarahan yang terjadi di dalam desidua, yang akan menyebabkan penurunan fungsi

dari pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan

memicu pelepasan CRH, meningkatkan serbukan makrofag dengan pelepasan

sitokinnya atau secara langsung merangsang produksi protease dan prostanoid

desidua melalui pembentukan trombin. Aktivitas trombin ini akan merangsang

koagulasi dan pembentukan gumpalan darah (clot), sehingga merangsang produksi

protease. Protease memiliki kemampuan untuk merusak membran janin dan

menyebabkan pembukaan serviks sehingga terjadi preterm premature rupture of the

membranes (PPROM). Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika

pada miometrium dan merangsang kontraksi (Cunninghamet al., 2018).

Selain oleh proses di atas, berkurangnya aliran darah ke uterus sekunder akibat

kelainan pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan jaringan setempat oleh

perioksidase lemak (lipid perioksidase/LPO) dan radikal bebas. Kerusakan jaringan

ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan endotelin yang akan

meningkatkan pelepasan CRH (Lockwood, 2009).

2.1.4.4. Peregangan uterus yang berlebihan

Patogenesis persalinan preterm juga diakibatkan oleh adanya peregangan

uterus yang berlebihan, yang dapat diakibatkan oleh polihidramnion, kehamilan

multipel dan kelainan anatomi uterus. Mekanisme yang ditimbulkan oleh peregangan

uterus ini adalah peningkatan aktivitas miometrium, pengeluaran prostaglandin dan


sitokin, serta peningkatan reseptor oksitosin pada miometrium yang mengakibatkan 29

tejadinya persalinan preterm (Romeroet al., 2007).

2.1.5. Dampak persalinan preterm

Tabel 2.1. Komplikasi yang Umum Ditemukan pada Prematuritas (Greenberget


al.,2014).
Sistem Organ Kelainan
Pulmonal Sindroma distres napas
Displasia bronkopulmonum
Hipoplasia pulmonum
Apnea pada prematuritas
Kardiovaskular Patent ductus arteriosus
Apnea dan bradikardia
Hipotensi
Gastrointestinal Necrotizing enterocolitis
Dismotilitas, refluks
Kesulitandalam feeding
Hipoglikemia
Sistemsarafpusat Perdarahan intraventricular
Leukomalacia periventricular
Visual Retinopati pada prematuritas
Kulit Insensible water lossberlebih
Hipotermia
Imunitas/hematologi Peningkatan insiden sepsis dan meningitis
Anemia pada prematuritas

Persalinan preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

neonatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyumbang 75% kematian neonatal

dan 50% morbiditas jangka panjang. Berdasarkan data WHO tahun 2016,

diperkirakan 15 juta bayi lahir terlalu dini setiap tahun, dan hampir 1 juta anak

meninggal setiap tahun karena komplikasi kelahiran preterm. Prematuritas berkaitan

dengan peningkatan risiko morbiditas pada hampir setiap sistem organ mayor.
30

Prematuritas organ mayor menyebabkan terganggunya kompensasi untuk

menyeimbangkan homeostasis tubuh bayi. Morbiditas yang ditimbulkan akibat

persalinan preterm ini juga cukup berat, bahkan 1/3 bayi yang dilahirkan melalui

persalinan preterm memiliki disabilitas neurologis jangka panjang, seperti serebral

palsy atau retardasi mental. Bayi dari persalinan premature ini juga berisiko memilik

imasalah di kehidupan yang akan datang, seperti kesulitan belajar di sekolah,

penyakit paru kronis, retinopati prematur, gangguan pendengaran, dan gangguan

pertumbuhan (Halimi et al., 2017), (Greenberg et al., 2014).

2.2. Infeksi Streptococcus Grup B

Streptococcus Grup B atau selanjutnya disebut sebagai GBS merupakan suatu

kuman diplokokus gram positif yang menghasilkan pertumbuhan koloni kuman β

hemolitik pada blood agar dan strain utamanya adalah hemolitik. Sebagian besar

strain resisten terhadap basitrasin dan menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan

dengan cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP). GBS menghasilkan bahan ekstra

selular yaitu hemolisin, faktor cAMP, asam hipurik, nuklease, protease,

neuroaminidase dan asam lipoteikoik. Dua faktor terakhir berhubungan dengan

peningkatan virulensi pathogen GBS ( Burmanet al., 1992).

GBS adalah bakteri gram positif beta hemolitik yang berkolonisasi di traktus

gastrointestinal, pada 18% wanita secara global GBS merupakan flora gastrointestinal
31

dan vagina. GBS dapat berkembang menjadi bakteri patogen pada populasi yang

rentan seperti bayi baru lahir, wanita hamil, dan pada usia lanjut. Pada kehamilan,

infeksi GBS secara ascending berhubungan dengan kelahiran prematur, kematian

janin dalam rahim, dan cedera pada janin. (Rosen et al, 2017)

Pada perubahan antara keadaan komensal dan patogen, GBS menunjukkan

berbagai mekanisme kontrol terhadap faktor virulensinya. Terdapat faktor unik yang

meningkatkan kelangsungan hidup bakteri GBS. Protein yang terdapat pada GBS

disebut biofilm regulator protein A (BrpA). Berdasarkan penelitian Patrass, dkk

diusulkan bahwa BrpA adalah regulator virulensi penting dan target potensial untuk

desain antibakteri terbaru untuk GBS (Patras et al, 2018)

Infeksi ascending intrauterine bakteri Streptococcus Grup B

atauStreptococcus agalactiae meningkatkan risiko ketuban pecah dini preterm,

luka/trauma pada fetus, sepsis, kelahiran preterm serta meningitis pada bayi muda

umur kurang dari 90 hari. Bakteri ini didapatkan pada 25% wanita hamil, dan koloni

bakteri ini pada traktus genitourinarius yang menginfeksi secara ascenden merupakan

salah satu faktor risiko utama terjadinya kelahiran prematur. Pada umumnya koloni

bakteri ini bersifat asimtomatik dan hanya sesekali dihubungkan dengan infeksi

traktus urinarius (Whidbeyet al., 2015). Kurang lebih 30% wanita hamil tidak

memperlihatkan gejala klinik walaupun pada jalan lahirnya mengandung GBS (Benitz

et al, 2003)
Kuman GBS dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan polisakarida kapsul

serta antigen protein yaitu Ia, Ib, Ia/c, II, III dan IV. Kuman GBS berkembang dan

berkoloni pada sistem gastrointestinal dan jalan lahir ibu hamil. Koloni GBS

menyebabkan prematuritas dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) bila terjadi pada

umur kehamilan 23-26 minggu. Koloni kuman ini pada saat persalinan dapat

berhubungan erat dengan infeksi neonatus. Daerah orofaring pada bayi baru lahir

merupakan daerah yang paling sering ditemukan koloni kuman ini, karena cairan

ketuban yang tertelan saat persalinan, daerah lainnya adalah lubang hidung dan

telinga bagian luar. Pengobatan intrapartum pada wanita dengan hasil kultur positif

mengandung kuman GBS dapat memperlihatkan penurunan transmisi kuman ke

neonatus selama terjadi persalinan (Hay et al, 1994; Belliget al., 2005; Philips, 2004,

Smith, 2007).

Pada infeksi oleh bakteri GBS ini penting untuk mengetahui toksin bakteri ini.

Adanya virulensi bakteri GBS ini ditandai dengan toksin β-hemolisin/sitolisin (dari

sekarang akan disebut hemolisin). Toksin ini berperan dalam karakteristik zona β-

hemolisis yang dilihat pada GBS, dan tipe strain hemolitik yang akan berkaitan

dengan virulensi. GBS hiperhemolitik bersifat lebih patogenik dibandingkan GBS

non-hemolitik yang bersifat lebih mudah dilemahkan. Suatu penelitian

mengungkapkan bahwa molekul yang bertanggung jawab dalam aktivitas hemolitik

GBS adalah rhamnopolyene lipid/pigment, yang juga dikenal sebagai granadaene.


Identifikasi hemolisin GBS sebagai lipid, menambah pengetahuan tentang bagaimana

toksin berkontribusi terhadap inflamasi, sitotoksisitas, dan persalinan preterm, yang

al., 2015) Mekanisme infeksi GBS ascending dan respon imun yang terjadi selama

proses ini juga belum teridentifikasi secara baik. Studi menggunakan binatang hamil

menunjukkan inflamasi intrauterin yang disebabkan oleh infeksi bakteri memicu

disrupsi dari membrane plasenta yang berakibat pada luka pada fetus dan kelahiran
33

preterm. Suatu studi yang menggunakan injeksi intraperitoneal GBS yang sudah

dimatikan dengan panas menunjukkan bahwa pan-caspase inhibitor berhasil

menunda, namun tidak mencegah kelahiran preterm pada model. Walaupun tipe GBS

hemolitik sudah diketahui dapat mengaktivasi inflammasome NLRP3 pada sel

dendritic dan makrofag tikus, namun apakah toksin pigmen/lipid hemolitik cukup

untuk mengaktivasi inflammasome dan apakah ini memicu pyroptosis masih tidak

diketahui. Ketika RNA GBS eksogen ditransfer kedalam makrofag tikus,

inflammasome NLRP3 adalah yang pertama ditemukan berkaitan dengan RNA GBS,

namun aktivasi inflammasome membutuhkan adanya GBS hemolitik. Namun

relevansi dari penemuan ini pada infeksi GBS in vitro dan in vivo masih tidak jelas.
Karena aktivasi NLRP3 terjadi hanya pada saat adanya GBS hemolitik (Whidbeyet

al., 2015).

Gambar 2.4. Mekanisme pigmen GBS menjadi perantara proses penghancuran sel
inang dan persalinan preterm (Whidbeyet al., 2015)

Pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa pigmen GBS memasuki membran sel

inang yang mengakibatkan gangguan permeabialitas membran dan flux ion, ini

mengakibatkan lisis osmotik koloid. Pada makrofag, hilangnya potassium intrasel

memicu formasi inflammasome NLRP3. Inflammasome yang teraktivasi kemudian

mengaktivasi caspase 1, yang membelah pro-IL-1β dan pro-IL-18 menjadi bentuk

aktif mereka. Akhirnya, aktivasi caspase 1 mengakibatkan kematian sel dengan

pyroptosis. Pyroptosis dengan NLRP3 adalah tipe kematian sel yang paling sering

terlihat pada makrofag yang terekspos dengan pigmen murni dan GBS

hemolitik/pigmen, GBS tipe hiperpigmentasi menginduksi kematian sel dengan level

rendah pada makrofag yang kekurangan NLRP3 dan yang kekurangan ASC yang

mandiri terhadap inflammasone dan caspase 3/7. Pada sel tuan yang resisten atau

yang dalam perbaikan setelah perlukaan membran yang diinduksi pigmen (ex:

makrofag yang kekurangan NLRP3). Degradasi pigmen lisosom atau rontoknya

vesikel yang mengandung kompleks membran pigmen dan pergantian membran

plasma mencegah kematian sel. Pigmen GBS memperburuk perlukaan pada fetus dan

kelahiran preterm melalui aksi lisis osmotik koloid dan pyroptosis (Whidbeyet al.,

2015).
Pada dasarnya fetus yang masih terbungkus oleh lapisan amnion cukup

terlindung dari flora bakteri ibu, cairan amniom mempunyai fungsi menghambat

pertumbuhan E. coli dan bakteri lainnya karena mengandung lisozim, transverin atau

immunoglobulin (IgA dan IgG) yang diduga berfungsi sebagai bakteriostatik. Bila

terjadi kerusakan lapisan amnion (baik sengaja atau tidak misalnya pada prosedur

amniosintesis), fetus mudah mendapat infeksi melalui amnionitis. Infeksi daerah

vagina merupakan faktor risiko yang penting (Belliget al., 2005). Bila ibu mengalami

infeksi segera setelah melahirkan dengan suhu > 37,8º C maka 9,2 - 38,2% di antara

bayi yang dilahirkan akan menderita sepsis neonatorum (Philips, 2004). Sebagian
35
besar meningitis neonatorum akibat dari bakteriemia neonatal, bakteriemia maternal

atau infeksi transplasental (Belliget al., 2005).

Pada saat kelahiran, invasi bakteri melalui air ketuban yang tertelan, kulit

yang terinfeksi menjalar melalui jaringan lunak dan sutura kepala atau melalui

trombosis vena. Bila bakteriemia tidak mampu diatasi oleh sistem kekebalan tubuh

maka akan terjadi respons sistemik (Sistemic Inflamatory Response Syndrome/SIRS).

SIRS dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi dan bila disebabkan oleh

infeksi maka SIRS identik dengan sepsis. Endotoksin bakteri maupun komponen-

komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan ke sirkulasi akan mengaktivasi sitokin

yang berperan sebagai mediator pro inflamasi sehingga timbul respon fisiologis tubuh

yaitu aktivasi sistem komplemen, sistem koagulasi, sekresi Adrenocorticotropic

Hormone (ACTH), stimulasi neutrofil polimorfonuklear dan stimulasi sistem kinin-


kalikrein. Akibat aktivasi berbagai sistem tersebut, permeabilitas vaskuler meningkat,

tonus vaskuler menurun dan terjadi ketidakseimbangan perfusi dengan kebutuhan

jaringan yang meningkat. Bila reaksi inflamasi yang dominan, terjadi renjatan dan

disfungsi organ, sebaliknya jika anti inflamasi yang berlebih terjadi, maka terjadi

supresi terhadap sistem imun. Bila keadaan ini memberat maka dapat terjadi renjatan

akibat menurunnya perfusi dan transport oksigen kejaringan dan bisa terjadi kematian

(Cuningham et al, 2018).

2.3. Procalcitonin sebagai Penanda Infeksi

Procalcitonin (PCT) terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 14.5
36
kDa, dan dibentuk oleh preprocalcitonin (prePCT) yang terbentuk dari 141 asam

amino dan terdiri dari empat rantai yaitu signal peptide, N-terminal PCT,

immaturecalcitonin, dan katacalcin. Preprocalcitonin kemudian dipecah oleh enzim

proteolitik dengan melepaskan ikatan rantai signal peptide sehingga akan terbentuk

PCT yang terdiri dari 116 asam amino. Procalcitonin selanjutnya secara enzimatik

akan melepaskan rantai N–Terminal-Procalcitonin dan katacalcin sehingga tersisa

immatureprocalcitonin yang selanjutya melalui enzim Peptidylglycine α-amidating

monooxygenase (PAM) akan diubah menjadi calcitonin yang terdiri 32 asam amino.

Calcitonin (CT) berfungsi dalam metabolisme calsium dan fosfat (Jing, 2010).

Procalcitonin dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid, paru, hati, ginjal, jaringan

lemak, otot, dan lambung. Pada kondisi normal, PCT hanya dihasilkan oleh sel C

kelenjar tiroid yang akan diubah menjadi CT. Namun, pada kondisi sepsis (gambar
2.5), mediator inflamasi (gambar 2.6) dan endotoksin bakteri akan merangsang

jaringan memproduksi PCT dan menghambat perubahan PCT menjadi CT di sel C

kelenjar tiroid (gambar 2.7). Oleh karena proses ini, maka pada kondisisepsis

akanterjadi peningkatan PCT.

H S
Calcitonin: ea ep PCT:
Sources of lt si
production hy
s
Sources of
in healthy Production
people in Septic
Patients

37

Gambar 2.5. Perbedaan sumber pembentukan PCT pada orang sehat dan
sepsis (Muler, 2000)

Gambar 2.6.Respons inflamasi terhadap pembentukan PCT (Crain, 2003)


Gambar 2.7.Pembentukan Calcitonin (Jing, 2010)
38

Gambar 2.8.Struktur molekul PCT (Brunkhorstet al., 1998)

Pada kondisi normal (gambar 2.8), akan terjadi transkripsi Calcitonin gene

related peptide 1 (CALC-1) yang terdapat pada kromosom 11 yang hanya akan

merangsang pembentukan prePCT di sel C kelenjar tiroid sedangkan pada jaringan

lain akan terjadi supresi. Namun, pada kondisi infeksi atau sepsis, transkripsi CALC-

1 akan merangsang semua jaringan yang dapat menghasilkan PCT sehingga akan

meningkatkan PCT (Jing, 2010). Fungsi peningkatan PCT pada keadaan infeksi ini

masih belum jelas dipahami. Namun, karena adanya pemahaman mengenai proses ini,

maka PCT dapat digunakan untuk membedakan infeksi dan proses inflamasi lainnya.

Pada infeksi virus, virus akan merangsang pengeluaran interferon ɣ (IFN- ɣ) yang

akan menghambat produksi PCT di jaringan sehingga pada infeksi virus, kadar PCT

tetap normal (Crain, 2003).

Procalcitonin meningkat pada 6 jam setelah terjadi infeksi, dan akanmencapai

konsentrasi puncak dalam 12 – 24 jam dan mempunyai waktu paruh hingga25 – 30


39
jam pada keadaan normal dan 30 – 45 jam pada gangguan ginjal berat, sehingga PCT

dapatdikatakan stabil sebagai uji diagnosis. Studi oleh (Brunkhorst et al., 1998)

mengungkap bahwaterjadi peningkatan PCT sekitar 0.5mg/dL/jam dalam 2-3 jam

pertama lalu terjadi peningkatan PCT yang cepat dalam 6-12 jam pertama dan

menetap selama 48 jam. Procalcitoin pertama kali dilaporkan sebagai penanda sepsis

oleh Moya pada tahun 1975 (James, 2011).

Procalcitonin pada keadaan sepsis dihasilkan oleh beberapa organ sebagai

akibat respons terhadap stimulus inflamasi. Peningkatan PCT berbanding lurus

dengan beratnya sepsis. Pada orang sehat, nilai PCT < 0.05 ɥg/L namun pada kondisi

sepsis dapat meningkat hingga 1000 ɥg/L. Nilai PCT > 2 ɥg/L dikatakan abnormal

dan sangat dicurigai berhubungan dengan sepsis. Pada kondisi nilai PCT 0.5 ɥg/L – 2

ɥg/L dikatakan sebagai zona abu-abu diagnosis sepsis sehingga direkomendasikan

untuk mengulang kembali pemeriksaan PCT 6 – 24 jam sampai diagnosis dapat

ditegakan. Sedangkan nilai PCT > 10 ɥg/L dikatakan hanya ditemukan pada sepsis

berat atau syok sepsis. Pada SIRS yang disebabkan oleh non bakterial, nilai PCT

biasanya < 1 ɥg/L. Beberapa kondisi seperti infeksi virus, kolonisasi bakteri, infeksi

lokal, alergi, penyakit autoimun, dan transplantasi tidak menginduksi peningkatan

PCT (PCT < 0.5 ɥg/L) (Meisner, 2010; Schuetzet al., 2007).

Endotoksin bakteri dan sitokin pro-inflamasi merupakan rangsangan yang

kuat pembentukan PCT. Fungsi dari PCT masih belum jelas, namun dari beberapa

studi eksperimental dikatakan PCT berperan dalam patogenesis sepsis dimana PCT
40
berperan dalam protein kemoreaktan dan modulasi produksi Nitrit Oxide (NO) oleh

sel endotel.

Procalcitonin digunakan sebagai penanda sepsis dan dapat digunakan sebagai

panduan pemberian antibiotik dan merupakan biomarker terbarudibandingkan dengan

konvensional, yang digunakan untuk deteksi dini sepsis. Procalcitonin banyak

dibandingkan dengan biomarker lain yang telah menunjukkan akurasi diagnostik

yang unggul untuk berbagai infeksi, termasuk sepsis. Procalcitonin dapat menjadi

alat yang berguna untuk panduan penatalaksanaa antimikroba dan penggunaannya

dengan aman, dan dapat menyebabkan pengurangan yang signifikan dari pemberian

terapi antimikroba yang tidak perlu (Vijayan et al., 2017).

Beberapa studi observasional dan intervesional menunjukan peningkatan

PCT berguna dalam membedakan infeksi dan non-infeksi, penentuan tingkat

keparahan suatu infeksi, dan panduan pemberian antibiotika pada infeksi bakteri.

Procalcitonin memiliki sensitivitas 83% dan spesifisitas 65% dalam kaitannya

dengan kejadian kasus sepsis (Wang et al., 2013).

Penelitian (Asadi et al., 2019) mengemukakan bahwa kadar serum

procalcitonin pada ibu hamil telah terbukti berhubungan dengan angka kejadian

aborsi spontan dan sepsis neonatal bersama dengan korioamnionitisdengan berbagai

nilai prediktif di antara mereka yang memiliki PPROM. Peningkatan serum PCT

yang signifikan terdapat pada bayi preterm berumur 72 jam dengan ibu

korioamnionitis (Janotaet al., 2001). Penelitian perbandingan antara CRP, PCT, dan
41

IL-6 dalam cairan servikovagina untuk memprediksi persalinan preterm, didapatkan

peningkatan secara signifikan ketiga kadar marker tersebut. Procalcitonin merupakan

parameter baru untuk mendiagnosis infeksi, dimana kejadian dan mekanismenya

dalam kehamilan masih belum diketahui sampai saat ini. Cut off point PCT ≥ 1,7

ng/mL dan didapatkan sensitifitas sebesar 52%, spesifisitas 70%, NPP 57% dan NPN

66% dalam memprediksi persalinanpreterm (Torbe dan Czajka, 2004).

Infeksi bakteri seperti pada infeksi GBS memicu peningkatan sintesis PCT.

Kenaikan ini berkaitan dengan peningkatan ekspresi gen CALC-I, yang menghasilkan

peningkatan sintesis PCT oleh berbagai sel, jaringan, dan organ, (misal: hati,ginjal,

pankreas, jaringan lemak dan leukosit). Fungsi PCT sebagai penanda infeksi

diproduksi dalam duacara: langsung dan tidak langsung. Produksi langsung berkaitan

denganinduksi sintesis PCT melalui produksi racundan liposakarida bakteri,

sedangkan produksi tidak langsungterkait dengan peningkatan produksi pada

mediator peradangan pada sel inang, seperti interleukins-1b, interleukins-6 dantumor

necrosis factor-alpha (TNF-α) (Hatzistilianou, 2010)

Anda mungkin juga menyukai