Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu, atau 259 hari gestasi,
dihitung dari haid pertama hari terakhir (Cunningham et al., 2018). Berdasarkan
rentang waktu tersebut, kemudian persalinan preterm diklasifikasikan lagi oleh WHO.
minggu 6 hari
minggu 6 hari
dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan
dilatasi serviks sebelum memasuki usia gestasi yang matang (antara 20 sampai 37
8
terjadi pada usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali tiap 209
menit atau delapan kali tiap 60 menit selama enam hari, dan
diikuti dengan satu dari beberapa hal berikut, yakni ketuban pecah dini (premature
rupture of membrane, PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau
perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara serial.
kontraksi uterus dengan frekuensi 4 kali setiap 20 menit dengan lama kontraksi 30
detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang progresif, dilatasi serviks > 1 cm dan
pada angka12-13%, Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%. Pada
tahun 2013, insiden persalinan preterm di Jerman adalah 8,7%, di Brazil adalah
10,7%, dan di Inggrissebanyak 12%. Pada dua decade terakhir ini, insiden persalinan
preterm masih belum berubah, dan bahkan meningkat, meskipun seiring dengan
Serikat dari 9,5% pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005 (Halimi et al.,
2017)
Di seluruh dunia, angkakejadianpersalinan preterm paling banyakterjadi di
wilayah Asia dan Afrika yaknisebesar 85%, di mana system kesehatan masih lemah10
dan belum memadai. Di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm belum
dapat dipastikan jumlahnya. Proporsi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia
Indonesia, yang terdaftar sebagai salah satu negaradengan jumlah terbesar kelahiran
Kelahiran preterm dikaitkan dengan risiko ibu, janin, dan neonatal, menyumbang
angka 28% penyebab kematian neonatal dan hingga 75% morbiditas neonatal. Di
neonatalpenyebab kematian. Hal tersebut dapat menyebabkan bayi yang baru lahir
uterine fetal death (IUFD), Intra uterine growth restriction (IUGR), kelainan denyut
anemia, sembelit, dan twin-twin transfusion syndrome juga terkait dengan kelahiran
kebutuhan untuk studi epidemiologi kelahiran prematur di setiap tingkat rumah sakit
Provinsi Papua (27,0%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%),
Sumatera Selatan (19,5%), dan Kalimantan Barat (16,6%). Insiden persalinan preterm
antara 3-9%. Di RS. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000 sebesar 8,2%, di
RS. Sanglah Denpasar pada tahun 2001-2003 sebesar 8,3% dari seluruh persalinan
(Udiarta, 2004). Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 1999-2004
terdapat 1,3% bayi prematur dari seluruh persalinan. Di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Pandan Arang Boyolali pada bulan April sampai Mei 2010 didapatkan 13%
bayi prematur. Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 didapatkan
2.28% persalinan preterm dari total 6600 kelahiran (Oroh et al., 2016). Di RSUP
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2013 terdapat 38,5% angka persalinan preterm
Pada suatu studi oleh Ardhana di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 1999,
(Ardhana et al, 1999). Sedangkan, Udiarta pada tahun 2004 dalam penelitiannya yang
dilakukan pada tahun 2003 mendapatkan angka persalinan preterm di RSUP Sanglah,
berurutan, pada tahun 2001 6,82 %, tahun 2002 sebesar 7,50 % dan pada tahun 2003
sebesar 11,4 % (Udiarta, 2004). Pada tahun 2016, di RSUP Sanglah, persalinan
faktor. Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme seperti infeksi,
stres, dan berbagai macam proses imunologi (Romero et al., 2007). Untuk menambah 12
preterm ini adalah idiopatik, namun beberapa faktor risiko seperti faktor janin, rahin,
dan plasenta dapat mempengaruhi persalinan preterm. Namun, adanya faktor risiko
persalinan preterm yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas
Beberapa faktor risiko yang memiliki peran pada kejadian persalinan preterm
1. Riwayat
DES, interval antar kehamilan pendek (<6 bulan), ART, KJDR<24 minggu
a. Anemia
b. Kehamilan ganda/polihidramnion
c. IUGR
d. Plasenta previa
e. Solusio plasenta
14
b. Status perkawinan
e. Status gizi
f. Perilaku gizi
g. Stress
2. Faktor ibu
kehamilan
b. Inkompetensi serviks
c. Kelainan uterus
d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan
hipertiroid)
3. Faktor infeksi
15
a. Infeksi intra uterin :
1) Pielonefritis
2) Bakteriuria asimptomatis
3) Pneumonia
4) Periodontitis
c. Infeksi genital
1) Bakterial vaginosis
2) Chlamydia trachomatis
Klasifikasi faktor risiko persalinan menjadi dua kelompok utama yaitu faktor
risiko mayor dan minor. Berdasarkan penggolongan ini, wanita hamil akan tergolong
memiliki risiko tinggi mengalami persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih
faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor atau ditemukan kedua
b. Hidramnion
c. Anomali uterus
e. Panjang serviks <2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS)
j. Iritabilitas uterus
c. Riwayat pielonefritis
Secara garis besar, persalinan aterm dan preterm mempunyai alur mekanisme
yang sama, terjadi peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan pecah
ketuban sehingga bayi dapat lahir. Perbedaan kedua persalinan ini terletak pada
17
aktivasi persalinan, pada persalinan aterm terjadi aktivasi yang fisiologis. Persalinan
preterm terjadi karena sebuah proses penyakit atau aktivasi patologis yang
mengaktivasi satu atau lebih komponen dari alur umum persalinan, yang meliputi
preterm ini sangatlah kompleks dan patofisiologi persalinan preterm masih belum
ini akan memicu kontraksi uterus, dilatasi serviks, pecah ketuban, yang kemudian
akan diikuti dengan persalinan preterm. Jalur penyebab ini antara lain (Suwardewa,
2013):
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus
serviks serta ketuban. Proses ini kemudian akan menyebabkan pematangan serviks
dan ketuban pecah. Mekanisme kerja prostaglandin ini adalah dengan meningkatkan
18
sistesis dari matriks metalloproteinase (MMPs) di ketuban dan sel di serviks uteri
untuk memicu pecahnya ketuban dan pematangan serviks. PGE2 dan PGF2α
meningkatkan rasio ekspresi reseptor progesteron (PR) isoform, PR-A dan PR-B,
Inflamasi, peregangan uterus dan serviks akibat overdistensi serta aktivasi aksis
sebagai salah satu produk akhir, selain faktor imunitas lainnya (Buhimschi dan
Norman, 2014). Jalur Potensial dan Mediator Persalinan dapat dilihat pada Gambar
2.1
Gambar 2.1. Jalur dan mediator potensial dalam persalinan preterm
19
inflamasi, dan berakhir pada persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Beberapa
bakteri yang dikaitkan dengan persalinan preterm antara lain: Treponema pallidum,
vaginalis (Romeroet al., 2007). Selain bakteri, infeksi akibat virus juga dapat memicu
persalinan preterm, Infeksi virus pada jaringan plasenta ini berhubungan dengan
persalinan spontan yang terjadi pada trimester kedua. Infeksi Human Papilloma Virus
Infeksi pada membran janin dan cairan amnion, atau dikenal sebagai
dikenal sebagai infeksi intra-amniotik (IAI), adalah peradangan akut pada membran
dan chorion plasenta atau infeksi cairan ketuban, uterus, dan / atau desidua (Fishman
Korioamnionitis klinis adalah suatu kondisi akut yang didiagnosis ketika terdapat
20
maternal dan/atau takikardia pada janin, leukositosis ibu, nyeri tekan uterus, dan
cairan ketuban yang berbau busuk atau berbau (Grobman et al., 2014). Pemeriksaan
jaringan janin. Kira-kira 30% wanita dengan persalinan preterm dan membran utuh
histopatologis, yaitu adalah perluasan infeksi atau peradangan ke tali pusat. Diagnosis
Peradangan adalah respons tubuh alami untuk adanya suatu cedera, baik itu berasal
dari fisik, kimia, atau infeksi, dan itu adalah pendahuluan yang diperlukan untuk
sebagai penanda inflamasi pada intrauterin (Grobman et al., 2014). Lesi inflamasi
plasenta adalah suatu bagian tak terpisahkan dari proses kelahiran, dan bekerja
sebagai respon fisiologis terhadap proses persalinan, terutama pada kasus di mana
tidak ada infeksi klinis dan subklinis terkait diagnosis suatu peradangan. Hubungan
antarapersalinan dan risiko peradangan plasenta dapat dikaitkan dengan efek alami
dari kontraksi uterus, yang memungkinkan cairan vagina mengandung mikroba untuk
naik atau bersifat ascenderen ke dalam rongga rahim (Redline, 2012). Ketika proses
proses inflamasi berasal dari ibu sedangkan respons janin juga diaktifkan ketika
peradangan menyerang rongga amniotik dan tali pusat. Infeksi intrauterin pada janin
dan bayi baru lahir bergantung pada durasi dan waktu proses inflamasi. Infeksi akut
adalah faktor risiko sepsis neonatal onset dini. Infeksi kronis sering bersifat subklinis
dan telah dikaitkan dengan berbagai cedera organ neonatal, termasuk otak, paru-paru,
mata, usus, dan timus. Peradangan yang melibatkan janin dikenal sebagai fetal
Patogenesis persalinan preterm oleh karena infeksi dapat terjadi dengan proses
awal, di mana terjadi invasi bakteri pada korio desidua. Invasi bakteri ini akan
janin melepaskan berbagai sitokin, seperti TNF-α, IL-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan
korion, amnion dan sel miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel
desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan
Gambar 2.2. Tempat Potensial Infeksi pada Kehamilan (Goldenberget al., 2008)
dan aktivasi. Puncak dari proses ini akan terjadi pembentukan dan pelepasan
kolagen servik. Cairan amnion pada wanita dengan persalinan preterm yang disertai
dengan infeksi intra amnion memperlihatkan peningkatan kadar sitokin seperti IL-1,
dan selaput korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand (Fasl). Ekspresi Fasl
diatur oleh TNF-α pada plasenta. Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam
pembukaan sevik dan mengambil tempat pada sel epitel amnion dalam sel selaput
kedua pathogenesis persalinan preterm terjadi melalui jalur ini. Pada pasien dengan
Jalur ketiga pathogenesis persalinan preterm melibatkan janin itu sendiri. Pada
produksi kortisol oleh adrenal janin, yang berakhir pada peningkatan produksi
24
Pada 88% kasus janin yang terinfeksi akanterjadi persalinan dalam waktu 48-72 jam
Perjalanan infeksi pada janin dapat melalui tiga cara yang dilihat dari pintu
3. Ascending cervical route, rute infeksi terbanyak, dan terutama disebabkan oleh
bakteri. Mikroorganisme masuk melalui vagina bagian atas atau dari kanalis
antara lain GBS, Mycoplasma vaginalis dan jamur. Ada empat tahap terjadinya
fakultatif atau organisme patogen pada vagina dan servik, contoh infeksi tahap
pertama adalah vaginosis bakteri. Selanjutnya, pada tahap kedua, bila bakteri
amnionitis (tahap ketiga). Tahap keempat, bila aspirasi cairan amnion terinfeksi
25
terhadap terjadinya angka kelahiran preterm. Meskipun kaitan antara genetika ibu dan
janin, dan interaksi antara gen dengan lingkungan memainkan peran dalam
kontributor paling penting untuk terjadinya persalinan preterm (Fettweis et al., 2019).
Peradangan yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih, infeksi menular seksual,
dan rongga rahim, dan penyebaran patogen periodontal yang hematogen dari mulut,
spesifik pada risiko persalinan preterm. Beberapa penelitian yang berfokus pada
populasi yang sebagian besar keturunan Eropa (Brown et al., 2018) telah
rendah. Profil mikrobiom vagina mempunyai perbedaan antar ras di dunia ini dengan
37% hasil pembenihan positif pada ostium cervix dan 47% positif pada forniks
posterior vagina. Pada ostium cervix terdiri dari Streptococcus a. Hemoliticus (23%),
Escherichia coli (23%). Sedangkan pada forniks posterior vagina yang terbanyak
untuk mengatur sekresi sendiri. Selama kehamilan, poros regulasi HPA ibu
meningkat secara signifikan menjadi sekitar tiga kali jika dibandingkan dengan orang
yang tidak hamil dengan orang dengan kehamilan trimester ketiga. Peningkatan
kortisol ini sebagian disebabkan oleh stimulasi estrogen dari corticosteroid binding
globulin (CBG) dengan peningkatan kadar kortisol bebas. Selain itu, plasenta
mengeluarkan CRH dalam jumlah besar ke dalam aliran darah ibu selama kehamilan
27
trimester kedua dan ketiga. CRH plasenta merangsang kelenjar hipofisis untuk
Sebagai gantinya, kortisol ibu merangsang sintesis CRH plasenta dan menciptakan
dorongan feedback yang positif dengan tingkat kortisol yang dihasilkan lebih tinggi.
demikian responsif dari sumbu HPA untuk fisiologis dan stres psikologis dilemahkan
selama kehamilan trimester akhir (gambar 2.3) (Duthie dan Reynolds, 2013).
Gambar 2.3. Sumbu HPA pada kehamilan (Duthie dan Reynolds, 2013)
perdarahan yang terjadi di dalam desidua, yang akan menyebabkan penurunan fungsi
dari pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan
membranes (PPROM). Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika
Selain oleh proses di atas, berkurangnya aliran darah ke uterus sekunder akibat
ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan endotelin yang akan
multipel dan kelainan anatomi uterus. Mekanisme yang ditimbulkan oleh peregangan
dan 50% morbiditas jangka panjang. Berdasarkan data WHO tahun 2016,
diperkirakan 15 juta bayi lahir terlalu dini setiap tahun, dan hampir 1 juta anak
dengan peningkatan risiko morbiditas pada hampir setiap sistem organ mayor.
30
persalinan preterm ini juga cukup berat, bahkan 1/3 bayi yang dilahirkan melalui
palsy atau retardasi mental. Bayi dari persalinan premature ini juga berisiko memilik
hemolitik pada blood agar dan strain utamanya adalah hemolitik. Sebagian besar
strain resisten terhadap basitrasin dan menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan
GBS adalah bakteri gram positif beta hemolitik yang berkolonisasi di traktus
gastrointestinal, pada 18% wanita secara global GBS merupakan flora gastrointestinal
31
dan vagina. GBS dapat berkembang menjadi bakteri patogen pada populasi yang
rentan seperti bayi baru lahir, wanita hamil, dan pada usia lanjut. Pada kehamilan,
janin dalam rahim, dan cedera pada janin. (Rosen et al, 2017)
berbagai mekanisme kontrol terhadap faktor virulensinya. Terdapat faktor unik yang
meningkatkan kelangsungan hidup bakteri GBS. Protein yang terdapat pada GBS
diusulkan bahwa BrpA adalah regulator virulensi penting dan target potensial untuk
luka/trauma pada fetus, sepsis, kelahiran preterm serta meningitis pada bayi muda
umur kurang dari 90 hari. Bakteri ini didapatkan pada 25% wanita hamil, dan koloni
bakteri ini pada traktus genitourinarius yang menginfeksi secara ascenden merupakan
salah satu faktor risiko utama terjadinya kelahiran prematur. Pada umumnya koloni
bakteri ini bersifat asimtomatik dan hanya sesekali dihubungkan dengan infeksi
traktus urinarius (Whidbeyet al., 2015). Kurang lebih 30% wanita hamil tidak
memperlihatkan gejala klinik walaupun pada jalan lahirnya mengandung GBS (Benitz
et al, 2003)
Kuman GBS dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan polisakarida kapsul
serta antigen protein yaitu Ia, Ib, Ia/c, II, III dan IV. Kuman GBS berkembang dan
berkoloni pada sistem gastrointestinal dan jalan lahir ibu hamil. Koloni GBS
menyebabkan prematuritas dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) bila terjadi pada
umur kehamilan 23-26 minggu. Koloni kuman ini pada saat persalinan dapat
berhubungan erat dengan infeksi neonatus. Daerah orofaring pada bayi baru lahir
merupakan daerah yang paling sering ditemukan koloni kuman ini, karena cairan
ketuban yang tertelan saat persalinan, daerah lainnya adalah lubang hidung dan
telinga bagian luar. Pengobatan intrapartum pada wanita dengan hasil kultur positif
neonatus selama terjadi persalinan (Hay et al, 1994; Belliget al., 2005; Philips, 2004,
Smith, 2007).
Pada infeksi oleh bakteri GBS ini penting untuk mengetahui toksin bakteri ini.
Adanya virulensi bakteri GBS ini ditandai dengan toksin β-hemolisin/sitolisin (dari
sekarang akan disebut hemolisin). Toksin ini berperan dalam karakteristik zona β-
hemolisis yang dilihat pada GBS, dan tipe strain hemolitik yang akan berkaitan
al., 2015) Mekanisme infeksi GBS ascending dan respon imun yang terjadi selama
proses ini juga belum teridentifikasi secara baik. Studi menggunakan binatang hamil
disrupsi dari membrane plasenta yang berakibat pada luka pada fetus dan kelahiran
33
preterm. Suatu studi yang menggunakan injeksi intraperitoneal GBS yang sudah
menunda, namun tidak mencegah kelahiran preterm pada model. Walaupun tipe GBS
dendritic dan makrofag tikus, namun apakah toksin pigmen/lipid hemolitik cukup
untuk mengaktivasi inflammasome dan apakah ini memicu pyroptosis masih tidak
inflammasome NLRP3 adalah yang pertama ditemukan berkaitan dengan RNA GBS,
relevansi dari penemuan ini pada infeksi GBS in vitro dan in vivo masih tidak jelas.
Karena aktivasi NLRP3 terjadi hanya pada saat adanya GBS hemolitik (Whidbeyet
al., 2015).
Gambar 2.4. Mekanisme pigmen GBS menjadi perantara proses penghancuran sel
inang dan persalinan preterm (Whidbeyet al., 2015)
Pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa pigmen GBS memasuki membran sel
inang yang mengakibatkan gangguan permeabialitas membran dan flux ion, ini
pyroptosis. Pyroptosis dengan NLRP3 adalah tipe kematian sel yang paling sering
terlihat pada makrofag yang terekspos dengan pigmen murni dan GBS
rendah pada makrofag yang kekurangan NLRP3 dan yang kekurangan ASC yang
mandiri terhadap inflammasone dan caspase 3/7. Pada sel tuan yang resisten atau
yang dalam perbaikan setelah perlukaan membran yang diinduksi pigmen (ex:
plasma mencegah kematian sel. Pigmen GBS memperburuk perlukaan pada fetus dan
kelahiran preterm melalui aksi lisis osmotik koloid dan pyroptosis (Whidbeyet al.,
2015).
Pada dasarnya fetus yang masih terbungkus oleh lapisan amnion cukup
terlindung dari flora bakteri ibu, cairan amniom mempunyai fungsi menghambat
pertumbuhan E. coli dan bakteri lainnya karena mengandung lisozim, transverin atau
immunoglobulin (IgA dan IgG) yang diduga berfungsi sebagai bakteriostatik. Bila
terjadi kerusakan lapisan amnion (baik sengaja atau tidak misalnya pada prosedur
vagina merupakan faktor risiko yang penting (Belliget al., 2005). Bila ibu mengalami
infeksi segera setelah melahirkan dengan suhu > 37,8º C maka 9,2 - 38,2% di antara
bayi yang dilahirkan akan menderita sepsis neonatorum (Philips, 2004). Sebagian
35
besar meningitis neonatorum akibat dari bakteriemia neonatal, bakteriemia maternal
Pada saat kelahiran, invasi bakteri melalui air ketuban yang tertelan, kulit
yang terinfeksi menjalar melalui jaringan lunak dan sutura kepala atau melalui
trombosis vena. Bila bakteriemia tidak mampu diatasi oleh sistem kekebalan tubuh
SIRS dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi dan bila disebabkan oleh
infeksi maka SIRS identik dengan sepsis. Endotoksin bakteri maupun komponen-
komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan ke sirkulasi akan mengaktivasi sitokin
yang berperan sebagai mediator pro inflamasi sehingga timbul respon fisiologis tubuh
jaringan yang meningkat. Bila reaksi inflamasi yang dominan, terjadi renjatan dan
disfungsi organ, sebaliknya jika anti inflamasi yang berlebih terjadi, maka terjadi
supresi terhadap sistem imun. Bila keadaan ini memberat maka dapat terjadi renjatan
akibat menurunnya perfusi dan transport oksigen kejaringan dan bisa terjadi kematian
Procalcitonin (PCT) terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 14.5
36
kDa, dan dibentuk oleh preprocalcitonin (prePCT) yang terbentuk dari 141 asam
amino dan terdiri dari empat rantai yaitu signal peptide, N-terminal PCT,
proteolitik dengan melepaskan ikatan rantai signal peptide sehingga akan terbentuk
PCT yang terdiri dari 116 asam amino. Procalcitonin selanjutnya secara enzimatik
monooxygenase (PAM) akan diubah menjadi calcitonin yang terdiri 32 asam amino.
Calcitonin (CT) berfungsi dalam metabolisme calsium dan fosfat (Jing, 2010).
Procalcitonin dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid, paru, hati, ginjal, jaringan
lemak, otot, dan lambung. Pada kondisi normal, PCT hanya dihasilkan oleh sel C
kelenjar tiroid yang akan diubah menjadi CT. Namun, pada kondisi sepsis (gambar
2.5), mediator inflamasi (gambar 2.6) dan endotoksin bakteri akan merangsang
kelenjar tiroid (gambar 2.7). Oleh karena proses ini, maka pada kondisisepsis
H S
Calcitonin: ea ep PCT:
Sources of lt si
production hy
s
Sources of
in healthy Production
people in Septic
Patients
37
Gambar 2.5. Perbedaan sumber pembentukan PCT pada orang sehat dan
sepsis (Muler, 2000)
Pada kondisi normal (gambar 2.8), akan terjadi transkripsi Calcitonin gene
related peptide 1 (CALC-1) yang terdapat pada kromosom 11 yang hanya akan
lain akan terjadi supresi. Namun, pada kondisi infeksi atau sepsis, transkripsi CALC-
1 akan merangsang semua jaringan yang dapat menghasilkan PCT sehingga akan
meningkatkan PCT (Jing, 2010). Fungsi peningkatan PCT pada keadaan infeksi ini
masih belum jelas dipahami. Namun, karena adanya pemahaman mengenai proses ini,
maka PCT dapat digunakan untuk membedakan infeksi dan proses inflamasi lainnya.
Pada infeksi virus, virus akan merangsang pengeluaran interferon ɣ (IFN- ɣ) yang
akan menghambat produksi PCT di jaringan sehingga pada infeksi virus, kadar PCT
dapatdikatakan stabil sebagai uji diagnosis. Studi oleh (Brunkhorst et al., 1998)
pertama lalu terjadi peningkatan PCT yang cepat dalam 6-12 jam pertama dan
menetap selama 48 jam. Procalcitoin pertama kali dilaporkan sebagai penanda sepsis
dengan beratnya sepsis. Pada orang sehat, nilai PCT < 0.05 ɥg/L namun pada kondisi
sepsis dapat meningkat hingga 1000 ɥg/L. Nilai PCT > 2 ɥg/L dikatakan abnormal
dan sangat dicurigai berhubungan dengan sepsis. Pada kondisi nilai PCT 0.5 ɥg/L – 2
ditegakan. Sedangkan nilai PCT > 10 ɥg/L dikatakan hanya ditemukan pada sepsis
berat atau syok sepsis. Pada SIRS yang disebabkan oleh non bakterial, nilai PCT
biasanya < 1 ɥg/L. Beberapa kondisi seperti infeksi virus, kolonisasi bakteri, infeksi
PCT (PCT < 0.5 ɥg/L) (Meisner, 2010; Schuetzet al., 2007).
kuat pembentukan PCT. Fungsi dari PCT masih belum jelas, namun dari beberapa
studi eksperimental dikatakan PCT berperan dalam patogenesis sepsis dimana PCT
40
berperan dalam protein kemoreaktan dan modulasi produksi Nitrit Oxide (NO) oleh
sel endotel.
yang unggul untuk berbagai infeksi, termasuk sepsis. Procalcitonin dapat menjadi
dengan aman, dan dapat menyebabkan pengurangan yang signifikan dari pemberian
keparahan suatu infeksi, dan panduan pemberian antibiotika pada infeksi bakteri.
procalcitonin pada ibu hamil telah terbukti berhubungan dengan angka kejadian
nilai prediktif di antara mereka yang memiliki PPROM. Peningkatan serum PCT
yang signifikan terdapat pada bayi preterm berumur 72 jam dengan ibu
korioamnionitis (Janotaet al., 2001). Penelitian perbandingan antara CRP, PCT, dan
41
dalam kehamilan masih belum diketahui sampai saat ini. Cut off point PCT ≥ 1,7
ng/mL dan didapatkan sensitifitas sebesar 52%, spesifisitas 70%, NPP 57% dan NPN
Infeksi bakteri seperti pada infeksi GBS memicu peningkatan sintesis PCT.
Kenaikan ini berkaitan dengan peningkatan ekspresi gen CALC-I, yang menghasilkan
peningkatan sintesis PCT oleh berbagai sel, jaringan, dan organ, (misal: hati,ginjal,
pankreas, jaringan lemak dan leukosit). Fungsi PCT sebagai penanda infeksi
diproduksi dalam duacara: langsung dan tidak langsung. Produksi langsung berkaitan