Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes merupakan penyakit yang berbahaya dan mematikan. Data


Kementerian Kesehatan yang diperoleh dari Sample Registration Survey 201
menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab kematian nomor tiga di
Indonesia dengan persentase 6,7%, setelah stroke (21,1%) dan penyakit jantung
koroner (12,9%) (Kementerian Kesehatan RI, 2018). DM merupakan penyakit
“silent killer” karena penderita DM seringkali tidak mengetahui bahwa dirinya
mengidap penyakit tersebut dan diketahui ketika sudah berkembang menjadi
komplikasi. (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Di Indonesia, prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 5,7% pada


tahun 2007 menjadi 6,9% atau sekitar 9,1 juta orang pada tahun 2013. Data
terakhir dari International Diabetes Federation (IDF) Atlas tahun 2017
menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan keenam dunia dengan 10,3 juta
orang dengan diabetes. Jika tidak dikelola dengan baik, Organisasi Kesehatan
Dunia bahkan memperkirakan bahwa kejadian diabetes di Indonesia akan
meningkat secara dramatis menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 (Kementerian
Kesehatan RI, 2018). WHO memperkirakan pada tahun 2014 terdapat 22 juta
orang berusia di atas 18 tahun dengan DM di seluruh dunia dan prevalensi
tertinggi berasal dari Asia Tenggara (WHO, 2016). Menurut Riskesdas 2013,
prevalensi DM di Indonesia meningkat dari tahun 2007, yaitu sebesar 1,1%
menjadi 2.1%. Data di atas menunjukkan tingginya prevalensi penderita DM di
Indonesia dan diperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah penderita DM di
masa yang akan datang. (Soelistijo et al., 2015)

Salah satu komplikasi dari DM adalah neuropati, berupa berkurangnya


sensasi di kaki dan sering dikaitkan dengan diabetic foot ulcers (DFU). Neuropati
perifer menyebabkan hilangnya sensasi di daerah distal kaki yang mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki bahkan amputasi. Ulkus kaki diabetik
berkontribusi terhadap >50% ulkus kaki penderita diabetes dan sering tidak
menimbulkan rasa nyeri disertai lebam (Fitria, 2017). Ulkus diabetik adalah salah
satu bentuk komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Prevalensi penderita DFU
di Indonesia sekitar 15%, dengan angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan
ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar
80% (Meilani, 2013).

Prevalensi ulkus diabetik di Amerika Serikat sebesar 15-20 %, dengan


resiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibanding penderita Non DM. Di
Indonesia prevalensi penderita ulkus diabetik sebesar 15%, amputasi 30%, angka
mortalitas 32%.Sehingga ulkus diabetik menjadi sebab perawatan di rumah sakit
yang paling banyak sebesar 80% untuk DM. Tingginya prevalensi ulkus diabetik
menjadi tantangan besar dan perlu penanganan tenaga kesehatan yang maksimal.
Diagnosis ulkus diabetik dalam praktik sehari-hari sangat bergantung pada
ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik (Yoyoh, Mutaqin, Nurjannah,
2016). Apabila ulkus diabetik tidak ditangani akan muncul berbagai masalah
keperawatan dapat muncul seperti, kerusakan integritas kulit, kekurangan nutrisi,
keterbatasan mobilitas fisik, nyeri, resiko penyebaran infeksi dan ulkus. (Rofifah,
2020)

Perawatan luka pada pasien DM dapat dilakukan dengan perawatan luka


konvensional dan modern. Penggunaan balutan modern dapat dikatakan lebih
efektif dalam mengurangi keparahan luka dibandingkan dengan balutan
tradisional, meskipun rata-rata total biaya pengobatannya lebih tinggi. Pasien luka
kaki diabetik membutuhkan perawatan jangka panjang untuk pulih. Pasien dengan
ulkus kaki diabetik menunjukkan penutupan luka yang luas dalam 4 minggu
pertama dan sembuh total setelah 12 minggu. Konsekuensi logis dari perawatan
luka kaki diabetik tentunya adalah beban biaya yang harus ditanggung oleh
pasien. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam perawatan luka yaitu
dengan menggunakan madu. Madu merupakan terapi non farmakologis yang biasa
diberikan dalam perawatan luka DM. (Tiara, 2012)
Madu adalah cairan kental manis yang dihasilkan oleh lebah. Bahan ini
telah lama digunakan sebagai obat dan penelitian selama beberapa dekade terakhir
telah menunjukkan manfaat besar madu. Madu memiliki sifat antimikroba dan
anti inflamasi, analisis kandungan madu menunjukkan bahwa komponen terbesar
dari madu adalah glukosa dengan kandungan fruktosa tertinggi (76,8%), bersama
dengan mineral dan vitamin. Sifat antibakteri madu membantu melawan infeksi
pada luka, dan tindakan anti-inflamasinya dapat mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan sirkulasi yang mempengaruhi proses penyembuhan. Madu juga
merangsang pertumbuhan jaringan baru, sehingga selain mempercepat
penyembuhan juga mengurangi munculnya parut atau scar pada diabetes
(Anshori, 2014).

Berdasarkan dua studi dalam tinjauan sistematis literatur oleh Insani et al.
(2017), dressing madu memiliki efek mengurangi edema di sekitar luka dan
mengurangi keluarnya cairan dari luka. Selain itu, penelitian tersebut juga
melaporkan bahwa waktu rata-rata penyembuhan ulkus diabetikum relatif lebih
cepat jika menggunakan dressing madu dibandingkan dengan dressing yang
mengandung povidone iodine. Hal ini sejalan dengan penelitian dalam naratif
literature review dan meta-analisis oleh Oryan et al. (2016) yang menemukan
bahwa rata-rata waktu penyembuhan ulkus diabetikum dengan balutan madu lebih
cepat dibandingkan kontrol (P>0,005). Hal ini juga didukung oleh 6 dari 7
penelitian dalam literature review oleh Pratama dan Rochmawati (2019) yang juga
menemukan bahwa madu dapat menyembuhkan ulkus diabetik dan
mempersingkat waktu penyembuhan. (Kesehatan et al., 2020)

Berdasarkan penelitian untuk membandingkan efektifitas dressing madu


dan sofratulle pada ulkus diabetikum yang dilakukan oleh Awaluddin et al. (2019)
terhadap 20 responden, didapatkan hasil rata-rata skor penilaian status luka
diabetik sebelum dan sesudah perawatan menggunakan madu adalah 24,60 dan
32,40 dengan hasil uji statistik (p value = 0,000 < ⍺) sedangkan hasil rata-rata
skor penilaian status luka diabetik sebelum dan sesudah perawatan menggunakan
sofratulle adalah 25,50 dan 29,30 dengan hasil uji statistik (p value = 0,006 < ⍺).
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa madu memiliki efektifitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sofratulle. Data lain juga didapatkan berdasarkan
penelitian uji acak terkendali yang dilakukan oleh Karimi et al. (2019) untuk
menilai perbandingan efektifitas madu dan minyak zaitun sebagai dressing dalam
penyembuhan ulkus diabetikum, dan didapatkan hasil bahwa efektifitas madu
sama dengan efektifitas minyak zaitun dalam penyembuhan ulkus diabetikum.

Terapi madu yang digunakan untuk pengobatan tradisional


nonfarmakologi ini telah terbukti bermanfaat dalam penelitian sebelumnya bahwa
madu sangat efektif dalam mengobati luka diabetes mellitus karena madu
memiliki osmolaritas tinggi yaitu, yang menghambat bakteri dan kecepatan proses
penyembuhan luka. . Bagi para penderita diabetes melitus disarankan agar bisa
melakukan pengobatan tradisional dengan menggunakan madu untuk mengurangi
penyebaran luka diabetes melitus. Dengan penggunaan madu sebagai pengobatan
alternatif untuk mengguragi akan kejadian diabetes melitus yang sangat
meningkat agar terhindar dari factor resiko yang dapat menyebabkan
amputasi.pentinnya manfaat madu untuk penyembuhan luka DM sehingga
informasi kepada pasien, masyarakat dan penderita luka DM tentang edukasi
manfaat efektifitas topikal madu sangat efektif untuk pengobatan luka
DM.Perawatan menggunakan topical madu untuk meningkatkan proses
penyembuhan pada penderita ulkus diabetikum karena pengobatan topical madu
sebagai antibakteri, antimikroba,dan antioksidan yang mempecepat proses
penyembuhan luka ulkus diabetikum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka didapatkan dengan rumusan masalah Apa
itu Pengaruh Dressing Madu Terhadap Tingkat Granulasi Luka Pasien Diabetes
Melitus.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini memberikan pengetahuan kepada masyarakat
yang memiliki luka terbuka pada bagian tubuhnya tentang cara herbal
mempercepat deessing pada luka menggunakan madu.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengidentifikasi tingkat perkembangan dressing ketika sebelum dilakukan
pengobatan menggunakan madu .
1.4 Manfaat Peneliti
1.4.1 Bagi Peneliti
Untuk menambah pengalaman dan wawasan bagi penelitian selanjutnya tentang
Pengaruh dressing madu terhadap tingkat granulasi luka pasien Diabetes mellitus.
1.4.2 Bagi Mahasiswa Keperawatan
Sebagai referensi selanjutnya untuk penelitian mahasiswa keperawatan
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Untuk memberikan gambaran dan hasil mengenai Pengaruh dressing madu
terhadap tingkat granulasi luka pasien Diabetes mellitus

Anda mungkin juga menyukai