Kerajaan Samudera Pasai sangat dipengaruhi oleh Islam. Hal itu terbukti terjadinya
perubahan aliran Syiah menjadi aliran Syfi’i di Samudera Pasai ternyata mengikuti
perubahan di Mesir. Pada saat itu di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari
Dinasti Fatimah yang beraliran Syiah kepada Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i.
Aliran Syafi’i dalam perkembangannya di Pasai menyesuaikan dengan adat Istiadat
setempat sehingga kehidupan sosial masyarakatnya merupakan campuran Islam dengan
adat Istiadat setempat.
11. Kehidupan budaya : Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan
dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti
bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan
yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka
sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Kerajaan Samudera Pasai juga berkembang sebagai penghasil karya tulis yang baik.
Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam
untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian disebut dengan
bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi. Selain itu juga berkembang ilmu tasawuf
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
1. Nama Kerajaan : Kesultanan Aceh Darussalam
2. Sumber tertulis dan benda peninggalan : Masjid Raya Baiturrahman, Benteng
Indrapatra, Makam Sultan Iskandar Muda, Meriam Kesultanan Aceh, Taman Sari
Gunongan, Uang Emas Kerajaan Aceh, bustanussalatin dan Tibyan fi Ma’rifatil Adyan
karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke -17, Kitab Tarjuman al-Mustafid yang
merupakan tafsir Al-Qur’an Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun
1670-an, Tajussalatin karya Hamzah Samsuri, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop,
Stempel Cap Sikureung, Pedang Aman Nyerang, Kerkhof.
3. Pendiri Kerajaan : Sultan Ali Mughayat Syah
4. Silsilah Kerajaan :
Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1528 M)
Sultan Salahuddin (1528 – 1537 M)
Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537 – 1568 M)
Sultan Iskandar Muda (1607 – 16 36 M)
Sultan Iskandar Thani (1636 – 1641 M)
Sultan Sri Alam (1575-1576)
Sultan Zain al-Abidin (1576-1577)
Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
Sultan Buyong (1589-1596)
Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604)
Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
Iskandar Thani (1636-1641)
Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675)
Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
Sultan Badr al-Din (1781-1785)
Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
Alauddin Muhammad Daud Syah
Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sultan Mansur Syah (1857-1870)
Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
5. Raja termahsyur : Sultan Iskandar Muda
6. Sebab Kemahsyuran : Kerajaan Aceh memiliki wilayah yang luas. Selain itu, juga
mampu melakukan perdagangan ke wilayah China, India, Gujarat, Timur Tengah
sampai ke Turki. Selama 20 tahun Sultan Iskandar Muda, pendiri sekaligus sultan
pertama Kerajaan Aceh, mampu menekan perdagangan orang-orang Eropa. Sultan
Iskandar Muda juga berhasil menerobos jalur perdagangan Portugis mulai dari Selat
Malaka sampai ke Teluk Persia. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh
berkembang pesat menjadi kerajaan besar. Beberapa faktor pendukung Kerajaan Aceh
berkembang pesat yaitu: Letak ibu kota aceh strategis di pintu gerbang pelayaran dari
India dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, China atau Jawa. Pelabuhan Aceh
(Olele) memiliki persyaratan baik sebagai pelabuhan dagang. Pelabuhan itu terlindung
dari ombak besar oleh Pulau We, Pulau Nasi dan Pulau Breuen. Daerah Aceh kaya
tanaman lada sebagai mata dagang ekspor yang penting dalam mengadakan
perdagangan internasional. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan
pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran beralih
melalui sepanjang barat Sumatera.
7. Raja terakhir : Muhammad Daud Syah
8. Sebab keruntuhan : Setelah Sultan Iskandar Muda wafat , tidak ada lagi raja-raja
yang mampu mengendalikan Aceh, Perang Aceh yang terjadi secara terus – menerus,
Kekalahan Aceh melawan Portugis, Munculnya kota dagang Banten yang merupakan
saingan Aceh.
9. Kehidupan Sosial : Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri atas empat golongan, yaitu
golongan teuku (kaum bangsawan yang memegang kekuasaan pemerintahan sipil),
golongan tengku (kaum ulama yang memegang peranan penting dalam keagamaan),
hulubalang atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan
Teuku sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh.
Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 M sampai dengan abad ke-13 M) telah
terjadi permusuhan antara aliran Syi’ah dan Ahlusunnah wal jamaaah. Namun pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran Syi’ah mendapat perlindungan dan
berkembang ke daerah kekuasaan Aceh. Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar
Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.
10. Kehidupan ekonomi : Karena letaknya di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan
selat Malaka, kerjaan Aceh menitik beratkan perekonomiannnya pada bidang
perdagangan. Dibawah pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah, Aceh berkembang
menjadi Bandar utama di Asia bagi para pedagang mancanegara, bukan hanya bangsa
Inggris dan Belanda yang berdagang di pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing
lain seperti Mesir, Arab, Persia, Perancis, Inggris, Afrika, Turki, India, Syam, China, dan
Jepang.
Barang yang diperdagangkan dari Aceh, antara lain lada, beras, timah, emas, perak, dan
rempah-rempah (dari Maluku). Orang yang berasal dari mancanegara (impor), antara lain
dari Koromandel (India), Porselin dan sutera (Jepang dan Cina), dan minyak wangi dari
(Eropa dan Timur Tengah). Selain itu, kapal pedagang Aceh aktif dalam melakukan
perdagangan sampai ke laut merah.
Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat,
anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan
dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut
dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu
cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro:
2010, 31)
Titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke
Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan
kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat
pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara.
11. Kehidupan Budaya : Kehidupan budaya di kerajaan Aceh tidak banyak diketahui
karena kerajaan Aceh tidak banyak meninggal banda hasil budaya. Perkembangan
kebudayaan di Aceh tidak terpusat perkembangan perekonomian. Perkembangan
kebudayaan yang terlihat nyata adalah bangunan masjid Baiturrahman dan buku
Bustanu’s Salatin yang ditulis oleh Nurrudin Ar-raniri yang berisi tentang sejarah raja-raja
Aceh.
Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali
ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Orang Aceh mayoritas
beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam
ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh.
Ini bukti bahwa Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di
Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem
Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan
bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.