Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM DAN HAM

“PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA”

OLEH :

LA ODE MUHAMAD IKSYAR ASRI

G2R121072

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pelanggaran
HAM Berat Terhadap Etnis Rohingya” ini dengan baik tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan
makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang
telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan


makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain yang lebih baik lagi. Akhir kata, kami
berharap agar makalah ini bisa memberikan banyak manfaat demi terciptanya hubungan yang
baik dan damai dalam setiap hubungan bernegara.

Kendari, Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak asasi manusia ( HAM ) adalah hak yang melekat didalam diri individu, dan hak ini
merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka
dalam komunitas masyarkat. Bangunan – bangunan dasar HAM yang melekat dalam
episentrumotoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semanjak lahir, sehingga tidak
bisa digugat dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat.1 Manusia
diciptakan oleh tuhan berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya, dan lain sebagainya agar
manusia dapat dengan mudah mengenali satu sama lain. Bentuk fisik, budaya, bahasa dapat
dikenali dengan mudah dalam pengelompokan etnis. Etnis adalah suatu populasi yang memiliki
identitas kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan biasanya memiliki leluhur yang secara
pasti atau dianggap sama.2

Di dunia ini terdapat adanya kelompok etnis mayoritas dan minoritas, dimana klompok
etnis minoritas merupakan suatu kelompok yang jumlah penduduknya kecil serta tidak dominan
dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas
penduduk yang jumlahnya jauh lebih banyak dalam suatu Negara. Etnis minoritas ini tidak selalu
mendapat perlakuan yang baik diwilayah yang didudukinya, pelanggaran – pelanggaran hak
asasi manusia ( HAM ) seringkali dialami etnis minoritas ini.

Salah satu contoh etnis yang mendapat perlakuan yang buruk serta terdapat pelanggaran –
pelanggaran ham didalamnya adalah etnis Rohingya di Myanmar. Konflik etnis rohingya yang
merupakan etnis minoritas ini didasari atas perlakuan diskriminasi karena perbedaan etnis dan
agama yang berbeda dengan etnis mayoritas penduduk di Myanmar. Negara Myanmar juga tidak
mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga etnis rohingya terusir dari tanah
kelahirannya. Masih ingat dibenak kita ratusan manusia kapal etnis rohingya yang berbulan –
bulan terombang - ambing ditengah lautan untuk mencari suaka, sebelum akhirnya ditolong oleh

1
Ruslan, Renggong, Hkum Acara Pidana, “memahami perlindungan HAM dalam proses penahanan di Indonesia”,
Jakarta: Preanada Group 2014, hlm. 1
2
Jan, Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Jakarta: Grafindo Media Pratama 2007,
hlm.8
nelayan di Aceh bulan mei 2015 lalu, dalam keadaan yang memperihatinkan. Hal
inimenunjukkan betapa diskriminasi dan tindak kekerasan itu terjadi dan dialami etnis rohingya
di Myanmar.

Konflik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Myanmar dan seakan pemerintah Myanmar
mengusir Etnis Rohingya dari tanah kelahirannya. Masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Myanmar merupakan salah satu masalah yang sangat serius di dunia, karena bukan hanya
berdampak negatif bagi masyarakat yang berada di wilayah Myanmar saja tetapi berdampak pula
pada Negara yang lain. Selain itu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat ini bukanlah
perkara mudah. Sehingga penulis tertarik mengangkat permasalahan ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja pelanggaran HAM yang dilakukan etnis mayoritas terhadap etnis Rohingya di
Myanmar?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum internasional terhadap etnis Rohingya?
3. Bagaimana upaya penyelesaian kasus terhadap etnis rohingya di Myanmar dalam
pelanggaran HAM berdasarkan hukum internasional?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pelangaran – pelanggaran HAM yang dialami oleh etnis Rohingya.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan HAM internasional terhadap etnis Rohingya.
3. Untuk mengetahui penyelasaian kasus terhadap etnis Rohingya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Analisa pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya.

Konsep perlindungan HAM berawal di Negara Inggris, hak – hak manusia itu dimulai
penulisannya dalam tiga naskah, yaitu Magna Charta (1215), Habes Corpus Act (1679), dan Bill
of Rights (1689), sementara revolusi Amerika menghasilkan sebagian hak – hak asasi seperti
tercantum dalam : Virginia Bill of rights (1776), Declarations of Independence (1776), dan
Constitution Of USA (1787). Hak – hak asasi manusia menurut Jhon Locke, Montesque, dan J.J
Roseu meliputi:3

1. Kemerdekaan atas diri sendiri


2. Kemerdekaan beragama
3. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat
4. Hak write of Habeas corpus
5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Tindakan – tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya
termasuk dalam pelanggaran HAM kejahatan terhadap kemanusiaan. Bagaimana etnis rohingya
mengalami diskriminasi dan penyiksaan serta tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah
Myanmar karena perbedaan etnis dan agama dengan etnis mayoritas, menunjukkan bahwa ada
beberapa aspek pelanggaran HAM yang dilanggar. Dilihat dari pelaksanaannya dan situasinya
(perang/damai), HAM dapat kita bedakan menjadi dua kategori dan masing-masing memiliki
karekteristik tersendiri, yaitu : HAM yang bersifat “derogale rights”(HAM yang dapat di tunda
pelaksanaannya) dan “non-derogable rights”(HAM yang tidak dapat di tunda pelaksanaannya)4

HAM yang termasuk sebagai “non-derogable rights” diatur dalam pasal 4 (3) ICCPR, yaitu
meliputi :

1. Hak untuk hidup ( pasal 6 )


2. Hak untuk tidak di siksa ( pasal 7 )

3
Ramdlon, Naning, Cita dan Citra Hak – hak asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983, hlm. 15
4
Andrey ,sujatmoko, Hukum ham dan Hukum Humaniter, Jakarta: Raja Grafindo persada, 2015, hlm. 185
3. Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu
kewajiban kontrak ( pasal 11 )
4. Hak untuk tidak di perbudak dan di perhamba ( pasal 8 )
5. Hak untuk tidak di nyatakan bersalah berdasarkan aturan yang berlaku surut ( pasal 15 )
6. Hak untuk diakui di manapun sebagai manusia di hadapan hukum ( pasal 16 )
7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama ( pasal 18 )

Pelangaran – pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar sebagaimana diatur


didalam Universal Declaration Of Human Rights ( deklarasi umum hak asasi
manusia/DUHAM)pasal – pasal yang dilanggar antara lain: (pasal 2) larangan penganiayaan,
(pasal 3) larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang – wenang, ( pasal
15) hak atas kewarganegaraan, (pasal 18) hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani
dan beragama, (pasal 20) hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat serta beberapa pasal
lainnya.

Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis rohingya berupa pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa ( Crimes against humanity of deportation or forcible
transfer of population ). Pengusiran penduduk dengan cara paksa dalam pasal 7 ayat 2 huruf C
statute Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan orang secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka tinggal secara sah tanpa
diberikan alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Kata paksa disini tidak hanya terbatas
paksaan fisik saja, namun dapat berupa ancaman kekerasan atau yang dapat memberikan tekanan
psikologis.

Berdasarkan konsep tanggung jawab Negara, suatu Negara bertanggung jawab apabila
melanggar kewajiban menurut hukum internasional. Komisi Hukum Internasional ( International
law commission ) kemudian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban Negara yang di
golaongkan sebagai “ International work acts” didalamnya mencakup pelanggaran berat HAM,
yang juga di kategorikan sebagai kejahatan internasional.5

Menurut Dinah Selton instrument-instrumen HAM mewajibkan Negara-negara untuk


menyediakan “remedy” yang efektif atas sejumlahnya pelanggaran HAM. Istilah “remedy”

5
Ibid, hlm. 209
mengacu kepada serangkaian tindakan yang mungkin dilakukan dalam menyikapi pelanggaran
HAM. “remedy” dapat berupa dukungan (declaration relief), perintah-perintah
(injuction/orders), pembayaran untuk upah dan pngeluaran bagi pengacara (attorneys fees and
costs). Adapun untuk menggunakkannya sebagai istilah umum yang menunjuk kepada “sejumlah
cara/metode yang disediakan oleh suatu Negara untuk membebaskan atau melepaskan dirinya
sendiri”6.

Ketentuan yang mengatur adanya tanggung jawab untuk melakukan “remedy” misalnya
diatur dalam pasal 2 ayat (3) (a) ICCPR. Pasal tersebut pada intinya menyatakan : bahwa Negara
peserta perjanjian untuk menjamin setiap orang yang HAM-nya dilanggar harus (shall have)
mendapatkan “remedy” yang efektif, sekalipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak dalam kapasitas resmi (kedinasan).7

Dalam hal ini Negara yang harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yakni pemerintah
Myanmar yang seharusnya melakukan tindakan – tindakan hukum untuk menindak pelaku kasus
pelanggaran HAM tersebut. Akan tetapi pemerintah Myanmar membiarkan pelanggaran HAM
tersebut karena tidak menganggap status kewarganegaraan etnis Rohingya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Apabila
ditinjau berdasarkan hukum internasional, jika suatu negara dirasa tidak mau untuk mengadili
para pelaku tindak kejahatan maka kasus tersebut dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan
PBB. Dengan ini kasus yang terjadi di Myanmar dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB
untuk merekomendasikan penyelesaian apa yang digunakan untuk mengakhiri kasus yang terjadi
di Myanmar.

2.2 Alasan Keberlakuan Hukum Internasional Terhadap etnis Rohingya.

Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada etnis ronghingya
adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pengusiran secara paksa, pengusiran secara paksa
disini dilakukan secara sistematis yakni:

6
Ibid, hlm. 210
7
Ibid, hlm. 211
1. Etnis rohingya tidak diakui status kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar
Mengenai kewarganegaraan bahwa pasal 15 (1) Universal Declaration of Human Right
dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan. Pada kasus ini yang terjadi
bahwa etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar. hal ini
terlihat dari perkataan Presiden Myanmar Thein Sein yang mengatakan bahwa “rohingya are not
our people and we have no duty to protect them” dan presiden Thein Sein menginginkan agar
sebaiknya etnis rohingya ditampung atau dikelola saja oleh UNHCR atau negara ketiga yang
ingin menampungnya8. Sejarah mencatat etnis rohingya berasal dari pedagagng Arab yang
mendiami wilayah Rakhine (perbatasan Banglades dan Myanmar saat ini) pada abad ke-7.
Catatan sejarah tidak menjelaskan adanaya konflik etnis selama awal kedatangan. Pada tahun
1785 kerajaan birma (sekarang Myanmar) melakukan invasi militer ke wilayah rakhine dan
bershsil menguasainya, akan tetapi kerajaan birma tidak mau mengakui keberadaan etnis
rohingya.9 Keadaan tersebut berlangsung sampai sekarang dan pada puncaknya pada tahun 2015,
pemerintah Myanmar mencabut status kewarganegaraan etnis rohingya sehingga etnis rohingya
tidak punya kewarga negraan lagi. Hal inilah yang membuat etnis Rohingya keluar dari
Myanmar karena mereka tidak diakui status kewarganegaraannya dan perlakuan diskriminasi
yang di tujukan kepada etnis rohingya.
2. Adanya larangan untuk berpraktek agama.

Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap individu


mempunyai hak kebebasan untuk beragama, yang berbunyi sebagai berikut “setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
mengajarkannya melakukakannya, beribadah dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.

Namun, pada kasus ini etnis rohingya tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan
ibadahnya, ini terlihat bahwa yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir semua masjid di ibu
kota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar, banyak masjid dan madrasah di

8
Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org diakses pada tanggal 2 september 2015
9
http:www.okezone.com/sekilas-sejarah-imigran-rohingya, diakses pada tanggal 2 oktober 2015
Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak boleh beribadah di dalamnya. Jika
ada yang melanggar atau mencoba untuk sholat akan ditangkap dan dihukum10.

3. Adanya perlakuan diskriminatif.


Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional tentang
penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan konvensi internasional tentang
hak-hak sipil dan politik tahun 1966 memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya
diskriminasi
Pasal 5 dalam konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi
rasial tahun 1965, yang berbunyi sebagai berikut: Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dasar
yang dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi ini, negara-negara pihak melarang dan
menghapuskan semua bentuk diskriminasi rasial serta menjamin hak setiap orang tanpa
membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlukan sama di depan
hukum, terutama untuk menikmati hak dibawah ini :

1. Hak untuk diperlakukan dengan sama di depan pengadilan dan badanbadan peradilan lain.
2. Hak untuk rasa aman dan hak atas perlindungan oleh negara dari kekerasan dan kerusakan
tubuh, baik yang dilakukan aparat pemerintah maupun suatu kelompok atau lembaga.
3. Hak politik, khususnya hak ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih dan dipilih atas
dasar hak pilih yang universal dan sama, ikut serta dalam pemerintahan maupun pelaksanaan
maslah umum pada tingkat manapun, dan untuk memperoleh kesempatan yang sama atas
pelayanan umum.
4. Hak sipil lainnya, khusunya:
a. Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara yang
bersangkutan.
b. Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke
negaranya sendiri.
c. Hak untuk memiliki kewarganegaraan.
d. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
e. Hak berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai.
5. Hak ekonomi, sosial, dan budaya, khusunya:

10
Rohinya 101 data dan fakta, loc, cit
a. Hak untuk bekerja, memilih pekerjaan secara bebas, mendapatkan kondisi kerja yang adil
dan memuaskan, memperoleh perlindungan dari pengangguran, mendapat upah yang layak
sesuai pekerjaannya, memperoleh gaji yang adil dan menguntungkan.
b. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
c. Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan, perawatan medis, jaminan sosial dan
pelayanan-pelayanan social.
d. Hak atas pendidikan dan pelatihan.
e. Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam kegiatan kebudayaan.
Dan Pasal 27 Kovenan internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik 1966 berbunyi
sebagai berikut:

Di negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau


bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat
diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati
budayanya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk
menggunakan bahasa mereka sendiri.

Pada kasus yang terjadi di Myanmar mengeluarkan kebijakan burmanisasi dan


budhanisme. Walaupun dalam Negara Myanmar terdapat berbgai etnis minoritas yang beragama
selain budha tetapi etnis tersebut masih diakui sebagai warga Negara Myanmar sedangkan etnis
rohingya tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar. Hal tersebut dikarenakan adanya alasan
etnis Rohingya adalah umat muslim dan identitas mereka seperti ciri fisik dan bahasa dianggap
berbeda dengan mayoritas penduduk di Myanmar.11 Berdasarkan kasus tersebut maka
pemerintah Myanmar telah tidak menaati prinsip-prinsip larangan diskriminasi dimana prinsip
ini adalah adanya larangan untuk memberikan perbedaan perlakuan yang didasarkan karena
perbedaan perlakuan yang didasarkan karena perbedaan agama, warna kulit, bahasa dan
sebagainya.

2.3 Upaya Penyelesaian Kasus Rohingya Berdasarkan Hukum HAM Internasional.

Dalam pasal 33 piagam Perserikatan Bangsa-bangsa dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan


kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum ke ranah hukum. Hal
tersebut berbunyi sebagai berikut:

11
Ibid.
Ayat 1. Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus-menerus
mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama
harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan
regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.

Ayat 2. Bila dianggap perlu, dewan keamanan dapat meminta kepada pihak-pihak yang
bersangkutan untuk menyelesaikan serupa itu.

Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan


kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara
penyelesaian dengan melalui perundingan yang diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah.
Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat
individu, organisasi internasional dan lain sebagainya.

Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk
menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan
penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi
para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang
dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB
memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan
yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan
hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian.

Mengutip dari keterangan media Replublika, hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :12

“ Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya di
Myanmar merupakan kelompok etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini
dikarenakan konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut Budha
radikal Myanmar”

12
http://m.republika .co.id/berita/internasional /asean14/02/05/n0hw4-pbb-rohingya-etnis-minotitas-yang-saat-
ini—paling-teraniaya “PBB: Rohingya Etnis Minoritas yang Saat ini Paling Teraniaya” dakses pada tanggal 3 oktober
2015
Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri
permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi
dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk
diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court). Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap
etnis Rohingya, sebagaimana tersebut diatas, berdasarkan statuta Roma dapat dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ( Crimes Againts Humanity) yang dalam hal ini adalah
persekusi ( persecution).

Pasal 7 ayat 1 (h) satuta Roma merumuskan tindakan Persekusi sebagai berikut:

“ Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,
cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that universally
recognized impermissible under international law, in connection with any act referred to in this
paragraph or any crime within jurisdiction of the Court. “

“Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasih atau kolektivitas atas dasar
politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas
dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional,
yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan
yang berada yuridiksi mahkamah.”

Pasal ayat 7 (2) (g) Statuta Roma menjelaskan arti persekusi sebagai berikut :

“Persecution means the international and severe deprivation of fundamental rights countrary to
international law by reason of identity of the group or collectivity “

“ penganiayaan berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang
bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas
tersebut.” Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang tidak mengakui etnis Rohingya
sebagai warga Negara yang dilegalkan melalui perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh
perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif, perampasan kebebasan, serta
pemindahan secara paksa dapat dikategorikan sebagai persekusi. Mengingat, tindakan dari
Negara dan ditujukan/dilakukan semata-mata terhadap etnis Rohingya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Terdapat sejumlah pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya, hak atas status
kewarganegaraan merupakan hal yang paling kentara, hal tersebut menimbulkan pelanggaran
atas hak-hak lainnya.
2. Hak-hak etnis Rohingya yang dilanggar antara lain: hak untuk memiliki kewarganegaraan,
hak untuk tidak didiskriminasi, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, hak
berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai.
3. Berdasarkan pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnisrohingya dan
pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapatmenyelesaikan permasalahan yang terjadi
dengan menggunakan mediasiterlebih dahulu. Apabila cara tersebut tidak berhasil, Dewan
Keamanan PBBdapat mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional
sepertiInternational Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998
3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini di harapkan dapat memberikan pengetahuan kepada


pemerintah dan masyarakat internasional bahwa kejahatan yang dialami etnis rohingnya
merupakan kejahatan internasional yang perlu untuk dihentikan, agar terciptanya dunia yang
aman dan damai serta menghargai perbedaan yang ada sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa.
DAFTAR PUSTAKA

Renggong, Ruslan, 2014, Hukum Acara Pidana, “memahami perlindungan HAM dalam proses
penahanan di Indonesia”, Jakarta: Preanada Group

Murdiyatmoko, Jan, 2007, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Jakarta: Grafindo
Media Pratama

Naning, Ramdlon, 1983, Cita dan Citra Hak – hak asasi Manusia di Indonesia, Jakarta:
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia

Sujatmoko, Andrey, 2015, Hukum ham dan Hukum Humaniter, Jakarta: Raja Grafindo persada

Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org

http:www.okezone.com/sekilas-sejarah-imigran-rohingya,

http://m.republika.co.id/berita/internasional/asean14/02/05/n0hw4-pbb-rohingya-etnis-minotitas-
yang-saat-ini—paling-teraniaya “PBB: Rohingya Etnis Minoritas yang Saat ini Paling
Teraniaya”

Anda mungkin juga menyukai