Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN MAKRIFAT

Pengertian Dan Tingkatan Ma'rifat Menurut Imam Al-Ghazali

Ma'rifat berasal dari kata. "ara fa" yang artinya: mengenal. Menurut "Imam Al-Ghazali", arti
pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul kerana musyahadah
(penyaksian).
 

 Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af'al Allah
dengan perantaraan musyahadahnya (penyaksian/bukti yang nyata).
 Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui
musyahadahnya, namun hanya dengan kepercayaan biasa saja.
 Orang yang tingkat Ma'rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud
yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata.

Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan
adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi dan yang paling utama.
Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma'rifat, bagi mereka Allah itu
memang tiada terwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah.
Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma'rifat bernama "Hallaj" mengartikan dalam
beberapa pepatah sebagai berikut:

"Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya".

"Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-
Nya sendiri".

"Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya".

"Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan
karunia-Nya".

"Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya".

 
Dengan demikian, berma'rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin
teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap Allah, Tuhan semesta alam
sehingga mencapai "Isbatulyaqin" iaitu yakin yang seyakin-yakinnya setelah adanya
pembuktian nyata.
 
Bagi para pengikut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan iaitu:
 

 Ma'rifat
 Hakikat
 Tarikat
 Syariat

Keterangan:
 
Marifat : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam mengesakan
Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat
Menyaksikan Nur Allah (Sembah Sukma)

Hakikat : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesadaran Mental melihat pada
Dimensi-dimensi Atasan (Budi Luhur), (Sembah jiwa/Rasa).

Tarikat :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syariat, yakni berbuat sesuai dengan yang
diatur oleh syariat. Kesadaran Mental melihat  pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah
Sedar), (Sembah Cipta).

Syariat : Pengetahuan terhadap jalan-jalan menuju kepada Allah. Kesadaran Berperilaku


Hidup Sehari-hari yang melihat kepada Norma-norma Budaya/Agama/Hukum dan Aturan-
aturan Sosial, Lingkungan yang berlaku, (Sembah Raga).

 Syari'at tingkat Wajjibulyaqin


 Tarikat tingkat Ainulyakin.
 Hakikat tingkat Haqquiyaqin.
 Ma'rifat tingkat Isbatulyaqin

Pertama sekali Imam Al-Ghazali bangkit dengan menjelaskan tentang hakikat hidup
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt, Sang Maha Pencipta sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 21 iaitu: “Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa”.(QS.Al-Baqarah:21).

Tidak mungkin terjadi penyembahan kepada sesuatu yang belum dikenal, maka rasa
mengenal Allah sering dikenal dengan sebutan ma’rifatullah, yang mempunyai arti
senantiasa taat kepada Allah Swt. Dan menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya
untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Mengenal Allah adalah tujuan yang paling tinggi
dari semua tingkatan dan merupakan puncak tertinggi dari tingkat pendakian jiwa, tidak
ada lagi tingkatan sesudahnya kecuali hanya buah-buah dari cinta kepada-Nya.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt, supaya mereka mau taat dan mengabdi kepada-
Nya. Dan Dia menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya adalah untuk
makhluk semua, artinya manfaat sebesar-besarnya adalah untuk makhluk itu sendiri.

“Mencintai Allah merupakan petanda bahwa hatinya hidup, merupakan makanan hati,
tidak ada kenikmatan dan kelazatan di dunia ini tanpa adanya ma’rifatullah kepada
sang Khaliq iaitu Allah Swt”.

Orang yang memperoleh ma’rifat, tidak sama dengan orang yang tidak
memperolehnya. Ada tanda-tanda tertentu dari orang yang memperoleh ma’rifat, tanda-
tanda seseorang yang sudah menjadi ‘arif adalah : “Sesungguhnya ada tiga, cahaya al-
ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, dia tidak berkeyakinan bahwa ilmu
batin merosakkan hukum alam dan banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya
menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan”.
 
Seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya
kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun dan semakin dekat serta
menyatu kepada Allah.
 
“Adapun Ma’rifatullah menurut konsep Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal
Allah sedekat-dekatnya yang di awali dengan penyucian jiwa dan berzikir kepada Allah
secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Allah dengan hati
nuraninya”.
 
Imam Al-Ghazali dalam buku Keajaiban Hati menjelaskan; “kemuliaan dan kelebihan
manusia atas semua makhluk lain karena manusia diciptakan ke dunia ini untuk
berma’rifat kepada Allah, sebagai kesempurnaannya di Akhirat nantinya. Untuk
berma’rifat kepada Allah Swt manusia haruslah membersihkan diri dan hatinya,
keadaan itu semua manusia akan dapat kemudahan dalam mendekatkan diri kepada
Allah Swt. 

Tingkatan ma'rifatullah menurut Al-Ghazali bertahap sesuai dengan tingkatan iman


seseorang. Kerana itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan
iman seseorang. Ketiga tingkatan tersebut iaitu:
 

 Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, iaini iman dasar taklid.
 Imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
 Imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara
nurul yaqin

Dalam pandangan Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengenal Allah, tidak ada yang wujud selain
Allah dan Perbuatan Allah. Menurut Al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan
satu. Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. Ma’rifat adalah ilmu
yang tanpa keraguan ketika objek ilmu itu adalah Allah dan sifatNya. Dalam ungkapan lain,
ma’rifat menurut Al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain ke-
Esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka.
 
Perjalanan seseorang menuju ma’rifat bermula dari keyakinan seseorang yang kemudian
melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan
positif dalam kondisi dalamanya dalam bentuk maqam (tempat berdiri / kedudukan),
Keyakinan seseorang mengisyaratkan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, syurga dan
neraka. Setelah keyakinan ini seseorang naik kepada tahap berikutnya iaitu khauf dan raja’.
 
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya iaitu mujahadah,
dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap unsur (intim/sukacita). Tafakkur
membawa kepada sempurnannya ma’rifat. Sempurnanya ma’rifat dan unsur menghantar
kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan seseorang atas segala tindakan yang
dicintainya dan percaya akan pertolongannya (tawakkal).
 
“Ma’rifat hakiki terdapat dalam maqam ru’yat wa al–musyahadah bi sirr al-qalb ( ‫مقام رؤية‬
‫)والمشاهدة بسر القلب‬. Orang yang ber ma’rifat melihat sekadar hanya untuk mengetahui. Kerana
ma’rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah hanya membuka sebahagian
hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali–Nya”. Tanda adanya ma’rifat
hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya tidak di jumpai tempat yg lain selain hanya
untuk Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang
hakikat ma’rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa
perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran.
 
Potret dan contoh yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat, sebagaimana dicontohkan oleh
Al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja’far Al Shadiq. “Ketika Ali ditanya oleh seseorang,
“Wahai Amir al-Mu’minin, apakah engkau menyembah sesuatu yang engkau lihat atau
sesuatu yang tidak engkau lihat ?”, Ali menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah Dzat yang
aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku”. 
Demikian juga ketika Ja’far al-Shadiq r.a. ditanya “Apakah engkau melihat Allah ?”, ia
menjawab, “Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat”. Lalu ia ditanya lagi,
“Bagaimana engkau dapat melihatnya padahal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak
terjangkau oleh penglihatan”. Ja’far Shadiq menegaskan, “Mata tidak bisa melihat Tuhan
dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin
dapat diindera oleh pancaindera dan dipersamakan dengan manusia”.

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I (Mengenal Lebih Dekat Al-Imam


Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Rahimahullah)
16 Mei 2011 pukul 22:50

Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah
dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu
hidup dalam sanubari umat.

 Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi
Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap generasinya- lengang dari para ulama. Diawali
dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan
oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang
selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang
dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan
menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi,
berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.

 Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang
terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’
bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu
kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits
(pembela hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah
garis keturunan beliau berikut ini:

 Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin
Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6,
dan Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, 1/44)

 Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang
sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufirahimahullahu meninggal dunia. Adapun
tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.

 Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris
(hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota
di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman,
menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami
oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (LihatManhaj Al-Imam Asy-
Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib
Asy-Syafi’i, 1/74)

 Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di
Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian
kabilah Yaman.

 Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian
kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih
sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan
bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-
Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil
belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil
menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).

 Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah
si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah
Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal
memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya
dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal
menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan:
“Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat
(bekerja)!”

 Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup
beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-
Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

 Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu

 Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu,
sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah
memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba
ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di
perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab
yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal
bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama.
Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak
heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan
para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar
bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-
Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2]
(Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu
Katsirrahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)

 Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh
(mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam
Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-
Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka
berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak
pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena
pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada
Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin
Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)

 Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu
ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-
Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-
Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah,
Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.

 Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang
imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari
para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-
Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka.
Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin
Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad
bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan
yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)

 Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat

 Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar
membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan
ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau
demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an,
hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi
saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat
terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:

 Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan
bahwa:

 Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i
keliru dalam meriwayatkannya.”

 Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan
suatu hadits.”

 Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari
Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”

 Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”

 Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang
yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”

 Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang
terpercaya lagi amanah.”

 Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat
seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
 Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-
Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala,
pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”

 Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

 Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahirirahimahullahu
disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama
Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang
sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur.
Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang
tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini.
Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”

 Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih
atas kesempatan yang terlewatkan itu.”

 Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48)
disebutkan bahwa:

 Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan
dalam bahasa Arab.”

 Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair
Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-
Syafi’i.”

 Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i
sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”

 Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab
adalah hujjah.”

 Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i.


Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-
Qur’an.”

Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut
ini:

 a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam

 Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya
monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan
juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta.
Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
 “Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan
tinggalkan perkataanku.”

 “Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid
kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

 Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab
Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya,
seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang
lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih
berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada
perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan
dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa
hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang
yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki
Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[3]

 c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya
tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash
shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

 Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya
milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang
yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang
tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya
pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri
kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia
sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya.
Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan
ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada
daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-
Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala
dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada
yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang
dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa
tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]

 Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat
keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya
sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj
Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)

 Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat
sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum
serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua
nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa
menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan AllahSubhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan
(ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala: ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
 ‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

 “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha
melihat.” (Asy-Syura: 11)

 Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh
pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna
yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang
senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.

 Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari
para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-
sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan
bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa
ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

 d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa
bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat
darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah,
dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka
terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab
terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi
Itsbatil Akidah, 2/516)

 e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

 Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung


kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb
semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka
adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari
Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni
kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya,
Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum
muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)

 Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-
Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

 f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam

 Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam
kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui
lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa
pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan
kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai
ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya
wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa
yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum
maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas
kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan
berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita
sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)

 Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian
terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal
ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-
Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

 g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat

 Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras
terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan
kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)

 Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh
shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di
belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang
yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

 Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga
mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)

 Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca.
Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204
H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.[8]

 Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi


jannatihi. Amin.

 Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

 Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009


  [1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.

 [2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.

 [3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.

 [4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.

 [5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.

[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.

[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i
dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab
beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.

 [8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.

Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah

 Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun
ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah
mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-
Syafi`i”.

 NASAB BELIAU

 Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin
As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul
Muththalib).

 TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN

 Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia
oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya
dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke
kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

 PERTUMBUHANNYA

 Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-
teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya
mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini,
hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya
satu yang meleset.

 Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang
sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian
tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan
menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas
orang-orang
 KECERDASANNYA

 Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang
sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

 1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

 2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas
pada usia sepuluh tahun.

 3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia
belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

 4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

 Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah,
sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

 MENUTUT ILMU

 Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang
beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan,
“Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar
kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

 GURU-GURU BELIAU

 Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka
adalah:

 1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah

 2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri

 3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i

 4. Sufyan bin Uyainah

 5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

 Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

 1. Malik bin Anas

 2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany

 3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para
ulama yang berada pada tingkatannya

 Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

 1.Mutharrif bin Mazin

 2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.


 Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

 1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan
mengambil darinya ilmu yang banyak.

2. Ismail bin Ulayah.

3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU

Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat
islam, yang paling menonjol adalah:

 1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan
kesepakatan kaum muslimin.

 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani

 3. Ishaq bin Rahawaih,

 4. Harmalah bin Yahya

 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi

 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

 KARYA BELIAU

 Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni
ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi
dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan
karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang
dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

 PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU

 Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

 “Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan
akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

 Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan
ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan
mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-
Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui
oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

 Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-
Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam
Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
 Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah
Rasulullah).”

 Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

 Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian
beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i
adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit
kesalahannya.”

 Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

 Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi
tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah
yang paling faqih di antara mereka.”

 PRINSIP AQIDAH BELIAU

 Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang
berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

 Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak
menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam
masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi
seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan
juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya
hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya.
Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami
menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah
meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

 “Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

 Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah,
barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

 PRINSIP DALAM FIQIH

 Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang
shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

 Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah
pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

 Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

 SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH

 Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau
bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci
kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
 Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya
Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”

 Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon
kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang
meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

 PESAN IMAM ASY-SYAFI`I

 “Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

 WAFAT BELIAU

 Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun
(Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia,
umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan
kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi
umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

 KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I

 “Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal,
taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada
jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang
bermanfaat bagimu”

Anda mungkin juga menyukai