Anda di halaman 1dari 3

Aktualisasi Gerakan Intelektual

Profetik di Masa Pandemi

Kata Intelektual Profetik memiliki arti bahwa ikatan memiliki tanggung jawab moral
untuk melakukan transoformasi social sebagaimana para nabi terdahulu yaitu ia bekerja kembali
dalam lintasan waktu sejarah, hidup dengan realitas social kemanusiaan dan melakukan kerja –
kerja Transformasi Social. Seorang Nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan
semangat revolusioner. Menurut Abdul Halim Sani dalam bukunya Manifesto Gerakan Intektual
Profetik istilah Intelektual profetik dimaksudkan bagi mereka yang memiliki kesedaran akan diri,
alam dan Tuhan yang menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai pengabdian kemanusian
dengan melakukan humanisasi dan liberasi, dijiwai dengan semangat transendesni disemua
dimensi kehidupan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dalam rangka berbibadah kepada
Allah SWT, hal ini sebagai perwujudan khalifah di muka bumi.

Mengenal Ilmu Social Profetik

Sebelum kita membahas tentang apa itu intelek profetik lebih bainya kita mengenal embiro daei
Teori Profetik atau Ilmu Social Profetik. Teori tentang Profetik tidak akan lepas dari seorang
tokoh Muhammadiyah yang juga Guru Besar bernama Kuntowijo, pemikiran yang melesat jauh
dan sangat berkemajuan tentang ber-islam membuatnya bisa mengggas sebuah ilmu bernama
Ilmu Social Profetik. Biasanya para penggagas yang membuat teori melalui paradigma islam
seperti dialmbil dari Al-Qur’an mapun hadist akan menamakan teori tersebut dengan Teologi.
Seperti yang kita kenal hari ini dengan nama Teologi Pembebasan, Teologi Perlawanan, Teologi
Al-Mau’n, Teologi Al-asr. yang unik dari Kuntowijoyo adalah ia menamakan gagasan nya
dengan Ilmu Sosial Profetik bukan dengan Teologi Profetik alasanya adalah adanya perdebatan
yang tak kunjung usai tentang teologi di kalangan umat islam yang mana haya berkisar pada
makna semantik Mereka yang berlatar santri dengan pendidikan formal seperti pondok pesantren
dengan tradisi islam konvemsional akan mengartikan arti teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu
displin yang mempelajati ilmu ketuhanan, bersifat abstrak-normatif dan skolastik. Pemahaman
teologi juga sangat berbeda bagi mereka yang mengenyam pendidikan ala barat atau disebut
dengan istilah Cendekiawan Muslim yang mana mereka mengartikan teologi sebagai penafsiran
terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris.
Dengan adanya perdebatan makna teologi maka bisa disimpulkan bahwa pembaruan teologi
tampak belum “diterima”. Sebagian besar menganggap bahwa teologi adalah suatu cabang
khzanah keilmuan yang membahas tentang ketuhanan atau ketauhidan. Mereka beranggapam
bahwa hal itu sudah final dan tidak bisa drombak atau di diperbarui karena hal itu sudah final.

Dengan mengganti teologi menjadi ilmu social, kuntowijoyo ingin menegaskan maksud
dan tujuan gagasan tersebut. Jika gagasan tentang pembaruan teologi adalah agar agama diberi
tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut
adalah mengelobarasi ajaran ajaran agama kedalam suatu teori social (Kuntowijoyo: 2004).
Perbedaan antara aspek telogi dengan ilmu adalah aspek teologi bersifat normative dan
permanen. Diberi nama ilmu dimaksud agar gagasan tersebut tidak perlu diberi pretensi
doktrinial normative tapi juga bukan berarti menghilangkan paradigma islam karena islam
mengakui relativitas ilmu. Dengan Ilmu Sosial memungkinkan semua orang untuk mervisi ulang
maupun merokontruksi secara terus menerus baik melaluo normatif maupun empiris, sesuatu
yang sulit jika kita menggunakan istilah “teologi”.

Makna Ilmu Social Profetik: Ali Imran 110

Dewasa ini umat islam mengenal agama islam tidak lebih dan kurang hanya sebagai ibadah
ritual, mengerjakan sholat, berdoa dan berdzikir. Barangkali kita mengambil nilai nilai pada Al-
Qur’an hanyalah sebagai Transformasi Psikologis yaitu untuk menenangkan hati agar lebih
tenang dalam menjalani hidup. Sebagaimana ketika kita mendengar cerita Nabi Ayyub kita akan
menjadi orang yang lebih sabar ketika menghadapi masalah pada kehidupan kita. Inilah yang
dinamakan sebagai internalisasi yaitu reaksi seseorang atas gelajala objektif yang
dihubungnkanya dengan nilai nilai yang dihayati.

Sungguh pun demikian ajaran ajaran islam tidak hanya berfungsi sebagai transformasi
psikologis. Sejarah telah membuktikan bahwa umat islam adalah kekuatan yang besar dalam
melakukan perubahan social yang besar. Tidak seperti kebanyakan agama lainya yang hanya
mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individual. Islam memiliki tugas
dalam melakukan perubahan social karena memiliki tanggung jawab sebagai umat terbaik, yaitu
dengan menggunakan cita cita profetik dalam mencipatakan masyarakat berkeadailan dan
egaliter. Cita-cita Profetik itu secara eksplisit termaktub pada Ali Imran 110 :
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Alla…”

Menurut Kuntiowijoyo ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut. Yang pertama, Khoiru
Ummah yaitu sebagai umat terbaik bahwa umat islam sudah ditakdirkan menjadi umat terbaik
dengan melakukan perubahan social ditengah masyarakat melallui internaslisasi, eksternalisasi
dan objektifikasi. Yang kedua adalah uhrijat linnas yaitu bekerja ditengah tengah manusia
berarti bahwa idealnya bagi islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Ketiga pentingnya
kesadaran sejarah nilai ilia ialhiah (ma’ruf, mungkar dan ialhiah) menjadi tumpuan aktivisme
islam. Peranan kesadaran inilah yang memebedakan antara umat islam dan etika materialistis
yatu materialism historis dan dialektika. dan yang keempat adalah Etika Profetik. Ayat ini
berlaku untuk siapaun dari individual maupun kolekitivitas. Etika Profetik yatu Ama’r ,makruf
yaitu humanisasi dengan artian Memanusiakan manusia, nahi munkar yaitu liberasi yang berarti
membebaskan dan terakhir Tu’minuna Billah yaitu Beriman Kepada Allah atau Transendensi.

Aktualisasi Gerakan Intelektual Profetik di Masa Pandemi

Gerakan Intelektual profetik perlu sekiranya kembali dipahami dan diaktualisasikan


dalam tubuh IMM yang hari ini kian terkikis oleh zaman post rust (Pasca Kebenaran)
sebagaimana hari ini kita bisa lihat bahwa orang-orang hanya mengintrepsentasikan ilmu hanya
untuk ilmu tanpa digunakan sebagai pengejawantahan untuk perubahan terhadap realitas. Dalam
Semboyan IMM yang termaktub pada Deklarasi Solo atau Muktamar pertama telah jelas dan
gamblang bahwa Ilmu adalah amaliyah dan amal adalah ilmiah yaitu dimaksudkan untuk setiap
ilmu harap diamalkan untuk perubahan social pada masyrakat agar lebih baik.

Menjadi Cendekiawan memanglah tidak mudah dan itu adalah keputusan yang sulit.
Bukan prestasi akademik dan kecerdasan saja layaknya seorang sarjana atau profesor yang
dibutuhkan

Anda mungkin juga menyukai