Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia teknologi informasi saat ini telah membawa

manusia kepada era globalisasi yang memberikan kebebasan kepada setiap

orang di dunia uuntuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan dimanapun

mereka berada. Salah satu pendorong Globalisasi adalah kemajuan teknologi

Informasi yang memungkinkan manusia untuk saling berhubungan tanpa

dibatasi oleh batas-batas negara sehingga dunia seakan-akan menjadi datar.1

Era informasi information age merupakan tahapan selanjutnya setelah era pra

sejarah, era agraris dan era industri.2 Lahirnya teknologi digital telah

mengakibatkan terjadinya keterpaduan ataupun konvergensi dalam

perkembangan Teknologi Informasi, Multimedia dan Telekomunikasi

Information, Media and Communication Technology.3 Pada awalnya hubungan

manusia dilaksanakan dalam pola-pola yang sederhana dan dengan luas

wilayah sangat terbatas. Manusia melakukan komunikasi atau hubungan antar

sesamanya dengan cara yang sangat konvensional yaitu dengan pertemuan

secara langsung atau secara face to face.4

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula

menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan

menyebabkan perubahan sosial, ekonomi dan budaya secara signifikan

1
Thomas L. Friedman, The World is Flat, Penguni Books, London, 2006, hlm. 10.
2
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 27.
3
Ibid, hlm. 4.
4
Laela Dwi Cahyanni, Tanggungjawab Penyediaan Layanan Atas Kerahasiaan Data Pribadi
Terhadap Pengguna Layanan Google, 2019, hlm. 1.

1
berlangsung demikian cepat. Seseorang pasti memiliki berbagai motivasi

dalam menggunakan media sosial. Sekedar untuk berkomunikasi dengan orang

lain, untuk mencari tahu perkembangan sesuatu, untuk berbagi informasi

maupun untuk mengikuti salah satu yang menjadi trend saat ini yaitu

menggunakan media sosial sebagai bentuk eksistensi diri.5 Andreas Kaplan dan

Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok

aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi

Web 2.0 dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated

content”.6

Teknologi informasi mencakup masalah system yang mengumpulkan

collect, menyimpan save, memproses, memproduksi dan mengirimkan

informasi dari dan ke industri ataupun masyarakat secara efektif dan cepat.

Demikian juga dengan Indonesia, dimana penggunaan teknologi informasi

berkembang dengan sangat cepat dan semakin penting artinya bagi masyarakat.

Pemanfaatannya pun telah semakin meluas sehingga memasuki hampir semua

segi kehidupan.7 Komputerisasi, internet dan alat telekomunikasi cellular

(handphone) menjadi trend baru yang merubah pola kerja, pola pikir dan

bahkan gaya hidup masyarakat. Media internet digunakan dalam pemesanan

tiket (tiket pesawat terbang, tiket kereta api, hotel), pembayaran tagihan

5
Arum Wahyuni, Efektivitas Media Sosial Sebagai Media Promosi, Jurnal Ekonomika,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Vol. 12, No. 2 Oktober 2017.
6
Alcianno G Gani, Pengaruh Media Sosial Terhadap Perkembangan Anak Remaja,
Universitas Suryadarma, Vol.7, No.2 Tahun 2015
7
M.Arsyad Sanusi, Hukum dan Teknologi Informasi, Tim Kemas Buku, Jakarta, 2005, hlm. 3.

2
telepon, listrik, transfer uang bahkan berbelanja pun dapat dilakukan secara on-

line, Fenomena tersebut.8

Platfrom media sosial merupakan media utama yang dapat digunakan,

karena melalui media sosial dan internet seseorang dapat terhubung dengan

teman atau bahkan dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenal dan

berdomisili di luar negeri, maka pengguna media sosial menjadi sangat banyak,

bukan hanya dari kalangan orang dewasa melainkan merambah remaja bahkan

anak-anak.

Media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial.

Sosial media menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah

komunikasi menjadi dialog interaktif. Beberapa situs media sosial yang populer

sekarang ini antara lain : Blog, Twitter, Facebook, Instagram, Path, dan

Wikipedia. Definisi lain dari sosial media juga di jelaskan oleh Van Dijk media

sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna

yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena

itu, media sosial dapat dilihat sebagai fasilitator online yang menguatkan

hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.9

Media sosial adalah alat atau sarana yang di gunakan untuk

menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar

psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antarmanusia, media yang

paling dominan dalam berkomunikasi adalah panca indra manusia, seperti mata

8
Hendra Sitio, Pertanggungjawaban Pidana tindak Pidana Cyberporn Dalam Kebijakan
Formulasi Hukum Pidana di Indonesia, Semarang, 2017, hlm. 1.
9
Rulli Nasrullah, Media Sosial : Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2017, hlm. 11.

3
dan telinga. Pesan-pesan yang diterima panca indra selanjutnya diproses dalam

pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu,

sebelum dinyatakan dalam tindakan.10 Istilah media sosial merujuk pada

layanan berbasis internet yang memungkinkan penggunanya atau user

generated content berpartisipasi dalam interaksi secara online berbentuk

pertukaran informasi, barang, pemberian kontribusi, dan komunitas bersama. 11

Beberapa pengertian diatas tentang penggunaan media sosial maka dapat

disimpulkan penggunaan media sosial adalah proses atau kegiatan yang

dilakukan seseorang dengan sebuah media yang dapat digunakan untuk berbagi

informasi, berbagi ide, berkreasi, berfikir, berdebat, menemukan teman baru

dengan sebuah aplikasi online yang dapat digunakan melalui smartphone

(telefon genggam).

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan

berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu

sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan

peradapan manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan

melanggar hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah

prilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia

menjadi tanpa batas borderless, serta menimbulakn perubahan di berbagai

bidang kehidupan.12 Dengan kemajuan teknologi semakin banyaknya

perusahaan-perusahan atau Korporasi yang bergerak dibidang teknologi


10
Hafied cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011, hlm.
125.
11
Michel Dewing, Sosial Media: An Introduction, Library of Parliament, Canada, 2012, hlm.
1.
12
Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,hlm.34.

4
terutamanya dibidang media sosial yang banyak digunakan orang-orang di

berbagai negara.

Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan teknologi itu

sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan

teknologi Informasi.13 Dalam era globalisasi ini penggunaan media sosial Tidak

ada batas-batas maupun privasi di dalamnya, apapun yang kita bagikan akan

dapat dilihat oleh orang lain, begitu pula sebaliknya apapun yang dibagikan

oleh orang lain dapat kita lihat. Di Indonesia, “menurut Kementerian

Komunikasi dan Informatika Indonesia pada tahun 2018, jumlah pengguna

internet di Indonesia mencapai 54 persen atau 143 juta jiwa dari 265 juta jiwa

penduduk indonesia”.14

Dalam hal ini banyak sekali konten-konten kekerasan yang di unggah

oleh pengguna media sosial, Adapun Salah satu kasus yang di unggah oleh

pengguna media sosial berupa tayangan live seorang pria melakukan kekerasan

kepada istrinya, di sebuah akun facebook milik istrinya. Istri pria tersebut

mengalami luka bengkak di bagian mata dan luka memar di bagian tubuhnya.

Menurut keterangan pria tersebut sengaja melakukan tindakan kekerasan dan di

siarkan secara live di akun media sosial istrinya dengan alasan agar semua

orang bisa melihat kejadian tersebut. Live aksi kekerasan ini dapat meresahkan

warga karena bisa menjadi contoh yang kurang baik. 15 Kasus yang kedua

13
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi ( Cyber crime) : Urgensi
Pengaturan dan Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 1.
14
https://kominfo.go.id/content/detail/15380/kementerian-kominfo-sebut-pengguna-internet-
indonesia-capai-54-persen/0/sorotan_media, di akses pada tanggal 11 Oktober 2019 pukul 6:10
Wib.
15
https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01338113/viral-seorang-pria-secara-live-via-
facebook-lakukan-kekerasan-terhadap-istrinya

5
menganai pedofil yang menyebarkan 500 video dan 100 foto berkonten

kekerasan seksual terhadap anak melalui facebook. Kementerian Komunikasi

dan Informatika (Kominfo) melaporkan media sosial yang menjadi sarang

pelaporan konten negatif dari masyarakat.16

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menjelaskan bahwa

terdapat peningkatan jumlah konten bermasalah di internet dari tahun ke tahun.

Menurut data yang dipublikasi oleh Kominfo, terdapat satu juta lebih konten

yang telah diblokir dan diturunkan dari internet. Konten-konten tersebut terdiri

dari 16 kategori. Tiga katergori terbanyak yang diblokir kominfo selama ini

adalah konten pornografi (960 ribu), perjudian (114 ribu), dan penipuan (7

ribu). Sementara dalam data yang sama, konten bermuatan terorisme dan

radikalisme yang berhasil ‘ditaklukkan’ berjumlah 497 konten, disusul konten

SARA yang berjumlah 187, dan jenis konten lain.17

Penyebaran konten-konten berhaya bukan hanya tanggungjawab

pemerintah, peneyebaran konten-konten kekerasan ini juga menjadi

tanggungjawab penyedia platform media sosial untuk menghentikannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mengenai

badan usaha Pasal 1 angka 22 bahwa Badan Usaha adalah perusahaan

16
https://kominfo.go.id/content/detail/12236/pemerintah-fokus-pada-literasi-dan pengendalian-
konten-internet/0/sorotan_media, di akses pada tanggal 20 Mei 2019 pukul 21:30 Wib.
17
https://www.nu.or.id/post/read/110323/menkominfo--perusahaan-media-sosial-harus-terliat-
dalam-penanganan-konten-negatif, di akses pada tanggal 11 Oktober 2019 pukul 06:12 Wib.

6
perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun

yang tidak berbadan hukum.18 Jika dilihat dalam ketentuan tersebut, badan

usaha diakui sebagai subjek hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban

secara hukum. Penyebutan badan usaha yang beragam seperti perusahaan

korporasi, dan badan hukum atau perkumpulan usaha merupakan penyebutan

yang beragam terkait dengan badan usaha. Berikut dikutip dari pendapat ahli

hukum tentang badan hukum, antara lain menurut Rochmat Soemitro

mengemukakan, badan hukum Rechtpersoon adalah suatu badan yang

mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.

Badan hukum dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, mengadakan

perjanjian-perjanjian.19

Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya

dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu

mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu mempunyai

kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka

kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum.20 Dalam hal

ini di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Tidak mengatur secara jelas


18
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
19
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas dalam Wirijono
Prodjodikoro, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1969, hlm. 5.
20
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung: 1986, hlm. 110.

7
mengenai tanggung jawab dan sanksi pidana yang diberikan kepada platform

media sosial sebagai penyelenggara sistem elektronik. Regulasi yang berlaku

saat ini hanya bisa menjerat pelaku atau oknum penyebar konten-konten

kekerasan, bukan platform media sosial.

Platform media sosial menjadi salah satu wadah dalam memperoleh

informasi dan wadah berinteraksi lainnya. Platform media sosial disebut

sebagai Sistem Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem

Elektronik, sedangkan kontennya disebut Informasi Elektronik.

Berarti dalam hal ini, pemilik platform media sosial sebagai Penyelenggara

Sistem Elektronik, bersama dengan pengguna media sosial bertanggung jawab

terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik berkaitan dengan konten negatif.

Bertanggung jawab artinya ada subjek hukum yang bertanggung jawab secara

hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut. Ketika terdapat

konten kekerasan dalam Penyelengaraan Sistem Elektronik, harus dilihat

perbuatannya secara mendetail. Semisal kasus pornografi, dalam hal ini siapa

yang mendistribusikan, siapa yang melakukan editing, siapa yang posting, dan

lain sebagainya. Sehingga pada akhirnya perbuatan ini akan menjadi

pembuktian yang subjektif.21

Badan usaha yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Platform media

sosial, dalam hal ini perusahaan seperti Facebook, Twitter, Google dan lainnya

yang mempunyai izin dari pemerintah. Subjek hukum adalah subjek yang dapat

diminta pertanggungjawaban apabila dalam melakukan perbuatan hukum


21
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c6bc749d2150/tanggung-jawab-
platform-media-sosial-atas-konten-kekerasan, di akses pada tanggal 2 Februari 2019 pukul 10:12
Wib.

8
ternyata melakukan pelanggaran ketentuan yang ada. Beberapa teori yang

menerima keberadaan badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.22

Permasalahan ini terkait dengan konten yang tampilkan oleh perusahaan

platform media sosial dan juga mengenai penjatuhan pidana kepada Korporasi

yang melakukan tindak pidana di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik,

sebagaimana diatur diadalam pasal 52 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Dalam hal ini tentu akan menyebabkan kerugian baik

kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam hal ini hukum

mampu menjawab terkait dengan perkembangan zaman terutam dalam proses

pertanggungjawaban terhadap Platform media sosial agar kedepannya, pihak

platform media sosial lebih berhati-hati dalam menampilkan konten negatif.

Tuntutan terhadap hukum pada saat ini adalah menjadikan hukum yang

mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai

dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah untuk menjamin

kepastian hukum dan ketertiban masyarakat. Sekaligus diharapkan hukum

berfungsi sebagai sarana untuk menampung perkembangan modernisasi dan

pembangunan yang menyeluruh atau dengan kata lain, hukum harus dapat

menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan masyarakat serta harus dapat

digunakan untuk memberi arah kepada perubahan.23

Dalam kenyataannya sangat sulit untuk membatasi perubahan dalam

bidang tertentu. Hal ini dapat disadari karena semakin kompleksnya

22
Evi Deliana HZ, Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Konten Kekerasan dalam Media
Cetak dan Elektronik, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. III, No. 1 2012,
hlm. 16.
23
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mahzab dan Refleksinya, Remadja
Karya, Bandung, 1989, hlm. 71.

9
permasalahan sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bidang cenderung

untuk menjalar pada bidang kehidupan lainnya. Masih jarangnya korporasi

yang dijadikan tersangka atau terdakwa ini tentunya menarik untuk dikaji dan

diteliti. Salah satu permasalahan krusialnya adalah kesulitan untuk

membuktikan pertanggungjawaban pidana korporasi agar memenuhi unsur

delik pidana yang dilanggar oleh korporasi tersebut, karena masih terpakunya

aparat penegak hukum pada asas tiada pidana tanpa kesalahan yang memang

dianut dalam ajaran pertanggungjawaban pidana di Indonesia.24

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka Penulis tertarik untuk

meneliti permasalahan ini dengan judul “Kajian Yuridis Pertanggungjawaban

Pidana Platform Media sosial Terhadap Pemuatan Konten-Konten

Kekerasan Dalam Hukum Positif Indonesia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penegakan hukum platform media sosial terhadap pemuatan

konten-konten kekerasan dalam hukum positif Indonesia ?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana platform media sosial terhadap

pemuatan konten-konten kekerasan dalam hukum positif Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1) Tujuan Penelitian

24
Lu sudirman dan Feronika dalam buku Eddie O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015. hlm. 202.

10
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui pegaturan hukum pidana tentang pertanggungjawaban

pidana platform media sosial dalam hukum pidana saat ini.

b) Untuk mengetahui pengaturan sanksi terhadap platform media sosial

terhadap pemuatan konten-konten kekerasan dalam hukum positif

Indonesia.

2) Kegunaan Penelitian

a) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap perguruan tinggi

yaitu sebagai syarat dalam menempuh ujian akhir untuk memperoleh

gelar sarjana hukum.

b) Penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan pemahaman bagi

penulis khususnya mengenai masalah yang diteliti.

c) Untuk mengembangkan ilmu hukum secara umum dan hukum pidana

secara khususnya dalam hal sistem pertanggungjawaban pidana oleh

Platform media sosial di Indonesia.

d) Untuk menambah referensi kepustakaan Universitas Riau dan sebagai

sumbangsih penulis terhadap almamater serta terhadap seluruh

pembaca.

D. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Bila berbicara mengenai penegakan hukum, maka tidak akan terlepas

dari ruang lingkup masalah hukum. Dari hal tersebut, maka perlu dijelaskan

11
mengenai pengertian hukum, seorang dekan pertama Fakultas Hukum di

Indonesia (Hindia-Belanda) mengemukakan bahwa hukum itu ialah

keseluruhan ketentuan-ketentuan penghidupan yang bersifat memaksa yang

diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.25 Tujuan

dari pada penegakan hukum yakni untuk mengatur masyarakat agar damai

dan adil dengan mengadakan keseimbangan antar kepentingan yang

dilindungi, sehingga tiap-tiap anggota masyarakat memperoleh sebanyak

mungkin apa yang menjadi haknya.26

Pengertian penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan

hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum

menjangkau pula kepada perumusan pikiran pembuatan hukum yang

dituangkan dalam peraturan hukum, akan turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan.27

Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan

hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi

pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya dapat

ditegakkan kembali.28 Sedangkan Menurut Soerjono Soekanto, penegakan

hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak

25
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2011, hlm. 37.
26
RE. Baringbing, Catur Wangsa Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian
Informasi, Jakarta: 2001, hlm. 54.
27
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 24.
28
Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006, hlm. 15.

12
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.29

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan

tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu

merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan

setelah terjadinya pelanggaran hukum. Dengan kata lain, baik secara

preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan) dan apabila undang-

undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari

para penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah negara dan

pandangan hidup bangsa kita, maka sudah barang tentu penegakan hukum

tidak mencapai sasarannya.30

Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.

Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud dalam pasangan,

misalnya pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai

kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai

kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Dalam penegakan

hukum pasangan nilai tersebut perlu diserasikan, sebab nilai ketertiban

bertitik tolak pada keterikatan sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya

adalah kebebasan.31

29
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta: 2012, hlm. 5.
30
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju,
Bandung, 2001, hlm. 1.
31
Ibid., hlm. 6.

13
Menyerasikan pasangan nilai tersebut dibutuhkan faktor-faktor yang

mendukung pelaksanaan keadilan agar mendapatkan perhatian secara

proporsional yang seimbang dalam penanganannya, meskipun dalam

prakteknya tidak selalu mudah untuk dilakukan. Berdasarkan hal tersebut

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

Faktor-faktor pendukung pelaksanaan keadilan tersebut adalah sebagai

berikut:32

a) Faktor hukumnya sendiri

b) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menetapkan hukum

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

d) Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan dan

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi dari

penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektifitas penegakan

hukum. Dalam era globalisasi ini, kepastian, keadilan, dan efisiensi menjadi

sangat penting hal ini menjadi hanya bisa dijamin dengan hukum yang baik,

maksudnya menempatkan hukum itu pada tempat yang sebenarnya tanpa

pandang bulu. Berbicara tentang kepastian, keadilan, dan efisiensi hukum

yang baik berarti kita berbicara tentang tatanan hukum. Tatanan hukum
32
Ibid., hlm. 8-9.

14
dalam bahasa Belanda, rech orde ialah susunan hukum, artinya memberikan

tempat yang sebenarnya kepada hukum.

Memberikan tempat sebenarnya yang dimaksud, yaitu menyusun

dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup hal itu

dilakukan supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui

dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi

agar tercapai kepastian, keadilan, dan efisiensi hukum itu.33 Hukum

merupakan tumpuan harapan dan kenyataan masyarakat untuk mengatur

pergaulan hidup bersama. Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi

dari nilai kepercayaan.

Tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu :34

a. Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat

mengharapkan adanya kepastian hukum akan lebih kuat.

b. Kemanfaatan

Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukm

harus memberi manfaat atau keguanaan bagi masyarakat karena

pelaksanaan atau penegakan hukum.

c. Keadilan

33
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2010,
hlm. 5.
34
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005,
hlm. 145.

15
Hukum itu identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum,

mengikat setiap orang dan bersifat menyamaratakan.

Baharuddin Lopa berpendapat bahwa semua kegiatan di bidang

hukum perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya untuk

menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan

putusan yang yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan

penyidikan yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian

berkekuatan tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai

dengan bunyi vonis. Berbicara mengenai keterpaduan dalam ruang lingkup

yang lebih luas (bukan hanya dalam ruang lingkup proses peradilan) tidak

bisa dilepaskan dari jenjang fungsi, suprasistem, sistem dan subsistem.35

Oleh karena itu, wajar apabila penegakan hukum diharapkan sebagai

orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakkan wibawa hukum pada

hakikatnya berarti menegakkan nilai kepercayaan dalam masyarakat.36

Selain itu penegakan hukum yang gagal untuk menghormati aturan hukum.37

Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi

kehidupan hukum selalu menjaga keharmonisasi (keselarasan,

keseimbangan, dan keserasian) antara moralitas sosial, moralitas

kelembagaan dan moralitas sipil warga Negara yang didasarkan pada nilai-

nilai aktual didalam masyarakat.38


35
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum, Bulan Bintang,
Jakarta: 2001, hlm. 133.
36
Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 55.
37
Gregoire Charles N. Webber, “Legal Lawlessness and The Rule of Law: A Critique of
Section 25. I of The Criminal Code”, Queen’s Journal Law, 2005.
38
Kusnu Goesniadhie S, “Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik” Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol.17, No 2 April 2010, hlm. 196.

16
2. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

responsibility atau criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana

sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata melaikan

juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut

oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, hal ini

dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi

keadilan.39

Pertanggungjawaban pidana atau criminal liability artinya adalah

bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana itu, belum berarti ia

harus dipidana, melainkan ia harus mempertanggungjawabkan atas

perbuatannya yang telah dilakukan. Jika ditemukan unsur kesalahan

padanya, karena suatu tindak pidana itu terdiri atas dua unsur, a criminal act

(perbuatan pidana) dan a criminal intent (kesalahan).40 Pertanggungjawaban

pidana itu hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan

suatu tindak pidana.41

Dalam hukum pidana konsep liability atau pertanggungjawaban itu

merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam

bahasa latin ajaran kesalahan tersebut dikenal dengan sebutan mens rea,

yaitu suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika

39
Hanafi Mahrus, Sisitem Pertanggung Jawaban Pidana, Rajawali Pers Cetakan pertama,
Jakarta, 2015, hlm. 16.
40
Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi pada Tindak Pidana
Korupsi, Prenamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 10.
41
Ibid.

17
pikiran orang itu jahat.42 Prodjodikoro juga sepakat bahwa unsur kesalahan

adalah unsur mutlak yang harus ada untuk bisa menetapkan bahwa suatu

perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada sipelaku.43

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang

yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana

dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut

mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.44 Dalam

hal pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban hukum yang

harus dibebankan kepada pelaku pelanggaran hukum pidana berkaitan

dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana. Dilihat dari sudut terjadinya

suatu tindakan yang terlarang, seseorang harus dipertanggungjawab

pidanakan atau tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat

melawan hukum (dan tidak ada pemidanaan sifat melawan hukum atau

rechvaardigingigrond atau alasan pembenaran) untuk itu. Dilihat dari sudut

kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang “mampu

bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.45

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang menjadi dasar

untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan

pidana yaitu dalam Pasal 1 angka (1) dan angka (2), pada Pasal 1 angka (1)

bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

42
Erdianto, Pokok – Pokok Hukum Pidana, Alaf Riau, Pekanbaru, 2010 hlm. 61.
43
Hasbullah F. Sjawie, Op.cit, hlm. 15.
44
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2001, hlm. 12.
45
Ibid, hlm. 71.

18
Selanjutnya pada Pasal 1 angka (2) dinyatakan jika ada perubahan dalam

perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa

diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.46

Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti

oleh unsur melawan hukum, unsur pertanggungjawaban pidana merupakan

usur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab dan adanya

kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).47 Menurut Simons, kemampuan

bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian,

yang membernarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik

dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya.48

Sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelaku

perbuatan pidana yaitu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 1 berbunyi:

(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan


ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.

Walaupun tidak secara tegas disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana Indonesia tentang adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan, namun

asas tersebut diakui melalui Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana di atas. Pertanggungjawaban pidana bisa terhapus karena adanya

sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana

46
Erdianto Effendi, Op. cit, hlm. 63.
47
Imelda Ria, “Pertanggungjawaban Pidana pelaku Tindak Pidana Pembakaran Rumah dan
Orang yang di Duga Memelihara Ilmu Sihir pada Kepolisian Resor Tapanuli Utara”, Skripsi,
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau, Pekanbaru, 2016, hlm. 14.
48
I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm. 58.

19
maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Tujuan dasar dari teori

pertanggungjawaban pidana korporasi adalah untuk melakukan keadilan

dengan atribusi tanggung jawab pidana pada perusahaan atau konstituennya

(petugas, karyawan dan agen) dan itu harus dilakukan dengan mekanisme

pengaturan yang efektif untuk konsep kriminalitas perusahaan.49

Permasalahan pertanggungjawaban perseroan terbatas, sebagai salah

satu bentuk korporasi, sebagai pelaku tindak pidana adalah salah suatu hal

yang tidak sederhana mengingat korporasi adalah badan hukum. Sepanjang

perseroan itu telah memperoleh status badan hukum sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal ayat (4) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40,

atau de jure corporation, yang status badan hukumnya telah sah, maka

kepada perseroan itu bisa di bebani pertanggungjawaban pidana.50

Pertanggungjawaban terhadap platform media sosial yang

menyebarkan konten-konten kekerasan masih jarang dilakukan. Padahal

sudah banyak kasus platform media sosial yang menyebarkan konten-

konten kekerasan.

E. Kerangka Konseptual

Agar dalam penulisan ini tidak menimbulkan salah penafsiran terhadap

judul penelitian serta sebagai landasan penulis dalam menyelesaikan penelitian

yang diteliti dan untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami

permasalahan dalam penelitian, maka penulis memberikan batasan terhadap

49
Vinay Mishra and Siddharth Tatiya,” Corporate Criminal Liability: Lessons Learnt and to
be Learnt”, The Asian Business Lawyer. 2009. Di akses melalui https://1.next.westlaw.com/
Document / pada 30 Juli 2019 pukul 10:00 wib.
50
Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, hlm. 65.

20
judul penelitian. Adapun batasan terhadap judul penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Pertanggungjawaban adalah keadaan yang membuat seseorang dapat

dipidana serta alasan-alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang

yang terbukti melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana.51

2. Tindak Pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat

melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggungjawab. 52

3. Pidana adalah Hukuman atau sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada

seseorang yang melakukan tindak pidana dan kepadanya dapat dianggap

bertanggung jawab.53

4. Platform Media Sosial adalah Sistem Elektronik yang disediakan oleh

Penyelenggara Sistem Elektronik, sedangkan kontennya disebut Informasi

Elektronik.54

5. Konten adalah informasi yang bertujuan untuk saling berbagi dengan

seseorang baik itu secara jarak jauh maupun dekat.55

6. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan,

baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.56


51
Erdianto Efendi, Op.cit,, hlm. 113.
52
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm.205.
53
Ibid. hlm. 113.
54
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c6bc749d2150/tanggung-jawab-
platform-media-sosial-atas-konten-kekerasan, di akses pada tanggal 29 Juni 2019 pukul 22:12
Wib.
55
Nynda Fatmawati Octarina, Pidana Pemberitaan Media Sosial, Setara Press, Malang, 2018,
hlm. 57.
56
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

21
7. Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada

saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan

ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

Indonesia.57

8. User Generated Content adalah merupakan sistem yang digunakan sebuah

platform dimana di dalamnya terdapat berbagai jenis content yang

dihasilkan oleh pengguna atau user pada platform tersebut.58

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 59 Penelitian

ini mengkaji pokok permasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan

identifikasi masalah melalui pendekatan undang-undang (Statute approach)

dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi

Elektronik.
57
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, PT.
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 56.
58
Muhammad Fazlurrahman, Tinjauan Yuridis terhadap tanggung jawab penyedia jasa
layanan digital melalui internet yang bertindak sebagai internet intermediary di Indonesia,
Makassar, 2017, hlm.33.
59
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1995, hlm.
13.

22
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti.60 Dalam penelitian ini

penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dengan

memanfaatkan metode deskriptif.61 Penelitian ini mengkaji tentang

Pertanggungjawaban Pidana Platform Media sosial Terhadap Pemuatan

Konten-Konten Kekerasan Dalam Hukum Positif Indonesia.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif, sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan menjadi tiga (3)

bagian yaitu:

a. Bahan hukum Primer

Yakni bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan

penelitian yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1958 Nomor 127.

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

b. Bahan Hukum Sekunder

60
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 133.
61
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, hlm. 25.

23
Yaitu bahan-bahan yang erat kaitanya dengan bahan hukum primer

dan dapat membantu menanalisis dan memahami bahan hukum primer,

dapat berupa : Rancangan peraturan perundang-undangan, perundang-

undangan yang tidak berlaku, hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian,

jurnal, dan lain sebagainya.62

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, internet dan lain sebagainya.63

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian Hukum

Normatif adalah metode penelitian kepustakaan library research yaitu

memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana dalam mengumpulkan data,

dengan mempelajari buku-buku sebagai bahan referensi yang berhubungan

dengan penelitian ini, yang dilaksanakan di Perpustakaan.

4. Analisis Data

Melalui proses penelitian, diadakan analisis dan konstruksi yang

telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena itu, metodologi penelitian yang

diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 64

Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif,

merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa

62
Suteki,Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali, Depok, 2018, hlm. 216.
63
Burhan Ashshofa, Op.cit, hlm. 103.
64
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 17.

24
yang dinyatakan tertulis.65 yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang

sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas atas

permasalahan yang ada pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif

analitis. Selanjutnya, penulis menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu

menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang

bersifat khusus. Dimana dalam mendapatkan kesimpulan dimulai dengan

melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu

kesimpulan yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut

dijembatani oleh teori-teori.

65
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 32.

25

Anda mungkin juga menyukai