1. Dasar Hukum
Dasar hukum untuk mengajukan perlawanan pihak
ketiga adalah pasal 195 ayat (6) HIR/pasal 206 ayat (6)
RBg yang menentukan : “Perlawanan (verzet) terhadap
pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga
berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas
bendabenda yang disita itu, sama halnya dengan semua
sengketa tentang upaya-upaya paksaan yang
diperintahkan untuk ditetapkan, diajukan kepada dan
diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah
hukum dalam mana tindakan-tindakan pelaksanaan
tersebut dijalankan “(O. BIDARA – MARTIN P. BIDARA,
1989;107).
Oleh YAHYA HARAHAP (1993;14) dikemukakan
bahwa mengingat ketentuan yang mengatur tentang
perlawanan pihak ketiga yang terdapat dalam pasal 195
ayat (6) HIR/pasal 206 ayat (6) RBg tersebut sangat
minim, maka pasal 378 sampai dengan pasal 384 Rv
juga dipergunakan sebagai dasar hukum untuk
mengajukan perlawanan pihak ketiga.
2. Pemohon.
Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang dapat
mengajukan perlawanan sebagaimana dimaksud oleh
pasal 195 ayat (6) HIR/pasal 206 ayat (6) RBg, menurut
M. YAHYA HARAHAP (1993;35) adalah :
a. Pihak yang langsung terlibat dalam proses putusan
atau penetapan Jenis perlawanan yang seperti ini
disebut dalam praktek “Partai Verzet” atau
“Perlawanan oleh Pihak”.
b. Pihak yang tidak terlibat langsung dalam proses
putusan atau penetapan pasal 196 ayat (6) HIR
menyebut “perlawanan yang dilakukan orang lain”.
Dalam praktek peradilan perlawanan jenis ini lazim
disebut “perlawanan pihak ketiga” atau “Derden Verzet”.
Oleh M. YAHYA HARAHAP (1993;37) selanjutnya
dikemukakan, “Sebenarnya meskipun secara teoritis
dimungkinkan mengajukan perlawanan dalam bentuk
Partai Verzet, ditinjau dari segi teknik yustisial, sangat
banyak kendala yang mesti dihadapi. Kendala tekhnik
yang paling utama ialah “ne bis in idem” yang diatur
dalam pasal 1917 KUHPdt.
Apabila dalam bentuk Partai Verzet putusan yang
dilawan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
gugatan perlawanan sudah terjebak unsur ne bis in idem.
Karena dari segi subyek, obyek maupun dari segi materi
perkara sudah hampir pasti sama betul dengan yang
terkandung dalam putusan yang dilawan dengan apa
yang diajukan dalam gugat perlawanan”.
Mungkin karena alasan yang dikemukakan oleh M.
YAHYA HARAHAP seperti tersebut diatas, maka dalam
praktek jarang dipergunakan upaya hukum yang berupa
“perlawanan oleh pihak” atau di dalam kepustakaan
jarang dibahas tentang perlawanan pihak.
4. Tenggang Waktu
Dalam HIR/RBg tidak ada ketentuan tentang
tenggang waktu yang pasti untuk mengajukan
perlawanan.
Dari putusan MARI Nomor 697K/Sip/1974 yang
menyatakan : “sesuai dengan tata tertib beracara
formalitas pengajuan Derden Verzet terhadap eksekusi
harus diajukan sebelum executorial verkoop
dilaksanakan, kalau eksekusi sudah selesai, upaya
untuk membatalkan eksekusi mesti melalui gugatan
biasa “(M. YAHYA HARAHAP (1993;29), dapat diketahui
bahwa pelwanan harus diajukan sebelum putusan atau
penetapan yang dilawan tersebut dijalankan atau
dieksekusi.
Jika perlawanan diajukan sesudah putusan atau
penetapan pengadilan yang dilawan dijalankan, maka
upaya yang dapat dilakukan adalah mengajukan gugatan
biasa.
Khusus mengenai perlawanan terhadap penetapan
pengadilan tentang sita jaminan ( conservatoir beslag ),
dapat diajukan selama proses pemeriksaan masih
berlanjut, mulai dari tingkat pertama, tingkat banding
dan tingkat kasasi “(M. YAHYA HARAHAP (1993;95),
5. Tata Cara
Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam
pasal 195 ayat (6) HIR/ Pasal 206 ayat (6) RBg, tata cara
untuk mengajukan perlawanan adalah sama dengan tata
cara untuk mengajukan gugatan perdata biasa.
6. Pemeriksaan
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
diajukannya perlawanan oleh pelawan adalah sama
dengan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
perkara perdata.
7. Putusan
Jika perlawanan dikabulkan, maka eksekusi ditunda
sampai putusan terhadap perlawanan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Tetapi sebaliknya jika perlawanan tidak dikabulkan
atau ditolak, maka jika putusan sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap, eksekusi dijalankan.