Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Dan Sumber Hukum

Hukum Acara Perdata

Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu


hukum formil dan hukum materiil. Hukum acara perdata merupakan
hukum formil (Burgelijk Procesrecht, Civil Procedural Law) karena
memiliki fungsi mempertahankan atau menegakan hukum perdata
materiil. Hukum acara perdata tidak membebani dengan hak dan
kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil. Hukum
acara perdata bertujuan untuk menegakan kaidah-kaidah hukum
perdata materiil sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap
hukum materiil. Pelanggaran kaidah hukum pedata yang
menyebabkan kerugian pada pihak lain, harus diselesaikan melalui
lembaga yang berwenang untuk itu dan tidak boleh diselesaikan
dengan cara “Eigenrichting” (main hakim sendiri).

Menurut UU nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU nomor


4 Taun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa,
suatu sengketa juga dapat diselesaikan diluar lembaga peradilan (non
litigasi) yang disebut dengan penyelesaian sengketa secara alternative.
Disamping itu juga perlu dibaca pasal 666 KUHPerdata.

Ada beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pengertian Hukum


Acara Perdata diantaranya:

1. Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan


hukum yang mengatur bagaimmana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

2. Abdulkadir Muhamad, mengemukakan bahwa hukum acara


perdata peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya hukum perdata.

3. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara


perdata adalah sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang yang harus bertindak terhadap dan dimuka
pengadilan, dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu
sama lain untuk berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

4. R. Supomo, memberikan pengertian bahwa dalam hokum acara


perdata hakim melaksanakan tugasnya untuk mempertahankan tata
hokum perdata (burgerlijke rechts orde) menetapkan apa yang
ditentukan oleh hokum dalam suatu perkara.

5. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah


merupakan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana proses
seseorang untuk berperkara perdata di depan sidang pengadilan
serta bagaimanakah proses hakim (pengadilan) menerima,
memeriksa serta memutus perkara dalam rangka memperthankan
eksistensi hukum perdata materiil.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata bukan


hukum yang berdiri sendiri, karena hukum acara perdata tidak dapat
dilepaskan dengan hukum perdata materiil atau dengan kata lain,
hukum acara perdata tidak akan ada artinya atau tidak berfungsi jika
tidak ada hukum perdata materiil.

Demikian sebaliknya hukum perdata materiil tidak akan dapat lancar


tanpa peranan hukum acara perdata.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan hukum acara perdata


tersebut mengatur bagaimana caranya mengajukan perkara ke
pengadilan, bagaimana caranya pihak terserang (tergugat)
mempertahankan diri, bagaiamana hakim bertindak terhadap pihak-
pihak yang berperkara. Bagaimana hakim memeriksa dan memutus
perkara sehingga mencerminkan keadilann, apa yang harus dilakukan
pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, bagaimana cara
melaksanakan putusan sehingga apa yang menjadi hak pihak yang
dimenangkan menurut hukum benar-benar dapat dinikmati.

Perkataan “acara” berarti mengandung arti proses penyelesaian


perkara lewat hakim (pengadilan). Proses penyelesaian perkara lewat
hakim tersebut adalah bertujuan untuk memulihkan hak seseorang
yang telah terganggu atau mengalami suatu kerugian mengembalikan
keadaan semula, bahwa setiap orang harus memenuhi peraturan
hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan
sebagaimmana mestinya. Penyelesaian perkara bukan saja dapat
dilakukan melalui lembaga peradilan (litigasi) melainkan juga dapat
dilakukan melalui lembaga non litigasi sebagai alternative
penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian
Sengketa.

Sumber- sumber Hukum Acara perdata

Sampai saat ini kita belum memiliki Kitab Undang- Undang Hukum
acara perdata yang bersifat nasional, sebagaimana halnya dengan
hukum acara pidana. Walaupun pada tahun 1967 sebenarnya kita telah
memiliki Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, terbata
pada rancangan undang-undang hukum acara perdata untukperadilan
umum, yang telah disahkan oleh Badan Pekerja BPHN, namun sampai
saat ini masih belum pernah menjadi undang-undang. Oleh karenanya
hukum acara perdata masih berlaku hukum acara perdata peninggalan
jaman colonial dan masih bersifat plurtalistis.

Sumber-sumber hukum acara perdata, adalah sebagai berikut:

a. Menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih


ditunjukan Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya
disebut HIR) atau reglemen Indonesia yang diperbaharui Stb.1848
Nomor 16, Stb. 1941 Nomor 44 yang hanya berlaku untuk daerah
Pulau Jawa dan Madura, serta Reglement Buitengewestwn
(selanjutnya disebut Rbg) atau reglemen daerah Seberang Stb. 1927
Nomor 227 yang berlaku untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura.

b. Reglement op de Burgelijk rechtvordering (selanjutnya disenut RV


atau BRV) Stb. 1847 No. 52 Stb. 1849 nomor 63. Namun hal ini
hanya berlaku untuk mereka yang tunduk pada hukum eropa. Oleh
karenanya hal ini hanya sebagai pedoman.
c. Reglement op de Rechteelijke Organisasi in het beleid der jutitie ind
Indonesie atau reglement tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini
juga hanya berlaku untuk golongan Eropa. Oleh karenanya hanya
sebagai pedoman.

d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman (selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman).

e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan peraturan pemerintah


No 10 tahun 1983

g. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

h. Yurisprudensi Mahkamah agung

i. Hukum Adat

j. Traktat

k. Doktrin

l. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan


Mahkamah agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Mediasi.

Anda mungkin juga menyukai