Pembimbing:
dr. Dyah Retno Wulandari., Sp.PD
Oleh:
Pandu Bagas Ramadhan S.
200702110023
Halaman Judul.......................................................................................
Daftar Isi..................................................................................................i
Daftar Tabel............................................................................................ii
Daftar Gambar........................................................................................iii
Abstrak....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
BAB IV PENUTUP...................................................................................17
Daftar Pustaka........................................................................................21
i
Daftar Tabel
Tabel 2. Ringkasan dari tahun diterbitkan dan audiens yang diharapkan dari
ii
Daftar Gambar
iii
Abstrak
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan hipertensi pada kehamilan (HDP) mempengaruhi hingga
sepuluh persen dari semua kehamilan dan merupakan penyebab kematian ibu
tertinggi kedua [1]. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), hingga
14% kematian ibu secara global disebabkan oleh gangguan hipertensi pada
kehamilan dan hampir semuanya terjadi di negara berpenghasilan rendah hingga
menengah [2]. Di Indonesia, gangguan hipertensi pada kehamilan
menyumbangkan sekitar 30% kematian ibu atau sekitar seribu kasus setiap
tahunnya [3]. Selain itu, gangguan hipertensi pada kehamilan dikaitkan dengan
peningkatan jumlah morbiditas dan mortalitas bayi karena wanita dengan
gangguan hipertensi pada kehamilan memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan
bayinya secara prematur.
Penyedia layanan primer, seperti dokter umum, bidan, dan perawat,
memainkan peran penting untuk manajemen gangguan hipertensi pada
kehamilan. Mereka menyediakan layanan perawatan antenatal dan skrining
untuk morbiditas di antara wanita hamil. Di Indonesia, penyedia layanan
persalinan umumnya hadir, terutama di masyarakat dengan akses yang buruk ke
rumah sakit [4]. Mereka juga memberikan perawatan berkelanjutan termasuk
perawatan postpartum dan konsultasi kontrasepsi untuk wanita, serta layanan
vaksinasi untuk bayi setelah melahirkan [5].
Sementara bukti untuk manajemen gangguan hipertensi pada kehamilan
telah dipublikasikan secara luas, panduan yang terbatas tersedia untuk
perawatan primer Indonesia di mana wanita biasanya datang terlambat dalam
kehamilan dan sering menerima perawatan yang tertunda termasuk rujukan ke
rumah sakit [6]. Dalam contoh pedoman di Indonesia, pada pedoman gangguan
hipertensi kehamilan terutama saat ini mencakup pengukuran tekanan darah, tes
proteinuria dipstick untuk diagnosis preeklamsia, dan injeksi magnesium sulfat
untuk wanita dengan eklampsia [7,8]. Praktek tersebut kurang memadai
dibandingkan dengan standar praktek klinis untuk gangguan hipertensi dalam
manajemen kehamilan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan
ketersediaan perawatan dan layanan spesialis; misalnya, pengujian biokimia
canggih dan ketersediaan perawatan segera dan rujukan ke rumah sakit jika
tekanan darah sistolik wanita lebih besar dari 160 mmHg [9].
1
2
3
4
3.1. Hasil
Sebanyak 537 catatan diidentifikasi; 533 dari pencarian database dan
empat dari pencarian “Snowball”. Sebanyak 193 artikel dikeluarkan karena
bahasa (non-Inggris) dan makalah non-peer review. Sebanyak 537 catatan
diidentifikasi; 533 dari pencarian database dan empat dari pencarian
“Snowball”. Sebanyak 193 artikel dikeluarkan karena bahasa (non-Inggris)
dan makalah non-peer review. Tidak ada makalah dalam Bahasa Indonesia
yang teridentifikasi dari pencarian literatur kami. 326 judul dan abstrak
kemudian ditinjau, dan akhirnya, 16 makalah teks lengkap memenuhi kriteria
inklusi untuk tinjauan ini (lihat Gambar 1).
6
7
3.1.2.Hasil kualitatif
Hampir semua pedoman yang ditinjau memberikan rekomendasi
tentang pengelolaan gangguan hipertensi kehamilan pada kehamilan
dari deteksi dini hingga pemantauan postpartum [9,25-27,29,32,34,37-
39]. Beberapa pedoman berfokus pada aspek spesifik dari gangguan
hipertensi kehamilan, misalnya, pedoman PRECOG I berfokus pada
deteksi dini preeklamsia [38], PRECOG II berfokus pada perawatan
menengah oleh bidan di rumah sakit [24], dan Pedoman Dutch
Miltidisciplinary difokuskan pada tindak lanjut postpartum untuk wanita
dengan riwayat gangguan hipertensi kehamilan [31]. Padahal,
gangguan hipertensi dalam manajemen kehamilan hanya bagian dari
panduan komplikasi kehamilan dalam dua pedoman WHO [35,36].
9
3.1.3.Manajemen Klinis
a. Definisi
Definisi adalah titik masuk standar pedoman untuk menyaring
ibu dengan gangguan hipertensi dalam kehamilan dan/atau
preeklamsia. Definisi gangguan hipertensi dalam kehamilan relatif
tegas dan disebutkan dalam semua pedoman yang didasarkan
pada pengukuran tekanan darah SDP 140 dan atau DBP 90
mmHg pada suara Korotkoff kelima [30,32,38] atau ketika tekanan
darah wanita adalah meningkat secara signifikan (sistolik 30
mmHg atau diastolik 15 mmHg) dibandingkan dengan kunjungan
antenatal pertama atau pengukuran prakonsepsi [25]. Kategori
10
b. Faktor Risiko
Faktor risiko dan deteksi dini juga tercakup dalam hampir
semua pedoman. Faktor risiko umum untuk preeklamsia
disebutkan dalam 13 dari 16 pedoman dan termasuk hipertensi
kronis, riwayat preeklamsia sebelumnya, obesitas, penyakit
autoimun, dan riwayat diabetes sebelumnya [9,25-27,29,30,32-38].
Berbeda dengan pedoman lain yang tidak mengelompokkan risiko
menjadi risiko tinggi dan risiko sedang, pada NICE, kehamilan
pertama, usia ibu >40 tahun, indeks massa tubuh >35, riwayat
keluarga preeklamsia, kehamilan ganda dan jarak kehamilan >10
tahun dimasukkan sebagai faktor risiko sedang untuk preeklamsia
[9]. Dalam pedoman SOMANZ dan Queensland, selain risiko di
atas, peningkatan tekanan darah sistolik >130 mmHg atau diastolik
>80 mmHg sebelum 20 minggu kehamilan juga dimasukkan
sebagai faktor risiko preeklamsia [25,26]. Sedangkan menurut
pedoman POGI Indonesia, hampir semua faktor risiko di atas
disebutkan dan telah distratifikasikan mirip dengan pedoman NICE
[14]
c. Pencegahan
11
d. Pemantauan Antenatal
Hampir semua pedoman juga merekomendasikan pemeriksaan
fisik dan laboratorium yang komprehensif bagi ibu hamil untuk
mendeteksi preeklamsia sedini mungkin. Pengukuran tekanan
darah (BP) dan penilaian tanda dan gejala preeklamsia harus
dilakukan pada setiap kunjungan antenatal [38]. Pasien dengan
tekanan darah tinggi dan membawa bayi kecil untuk usia
kehamilan harus dipantau secara ketat untuk perkembangan
preeklamsia, karena penyakit ini dapat menyebabkan gangguan
aliran darah uteroplasenta yang mungkin menjadi penyebab
hambatan pertumbuhan janin [37]. Tes dipstik urin dapat dilakukan
sebagai skrining awal untuk preeklamsia. Namun, tes ini sendiri
memiliki sensitivitas yang rendah [25,29,41]. Oleh karena itu,
wanita dengan hipertensi kehamilan atau mereka yang berisiko
tinggi mengalami preeklamsia dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium tambahan secara berkala seperti ginjal,
fungsi hati, hitung darah lengkap, dan USG Doppler. Tes-tes ini
12
e. Pemantauan Pascapersalinan
Sebelas pedoman merekomendasikan pemantauan setidaknya
enam minggu pascapersalinan untuk wanita dengan gangguan
hipertensi dalam riwayat kehamilan [9,25-27,29,32,35-37,39,42].
Jika hipertensi berlanjut, obat antihipertensi direkomendasikan
selama periode postnatal, termasuk untuk wanita menyusui
[29,30]. Beberapa pedoman juga mengakui bahwa, karena wanita
dengan gangguan hipertensi dalam kehamilan memiliki
peningkatan risiko kecemasan dan/atau depresi pascapersalinan,
oleh karena itu, perawatan pascakelahiran harus mencakup tindak
lanjut psikologis yang sesuai [25,29]. Rekomendasi tentang gaya
hidup sehat dan kontrasepsi juga direkomendasikan
menggunakan strategi promosi kesehatan untuk meminimalkan
risiko penyakit kardiovaskular di masa depan [25,26,29]. Dalam
pedoman Indonesia, pemantauan pascapersalinan rutin terbatas
pada perawatan untuk gangguan hipertensi pada wanita hamil
[7,15].
3.1.4.Perencanaan Perawatan
Tema ini mengacu pada kolaborasi perawatan potensial dari
gangguan hipertensi manajemen kehamilan antara perawatan primer
dan sekunder di negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Ini
berisi saran untuk waktu rujukan dan prosedur yang dapat dilakukan di
layanan primer jika rujukan tidak dapat dilakukan segera.
13
3.1.5.Komunikasi Profesional
Komunikasi antara wanita dan semua profesional kesehatan sangat
penting untuk menjamin keberhasilan manajemen kehamilan
gangguan Hipertensi. Pedoman ACOG menekankan bahwa informasi
yang berkaitan dengan tanda, gejala, dan manajemen utama
preeklamsia harus diberitahukan kepada wanita. Disarankan untuk
berbicara perlahan dan hati-hati, dan menggunakan bahasa yang
sederhana untuk memastikan bahwa wanita memahami tentang
preeklamsia dan pentingnya mengunjungi penyedia layanan kesehatan
secara teratur [27]. Penting juga untuk menjelaskan keamanan
antihipertensi selama kehamilan, termasuk membahas alternatif
antihipertensi untuk wanita dengan hipertensi yang berencana untuk
hamil. Misalnya, ini termasuk risiko kelainan bawaan jika wanita
mengkonsumsi Angiotensin Converting Enzymes (ACE) inhibitor atau
Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) selama kehamilan [9].
15
3.2. Diskusi
Dokter umum dan bidan di layanan primer biasanya merupakan
penyedia layanan kesehatan pertama yang dikunjungi ibu hamil. Mereka
juga memberikan perawatan berkelanjutan untuk wanita dan keluarga
mereka selama kehamilan dan setelah kelahiran [32]. Oleh karena itu, dokter
umum dan bidan di Indonesia atau negara berpenghasilan rendah hingga
menengah lainnya memiliki peran penting dalam pencegahan, deteksi, dan
penanganan gangguan hipertensi pada kehamilan.
Skor pedoman yang dinilai dari tinjauan ini serupa dengan hasil tinjauan
pedoman oleh Bazzano, Green dan Gillon, Pels di mana rekomendasi NICE,
SOGC dan WHO untuk preeklamsia mendapat skor tertinggi di antara
pedoman lainnya. Namun, beberapa pedoman dalam tinjauan ini belum
dinilai oleh kedua tinjauan tersebut, seperti manajemen risiko kardiovaskular
setelah gangguan reproduksi dan terkait kehamilan: A Dutch
multidisciplinary evidence-based guideline; Kehamilan, persalinan, nifas dan
perawatan bayi baru lahir WHO: Panduan untuk praktik penting; WHO
Mengelola komplikasi pada kehamilan dan persalinan; dan edisi terbaru
klasifikasi, diagnosis & rekomendasi manajemen ISSHP untuk praktik
internasional yang melibatkan lebih banyak saran untuk negara-negara
berpenghasilan rendah hingga menengah daripada yang disertakan dalam
pedoman lain. Tinjauan ini juga telah diselesaikan dan dibandingkan dengan
peraturan saat ini yang terkait dengan perawatan ibu dalam praktik
perawatan primer Indonesia yang meningkatkan kredibilitas rekomendasi
dan potensi penerapan dalam kondisi praktik.
16
Kesimpulan
Sebanyak 537 catatan diidentifikasi; 533 dari pencarian database dan
empat dari pencarian “Snowball”. Sebanyak 193 artikel dikeluarkan karena
bahasa (non-Inggris) dan makalah non-peer review. Sebanyak 537 catatan
diidentifikasi; 533 dari pencarian database dan empat dari pencarian “Snowball”.
Sebanyak 193 artikel dikeluarkan karena bahasa (non-Inggris) dan makalah non-
peer review. 326 judul dan abstrak kemudian ditinjau, dan akhirnya, 16 makalah
teks lengkap memenuhi kriteria inklusi untuk tinjauan ini. 16 makalah
menjelaskan 16 pedoman praktik yang berbeda atau serangkaian rekomendasi
atau konsensus praktik hipertensi pada kehamilan. Sebagian besar pedoman
tidak menentukan audiens target mereka, sebaliknya, mereka merujuk ke tim
kesehatan ibu umum.
Pedoman NICE dan WHO untuk preeklamsia memiliki skor tertinggi untuk
kelengkapannya terhadap domain Appraisal of Guidelines for Research &
Evaluation II. Pedoman PRECOG I, ACOG, ESC, SOGC, dan AOM juga memiliki
skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedoman lainnya. Hampir semua
pedoman yang ditinjau memberikan rekomendasi tentang pengelolaan gangguan
hipertensi kehamilan pada kehamilan dari deteksi dini hingga pemantauan
postpartum. Dalam semua pedoman yang ditinjau, wanita harus dirujuk untuk
konsultasi dokter kandungan setelah didiagnosis dengan gangguan hipertensi
pada kehamilan, dan persalinan bayi mereka juga harus dibantu oleh dokter
kandungan. Pedoman PRECOG I menyarankan seorang wanita untuk awalnya
dirujuk untuk konsultasi spesialis setelah diidentifikasi memiliki risiko
preeklamsia. Pedoman NICE merekomendasikan wanita dengan hipertensi berat
(>160/110 mmHg) untuk dirujuk ke rumah sakit dan segera meresepkan obat
antihipertensi. Pedoman International Society for Study of Hypertensive Disorder
of Pregnancy menyatakan bahwa USG Doppler mungkin tidak selalu tersedia di
negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah dan oleh karena itu,
dalam kasus penurunan tinggi fundus simfisis, rujukan spesialis untuk
penyelidikan lebih lanjut diindikasikan. Pedoman tersebut juga
merekomendasikan para wanita untuk pindah lebih dekat ke rumah sakit jika
perlu untuk memungkinkan pemantauan. Juga direkomendasikan bahwa, dalam
situasi darurat, praktisi perawatan primer di negara berpenghasilan rendah
17
18
CRITICAL APPRAISAL
20
21
8. How precise are the results? Sangat presisi, tapi peneliti mengharapkan
ada penelitian lebih lanjut karena perbedaan fasilitas, kemampuan
diagnostik atau kebijakan yang terkait dengan praktik perawatan kesehatan
9. Do you believe the results? Ya.
22
23
https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-
pdf/Manual_Rujukan_Maternal_Neonatal_Kab_Jayapura_BIndo_2015.pdf.
Accessed 9 July 2019.
13. Kelompok kerja Pelayanan Rujukan Ibu dan Anak Kota Balikpapan Provinsi
Kalimantan Timur. Manual Rujukan Maternal Perinatal (Referral Manual
Maternal Perinatal Cases). In: Health, editor. Balikpapan: Dinas Kesehatan
Kota Balikpapan; 2015. p. 45. Available at
https://drive.google.com/file/d/0B85Ahc2Vdqcdbk1uSWc1QklyaEU/view.
Accessed 9 July 2019.
14. Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Maternal Himpunan
Kedokteran Feto. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan
Tata Laksana Preeklamsia. Jakarta: POGI 2016.
https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-danppk/. Accessed 9 September
2019.
15. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor. 97 Tahun 2014, tentang pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan dan mesa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan
seksual. Jakarta: Kementerian Kesehatan Indonesia; 2014.
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PMK%20No.%2097%20ttg
%20Pelayanan%20Kesehatan%20Kehamilan.pdf. Accessed 9 September
2019.
16. Kementerian Kesehatan RI, in: Kesehatan (Ed.), Buku Kesehatan Ibu Dan
Anak, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2016.
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/BUKU%20KIA
%2020_03%202016.pdf. Accessed 9 September 2019.
17. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 Tentang Formularium
Nasional. In: Health, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2017.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07-
MENKES-659-2017_ttg_Formularium_Nasional_.pdf. Accessed 9
September 2019.
18. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan. In:
Kesehatan, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2017.
http://www.ibi.or.id/media/PMK%20No.%2028%20ttg%20Izin%20dan
%20Penyelenggaraan%20Praktik%20Bidan.pdf. Accessed 4 September
2019.
19. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium
Pusat Kesehatan Masyarakat In: Kesehatan, editor. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
https://dpmpt.gunungkidulkab.go.id/upload/download/6818b91c11e54442553
1c9ddcbd6ff13_lab%20puskesmas.pdf. Accessed 19 September 2019.
20. M. Brouwers, M.E. Kho, G.P. Browman, F. Cluzeau, G. Feder, B. Fervers, S.
Hanna, J. Makarski, on behalf of the AGREE Next Steps Consortium.
AGREE II: Advancing guideline development, reporting and evaluation in
24