Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH PEMBELAJARAN SASTRA

Dosen Pengampu: Drs. Agus Djoko Purwadi, M.Pd.


Di Susun Oleh:
Nama: Vicky Fiorina Osawinata
NPM: A1A018032
Kelas: 6A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DNA SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
PEMBELAJARAN SASTRA

Pembelajaran sastra merupakan proses interaksi antara siswa dengan karya sastra
secara langsung. Jika proses ini terjadi, siswa akan mengalami perjumpaan ke dalam dunia
imajinatif, ekspresif, dan kreatif. Imajinasi, ekspresi, dan kreasi merupakan terminologi
penting dalam dunia kesusastraan. Istilah imajinasi dalam penciptaan karya sastra
mengandung pengertian: perenungan, penghayatan, pemikiran, dan perasaan. Di dalam
imajinasi itulah pengarang mengembara ke ruang kesadaran. Pembelajaran sastra merupakan
bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam
pembelajaran bahasa Indonesia kiranya dapat dimaklumi, karena secara umum, sastra adalah
segala sesuatu yang ditulis. Pengertian semacam itu dianggap terlalu luas dan juga terlalu
sempit. Dianggap terlalu luas karena, dengan demikian, semua buku termasuk sastra.
Dianggap terlalu sempit dengan keberatan bahwa macam balada yang dinyanyikan dan cerita
yang dibacakan, dengan demikian, tidak termasuk dalam sastra (Sumaryadi, 2008).
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan.
Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan,
dan cinta terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982:67). Di samping memberikan kenikmatan
dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai
cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa.
Fungsi sastra kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sastra dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk,
benar dan salah, dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976: 25). Pendek
kata, sastra memberikan berbagai kepuasan yang sangat tinggi nilainya, yang tidak dapat
diperoleh dengan cara lain sehingga sastra memberikan pengaruh yang menguntungkan
kepada penikmatnya.
Pada proses pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini
guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek
yang belajar sastra. Dalam pembelajaran sastra ada suatu metode –sebagai suatu alternatif—
yang menawarkan keefektifan kerja guru bahasa Indonesia. Jika berbicara masalah metode
tidak dapat lepas dari masalah pendekatan atau ancangan (approach) yang menurunkan
metode (method). Untuk selanjutnya, suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan
teknik-teknik tertentu pula. Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga
tataran, yaitu: pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).
A. Pendekatan Pembelajaran
Dalam pembelajaran modern sekarang ini, yang lebih dipentingkan bagaimana
mengaktifkan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran secara mandiri, yaitu
melalui kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada penemuan (discovery) dan
pencarian (inquiry). Kegiatan pembelajaran dengan melalui pendekatan ini memiliki
dampak positif yang meliputi:
1. Dapat membangkitkan potensi intelektual siswa karena seorang hanya dapat belajar
dan mengembangkan pikirannya jika menggunakan potensi intelektualnya untuk
berpikir.
2. Peserta didik yang semula memperoleh extrinsic reward dalam keberhasilan belajar
(seperti mendapat nilai baik dari pengajar) dalam pendekatan inquiry ini dapat
memperoleh instrinsic reward. Diyakini bahwa jika seorang peserta didik berhasil
mengadakan kegiatan mencari sendiri, maka ia akan memperoleh kepuasan untuk
dirinya sendiri.
3. Peserta didik dapat mempelajari heuristik (mengelola pesan atau informasi) dari
penemuan (discovery), artinya bahwa cara untuk mempelajari teknik penemuan ialah
dengan jalan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengadakan
penelitian sendiri.
4. Dapat menyebabkan ingatan bertahan lama sampai terinternalisasi pada diri peserta
didik.
Selain beberapa hal di atas, motivasi lain yang mendorong penggunaan
pendekatan inquiry dalam proses pembelajaran adalah karena proses pembelajaran pada
hakikatnya adalah suatu proses yang (a) berpusat pada peserta didik (student centered)
artinya peserta didiklah yang harus memproses pengetahuan dan berperan aktif mencari
dan menemukan sendiri pengetahuannya, (b) dapat membentuk konsep diri positif,
karena peserta didik dilatih untuk bersifat terbuka, sabar, dan kreatif dalam proses
perolehan pengalaman dan pengetahuan, (c) dapat meningkatkan derajat pengharapan
peserta didik, karena melalui pengalaman penelitian yang secara mandiri, (d) dapat
mencegah terjadinya verbalisme, mengingat pendekatan ini menekankan pada penemuan
sendiri, dan (e) memungkinkan peserta didik sebagai subjek belajar, yaitu dapat
menstimulasikan dan mengakomodasikan informasi mental seperti tindakan belajar yang
sebenarnya (Mohamad, 2011:31-32).
B. Metode Pembelajaran
Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi
sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya
sastra secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah
dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia,
bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas.
Guru sastra bertugas memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan sendiri
kemampuan apresiasinya, bersifat membantu menyajikan lingkungan dan suasana yang
kondusif, misalnya menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang
membaca. Siswa hendaknya didorong agar berkenalan dengan karya sastra, mengadakan
kontak dan dialog langsung dengan karya dengan cara membaca dan menikmatinya.
Untuk seterusnya dapat saja diadakan ruang pembahasan atau diskusi, misalnya tentang
pengalaman-pengalaman yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh cerita, diksi, dan
seterusnya.
Kegiatan menggauli karya sastra dilakukan secara langsung, dimaksudkan bahwa
siswa itu sendiri harus secara langsung membaca bermacam sajak, cerita, atau drama dari
berbagai sastrawan dan zaman, atau secara langsung mendengarkan sajak
dideklamasikan atau dibacakan (poetry reading) dan menyaksikan drama yang
dipentaskan. Agar siswa memperoleh pengertian yang sebaik-baiknya tentang wujud dan
fungsi karya sastra dan dapat menghargainya secara wajar, kegiatan tersebut (membaca,
mendengarkan, menyaksikan) harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan sebanyak-
banyaknya.
Perlu diingat bahwasannya kegiatan apresiasi sastra belum berhenti hanya sampai
di situ saja. Demi sempurnanya kegiatan apresiasi memang masih perlu diikuti dengan
pemberian pengetahuan tentang sastra. Pemberian pengetahuan ini dapat disebut kegiatan
tak langsung, artinya siswa tidak langsung menjamah karya sastranya.
Cara langsung merupakan cara yang paling diutamakan, yang akan ditingkatkan
oleh hadirnya cara yang tak langsung tersebut. Sesudah siswa bergaul, berdialog
langsung dan mendalam dengan karya (mengenal, memahami, menganalisis,
menghayati) mereka diperkuat dengan pengetahuan tentang sastra. Kecuali itu, dua
kegiatan lagi sebagai pelengkap, yaitu kegiatan dokumentasi dan kegiatan kreatif
(Effendi, 1974: 19). Kegiatan dokumentasi berupa kegiatan mengumpulkan dan
menyusun buku-buku dan majalah-majalah sastra, membuat kliping, dan sebagainya,
sementara itu, kegiatan kreatif berupa kegiatan belajar atau berlatih mencipta sendiri
sajak, cerpen, atau drama kecil.
Metode Imersi (Immersion Method) yang ditawarkan di sini berangkat dari
pandangan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan apresiasi sastra (pembelajaran sastra)
siswa layaknya dibenamkan ke dalam sesuatu atau dibenami sesuatu. Siswa dibenamkan
ke dalam sebuah dunia yang sarat dengan aneka ragam karya sastra ditambah
pengetahuan sastra). Dapat juga dikatakan bahwa siswa dibenami dengan beronggok-
onggok karya sastra (Sumaryadi, 2008).

C. Strategi Pembelajaran
Menurut Wena (2011:5), strategi pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda
untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.
Strategi pembelajaran PAILKEM merupakan salah satu strategi yang dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. PAILKEM merupakan sinonim dari
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik (Mohamad,
2011:10-16).
1. Pembelajaran yang Aktif – Aktif dalam strategi ini adalah memosisikan guru sebagai
orang yang menciptakan suasana belajar yang kondusif atau sebagai fasilitator dalam
belajar, sementara siswa sebagai peserta belajar yang harus aktif.
2. Pembelajaran yang Inovatif – Inovatif disini, guru tidak saja tergantung dari materi
pembelajaran yang ada pada buku, tetapi dapat mengimplementasikan hal-hal baru
yang menurut guru sangat cocok dan relevan dengan masalah yang sedang dipelajari
siswa.
3. Pembelajaran yang Menggunakan Lingkungan – Konsep pembelajaran ini berangkat
dari belajar kontekstual dengan lebih mengedepankan bahwa hal yang perlu
dipelajari terlebih dahulu oleh siswa adalah apa yang ada pada lingkungannya.
4. Pembelajaran yang Kreatif – Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan
belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
5. Pembelajaran yang Efektif – Segala pertimbangan dalam strategi ini menyangkut
tujuan yang disusun berdasarkan kemampuan siswa, pemilihan materi yang benar-
benar menunjang tujuan, penetapan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa,
penggunaan media yang pas serta evaluasi yang tertuju pada tujuan yang telah
ditetapkan, pada akhirnya tetap terpulang pada bagaimana peran seorang guru dalam
mengelola proses pembelajaran.
6. Pembelajaran yang Menarik – Inti dari strategi pembelajaran yang menarik terletak
pada bagaimana memberikan pelayanan kepada siswa sebab posisi siswa jika
diibaratkan dalam sebuah perusahaan, maka siswa merupakan pelanggan yang perlu
dilayani dengan baik.

D. Teknik Pembelajaran
Mohamad (2011:7) menyatakan bahwa teknik pembelajaran adalah jalan, alat
atau media yang digunakan oleh guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik ke arah
tujuan yang diinginkan atau dicapai. Dengan kata lain teknik adalah cara yang digunakan
dan bersifat implementatif. Menurut Trianto (2011:52) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara
tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran
termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, program-program media komputer. Dapat
disimpulkan bahwa teknik sama dengan model yang berarti penggunaan
perangkat/alat/media untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan
pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas.
Strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah
diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa.
Untuk melengkapi pembelajaran sastra dengan metode imersi dan pendekatan
inquiry, maka digunakan teknik induksi. Teknik induksi tidak hanya menuntut peran
serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan
yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri
karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati,
menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang,
memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini,
tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan
mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung
siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian,
siswa banyak tahu dan paham (hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang
mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari
terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.
Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung
bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai
oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja,
hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap
menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin
seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa
melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.
Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang
logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif
dan logika deduktif. Logika induktif –yang dipakai di sini— erat hubungannya dengan
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang
bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan
pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau
partikular. Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu,
guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan
sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke
arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.
Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu
digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan,
atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu
disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih
ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak
apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.
Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di
atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya
puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan letak-letak
keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya
puisi itu adalah pantun.
Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya
terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap
unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan,
pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara,
amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan
seterusnya.
E. Penyampaian Materi
1. Pengajaran Puisi
Guru hendaknya memilih bahan berdasarkan tingkat kemampuan siswa-siswinya, dan
hendaknya selalu ingat bahwa tidak ada unsur-unsur magis yang melekat pada nama-
nama penyair terkenal atau mempunyai reputasi yang mantap.
Dalam mengajak para siswa untuk memahami dan menikmati puisi hendaknya guru
tidak terlalu tergesa-gesa membebani para siswa dengan istilah-istilah seperti gaya
bahasa metafora, hiperbola, personifikasi, dan sebagainya.
2. Pengajaran Prosa
Para guru sastra sebenarnya sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa cerita ini
cukup banyak jumlahnya. Yang berbentuk novel misalnya, guru dengan mudah dapat
menemukan novel yang cocok untuk pembaca awam sesuai dengan tingkat
kebahasaan yang dikuasainya. Novel-novel tersebut mengandung banyak pengalaman
yang bernilai pendidikan yang positif. Jenis karya sastra yang berbentuk novel ini
dapat membina minat membaca siswa.
Langkah penting untuk menanamkan kebiasaan pada seseorang adalah dengan
memberi contoh atau tindakan nyata. Guru diharapkan dapat menumbuhkan minat
dasar bacaan, baik masalah pribadi, sosial, maupun umum bukan hanya mengutip.
Siswa yang telah siap dapat diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan
pendapat atau membacakan hasil karyanya. Sambutan dan pujian dari rekan-rekannya
sekelas akan lebih baik daripada hanya sekedar pujian dari gurunya.
3. Pengajaran Drama
Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para
pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat. Tujuan utama dalam
mempelajari drama adalah untuk memahami bagaimana suatu tokoh harus diperankan
sebaik-baiknya dalam suatu pementasan. Untuk mempelajari pementasan ini memang
tidak selalu mudah, terutama bagi siswa yang sama sekali belum mengenal pelik-pelik
keadaan suatu pentas drama. Untuk itu, seorang guru (pelatih) drama bertanggung
jawab untuk memperkenalkan siswa-siswanya pada kondisi pementasan drama.
Dalam beberapa hal, lingkungan siswa sehari-hari (misalnya: televisi, sandiwara, film,
dan sebagainya) dapat dimanfaatkan untuk membantu menyampaikan pengalaman
pementasan yang nyata.
Pembelajaran sastra berkenaan dengan apresiasi satra (appreciate) menghargai
sastra, indikatormenghargai misalnya dengan membeli buk-buku sastra membaca, menelaah
dan lain sebagainya. Istilah apresiasi berasal dari abahsa Latin apreciatio yang berarti
“mengindahkan” atau “menghargai”. Menurut Squire dan Taba (Aminuddin, 2004:34-35)
bahwa apresiasi melibatkan tiga unsur instinsik, yaitu
(1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami
unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif yaitu yang dapat berhubungan langsung
dengan unsur-unsur secara internal terkandung dalam teks sastra tersebut atau unsur
intrinsik dan di luar teks sastra itu atau unsur ekstrinsik.
(2) aspek emotif, yaitu yang berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam
upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibacanya, bersifat
subjektif.
(3) aspek evaluatif yaitu aspek yang berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian
terhadapa baik-buruk, suka tidak suka atau berbagai ragam penilaian yang bersifat kritik
dan bersifat umumserta terbatas pada kemampuan aspirator dalam merespon teks sastra
yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan sekaligus mampu
melaksanakan penilaian.
Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove memiliki beberapa
makna, yaitu (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan
pengungkapan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan. Witherington dalam
Rusyana (1984: 7), membedakan apresiasi sastra dari reaksi perasaan emosi atau kesenangan
terhadap sesuatu. Tugas utama pendidikan adalah mengembangkan cita rasa akan hal-hal
yang lebih baik dalam kehidupan. Cakupan apresiasi sastra sangat luas, meliputi segala aspek
kehidupan manusia, khususnya yang mengandung nilai pada tingkatan yang lebih tinggi
seperti kesenian. Apresiasi sastra dapat diterangkan sebagai pengenalan dan pemahaman
yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang
ditimbulkan sebagai akibat dari semua itu.
Menurut Wellek& Warren, unsur-unsur sastra yang dianalisis antara lain
berdasarkan stratanya; (1) sistem bunyi, eufoni, irama, (2) kesatuan makna dan gaya bahasa,
(3) imaji dan metafora, (4) simbol dan sistem simbol, (5) metode dan teknik, dan lain-lain.
Dari pengertian di atas pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, memahami dan
mamanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan
kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dalam kemampuan berbahasa. Tujuan tersebut
dicapai melalui pembelajaran apresiasi puisi, drama, prosa fiksi, kritik sastra dan penulisan
kreatif sastra.
a. Pembelajaran Apresiasi Sastra
Pendidikan sastra melalui proses pembelajarannya merupakan pendidikan yang mencoba
untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra dan proses kreatif sastra.
Kompetensi apresiasi adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra.
Dalam hal ini siswadiajak untuk lansung membaca, memahami, menganalisis, dan
menikmati karya sastra secara langsung. Siswa tidak harus menghafal mulai dari
namanama judul karya sastra atau sinopsisnya, tetapi langsung berhadapan dengan karya
sastranya (Wahyudi, 2008: 168-169) Pendidikan sastra yang mengapresiasi prosa rekaan
misalnya, akan mengembangkan kompetensi anak untuk memahami dan menghargai
keindahan karya sastra yang tercermin pada setiap unsur prosa rekaan secara langsung
membaca sastranya. Pada akhirnya pembelajaran ini mengarahkan siswa untuk
mengembangkan kemampuan pikir, dan keterampilan berbahasa. Para siswa diajak untuk
mengapresiasi sastra dengan berbagai pendekatan (historis, sosiologis, psikologis dan
struktural) yang demikian itu akan membiasakan siswa untuk berfikir kritis, terbuka dan
bersikap jujur.
Kritik sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi suatu karya
sastra. Selain menghakimi karya sastra, kritik sastra juga memiliki fungsi untuk mengkaji dan
menafsirkan karya sastra secara lebih luas. Kritik sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus
sastra. Penting bagi seorang kritikus sastra untuk memiliki wawasan mengenai ilmu-ilmu lain
yang berkaitan dengan karya sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya sastra, latar belakang
karya sastra, dan ilmu lain yang terkait. Kritik sastra memungkinkan suatu karya dapat
dianalisis, diklasifikasi dan akhirnya dinilai Seorang kritikus sastra mengurai pemikiran,
paham-paham, filsafat, pandangan hidup yang terdapat dalam suatu karya sastra. Sebuah
kritik sastra yang baik harus menyertakan alasan-alasan dan bukti-bukti baik langsung
maupun tidak langsung dalam penilaiannya.
Esai sastra lebih mengarah pada cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan,
objek, atau peristiwa. Hal ini tentunya berbeda dengan kritik yang fokusnya adalah menilai
karya. Esai adalah tulisan yang menilai suatu fenomena atau terkadang karya berdasarkan
sudut pandang penulisnya sendiri. Perbedaan Kritik dan Esai.
No
Kritik Esai
.

Objek kajian dapat berupa karya


Objek kajian adalah berupa karya,
namun kebanyakan berupa fenomena
1. misalnya: cerpen, puisi, seni musik,
(politik, kebijakan baru, fenomena
drama, tari, film, lukisan.
sosial, dsb).

Terdapat deskripsi karya, misalnya jika


Tidak memuat deskripsi atau
2. karya berwujud buku, maka deskripsinya
ringkasan karya
adalah sinopsis.

Menyajikan data objektif yang didapatkan Tidak selalu membutuhkan data,


3. dari hasil penelitian atau penulis ahli meskipun melengkapinya adalah hal
terdahulu. yang baik.

Sistematika Kritik dan Esai


Pada akhirnya, opini atau pendapat seseorang terhadap suatu hal lain adalah bentuk
atau genre teks eksposisi. Oleh karena itu, ketika mengidentifikasi unsur kritik dan esai, maka
akan ditemukan struktur dan sistematika penulisan teks eksposisi pula. Berikut adalah
sistematika kritik dan esai yang masih berlandaskan struktur teks eksposisi.

1. Tesis
Adalah pendapat atau opini umum yang biasanya berupa pengenalan dan deskripsi karya
pada kritik atau pengenalan dan definisi umum isu pada esai.
2. Rangkaian argumen
Merupakan argumen atau pendapat-pendapat penulis sebagai penjelasan khusus dari tesis
umum yang telah dipaparkan. Pada teks kritik, bagian ini akan banyak memuat data,
fakta, atau teori yang teruji untuk mendukung argumennya. Esai biasanya tidak terlalu
banyak menggunakan fakta atau data karena sifatnya biasanya masih memiliki hipotesis
baru.
3. Penegasan ulang
Merupakan perumusan kembali secara ringkas mengenai tesis dan berbagai argumen
yang telah disampaikan. Hal ini untuk menyilangkan kembali antara tesis awal dan
rangkaian argumen menjadi kesatuan ide utuh yang dapat diserap dengan baik oleh
pembaca. Bagian ini dapat berisi penilaian akhir dan saran konkret dalam teks kritik.
Esai juga sebaiknya memuat solusi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan yang
dibahas.

Kaidah Kebahasaan Kritik dan Esai


Sebagai salah satu turunan teks eksposisi, teks kritik dan esai secara umum juga
memiliki kaidah kebahasaan yang hampir sama dengan teks eksposisi. Menurut Tim
Kemdikbud (2017, hlm. 208) berikut adalah kaidah kebahasaan kritik dan esai.

1. Menggunakan pernyataan-pernyataan persuasif. Contoh dalam kritik: Mengapa terlalu


buru-buru dalam mengungkap konfliknya? bukankah banyak pula novel sukses yang
dibangun melalui narasi yang lambat? Dalam esai: Menjaga kesehatan itu tidaklah sulit,
salah satu caranya hanya dengan rutin mencuci tangan saja.
2. Banyak menyisipkan pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung dan
membuktikan kebenaran argumentasi penulisnya. Salah satu caranya bisa dengan
mengutip pendapat ahli. Selain itu, bisa juga dengan mencantumkan data resmi dari
penelitian terkait, misalnya kutipan data yang dihimpun WHO untuk situasi pandemi.
3. Menggunakan ungkapan dan pernyataan yang mengomentari atau menilai. Contoh
dalam kritik: Narasi antarperistiwa dirangkai dengan sangat apik oleh penulisnya.
Contoh dalam esai: Tampaknya kebijakan tersebut memang berniat untuk
mensejahterakan rakyat, hanya saja fakta lapangan berkata lain.
4. Banyak menggunakan istilah teknis yang berkaitan dengan topik yang dibahasnya.
Contohnya dalam kritik yang membahas novel, maka akan banyak menggunakan
istilah: diksi, konflik, majas. Jika membahas kesehatan maka akan menggunakan istilah:
virus, bakteri, COVID-19.
5. Menggunakan kata kerja mental. Karena kritik dan esai sejatinya adalah teks eksposisi
yang bersifat argumentatif. Contohnya: menegaskan, menentukan, memendam,
mengandalkan, mengidentifikasi, mengingatkan

Anda mungkin juga menyukai