Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata
keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2017). Hal ini berarti seseorang
dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu
baik tubuh, psikis, maupun sosial. Apabila fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan
sosial pun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka
fisik dan sosialnya pun akan sakit. Kesehatan harus dilihat secara menyeluruh sehingga
kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan (Stuart,
2016). Seseorang dikatakan sehat jiwa apabila terpenuhi kriteria memiliki perilaku
positif, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, memiliki integritas diri, memiliki
otonomi, memiliki persepsi sesuai realita yang ada serta mampu beradaptasi dengan
lingkungannya sehingga mampu melaksanakan peran sosial dengan baik (Stuart, 2016).
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh pasien
yang menyebabkan distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini
mencerminkan disfungsi psikologis dan bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial
atau konflik dengan masyarakat (Tri dkk, 2018).
Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2019, terdapat 264 juta orang mengalami
depresi, 45 juta orang menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami demensia,
dan 20 juta orang mengalami skizofrenia. Sekitar 10% orang dewasa mengalami
gangguan jiwa dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada
usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia
18-21 tahun (WHO, 2019).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kemenkes tahun 2013, di Indonesia
prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi
dan kecemasan untuk usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari
jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti
Skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1000 penduduk.
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Daerah Khusus Ibu
kota Jakarta (24,3 %), diikuti Nanggroe Aceh Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat
(17,7 %), NTB (10,9 %), Sumatera Selatan (9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes

1
2

RI, 2008). Kalimantan Barat sendiri jumlah penderita gangguan jiwa berat menempati
posisi paling bawah atau paling sedikit dibanding provinsi lain yaitu 0,7% dengan
jumlah penduduknya 4,583 juta jiwa ( Rangkuti, W., Zaini, S., & Agustinus, 2021).
Berdasarkan dari data tersebut didapatkan bahwa data pertahun di Indonesia yang
mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. Gangguan jiwa merupakan manifestasi
dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan
ketidakwajaran dalam bertingkah laku, salah satu contohnya adalah munculnya perilaku
kekerasan (Nasir & Muhith, 2011).
Risiko Perilaku kekerasan adalah salah satu jenis dari gangguan jiwa yang mana
penderitanya memiliki perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun secara psikologis. Risiko Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Risiko Perilaku kekerasan dapat
terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau
perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan) (Yoseph, 2010).
Menurut Afnuhazi (2015), faktor predisposisi yang menyebabkan Risiko perilaku
kekerasan antara lain, psikologis, perilaku, sosial budaya, dan bioneurologis.
Sedangkan untuk faktor presipitasi itu sendiri dapat bersumber dari klien, lingkungan
dan interaksi dengan orang lain. Penyebab dari perilaku kekerasan yaitu seperti
kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kurang percaya
diri. Untuk faktor penyebab dari perilaku kekerasan yang lain seperti situasi lingkungan
yang terbiasa dengan kebisingan, padat, interaksi sosial yang proaktif, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, dan kehilangan orang yang di cintai (pekerjaan) (Suryenti
dkk, 2018 ).
Risiko Perilaku kekerasan apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan
beberapa dampak, seperti mencederai diri sendiri, memukul bahkan sampai melukai
orang lain, serta merusak lingkungan. Hal tersebut dapat terjadi diakibatkan karena
ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan amarah secara konstruktif (Prabowo,
2014).
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat mempunyai jumlah pasien gangguan
jiwa terhitung dari bulan Januari-Desember 2017 sebanyak 5276 orang jiwa dengan
Harga Diri Rendah 151 jiwa 2,862%, Risiko Perilaku Kekerasan 344 Jiwa 6,520%,
Isolasi Sosial 132 jiwa 2,502%, Defisit Perawatan Diri 311 jiwa 5,895 %, Waham 163
jiwa 3,089%, Resiko Bunuh Diri 4 jiwa 0,076%, dan Halusinası 4171 Jiwa 79,06%
(Sari, 2018).
3

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa penderita Risiko Perilaku Kekerasan


(RPK) dalam jumlah yang ke-2 tertinggi setelah penderita Halusinasi dan hal ini
penting untuk dilakukan analisa keperawatan, sehingga dapat diketahui keselarasan
antara praktik tindakan keperawatan dengan teori dari tindakan keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka dapat diangkat rumusan masalah mengenai
Bagaimana cara pelaksanaan asuhan keperawatan pada An. S dengan diagnosa Risiko
Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran dari managemen praktik tentang asuhan keperawatan pada


kasus dengan diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Dapat melaksanakan pengkajian pada An. S dengan diagnosa Risiko Perilaku


Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat.
b. Dapat menganalisa dan mempresentasikan data dalam menentukan diagnosa
Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
c. Dapat melaksanakan tindakan segera dan kolaborasi pada kasus An. S dengan
diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
d. Dapat melaksanakan rencana tindakan asuhan keperawatan pada kasus An. S
dengan diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
e. Dapat melaksanakan implementasi secara langsung dari rencana tindakan
asuhan keperawatan yang telah disusun pada kasus An. S dengan diagnosa
4

Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
f. Dapat mengevaluasi tentang efektifitas tindakan yang telah dilakukan pada
kasus An. S dengan diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang
Garuda, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
g. Dapat mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada kasus An. S dengan
diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
h. Dapat mengetahui keselarasan antara praktik tindakan keperawatan dengan teori
dari tindakan keperawatan.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Bagi Profesi Keperawatan

Hasil dari laporan seminar kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dalam
pemberian asuhan keperawatan pada kasus dengan diagnosa Risiko Perilaku
Kekerasan (RPK) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat secara professional
dan terintregasi khususnya pada profesi perawat.

1.4.2 Manfaat Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat

Hasil dari laporan seminar kasus ini dapat memberikan informasi tambahan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dalam pemberian asuhan keperawatan pada kasus
dengan diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) di ruang Garuda, Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat secara professional dan terintregasi yang dapat
dikolaborasikan dengan profesi lain seperti dokter, farmasi, gizi, analis laboratorium,
dll.

1.4.3 Manfaat Bagi Klien

Hasil dari laporan seminar kasus ini diharapkan dapat membantu klien dalam
mengatasi masalah gangguan kejiwaan yang dialaminya, terutama pada diagnosa
Risiko Perilaku Kekerasan (RPK).
5

1.4.4 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil dari laporan seminar kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
terutama untuk mahasiswa keperawatan Universitas Tanjungpura yang sedang
menjalani profesi Ners pada kasus dengan diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan (RPK)
di ruang Garuda, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat secara professional
dan terintregasi khususnya pada profesi perawat.

Anda mungkin juga menyukai