Anda di halaman 1dari 61

SKRIPSI

PROFIL PENDERITA ANGIOFIBROMA NASOFARING DI


RSUP H.ADAM MALIK PERIODE 2011 - 2015

Oleh:

FARAH HUTRI AURELIA

130100389

130100389

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
PROFIL PENDERITA ANGIOFIBROMA NASOFARING DI
RSUP H.ADAM MALIK PERIODE 2011 - 2015

SKRIPSI

“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan
Sarjana Kedokteran”

Oleh:

FARAH HUTRI AURELIA

130100389

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
i
ABSTRAK

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan juvenile


nasopharyngeal angiofibroma merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di
nasofaring, tumor ini sering ditemukan pada remaja pria berusia antara 14-25
tahun dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang ada di kepala
dan leher. Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang
ditemukan. Frekuensinya 1 : 5.000 – 1 : 60.000 dari pasien THT. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui angka kejadian dan profil penderita angiofibroma di
RSUP HAM tahun 2011-2015.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross


sectional. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita
angiofibroma nasofaring yang dirawat di RSUP HAM tahun 2011-2015. Data
yang diperoleh dari rekam medis selanjutnya diolah menggunakan aplikasi
pengolah statistik dan dituangkan kedalam tabel.

Ditemukan jumlah sampel adalah 18 orang. Kelompok usia dengan prevalensi


tertinggi adalah usia 11-15 tahun (66,7%). penderita angiofibroma nasofaring
didominasi jenis kelamin laki-laki (94,4%). Stadium terbanyak penderita adalah
stadium II (55,6%), berdasarkan lokasi tumor dan penjalarannya lokasi terbanyak
pada penderita adalah nasofaring(100%) dan rongga hidung (88,9%). Untuk jenis
pengobatan yang terbanyak dilakukan adalah dengan teknik operasi degloving
midfasial ( 72,7%).

Ditemukan jumlah kasus angiofibroma nasofaring sebanyak 18 kasus dalam kurun


waktu 5 tahun (2011-2015).

Kata kunci :nasofaring, angiofibroma nasofaring, usia, jenis kelamin,


operasi
ABSTRACT

Angiofibroma nasopharynx is often called juvenile nasopharyngeal angiofibroma


is a benign tumor that found in the nasopharynx, this tumor often found in young
men between the ages of 14-25 years and is estimated to only 0.05% of all benign
tumors in the head and neck. Angiofibroma nasopharyngeal tumors are relatively
uncommon. The frequency is 1: 5000-1:60,000 of ENT patients. This study aimed
to determine the incidence and profile of patients with angiofibroma
nasopharyngeal in RSUP HAM 2011-2015.

This study is a descriptive cross sectional study design. Population and sample in
this study was all patients with nasopharyngeal angiofibroma that were treated at
the RSUP HAM in 2011-2015. Data were obtained from medical records
subsequently processed using statistical processing application and made in to
table.

the number of samples is 18 people. The age group with the highest prevalence
were age 11-15 years (66.7%). patients with nasopharyngeal angiofibroma
predominantly male gender (94.4%). Stadium of most the patients are stage II
(55.6%), based on the location of the tumor the most common location in people
is the nasopharynx (100%) and nasal cavity (88.9%). For most types of treatment
which is performed with the surgical technique degloving midfacial (72.7%).

Based on the data obtained the number of cases of nasopharyngeal angiofibroma


were 18 cases in 5 years (2011-2015).

Keywords: nasopharyngeal, nasopharyngeal angiofibroma, age, sex, surgery


iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nyasehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Penderita
Angiofibroma Nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik periode
2011-2015” ini dengan baik sebagai salah satu syarat kelulusan sarjana
kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan


bantuan dan dukungan orangtua dan berbagai pihak, mulai dari pemilihan judul
hingga terbentuk hasil skripsi yang sudah mumpuni ini, untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK(K), selaku Wakil Dekan I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Zaimah Z. Tala, MS, Sp.GK, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. dr. Dina Keumala Sari, MS, Sp.GK, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL(K), selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan arahan dan masukan kepada peneliti sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. dr. Mega Sari Sitorus, M.Kes Sp.PA, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
7. Dr. dr. Juliandi Harahap, Ma, selaku Penguji yang telah memberikan
nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.
8. Ayahanda tercinta Samhapri dan ibunda tercinta Rahel Ginting yang telah
memberika semangat, doa serta dukungannya yang tiada henti kepada
peneliti.
9. Adik tercinta Rizka Rahmani yang selalu memberikan motivasi dalam
pengerjaan skripsi ini.
10. Rekan bimbingan skripsi Nurul Hafiza yang telah membantu dan
mendukung serta bersama-sama berjuang sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
11. Rendi Utama S. SH, yang selalu setia mendampingi dan memberikan
dukungan dalam pengerjaan skripsi ini
12. Sahabat-sahabat peneliti, Ulfa Chairani, Laura Agita Meliala, Darafika,
Munawarrah, Sri Nurlian Novita, Siti Naila Nabila, Ruth Amelia,dan
Nesya putri yang telah memberikan semangat, kritik dan saran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
13. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian berupa skripsi ini masih memiliki
banyak kekurangan, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
yang berguna untuk perbaikan skripsi ini dikemudian hari. Semoga penelitian ini
dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di
bidang ilmu kedokteran dan kesehatan.

Medan, Desember
2016

peneliti
DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan........................................................................... i
Abstrak............................................................................................... ii
Abstract.............................................................................................. iii
Kata Pengantar.................................................................................. iv
Daftar Isi ............................................................................................ vi
Daftar Tabel....................................................................................... ix
Daftar Gambar .................................................................................. xi
Daftar Singkatan................................................................................ xii
Daftar Lampiran................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .............................................................. 2
1.3.Tujuan Penelitian ............................................................... 2
1.3.1. Tujuan Umum ......................................................... 2
1.3.2. Tujuan Khusus ........................................................ 2
1.4.Manfaat Penelitian ............................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 4


2.1. Anatomi Nasofaring ......................................................... 4
2.2. Angiofibroma Nasofaring ................................................. 6
2.2.1. Definisi Angiofibroma Nasofaring ........................... 6
2.2.2. Etiologi Angiofibroma Nasofaring ........................... 6
2.2.3. Patofisiologi Angiofibroma Nasofaring .................... 9
2.2.4. Manifestasi Klinis Angiofibroma Nasofaring ........... 10
2.2.5. Stadium Angiofibroma Nasofaring........................... 11
2.2.6. Diagnosis Angiofibroma Nasofaring ........................ 12
2.2.6.1. Pemeriksaan Penunjang................................ 13
2.2.7. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring .............. 16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN TEORI .................................. 23


3.1. Kerangka Teori.................................................................. 23
3.2. Kerangka Konsep .............................................................. 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ...................................................... 24


4.1. Jenis Penelitian.................................................................. 24
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 24
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................... 24
4.3.1. Populasi Penelitian................................................... 24
4.3.2. Sampel Penelitian..................................................... 24
4.4.Teknik Pengumpulan Data.................................................. 24
4.5. Metode Pengumpulan Data................................................ 25
4.6. Pengolahan dan Analisis Data............................................ 2
4.7. Defenisi Operasional ......................................................... 25
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 28
5.1. Hasil Penelitian................................................................ 28
5.1.1 Distribusi angka kejadian nasofaring periode
2011-2015............................................................... 29
5.1.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia ...................... 29
5.1.3 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin........ 30
5.1.4 Distribusi frekuensi berdasarkan stadium ................ 30
5.1.5 Distribusi frekuensi berdasarkan lokasi tumor ......... 31
5.1.6 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis pengobatan .. 31
5.2 Pembahasan..................................................................... 32

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 35


6.1 Kesimpulan .................................................................... 35
6.2 Saran ............................................................................ 35

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 37
DAFTAR TABEL
Judul Halaman
Tabel 5.1 Distribusi angka kejadian angiofibroma nasofaring
periode 2011-2015 ........................................................ 29
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia ............................ 29
Tabel 5.3 Distribusi fekuensi berdasarkan jenis kelamin............... 30
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan stadium...................... 30
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan lokasi tumor............... 31
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis pengobatan ........ 31
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring .................................................. 5
Gambar 2.2. Foto Polos Sinus Paranasal Posisi Lateral................... 13
Gambar 2.3. Ct scan non kontras angiofibroma ............................. 14
Gambar 2.4. Ct scan massa di nasofaring ....................................... 15
Gambar 2.5. CT scan pembesaran dari fossa pterigopalatina........... 15
Gambar 2.6. Embolisasi ................................................................. 18
Gambar 2.7. Midfasial degloving ................................................... 19
Gambar 2.8. Rinotomi lateral ......................................................... 20
Gambar 2.9. Insisi weber ferguson ................................................. 21
Gambar 2.10. Pendekatan transpalatal .............................................. 22
Gambar 3.1. Kerangka Teori .......................................................... 23
Gambar 3.2. Kerangka Konsep....................................................... 23
DAFTAR SINGKATAN

THT : Telinga Hidung Tenggorokan


RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
ANB : Angiofibroma Nasofaring Belia
ER : Estrogen Reseptor
PR : Progesteron Reseptor
PCNA : Proliferating Cell Nuclear Antigen
VGEF : Vascular Endotelial Growth Factor
TGF β : Transforming Growth Factor β
BFGF : Basic Fibroblast Growth Factor
HIF : Hypoxia Inducible Factor
OCH : Orbital Cavernous Hemangioma
CT SCAN : Computed Tomography Scanning
MRI : Magnetic Resonance Imaging
xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup


Lampiran 2. Surat Izin Survey Awal Penelitian
Lampiran 3. Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Komisi Etik
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian
Lampiran 5. Data Induk
Lampiran 6. Hasil Output Program SPSS
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumor dalam istilah umum adalah pertumbuhan massa atau jaringan abnormal
dalam tubuh. Tumor terbagi menjadi 2 yaitu tumor jinak dan tumor ganas.
Manifestasinya dapat berbagai bentuk, mulai dari lesi kecil, massa atau granulasi
sampai dengan tumor yang sudah meluas. Letak tumor Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) yang tersembunyi dan gejala yang tidak
khas menyebabkan sulitnya diagnosa dini.1
Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma
nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak
yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria
berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang
ada di kepala dan leher. Istilah juvenile nasopharyngeal angiofibroma ini adalah
istilah yang kurang tepat karena tumor juga dapat ditemukan pada usia kurang
dari 10 tahun, usia yang lebih tua, wanita dan ibu hamil. Insiden pada usia dewasa
sangat jarang ditemukan. Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien
dengan usia lebih dari 25 tahun hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma
nasofaring.2,3
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.
Frekuensinya 1 : 5.000 – 1 : 60.000 dari pasien THT. Tumor ini secara
histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis bersifat destruktif.
Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan
dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa
temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan ke
intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai adalah
kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis tumor
mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur pembuluh
darah. Dinding pembuluh darah tidak mengandung jaringan ikat elastis dan
lapisan otot, sehingga mudah terjadi perdarahan hebat saat disentuh.4,5,6
Penyebab dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa teori
telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya
gangguan hormonal.6
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis ingin mengetahui bagaimana
“profil penderita angiofibroma nasofaring di RSUP H.Adam Malik medan periode
2011-2015”

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana profil penderita angiofibroma nasofaring di RSUP H.Adam Malik
Medan periode 2011-2015?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui profil penderita angiofibroma nasofaring di RSUP H.Adam Malik
Medan periode 2011-2015.

1.3.2 Tujuan Khusus


Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah
1. Mengetahui angka kejadian angiofibroma nasofaring di RSUP H.Adam
Malik Medan periode 2011-2015
2. Mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring berdasarkan
usia
3. Mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring berdasarkan
jenis kelamin
4. Mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring berdasarkan
stadium
5. Mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring berdasarkan
lokasi ekspansi dan penyebarannya
6. Mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring berdasarkan
jenis pengobatan

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk :
1. Manfaat Akademis
a. Memberikan informasi tentang presentase kejadian angiofibroma
nasofaring di RSUP H.Adam Malik Medan pada bulan Januari 2011
sampai dengan Desember 2015
b. Memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang profil
penderita angiofibroma nasofaring di RSUP H.Adam Malik pada bulan
Januari 2011 sampai dengan Desember 2015
2. Manfaat Pelayanan
Sebagai dasar pertimbangan praktisi medis dalam menentukan penyebab
dan evaluasi selanjutnya yang tepat kepada pasien dengan kasus angiofibroma
nasofaring
3. Manfaat Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai sumber
informasi data epidemiologi untuk penelitian ilmiah tentang angiofibroma di
masa mendatang, baik oleh peneliti maupun oleh pihak-pihak lainnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring


Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi
anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis
sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh
permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra
cervicalI dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum
molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m.konstriktor
faring superior.7,8
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan
fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus
konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan
dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia
faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial
dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak
di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius
terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus,
berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral.
Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah
luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher.
Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus
konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di
antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior
naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri. 7,8
5

Gambar 2.1. Anatomi nasofaring


(sumber : Netter FH. Atlas of Human Anatomy 4th edition)

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah


arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.8
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba
yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina
yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).8
2.2 Angiofibroma Nasofaring
2.2.1 Definisi Angiofibroma Nasofaring
Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma
adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat
laun membesar.Angiofibroma nasofaring belia juga dikenal dengan beberapa
nama, antara lain: nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of adolescence,
fibroangioma. Tumor ini dapat menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi
perdarahan intraserebral atau ke dalam ruang subaraknoid sedangkan fibroma
merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan fibrosa atau jaringan
penyambung yang berkembang secara sempurna. Sehingga angiofibroma dapat
diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang ditandai oleh proliferasi jaringan
9,10
fibrosa dan vaskuler.
Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM,
namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun
1940. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang
sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada anak laki-
laki. Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total,
hyponasality, rasa tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan
epistaksis masif. 8,9,10

2.2.2 Etiologi Angiofibroma Nasofaring


Penyebab Angiofibroma nasofaring belum diketahui secara jelas, namun
diduga berhubungan dengan hormon seks. Beberapa teori telah diajukan oleh para
ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya teori-teori tersebut
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal. Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa
angiofibroma nasofaring terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os sfenoidalis.
7

Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari


angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang
mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa
angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat
perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga
hidung. 11
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon
androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya
hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga
tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan
pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya
6
hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal. Pengamatan
yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa
lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder
memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor.11
Beberapa literatur mengatakan adanya kemungkinan tumor tumbuh dibawah
pengaruh sirkulasi dan fluktuasi hormon seksual selama masa pubertas.
Pertumbuhan dari jaringan tumor berkaitan dengan over produksi dari estrogen
dan kurangnya produksi dari hormon androgen. Akumulasi β-catenin yang
merupakan koaktifator dari androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan
mengapa tumor ini banyak pada pasien dewasa muda, dan juga kadar hormon
pada serum yang normal. Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang menurunkan
potensial pertumbuhan dari sel endotelial dan meningkatkan stimulasi dari
jaringan fibrosa. 12
Faktor angiogenesis dan hormonal memang telah banyak menjadi subjek
penelitian pada angiofibroma nasofaring belia, walaupun data yang tersedia tidak
cukup banyak dan kurang representatif serta mekanisme yang masih belum jelas.
Saylam dkk (2005) pada penelitiannya terhadap estrogen reseptor (ER),
progesteron reseptor (PR), proliferating cell nuclear antigen (PCNA), vascular
endotelial growth factor (VEGF) dan transforming growth factor β (TGF β)
dengan pemeriksaan imunohistokimia terhadap sediaan patologi anatomi. Dari 27
sampel hanya 2 yang positif terhadap ER, 9 kasus positif terhadap PR, semua
sampel mengandung PCNA, 24 kasus didapatkan VEGF, dan 14 dari 27 sampel
positif TGFβ. Dari data ini didapatkan hasil bahwa estrogen dan progesteron
tidak memainkan peranan penting dalam terjadinya angiogenesis pada ANB.
PCNA, VEGF, dan TGF β dicurigai meningkatkan proses proliferasi dan
angiogenesis.
Lenny dkk pada penelitiannya terhadap gambaran ekspresi reseptor estrogen
β pada ANB di RSCM, didapatkan kesimpulan hasil pemeriksaan histokimia
menunjukkan ekspresi ER- β pada semua kasus. Dimana pada penelitian ini hasil
berdasarkan intensitas pewarnaan dan sel yang mengandung ER- β. Berdasarkan
intensitas pewarnaan terhadap ER- β didapatkan 18,5% mempunyai pewarnaan
yang kuat, 29,6% intensitas pewarnaan sedang dan 51,9% memiliki intensitas
pewarnaan yang lemah. Jika dilihat dari sel yang mengandung ER- β didapatkan
hasil 3,7% masuk dalam kelompok jumlah sel yang positif mengandung ER- β <
25%, tiga koma tujuh persen termasuk kelompok dengan jumlah sel 25-50% dan
92,6% termasuk kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER- β
>50%.12
Schuon dkk (2006) menganalisa ekspresi dan distribusi subseluler pada
beberapa faktor angiogenesis dan reseptor yang potensial berperan terhadap
pertumbuhan tumor. Faktor angiogenesis antara lain transforming growth factor
β (TGF β), basic fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth
factor reseptor (VEGF-R 1-2) serta hypoxia inducible factor (HIF-1α) didapatkan
data yang mendukung konsep bahwa pertumbuhan serta vaskularisasi pada
angiofinroma nasofaring belia dipengaruhi oleh faktor yang dilepaskan fibroblas
pada stroma.13
Zhang dkk, melalui penelitiannya terhadap komponen endotel dan stroma
pada ANB yang dibandingkan dengan orbital cavernous hemangioma (OCH)
didapatkan rerata densitas pembuluh darah pada angiofibroma nasofaring belia
9

yang ditandai dengan adanya CD34 lebih padat bila dibandingkan dengan OCH.
Hal ini mendukung adanya pendapat bahwa Angiofibroma nasofaring belia
mempunyai karakteristik biologis angiogenic histogenetic tumor.14

2.2.3 Patofisiologi Angiofibroma Nasofaring


Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh
darah. Tumor ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik
angiofibroma yang terletak di dinding posterolateral atas rongga hidung. Tumor
pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana
di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen sphenopalatina. Tumor
akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas nasofaring,
mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari
bagian bawah selaput lendir nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang
postnasal. Akhirnya, rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan
menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan superior diarahkan melalui sinus sphenoid,
yang mungkin juga akan terkikis. Sinus cavernosus dapat diserang jika terjadi
penyebaran tumor yang lebih lanjut.9,11
Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus
maksila. Bila meluas terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri
rahang atas bagian belakang masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan
businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah.
Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan mendorong
salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya proptosis
(tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”) dan atrofi
N.optikus.9,11
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.16
Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media.
Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan pada
ostium sinus sehingga terjadi sinusitis. Perluasan tumor ke arah orofaring dapat
menekan palatum molle sehingga menimbulkan disfagia yang lambat laun juga
akan menyebabkan sumbatan jalan napas.11

2.2.4 Manifestasi Klinis Angiofibroma Nasofaring


Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat
bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan
penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat
yang progresif dilanjutkan dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanya
obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul
rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan
menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut dating dengan keadaan
umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang menunjukkan
bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan gangguan pernapasan karena
tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas
wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis sehingga wajah penderita
angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal dengan “wajah
kodok”.11,15
11,15,16
Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala
yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi
hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga
timbul rinorea kronis.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged
nasal discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan
berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia
hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke
intrakranial.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
11

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba


eustachius.
6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju
ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan
sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga
atas septum nasi.
8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)
9. Nyeri telinga (otalgia)
10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),
11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke
lateral.

2.2.5 Stadium
Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada dua sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:11
1. Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult
2. Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.
3. Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
4. Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi
tulang orbita

5. Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit
ke Intrakranial
6. Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
meluas ke sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch:11
1. Stage I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang.
2. Stage II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
3. Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan
atau regio parasellar.
4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik
dan atau fossa pituitari.

2.2.6 Diagnosis Angiofibroma Nasofaring


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor
setelah tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat
mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau
dapat dilakukan di atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi
pengangkatan tumor.11
Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif
yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu
perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat
badan dan kelelahan.11
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat
di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia
muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya
kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.11
2.2.6.1 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos
Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut
sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke
belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya
massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,
arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.11
Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan
lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,
arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan
gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring.

Gambar 2.2. Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring
yang menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebut
juga meluas ke sinus sphenoid. (sumber:JP. Windfuhr, 2009)

2. CT Scan
Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa
pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di
daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang
di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak
secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.11

Gambar 2.3. CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia. A. CT scan axial
non kontras memperlihatkan suatu massa jaringan lunak homogen yang membesar
di aperture nasal kanan. Suatu komponen yang besar dari tumor terproyeksi secara
posterior ke nasofaring dan orofaring. C. CT scan koronal non kontras juga
memperlihatkan opasifikasi yang sempurna dan perluasan massa jaringan lunak di
aperture nasal kanan. Tumor meluas ke dalam dan memperlebar celah infraorbital
kanan (tanda panah). Tumor tersebut (tanda asterisk) telah mendestruksi dasar
tulang, terlihat di sinus sphenoid. (sumber:JP. Windfuhr, 2009)

Gambar 2.4. CT scan axial dengan kontras memperlihatkan massa di nasofaring


kiri dan fossa nasal yang telah meluas ke antrum kiri, melebar ke fossa
pterigopalatina kiri, dan meluas ke fossa infratemporal kiri (tanda panah). Pasien
ini menderita angiofibroma. (sumber:JP. Windfuhr, 2009)
Gambar 2.5. Angiofibroma nasofaring belia meluas ke fossa pterigopalatina. CT
scan memperlihatkan pembesaran dari fossa pterigopalatina (small black
arrowheads) oleh massa yang meluas. Terdapat perubahan bentuk yang
mendorong dinding posterior sinus maksilaris ke anterior. Plat pterigoid terdorong
sedikit ke posterior. (sumber:JP. Windfuhr, 2009)

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah
menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih
baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan
struktur penting di sekitarnya (orbita,duramater, arteri karotis interna, dan sinus
kavernosus). Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk
menggambarkan dan menentukan luasnya tumor, terutama dalam kasus
keterlibatan intrakranial.
MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik
dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam mendeteksi kekambuhan
setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena reseksi lengkap dari
tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena kekambuhan mungkin
terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan tindak lanjut
awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan
pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa
tetapi tidak ada gejala atau massa klinis jelas.11
4. Angiografi
Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah
pemasok utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan
perluasan tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna
homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari
pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa
pterigomaksila.11
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari
arteri bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri karotis
interna dan externa diindikasikan pada kebanyakan pasien. Kadang dapat
dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravascular sehingga vaskularisasi
berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi pre-operatif
bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi mengurangi tejadinya
komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi dan embolisasi dilakukan
bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada angiofibroma
nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.16

2.2.7 Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring


Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi,
elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing.17
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak
diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya
vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml. Saat ini banyak yang
memberikan terapi embolisasi sebelum dilakukannya operasi dan pemberian
radioterapi setelah operasi. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Fonseca dkk
didapatkan bahwa masih dapat untuk dilakukan ekstirpasi tumor sampai stadium
Fisch III tanpa dilakukan embolisasi praoperasi mengingat para ahli Radiologi
intervensi tidak selalu tersedian di semua sentra pelayanan kesehatan.17
Pengobatan konservatif juga telah dicoba yaitu dengan memberikan estrogen
analog yang terkenal pada tahun 1970-1980 sebagai terapi dari adanya stimulasi
respon analog. Tetapi terapi ini sekarang sudah banyak ditinggalkan mengingat
efek sampirng dari terapi ini yaitu penundaan waktu operasi, efek feminin
sekunder, dan komplikasi kardiovaskular. 20 Goepfert pada tahun 1985 telah
memberikan kemoterapi pada 5 pasien dengan 2 regimen yang berbeda. Regimen
yang pertama yaitu kombinasi dari doxorubicin dan dacarbazine, sedang regimen
kedua adalah vincristin, dactinomycin dan cyclophosphamid. Kelima pasien
mengalami regresi besar tumor. Berdasarkan penelitian inilah didapatkan teori
bahwa kemoterapi diberikan pada tumor residu dimana tidak ada indikasi untuk
operasi maupun radioterapi. Penggunaan terapi radiasi masih diperdebatkan
karena adanya risiko transformasi sarkomatoid. Beberapa penulis
merekomendasikan terapi radiasi sebagai terapi ajuvan pada unresectable tumor,
terdapat residu tumor atau terdapat perluasan intrakranial yang luas.18

1.Embolisasi
Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk
mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi
total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah
mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat
masuk ke pembuluh darah di dalam tumor, yang paling baik dicapai dengan
partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol. Pemilihan ukuran partikel
merupakan keseimbangan antara keamanan dan efisiensi dan tergantung apakah
posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi langsung agen emboli ke dalam tumor.
Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan
yang paling sering digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi
18

dapat mengurangi 60- 70% perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5


hari setelah embolisasi.18
Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal
arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan
maksilaris interna. Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah
refluks ke arteri karotis interna. Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri
juga dapat mengakibatkan refluks ke trunkus arteri proksimal dan bisa terjadi
embolisasi intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam dan nyeri lokal dapat
terjadi 12-24 jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid. Bradikardi
sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini dapat diatasi
dengan injeksi atropin. 1

Gambar 2.6. Angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum dan sesudah


embolisasi, suplai darah tumor dari arteri maxillaris interna. (sumber : Garca
Fatih M, Yuca AS, Yuca K. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma. Eur Gen Med
2010; 7(4): 422)

2. Pembedahan
Pengangkatan tumor tetap merupakan penatalaksanaan utama, dimana
pendekatan dari insisi yang akan digunakan sangat ditentukan oleh stadium tumor
berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi. Pendekatan yang digunakan harus dapat
memvisualisasi tumor secara keseluruhan untuk mempermudah proses operasi.
Caroll dalam bukunya menulis bahwa pendekatan untuk pengangkatan tumor ini
dapat transfasial maupun transbasal. Dimana pendekatan secara transfasial lebih
jauh lagi dapat dibagi menjadi transoral, transnasoethmoidal dan transmaksila.
Sedangkan pendekan transbasal dapat dibagi lagi menjadi anterior dan lateral.
Oliveira dkk (2012) menyatakan bahwa waktu operasi yang dibutuhkan pada
pendekatan dengan endoskopik lebih sedikit dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan pada pendekatan terbuka dan kebutuhan transfusi intraoperatif yang
19
lebih sedikit. dan Llorente dkk (2011) menyatakan kesimpulan bahwa
pendekatan endoskopik baik digunakan pada angiofibroma stadium awal (Fisch 1
dan II), sedang pembedahan terbuka baik digunakan pada stadium lanjut (Fisch
IIIIV). 20
Tumor yang berada pada kavum nasi dan meluas ke anterior dan inferior ke
sinus maksila dapat dilakukan insisi midfasial degloving. Insisi transoral ini
diperkenalkan oleh Conley 1979 dimana letak insisi adalah pada sulkus
ginggivobukal dari tuberositas maksila ke tuberositas maksila kontralateral dan
diperluas hingga mencapai apertura piriformis dan dinding anterior maksila
ditembus sehingga massa dapat terekspos maksimal.

Gambar 2.7. Midfasial degloving. (sumber : Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar
CV, Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al. Comparison between endoscopic and
open surgery in 37 patients with nasopharyngeal angiofibroma. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 7580)
Tumor yang meluas dan melibatkan sinus ethmoid dan nasofaring dapat
dilakukan pendekatan rinotomi lateral.

Gambar 2.8,. Rinotomi lateral. (sumber : Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar CV,
Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al. Comparison between endoscopic and open
surgery in 37 patients with nasopharyngeal angiofibroma. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 7580)

Pendekatan yang dilakukan harus memperhitungkan kedudukan tulang pada


piramid hidung sebagai sisi estetis jangka panjang. Tumor yang meluas dan
melibatkan seluruh kavum nasi dan sinus maksila dengan erosi dari dinding
posterior sinus, dapat dilakukan insisi Weber-Ferguson, dimana massa dapat
terekspos secara maksimal dengan diangkatnya prosesus maksila, dinding
nasoantral dibawah konka inferior, tulang lakrimal, lamina papirasea dan sel
etmoid anterior sampai posterior sampai pada lempeng kribriform, sedang bagian
yang dipertahankan ialah sakus lakrimal dan dustusnya serta periosteum dari
dinding medial orbita.20
Gambar 2.9. Insisi Weber Ferguson (sumber : Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar
CV, Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al. Comparison between endoscopic and
open surgery in 37 patients with nasopharyngeal angiofibroma. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 7580)
Pada pendekatan transpalatal, palatum molle diinsisi dan diretraksi. Kemudian
palatum durum direseksi agar lapangan operasi dapat terlihat lebih jelas. Tulang
palatum juga direseksi sehingga aspek inferior dari pterigoid dapat terlihat.

Gambar 2.10. Pendekatan transpalatal (sumber : Llorente JL, Lopez F, Suarez V,


Costales M, Suarez C. Evolution in the treatment of Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Acta Otorinolaringol Esp. 2011;62(4): 279-86)

3.Radioterapi
Pemberian radiasi eksternal pada angiofibroma nasofaring belia umumnya
diberikan pada tumor yang besar yang diperkirakan tidak dapat direseksi,
misalnya tumor yang telah mencapai intrakranial dan melibatkan sinus kavernosus
dan kiasma optikus. Komplikasi jangka panjang dari pemberian radioterapi
eksternal adalah adanya retardasi pertumbuhan, panhipopitutari, nekrosis lobus
temporal, katarak. 21
23

BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori Penelitian


Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka kerangka teori dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

Angiofibroma Nasofaring Etiologi

Teori jaringan asal Teori ketidakseimbangan hormonal

Stadium Diagnosis Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

Penatalaksanaan Pemeriksaan Penunjang

Gambar 3.1. Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan tinjauan pustaka diatas kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

1. Usia
2. Jenis kelamin
Penyakit
3. Stadium Angiofibroma
4. Lokasi ekspansi Nasofaring
dan penyebarannya
5. Jenis pengobatan

Gambar 3.2. Kerangka Konsep


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross-
sectional retrospektif, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan rekam medis
penderita angiofibroma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan
Januari 2011 sampai dengan Desember 2015

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada pada bulan September dengan menggunakan
rekam medis penderita pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember
2015 penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita angiofibroma nasofaring
yang tercatat dalam rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan
Januari 2011 sampai dengan Desember 2015

4.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian ini adalah penderita angiofibroma nasofaring yang datang
ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 yang diperoleh dari data rekam
medis.

4.4 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam
medis pasien bulan Januari 2011 sampai dengan Desember 2015
4.5 Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipilih adalah dengan metode observasi menggunakan rekam
medis, dimana jenis dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari
bagian instalasi rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4.6 Pengolahan dan Analisis Data


Data yang telah diperoleh akan dimasukkan dan diolah dalam software
pengolah data dengan menggunakan perangkat lunak program statistik.

4.7 Definisi Operasional


Angiofibroma Nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang
sulit dihentikan.
Parameter yang akan diteliti atau diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Usia
 Definisi Operasional : Rentang waktu antara saat lahir sampai saat
pengambilan data, dihitung saat ulang tahun terakhir
 Cara Ukur : Observasi
 Alat Ukur : Data rekam medis
 Hasil Ukur : 1. 5-10 tahun
2. 11-15 tahun
3. 16-20 tahun
4. 21-25 tahun
 Skala Ukur : Ordinal
2. Jenis Kelamin
 Definisi Operasional : Identitas responden sesuai kondisi biologis
atau fisiknya yaitu laki-laki dan perempuan
 Cara Ukur : Observasi
 Alat Ukur : Data rekam medis
 Hasil Ukur : 1. Laki-laki
2. Perempuan
 Skala Ukur : Nominal
3. Stadium
 Definisi Operasional : Suatu keadaan dari hasil penilaian dokter
saat mendiagnosis suatu penyakit yang diderita pasiennya,dan
sudah sejauh manakah tingkat penyebaran penyakit tersebut baik
ke organ atau jaringan sekitar (menurut fisch)
 Cara Ukur : Observasi atas hasil CT scan
 Alat Ukur : Data rekam medis
 Hasil Ukur : 1. Stadium 1
2. Stadium 2
3. Stadium 3
4. Stadium 4
 Skala Ukur : Nominal

4. Lokasi ekspansi
 Definisi Operasional : Lokasi ekspansi tumor dan penyebarannya
pada penderita angiofibroma nasofaring
 Cara Ukur : Observasi atas hasil CT scan
 Alat Ukur : Data rekam medis
 Hasil Ukur : 1. Rongga Hidung
2. Sinus Sfenoidalis
3. Sinus Maksilaris
4. Sinus Etmoidalis
5. Orofaring
6. Rongga Orbita
7. Basis Kranii
8. Intra Kranial
9. Fossa Pterygopalatina
10. Fossa Infratemporalis
 Skala Ukur : Nominal
5. Jenis Pengobatan
 Definisi Operasional : Pilihan jenis penanganan yang dilakukan
pada penderita angiofibroma selama pengobatan
 Cara Ukur : Observasi
 Alat Ukur : Data rekam medis
 Hasil Ukur : 1. Midfasial degloving
2. Rinotomi lateral
3. Insisi weber ferguson
4. Transpalatal
 Skala Ukur : Nominal
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
RSUP HAM Medan merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang
dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara,
RSUP HAM mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat
jalan, sedangkan untuk pelayanan rawat inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992.
Padatahun 1990 RSUP HAM berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai dengan
SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Kemudian di tahun 1991 ditetapkan
sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes
No.502/Menkes/SK/IX/1991 RSUP HAM juga sebagai Pusat Rujukan wilayah
Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat
dan Riau. Rumah sakit ini terletak di Jl. Bunga Lau No. 17.

5.1.2 Deskripsi Sampel Penelitian

Penelitian ini menggambarkan profil penderita angiofibroma nasofaring di


RSUP HAM Medan. Pada tahun 2011 hingga 2015, terdapat 26 penderita yang di
diagnosis dengan angiofinroma nasofaring. Namun dari 26 pasien tersebut, hanya
18 sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti.
Karakteristik yang diambil adalah berdasarkan usia, jenis kelamin, stadium, lokasi
ekspansi tumor, dan jenis pengobatan.
5.1.3 Distribusi angka kejadian angiofibroma nasofaring periode 2011-2015

Tabel 5.1. Distribusi angka kejadian angiofibroma nasofaring periode 2011-2015

Tahun Jumlah (n) Persentase (%)


2011 4 22,2
2012 2 11,1
2013 4 22,2
2014 3 16,7
2015 5 27,8
TOTAL 18 100

dari Tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa pasien terbanyak didapatkan pada
tahun 2015 yaitu 5 orang penderita (27,8%) diikuti oleh tahun 2011 dan 2013
dengan 4 orang penderita (22,2%) lalu tahun 2014 dengan 3 orang penderita
(16,7%) dan yang terendah adalah tahun 2012 dengan 2 orang penderita (11,1%)

5.1.4 Distribusi frekuensi berdasarkan usia


Tabel 5.2. Distribusi frekuensi berdasarkan usia

Kelompok Usia (tahun) Jumlah (n) Persentase (%)


5-10 tahun 1 5,6
11-15 tahun 12 66,7
16-20 tahun 4 22,2
21-25 tahun 1 5,6
TOTAL 18 100

Dari Tabel 5.2 diatas dapat dilihat bahwa kelompok usia tertinggi
penderita angiofibroma nasofaring adalah kelompok 11-15 tahun yaitu sebanyak
12 orang penderita (66,7%) dan pada tingkat kedua adalah kelompok usia 16-20
tahun yaitu sebanyak 4 orang penderita (22,2%) dan yang terendah adalah
kelompok usia5-10 tahun dan 21-25 tahun yang masing-masing 1 orang penderita
(5,6%).
5.1.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin
Tabel 5.3. Distribusi fekuensi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)


Laki-Laki 17 94,4
Perempuan 1 5,6
TOTAL 18 100

Dari Tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa jenis kelamin tertinggi penderita
angiofibroma nasofaring adalah laki-laki dengan jumlah 17 orang
penderita(94,4%) sedangkan jenis kelamin perempuan 1orang penderita (5,6%).

5.1.5 Distribusi frekuensi berdasarkan stadium


Tabel 5.4. Distribusi frekuensi berdasarkan stadium

Stadium Jumlah (n) Persentase (%)


I 1 5,6
II 10 55,6
III 4 22,2
IV 3 16,7
TOTAL 18 100

Dari Tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita
angiofibroma nasofaring adalah stadium II dengan jumlah 10 orang penderita
(55,6%) tertinggi kedua adalah stadium III dengan jumlah 4 orang penderita
(22,2%) kemudian diikuti oleh stadium IV dengan jumlah 3 orang penderita
(16,7%) dan yang terendah adalah stadium I dengan jumlah 1 orang penderita
(5,6%)
31

5.1.6 Distribusi frekuensi berdasarkan lokasi ekspansi angiofibroma dan


penyebarannya
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi berdasarkan lokasi ekspansi angiofibroma dan
penyebarannya
Lokasi Jumlah (n) Persentase (%)
Rongga hidung 16 88,9
Sinus sfenoidalis 7 38,9
Sinus maksilaris 5 27,8
Sinus etmoidalis 5 27,8
Fossa pterygopalatina 2 11,1
Fossa infratemporalis 1 5,6
Orofaring 2 11,1
Rongga orbita 1 5,6
Basis kranii 1 5,6
Intrakranial 3 16,7
Dari Tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa frekuensi lokasi ekspansi
angiofibroma dan penyebarannya menurut CT Scan terbanyak adalah rongga
hidung sebesar 80,9%, sinus sfenoidalis 38,9%, disusul oleh sinus maksilaris dan
sinus etmoidalis sebesar 27,8%, lalu pada intrakranial sebesar 16,7%, dan fossa
pterygopalatina juga orofaring dengan masing-masing 11,1%, kemudian yang
paling jarang adalah fossa infratemporalis, rongga orbita dan basis kranii yaitu
sebesar 5,6%.

5.1.7 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis pengobatan


Tabel 5.6. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis pengobatan
Jenis Pengobatan Jumlah (n) Persentase (%)
Transpalatal 4 22,2
Degloving midfacial 13 72,7
Rinotomi lateral 0 0
Transpalatal + Rinotomi lateral 1 5,6
TOTAL 18 100
Dari Tabel 5.6 diatas dapat dilihat frekuensi penderita angiofibroma
nasofaring berdasarkan jenis pengobatan terbanyak adalah adalah teknik midfacial
degloving sebesar 13 orang penderita (72,7%), diikuti teknik transpalatal
sebanyak 4 orang penderita (22,2%), transpalatal + rinotomi lateral sebanyak 1
orang penderita (5,6%) dan terendah adalah rinotomi lateral dengan tidak
dilakukan pada penderita (0%).
5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian angifibroma nasofaring


berkisar antara 2-5 kasus pertahunnya dengan kasus terbanyak adalah pada tahun
2015 yaitu 5 kasus, menurut teori angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang
relatif jarang ditemukan. Frekuensinya 1 : 5.000 – 1 : 60.000 dari pasien THT.
diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang ada di kepala dan leher.2,4
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa distribusi penderita angiofibroma
nasofaring paling banyak ditemukan pada kelompok usia 11-15 tahun yaitu
sebanyak 66,7% disusul oleh kelompok usia 16-20 tahun dengan 22,2%. Hal ini
sesuai dengan Anggreani et al. pada tahun 2011 dengan total sampel 27 orang
penderita, didapatkan rentang umur penderita 9 tahun hingga 23 tahun dimana
usia terbanyak adalah antara 14-17 tahun.12 Pradillo et al. melaporkan bahwa
persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun hanya 0.7% dari semua pasien
angiofibroma nasofaring.3 Menurut teori angiofibroma nasofaring merupakan
tumor jinak yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada
remaja pria berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor
jinak yang ada di kepala dan leher.2
Dari tahun 2011-2015 didapatkan bahwa penderita angiofibroma
nasofaring didominasi oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak
94,4% dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan yang sebanyak 5,6%. Hal
ini sesuai dengan penelitian Gaillard et al. pada tahun 2010 yang menyebutkan
bahwa angiofibroma nasofaring merupakan penyakit yang terjadi pada remaja
muda. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada laki-laki dan dijelaskan dalam
sebuah penelitian adanya hubungan antara angioma dengan ekspresi reseptor
androgen.22 Nicolai, Schreiber & Bolzoni tahun 2011 dalam artikelnya
menyebutkan pada dasarnya etiologi angiofibroma nasofaring tidak diketahui
secara pasti namun diyakini berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal pada
penderita laki-laki remaja dimana tumor mengalami regresi setelah mengalami
pubertas.18 Menurut teori menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga
karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau
kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara
tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan
pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Pengamatan yang
menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi
sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder
memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor.6,11
Pada penelitian ini dijumpai stadium angiofibroma nasofaring paling
banyak adalah stadium II (55,6%), diikuti dengan stadium III (22,2%) dan IV
(16,7%) sedangkan 5,6% penderita dengan stadium I, hasil penelitian ini berbeda
dengan Anggreani et al. pada tahun 2011 di Jakarta,dimana yang terbanyak adalah
stadium III,kemudian diikuti dengan stadium IV dan II sedangkan pada stadium I
tidak ditemukan. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan
waktu pasien ketika datang ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Hasil dari lokasi ekspansi angiofibroma dan penyebarannya berdasarkan
CT scan, di dapatkan 88,9% perluasan tumor ke rongga hidung. Perluasan tumor
hingga intracranial ditemukan pada penderita yang telah mengalami keluhan lebih
dari 2 tahun. Hasil ini selaras dengan yang didapatkan oleh Moorthy et al. pada
tahun 2010 di india, dimana massa tumor angiofibroma nasofaring terbanyak
berada di nasofaring 100%, diikuti ke kavum nasi yaitu sebesar 76,9%, dan yang
paling sedikit adalah ke fossa infra temporalis, dan sinus kavernosus yang masing
masing adalah 7,6%.23
Dalam hal penatalaksanaan penderita angiofibroma nasofaring di adam
malik menjalani teknik pembedahan sebagai terapi utama. Teknik operasi
terbanyak yang dipakai adalah degloving midfasial (72,2%) dan transpalatal
(22,2%). Hal ini berbeda dengan yang didapatkan oleh penelitian Anggreani et al
pada tahun 2011 di Jakarta yang mendapatkan dari 27 orang penderita 26 orang
menjalani operasi secara transpalatal dan satu orang dengan degloving midfasial. 12
Menurut Hasan et al. pada tahun 2007 di Malaysia, pemilihan pendekatan
teknikoperasi didasarkan dengan ukuran tumor, perluasan tumor, keterlibatan
intrakranial dan kemampuan ahli bedah.24
34

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

berdasarkan hasil penelitian dari data yang diperoleh, adapun kesimpulan


yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Angka kejadian angiofibroma nasofaring periode 2011-2015 adalah 18
kasus dengan kejadian terbanyak adalah tahun 2015 dengan 5 kasus.
2. Kelompok usia dengan prevalensi tertinggi pada penderita angiofibroma
nasofaring adalah usia 11-15 tahun yaitu sebanyak 12 orang penderita
dengan presentase 66,7% dan yang terendah adalah kelompok usia 5-10
tahun dan 21-25 tahun yang masing-masing 1 orang penderita dengan
presentase 5,6%.
3. Penderita angiofibroma nasofaring didominasi penderita dengan jenis
kelamin laki-laki yaitu dengan presentase 94,4% sedangkan wanita
memiliki presentase 5,6%.
4. Stadium penderita angiofibroma nasofaring terbanyak adalah stadium II
dengan presentase 55,6%.
5. Lokasi perluasan tumor terbanyak adalah nasofaring dan rongga hidung
dengan presentase masing-masing yaitu 100% dan 88,9%.
6. Penatalaksanaan penderita angiofibroma nasofaring terbanyak adalah
dengan teknik operasi secara degloving midfasial dengan presentase
72,2%.

6,2 Saran

1. Diharapkan upaya pencatatan rekam medis lebih dilengkapi untuk


kepentingan bersama baik pasien dan juga tenaga medis, juga untuk
mendukung pengumpulan data peneliti selanjutnya agar lebih maksimal.
2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai angiofibroma
nasofaring khususnya di RSUP lainnya diindonesia agar data mengenai
35

angiofibroma nasofaring didapatkan secara merata di seluruh Indonesia


sehingga diharapkan dapat menjadi acuan untuk meninjau karakteristik
angiofibroma di seluruh Indonesia.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A,. Boies: Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC. 2013.
2. Jatin shah. Head and neck surgery and oncology. 3rd ed.2003:85-92
3. Pradillo, et al. Nasopharyngeal Angiofibroma in The Elderly: Report of a
Case. Laryngoscope 1974:1063-65
4. Garca Fatih M, Yuca AS, Yuca K. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma.
Eur Gen Med 2010; 7(4): 419-425
5. Pardhan B, Thapa N. Juvenile angiofibroma and its management. Nepal Med
Coll J. 2009; 11(3); 186-188
6. Gleeson, Michael J. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology head and neck
surgery. Edisi 7, 2008; 187: 2437-2444
7. Paulsen F.& J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum
Dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC. 2013.
8. Pearce, C, Evelyn, Anatomi dan fisiologi untuk paramedis, Jakarta :Gramedia.
2009.
9. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Journal [serial on the
Internet]. 2011 Date [cited 2012 November 15th]: Available
from:http://www.emedicine.medscape.com/article/872580-overview.
10. Anderson D. Kamus Kedokteran Dorland. 29 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 100-
1, 829.
11. Soepardi EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
TenggorokKepala & Leher. Edisi Ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.Hal. 188-90.
12. Anggeani L, Adham M, Musa Z, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran Ekspresi
Reseptor Estrogen β pada Angiofibroma Nasofaring Belia dengan
Menggunakan Pemeriksaan Histokimia. Otorhinolaryngologica Indonesiana.
Vol 41, No 1 (2011): Januari-Juni 2011
13. Schuon R, Brieger J, Heinrich YR, Szyfter W, Mann WJ.
Immunohistochemical Analysis of Growth Mechanisms in Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. 2007.
14. Zhang M, Sun X, Yu H, Hu L, Wang D. Biological Distinctions Between
Juvenile Naopharyngeal Angiofibroma and Vascular Malformation: An
Immunohistochemical Study. Acta Histochemica. 2011; 113: 626-30
15. Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997. Hal. 324
16. Sjahril, Munir. Angiofibroma Nasofaring dalam Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga, Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
17. Panda NK, Gupta G, Sharma S, Gupta A. Nasopharyngeal angiofibroma-
changing trends in the Management. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2012; 64(3):233-9
18. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11
19. Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar CV, Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al.
Comparison between endoscopic and open surgery in 37 patients with
nasopharyngeal angiofibroma. Braz J Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 7580.
20. Llorente JL, Lopez F, Suarez V, Costales M, Suarez C. Evolution in the
treatment of Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Acta Otorinolaringol Esp.
2011;62(4): 279-86.
21. Chakraborty S, Ghoshal S, Patil VM, Oinam AS, Sharma SC. Conformal
Radiotherapy in The Treatment of Advanced Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma with Intracranial Extension: an Institutional Experience. Int. J.
Radiation Biol. Phys. 2011;80 (5):1398-404
22. Gaillard LA, Anastacio VM, Piatoo VB, Maniglia JV et al. A Seven Year
Experience with Patient with Nasopharygeal Angiofibroma. Braz J
Otorhinolaryngol. 2010;76(2):245-50.
23. Moorthy PNS, Reddy BR, Qaiyum HA, Madhira S, Kolloju S. Management of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Indian J Otolaryngol Head Neck
Surg . 2010: 62(4):390–394.
24. Hasan S, Abdullah J, Abdullah B, Jaafar H et al. Appraisal of Clinical Profile
and Management of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma in Malaysia.
2007 (18-22)
Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Farah Hutri Aurelia

NIM : 130100389

Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta/ 17 Agustus

1995 Agama : Islam

Alamat : Jl. Setia Budi No 26 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK Fitriah (1999-2001)

2. SD Negeri Cililitan 01 Pagi (2002-2007)


3. SMP Negeri 150 Jakarta (2007-2010)
4. SMA Negeri 62 Jakarta (2010-2013)
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(2013- Sekarang)
Riwayat Organisasi : Standing Committee On Reproductive Health Including
Aids PEMA FK
USU (SCORA PEMA FK USU)
Lampiran 2

Lampiran 3
41
Lampiran 4
43

Lampiran 5

DATA PENDERITA ANGIOFIBROMA NASOFARING

No Nama JK Umur Lokasi Tumor Stadium Pengobatan Tahun


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 A L 21 √ - - - - - - - - - 2 2 2011
2 MAS L 18 √ - √ √ √ - - - - - 3 1 2011
3 B L 14 √ - - - - - - - - - 2 2 2013
4 HS L 14 √ - √ √ √ - √ - - - 3 1 2013
5 AM L 12 √ - - - - - - - - - 2 2 2013
6 SJS L 15 √ √ - - - - - - - - 2 2 2014
7 DI L 16 √ √ √ √ - - - - - √ 4 2 2014
8 RW L 13 √ √ - - - - - - - √ 4 2 2015
9 PM L 14 - √ - - - - - - - - 2 2 2015
10 MAL L 14 √ √ - √ - √ - - - - 3 4 2015
11 JJS L 15 √ √ √ - - - √ √ √ √ 4 2 2015
12 R P 18 √ - - - - - - - - - 2 2 2012
13 EP L 8 √ - √ √ - - - - - - 3 1 2011
14 MAS L 12 √ - - - - - - - - - 2 2 2012
15 YS L 19 √ √ - - - - - - - - 2 2 2013
16 FK L 14 √ - - - - - - - - - 2 2 2014
17 FA L 11 √ - - - - - - - - - 1 1 2011
18 IR L 14 - - - - - - - - - - 2 2 2015

Keterangan :
Lokasi Tumor: pengobatan :

2 = Rongga hidung 7 = Fossa infratemporalis 1 = Transpalatal


3 = Sinus sfenoidalis 8 = Orofaring 2 = Midfasial Degloving
4 = Sinus maksilaris 9 = Rongga orbita 3 = Rinotomi Lateral
5 = Sinus etmoidalis 10 = Basis kranii 4 = Transpalatal +Rinotomi lateral
6 = Fossa pterygopalatina 11 = Intra Kranial
45

Lampiran 6

Tahun

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid 2011 4 22.2 22.2 22.2
2012 2 11.1 11.1 33.3

2013 4 22.2 22.2 55.6

2014 3 16.7 16.7 72.2

2015 5 27.8 27.8 100.0


Total 18 100.0 100.0

Kategori Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1.00 1 5.6 5.6 5.6
2.00 12 66.7 66.7 72.2
3.00 4 22.2 22.2 94.4
4.00 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 17 94.4 94.4 94.4
perempuan 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0
Stadium

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 1 5.6 5.6 5.6
2 10 55.6 55.6 61.1
3 4 22.2 22.2 83.3
4 3 16.7 16.7 100.0
Total 18 100.0 100.0

Rongga Hidung

Cumulative
Frequency Sinus Sfenoidalis
Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 2 11.1 11.1 Cumulative
11.1
Frequency Percent Valid Percent Percent
ya 16 88.9 88.9 100.0
Valid tidak
Total 11
18 61.1
100.0 61.1
100.0 61.1
ya 7 38.9 38.9 100.0
Total 18 100.0 100.0
Sinus Maksilaris

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 13 72.2 72.2 72.2
ya 5 27.8 27.8 100.0
Total 18 100.0 100.0

Sinus Etmoidalis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 13 72.2 72.2 72.2
ya 5 27.8 27.8 100.0
Total 18 100.0 100.0

Fossa Pterygopalatina
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 16 88.9 88.9 88.9
ya 2 11.1 11.1 100.0
Total 18 100.0 100.0

Fossa Infratemporalis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 17 94.4 94.4 94.4
ya 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0

Orofaring
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 16 88.9 88.9 88.9
ya 2 11.1 11.1 100.0
Total 18 100.0 100.0
48

Rongga Orbita
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 17 94.4 94.4 94.4
ya 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0

Basis Kranii
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 17 94.4 94.4 94.4
ya 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0

Intrakranial
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 15 83.3 83.3 83.3
ya 3 16.7 16.7 100.0
Total 18 100.0 100.0

Teknik Operasi

Valid Cumulative
Frequency Percent Percen Percent
t
Valid Degloving Midfasial 13 72.2 72.2 72.2
transpalatal 4 22.2 22.2 94.4
Transpalatal +
1 5.6 5.6 100.0
Rinotomi Lateral
Total 18 100.0 100.0

Anda mungkin juga menyukai