Anda di halaman 1dari 62

SKRIPSI

KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA


AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM
MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI
MEDAN DARI TAHUN 2008-2015

Oleh:

Muhammad Abror Affan

130100109

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA
AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM
MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI
MEDAN DARI TAHUN 2008-2015

SKRIPSI

“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

Muhammad Abror Affan

130100109

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Penyakit vesiko-bulosa autoimun atau penyakit kulit berlepuh adalah


kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan
bula. Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau
adhesi derm-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks
cairan. Penelitian mengenai penyakit vesiko-bulosa masih belum pernah
dilakukan pada Universitas Sumatera Utara sehingga ini menjadi alasan peneliti
untuk tertarik melakukan penelitian mengenai penyakit vesiko-bulosa autoimun
pada anak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik penyakit


vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.
Pirngadi Medan pada tahun 2008-2015. Penelitian ini dilakukan dengan cara
melihat data sekunder yang berupa data rekam medis pasien penyakit vesiko-
bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi
medan dari tahun 2008 hingga 2015. Dan penelitian ini menggunakan metode
total sampling.

Hasil penelitian ini didapatkan jumlah pasien penyakit vesiko-bulosa


autoimun pada anak di kedua rumah sakit tersebut adalah sebanyak 10 orang.
Dimana 1 pasien pemfigus (10%), 3 pasien pemfigoid bulosa (30%) dan 6 pasien
epidermolisis bulosa (60%) tidak di jumpai pasien dermatitis herpetiformis
maupun chronic bullous disease of childhood. Kategori umur dari penderita
adalah umur 0 – 5 tahun (30%), umur 6 – 11 tahun (10%) dan umur 12 – 18 tahun
(60%). Jenis kelamin dari pasien di kedua rumah sakit tersebut memiliki
persentasi antara lain laki-laki (30%) dan perempuan (70%). Pengobatan yang
dilakukan adalah pengobatan sistemik (33,3%) dan pengobatan topikal (66,6%).

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan Pada kedua rumah sakit
tersebut khususnya pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak memiliki
karaktersitik yang berbeda, dengan jumlah pasien sebanyak 10 orang, dan tipe
yang paling sering muncul adalah epidermolisis bulosa. pada umur biasanya
muncul pada 12 – 18 tahun dan jenis kelamin yang sering terkena adalah
perempuan. Adapun jenis pengobatan yang sering dilakukan adalah pengobatan
sistemik.

Kata kunci: Penyakit vesiko-bulosa autoimun, Anak

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

Autoimmune vesicobullous disease or skin blister disease is a skin


disorder that is characterized by the onset in the form of primary vesicles and
bullous. Autoimmune vesicobullous disease occur due to disruption of cohesion
or intradermal cell adhesion derm-epidermal junction which can lead to the
occurance of the fluid influx. The study of autoimunne vesicobullous disease still
has not been done at the university north sumatera and this is the main reason
researches interested in conducting study on autoimmune vesicobullous disease.

The purpose of this study was to observe the characteristic of autoimmune


vesicobullous disease on children in RSUHP. Adam Malik Medan and RSUD.
Pirngadi Medan years 2008-2015. The study was done by looking at form
of secondary data medical record of patient autoimmune vesicobullous disease on
children in RSUP. H. Adam Malik Medan and RSUD. Pirngadi Medan from 2008-
2015. This study done by using total sampling method.

The result showed on both hospitals brings the number of patients at the
two hospitals was as many as 10 people. Where 1 patient of pemphigus (10%), 3
bullous pemphigoid (30%) and 6 epidermolysis bullosa (60%), dermatitis
herpetiformis and chronic bullous disease of childhood is not found on both
hospitals. Category age of sufferers are aged 0-5 years (30%), age 6-11 years
(10%) and age 12-18 years (60%). The gender of patient in both hospitals show
that male is (30%) and female (70%). The treatment that used in both hospitals is
systemic treatment (33,3%) and topical treatment (66,6%).

The conclusion of this study is patient in particular of autoimmune


vesicobullous disease in children have a different charactheristic, both hospitals
brings the number of patients was as many as 10 people, and the most frequent
type is epidermolyisis bullosa. at the age of usually appear on 12 – 18 years of
age and gender are often affected are women. And the most used treatment is
topical treatment.

Keywords: Autoimmune Vesicobullous disease, Children

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk
mencapai kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memaparkan landasan
pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan.
Penelitian yang dilaksankan ini berjudul “Karakteristik Penyakit Vesiko-bulosa
Autoimun pada Anak di RSHUP. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi
Medan Pada Tahun 2008-2015”
Penulis menyadari bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala rasa
hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu dr. Deryne A. Paramita, M.Ked(KK), Sp.KK, selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan masukan bagi
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Bapak dr. Bayu Rusfandi Nasution, M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Dosen
Pembimbing II yang telah memberikan banyak arahan dan masukan bagi
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Ibu dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP, selaku Ketua Penguji
yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam
penyempurnaan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
6. Bapak dr. M. Feldi Gazaly Nasution, M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Anggota
Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat
dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga
penyelesaian studi dan juga penulisan skripsi ini.
8. Seluruh pihak RSUP. H. Adam Malik Medan yang senantiasa membantu
penulis pada pelaksanaan survei awal dan penelitian.
9. Seluruh pihak RSUD. Pirngadi Medan yang telah senantiasa membantu
penulis dalam pelaksanaan survey awal dan penelitian.
10. Orang tua penulis yang telah membesarkan penuh dengan kasih sayang
dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi dan pendidikan.
11. Semua pihak yang telah membantu baik dalam bentuk moril maupun
materil yang namanya tidak dapat disebutkan oleh penulis satu per satu.

Penulis memahami sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh


dari kesempurnaan, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara
penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, segala saran dan
kritik yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan guna
menyempurnakan hasil penelitian skripsi ini.

Medan, Desember 2016

Penulis

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................i
ABSTRAK..................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................................iv
DAFTAR ISI..............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL......................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................xi
LAMPIRAN...............................................................................................................xii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1. Latar Belakang......................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian...................................................................................................2
1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4


2. Vesiko-bulosa
2.1. Definisi.........................................................................................................4
2.2. Klasifikasi.....................................................................................................4
2.2.1. Pemfigus.............................................................................................4
2.2.1.1. Pemfigus Eritematosus..........................................................5
2.2.1.1.1. Gambaran Klinis....................................................5
2.2.1.1.2. Histopatologi..........................................................5
2.2.1.1.3. Diagnosi banding....................................................5
2.2.1.1.4. Penatalaksanaan.....................................................6
2.2.1.1.5. Prognosis................................................................6
2.2.2. Pemfigoid Bulosa...............................................................................6
2.2.2.1. Definisi..................................................................................6
2.2.2.2. Etiologi..................................................................................6
2.2.2.3. Patogenesis............................................................................6
2.2.2.4. Diagnosis...............................................................................8
2.2.2.5. Pemeriksaan Histopatologi....................................................8
2.2.2.6. Pemeriksaan Imunofluoresensi..............................................8
2.2.2.7. Diagnosis Banding................................................................9

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.2.8. Penatalaksanaan....................................................................9
2.2.2.9. Prognosis...............................................................................9
2.2.3. Dermatitis Herpetiformis....................................................................9
2.2.3.1. Definisi..................................................................................9
2.2.3.2. Etiologi..................................................................................9
2.2.3.3. Patogenesis............................................................................10
2.2.3.4. Gejala Klinis..........................................................................10
2.2.3.5. Histopatologi.........................................................................11
2.2.3.6. Diagnosis Banding.................................................................11
2.2.3.7. Penatalaksanaan.....................................................................11
2.2.3.8. Prognosis...............................................................................12
2.2.4. Epidermolisis Bulosa.........................................................................12
2.2.4.1. Definisi.................................................................................12
2.2.4.2. Etiologi.................................................................................12
2.2.4.3. Klasifikasi.............................................................................12
2.2.4.4. Patogenesis............................................................................13
2.2.4.5. Gejala Klinis..........................................................................15
2.2.4.6. Diagnosis..............................................................................15
2.2.4.7. Penatalaksanaan.....................................................................16
2.2.5. Chronic Bullous Diseases of Childhood (C.B.D.C)...........................16
2.2.5.1. Definisi.................................................................................16
2.2.5.2. Etiologi.................................................................................16
2.2.5.3. Gejala Klinis.........................................................................16
2.2.5.4. Patogenesis...........................................................................17
2.2.5.5. Diagnosis..............................................................................17
2.2.5.5.1. Histopatologi........................................................17
2.2.5.5.2. imunologi.............................................................17
2.2.5.6. Diagnosis Banding...............................................................17
2.2.5.7. Penatalaksanaan...................................................................18
2.2.5.8. Prognosis.............................................................................18

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP.........................................19


3.1. Kerangka Teori.....................................................................................................19
3.2. Kerangka Konsep..................................................................................................20

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN...................................................................21


4.1. Rancangan Penelitian............................................................................................21
4.2. Lokasi dan Tempat Penelitian...............................................................................21

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
4.3. Populasi dan Sampel.............................................................................................21
4.3.1. Populasi......................................................................................................21
4.3.2. Sampel........................................................................................................21
4.4. Definisi operasional..............................................................................................22

BAB 5 HASIL PENELITIAN...................................................................................25


5.1. Hasil Penelitian.....................................................................................................25
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian........................................................................25
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel..................................................................26
5.1.2.1. Jumlah Pasien................................................................................26
5.1.2.2. Umur Pasien.................................................................................27
5.1.2.3. Jenis Kelamin...............................................................................27
5.1.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi.............................................................28
5.1.2.5. Pengobatan...................................................................................28
5.2. Pembahasan..........................................................................................................29
5.2.1. Jumlah Pasien.............................................................................................29
5.2.2. Umur Pasien...............................................................................................29
5.2.3. Jenis Kelamin.............................................................................................30
5.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi...........................................................................30
5.2.5. Pengobatan.................................................................................................31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................33


6.1. Kesimpulan...........................................................................................................33
6.2. Saran.....................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................35
LAMPIRAN...............................................................................................................38

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


Tabel 2.1. Klasifikasi epidermolisis bulosa 13
Tabel 5.1. Jumlah pasien 26
Tabel 5.2. Umur pasien 27
Tabel 5.3. Jenis kelamin 27
Tabel 5.4. Bentuk klinis dan lokasi 28
Tabel 5.5. Pengobatan Sistemik 28
Tabel 5.5.1. Pengobatan Topikal 28

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman


Gambar 2.1. Patogenesis Pemfigoid Bulosa 6
Gambar 3.1. KerangkaTeori 9
Gambar 3.2. Konsep Penelitian 9

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

LE :Lupus Eritematosus

PB : Pemfigoid Bulosa

UV : Ultra Violet

BAPG1 : Bullous Pemphigoid Antigen 1

BPAG2 : Bullous Pemphigoid Antigen 2

IgG : Immunoglobulin

Thl : T helper

IL : Interleukin

BMZ : Base Membrane Zone

IGg : immunoglobulin G

IGa : Imunnoglobulin A

DH : Dermatitis Herpetiformis

t-TG : gluten-tissue transglutaminase

e-TG : epidermal-trans glutaminase

EBS : EpidermolisisBulosa simpleks

JEB : Junctional Epidermolisisbulosa

IAM : Imunofluoresensi antigen mapping

TEM : Mikroskoptransmisi electron

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat


LAMPIRAN 2 Data Induk Penelitian
LAMPIRAN 3 Etichal Clearance
LAMPIRAN 4 Surat Ijin Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Kulit merupakan organ pembungkus yang memiliki luas sekitar 1,8 m2,
merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh
lingkungan. Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. paling tebal (6mm) terdapat di telapak
tangan dan kaki paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.1,3
Kulit anak dengan dewasa sangatla berbeda karena kulit anak bukan
merupakan miniatur dari kulit dewasa karena pada kulit anak Secara umum
gambaran klinis dan penyebaran penyakit kulit anak dipengaruhi oleh beberapa
keadaan antara lain higiene perorangan, lingkungan, gizi serta aktivitas anak-anak
sehari-hari.2 Kulit juga dapat di pengaruhi oleh gangguan autoimun yang dapat
menyebabkan gangguan pada kulit, membran mukosa maupun keduanya, yang
secara histologi ditandai dengan terjadinya bula intraepidermal karena proses
akantolisis, suatu reaksi pemisahan sel sel epidermis diakibatkan karena tidak
adanya kohesi antara sel-sel epidermis.3
Penyakit vesiko-bulosa autoimun atau penyakit kulit berlepuh adalah
kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan
bula. Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau
adhesi derm-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks
cairan.3 Penyakit vesiko-bulosa meliputi pemfigus, pemfigoid bulosa, dermatitis
herpetiformis, chronic bullous disease of childhood dan epidermolisis bulosa.3
Pada penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap Dept/SMF kesehatan kulit
dan kelamin RSUD. DR. Soetomo Surabaya yang di mulai dari maret hingga mei
2009, ditemukan jumlah penderita pemphigus vulgaris adalah sebanyak 7(4,67)%,
bullous pemphigoid 2(13,3)%, stevens-jhonson syndrome 5(33,3)% dan toksik
epidermal nekrolisis 1(6,7)%.4 Data ini di perlukan untuk melihat prevalensi
penyakit vesiko-bulosa autoimun dan penelitian ini masih belum pernah di
lakukan di Universitas Sumatera Utara, sehingga peneliti tertarik melakukan

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
penelitian karakteristik penyakit vesiko bulosa autoimun pada anak di RSUP. H.
Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimanakah karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di
RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015

1.3. Tujuan penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada
anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-
2015.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui jumlah pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada


anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari
tahun 2008-2015.
2. Untuk mengetahui tipe penyakit vesiko-bulosa autoimun yang paling
banyak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan
dari tahun 2008-2015.
3. Untuk mengetahui data demografik yaitu berupa jenis kelamin dan
umur pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak yang
berkunjung di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi
Medan dari tahun 2008-2015.
4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik penyakit vesiko-bulosa
autoimun pada anak berdasarkan bentuk klinis, lokasi lesi dan
pengobatan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi
Medan dari tahun 2008-2015.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat penelitian

 Memberikan informasi kepada institusi kesehatan, institusi pendidikan


dan pihak-pihak terkait lainnya mengenai gambaran karakteristik
penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam
Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.
 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar ataupun data
pendukung untuk penelitian selanjutnya mengenai penyakit vesiko-
bulosa autoimun pada anak.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Vesiko-bulosa
2.1. Definisi
Penyakit vesiko-bulosa atau kelainan kulit berlepuh adalah kelainan kulit
yang di tandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula. Vesikel
atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adhesi dermo-
epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan.5

2.2. Klasifikasi
Vesiko-bulosa ditandai dengan adanya vesikel dan bula; yang termasuk
golongan ini ialah:5

1. Pemfigus
2. Pemfigoid bulosa
3. Dermatitis herpetiformis
4. Epidermolisis bulosa (EB)
5. Chronic bullous disease of childhood

Namun yang akan dibahas pada bab ini adalah vesiko-bulosa yang
mengenai pada anak-anak.

2.2.1. Pemfigus
Pemfigus ialah penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit
dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal
akibat dari proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi
terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat
maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.5
Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu
pemfigus vulgaris, pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus
vegetans.5 Menurut letak dan celah pemfigus di bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal
ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus vegetans, dan di stratum granulosum ialah

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus. Semua penyakit tersebut
memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur pada kulit
yang terlihat normal dan mudah pecah pada penekanan, bula tersebut dapat
meluas dengan tanda nikolski positif. Akantolisis selalu positif, dan ditemukan
antibodi tipe IgG terhadap antigen interselular di epidermis yang dapat ditemukan
di dalam serum, meupun terikat di epidermis.5

2.2.1.1. Pemfigus Eritematosus


2.2.1.1.1. Gambaran Klinis
Keadaan umum baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat berlangsung
berbulan-bulan, seiring dengan disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di
mukosa. Lesi kering, eritematosus, bersisik, hiperkeratotik dan sering ditemukan
pada bagian tengah hidung dan pipi, berbentuk mirip dengan kupu-kupu sehingga
menyerupai LE (lupus eritematosus).3,5

2.2.1.1.2. Histopatologi
Gambaran histopatologik identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi
yang lama, hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare
tampak prominen.5

2.2.1.1.3. Diagnosis Banding


Selain dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa, penyakit ini
mirip lupus eritematosus dan dermatitis seboroik. Pada lupus eritematosus,
kecuali eritema dan skuama juga terdapat atrofi, telangiektasia, sedangkan
skuamanya lekat dengan kulit. Di samping itu terdapat sumbatan keratin dan
biasanya tidak ada bula.5

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.1.1.4. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid yang
paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60
mg sehari.5
2.2.1.1.5. Prognosis
Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu
prognosisnya lebih baik.5

2.2.2. Pemfigoid Bulosa


2.2.2.1. Definisi
Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun yang kronik dengan
ditandai lepuh subepidermal berdinding tegang. Lepuh timbul diatas kulit normal
atau eritematosa serta dapat menyerang mukosa. Pemfigoid bulosa dapat
mengalami remisi walaupun tanpa terapi, namun perjalanan penyakit dapat
berlann gsung hingga beberapa tahun.6

2.2.2.2. Etiologi
pemfigoid bulosa ialah autoimunitas, namun penyebab yang menjadi
pencetus induksi dari auto antibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui
secara pasti. Sebagian besar kasus pemfigoid bulosa terjadi secara sporadis tanpa
faktor pencetus yang jelas. Akan tetapi beberapa laporan tentang pencetus
pemfigoid bulosa adalah cahaya ultraviolet (UV), baik UVB atau psoralen dengan
UVA dan terapi radiasi.6,7

2.2.2.3. Patogenesis
Antigen pemfigoid bulosa merupakan komponen dari hemi desmosom
yang berfungsi melekatkan sel basal dengan membran basal, antigen PB dengan
berat molekul 230kD disebut bullous pemphigoid antigen 1 (BAPG1) sedangkan
antigen dengan berat 180kD disebut dengan bullous pemphigoig antigen 2 atau
kolagen tipe XVII.Antigen BPAGI merupakan antigen intraseluler dan terletak di

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
plak hemidesmosom, sedangkan antigen BPAG2 merupakan molekultrans-
membran. Autoantibodi PB berupa IgG terutamaIgGl dan IgG4, jarang berupa
IgA, IgM, atau IgE.6,7
Pada tahap awal pembentukan lepuh autoantibodi berikatan dengan
antigen PB.Terdapat memori cell-B yang spesifik terhadap domain NC16A
komponen dari (BPAGI).Penyebab induksi autoantibodi PB masih belum jelas.
Set T autoreaktif memiliki respons terhadap antigen PB. Sitokin Thelperl (Thl)
yaitu interferon-y yang mampu menginduksi sekresi immunoglobulin (IgGl) dan
lgG2, sedangkan sitokin T-helper2 (TM) misalnya IL4, IL5, dan IL13 berperan
mengatur sekresi IgG4 dan IgE. Ikatan autoantibodi IgG di BMZ mengaktivasi
komplemen jalur klasik.Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit
dan degranulasi sel mast. IgE juga berperan dalam degranulasi sel mast. Produk
sel mast menyebabkan kemotaksis eosinofil melalui mediator yaitu eosinophil
chemotactic factor of anapltylaxis. Leukosit dan protease sel mast menyebabkan
pemisahan dermis-epidermis. Eosinofil, sel inflamasi yang terdapat pada
membran basal lesi PB, menghasilkan gelatinase yang memotong domain kolagen
ekstraseluler BPAG2, yang berperan dalam pembentukan.8,9

Gambar: skema patofisiologi pembentukan lepuh pemfigus

Gambar 2.1. patogenesis Pemfigoid Bulosa

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.2.4. Diagnosis
Diagnosis PB dapat ditegakkan melalui gambaran klinis, histopatologis,
dan imunofluoresens. Lesi pada PB ditandai dengan lepuh besar berdinding
tegang di atas kulit normal atau dasar eritematosa. Lokasi lesi terutama di perut
bagian bawah, paha depan, lengan bawah bagian fleksor serta dapat menyebar ke
seluruh tubuh. Lepuh dapat berisi cairan bening atau hemoragik dan dapat disertai
rasa gatal.Erosi kulit akibat lepuh yang pecah mudah mengalami reepitelisasi.
Vesikel baru dapat timbul di dekat lesi lama yang mulai sembuh. Bekas lesi tidak
meninggalkan parut.8,9
Lesi eritematosa kadang-kadang lebih dominan dan menyebar dengan
lepuh di bagian tepi.Lesi urtikaria timbul terutama pada awal perjalanan penyakit.
Resolusi dimulai dari bagian tengah lesi dapat disertai hiperpigmentasi.9
Lesi di mukosa terjadi pada sekitar 10-35% pasien, sebagian besar terjadi
di mukosa mulut terutama daerah pipi. Lesi di mukosa berupa lepuh dan erosi
serta tidak meninggalkan parut.9

2.2.2.5. Pemeriksaan Histopatologi


Pada lepuh kecil yang baru timbul menunjukkan lepuh subepidermal
dengan infiltrat dermis superfisial terdiri dari esinofil, limfosit dan histosit tanpa
disertai dengan nekrosis epidermis. Pemeriksaan histopatologi lepuh dengan dasar
eritematosa menunjukkan lebih banyak infiltrat terutama eosinofil dan neutrofil
dalam rongga lepuh, sedangkan lesi urtikaria menunjukkan menunjukkan infiltrat
dermis superfisial terdiri dari limfosit histosit dan eosinofil serta edema papila
dermis. Pada lesi urtikaria juga didapatkan degranulasi eosinofil di BMZ dengan
pemisahan sel basal dari membran basal dan atau spongiosis eosinofil.8

2.2.2.6. Pemeriksaan Imunofluorensi


diperoleh dari biopsi tepi lesi yang menunjukkan deposit/endapan igG dan
terkadang imunoglobulin lain atau C3 linear di BMZ yang tersusun seperti pita
(basement membrane zone).10

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.2.7. Diagnosis Banding
Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis
herpetiformis. Pada pemfigus keadaan umumnya buruk, dinding bula kendur,
generallisata, letak bula intraepidermal, dan terdapat igG di stratum spinosum.5
Pada dermatitis herpiteformis, sangat gatal, ruam utama ialah vesikel yang
berkelompok, terdapat igA tersusun granular.5

2.2.2.7. penatalaksanaan
Pada pemfigoid bulosa biasanya dapat sembuh sendiri dengan atau tanpa
pengobatan.Pentalaksanaan biasanya diberikan dengan kortikosteroid. Prednison
biasanya diberikan dengan dosis 40-60 mg/hari kemudian pelan-pelan diturunkan
sampai dosis bertahan 10 mg perhari.5

2.2.2.8. Prognosis
Biasanya sembuh dengan sendirinya walaupun tanpa pengobatan dan
biasanya terjadi remisi spontan pada pasien pemfigus bulosa. Buruknya prognosis
dipengaruhi oleh usia, luas penyakitnya, skor Karnofsky yang rendah, albumin
yang rendah dan steroid dosis tinggi, Penyakit yang terlokalisata sangat responsif
terhadap pengobatan dan terjadinya remisi.10,11

2.2.3. Dermatitis Herpetiformis


2.2.3.1. Definisi
Dermatitis herpetiformis (D.H) ialah penyakit yang menahun dan residif,
ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan
simetris serta disertai rasa sangat gatal. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulo
vesikel yang tersusun berkelompok, dengan distribusi simetris pada daerah siku,
lutut dan bokong.5
2.2.3.2. Etiologi
Penyebab belum diketahui secara pasti.4 Di antara penderita DH, 77%-
87% memiliki antigen HLA B8 dan 90% memiliki antigen HLA DW3. Antigen
permukaan ini ditandai oleh gen yang terikat dekat gen respon imun sehingga

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
terdapat peningkatan respon imun terhadap berbagai antigen termasuk self. DH
merupakan akibat dari respon imun yang terlalu aktif terhadap antigen yang ada
secara alamiah.12
Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun yang yang lain
dan merupakan petanda seorang pasien dengan respon imun berlebih terhadap
beberapa antigen dan dapat menjelaskan kompleks imun yang terjadi secara
perlahan. DH lebih sering terjadi pada anggota keluarga.5

2.2.3.3. Patogenesis
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
pengendapan IgA dalam papila dermis, sehingga memicu kaskade imunologi,
rekruitmen neutrofil dan aktivasi sistem komplemen.13 Dermatitis herpetiformis
terjadi akibat hasil dari respon imun terhadap rangsangan kronis pada mukosa
usus yang disebabkan oleh gluten. 14 Akibat terjadinya sensitifitas gluten dengan
ditambah dengan asupan tinggi gluten, akan terbententuk igA terhadap gluten-
tissue transglutaminase (t-TG) yang ditemukan di usus halus, kemudian antibodi
ini akan bereaksi silang dengan epidermal-trans glutaminase (e-TG) dan
kemudian mengendap di papilla dermis sehingga terjadi lesi.15,16

2.2.3.4. Gejala Klinis


Keluhan gatal dan rasa terbakar merupakan awal penyakit, yang kemudian
diikuti timbulnya lesi kulit berupa makula atau papel eritematosus, dan kadang-
kadang berupa urtikaria. Diatas makula atau papel ini timbul vesikel yang mula-
mula kecil kemudian membesar, bergerombol dan tersebar bilateral-simetris.
Vesikel berdinding tebal dan tidak mudah pecah.5

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.3.5. Histopatologi
Terdapat kumpulan neutrofil di papil dermal yang membentuk mikroabses
neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal, dan vesikel
multiokular dan subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal, juga
di cairan vesikel.5

2.2.3.6. Diagnosis Banding


D.H. dibedakan dengan pemfigus vulgaris (P.V.), pemfigoid bulosa, dan
Chronic Bullous Diseases of Childhood (C.B.D.C.). Pada P.V. keadaan umumnya
buruk, tak gatal, kelainan utama ialah bula yang berdinding kendur, generalisata,
dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik terdapat
akantolisis, letak vesikel intraepidermal. Terdapat IgG di stratum spinosum.
P.B.berbeda dengan D.H. karena ruam yang utama ialah bula, tak begitu gatal,
dan pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di
subepidermal. C.B.D.C. terdapat pada anak, kelainan utama ialah bula, tak begitu
gatal, eritema tidak selalu ada, dan dapat berkelompok atau tidak. Terdapat IgA
yang linear.5

2.2.3.7. Penatalaksanaan
a. Dapson
Menghilangkan gejala dan ruam pada Dermatitis Herpetiformis pada anak
dan dewasa. Obat ini memiliki suatu respon yang sangat baik dalam kurun
waktu 24 jam – 48 jam.17 Dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgbb/hari.
Dosis pada obat ini dapat ditingkatkan namun perlu diperhatikan dari hasil
respon klinis serta efek samping dari obat ini. Jika tidak terjadi efek
samping dosis dapat ditingkatkan hingga mencapai maksimal 400 mg/hari,
namun dosis yang dibutuhkan adalah 50 mg tiga kali sehari.17
b. Sulfaridin
Dosis awal sulfaridin biasanya 100-200 mg/kgbb/hari, dan dapat dibagi
menjadi empat dosis. Dengan dosis maksimal 2 sampai 4 gram perhari. Jika
ada suatu perbaikan dosis dapat diturunkan pada setiap minggu hingga dosis

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan yaitu 500 mg/hari atau kurang.17 Efek samping yang terjadi
bisa berupa anoreksia, sakit kepala, demam, leucopenia, agranulositosis, dan
anemia hemolitik.5,17

2.2.3.8. Prognosis
Sebagian besar penderita akan mengalami Dermatitis Herpetiformis yang
kronis dan residif. Dan perbaikan keadaan biasanya pada sekitar 10-15% kasus.5,18

2.2.4. Epidermolisis Bulosa


2.2.4.1. Definisi
Epidermolisis bulosa merupakan (EB) merupakan kelainan genetik
ditandai dengan ketidakmampuan kulit dan epitel lain untuk melekat pada
jaringan dibawahnya dengan suatu gejala klinis terbentuknya bula dan vesikel
setelah terjadi trauma atau gesekan.19,20 Dimana hal ini juga merupakan suatu
kelainan genetik dimana terjadi kerapuan pada epitel yang mudah rusak pada
lapisan epitel, ataupun jaringan permukaan, terutama kulit.21

2.2.4.2. Etiologi
Etiologi masih belum diketahui. Adanya aktivitas enzim sitolitik atau
terjadinya mutasi struktur protein yang sensitif terhadap perubahan suhu telah
dikemukakan oleh ahli peneliti.5

2.2.4.3. Kasifikasi
Ada empat jenis utama Epidermolisis Bulosa yaitu : Epidermolisis Bulosa
simpleks (EBS), junctional Epidermolisis bulosa (JEB), distrofi Epidermolisis
bulosa ( DEB ), dan Sindrom Kindler.22

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Klasifikasi Epidermolisis Bulosa.23
TIPE EPIDERMOLISIS BULOSA PENYEBARAN LEPUH

Epidermolisis Bulosa simpleks Intraepidermal

Juntional Epidermolisis bulosa Intra-lamina lucida

Epidermolisis Bulosa distrofi Sub-lamina densa

Sindrom kindler Multiple levels (intra-lamina lucida


and sub-lamina densa)

2.2.4.4. Patogenesis
Sampai sekarang patogenesis EB belum semuanya diketahui semuanya.
Beberapa penulis mengemukakan berbagai dugaan patogenesis.5
1. E.B.S diduga terjadi akibat:
a. Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein abnormal yang
sensitif terhadap perubahan suhu.
b. Selain diturunkan secara genetik autosom, diperkirakan 50% terjadi
akibat mutasi pada gen pembentuk keratin, terutama keratin 5 (K5) dan
14 (K14) yang terdapat di lapisan epidermis.
c. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin adalah protein
yang terdapat di membran basal yang berfungsi sebagai penghubung
filamen ke intermediet.5

2. E.B junctional terjadi akibat:5


a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment plaque
tidak berungsi dengan baik.
b. PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membran sel abnormal
sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk
celah di lamina lusida.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
c. Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode laminin 5, komponen
anchoring filament, yaitu protein polipeptida.3 Selain itu mutasi juga
dapat terjadi pada salah satu gen α3, β3, atau γ2 yang merupakan dari
subunit lamina-322. pasien dengan mutasi gen α3 atau γ2 subunit
laminin masih akan menunjukkan ekspresi normal pada laminin-311,
yang berisi α3, β1, dan γ1. Pemeriksaan pewarnaan linear BMZ pada
spesimen epidermolisis junction yang dilakukan secara mapping
imunnofluorescense untuk melihat rantai gen α3, apabila pada hasil
pemeriksaan tidak dijumpai rantai gen lain, ini merupakan indikasi dari
defek rantai gen α3 maupun defek rantai gen γ2.24

3. E.B distrofik di duga terjadi akibat:


a. Berkurangnya anchoring fibril
b. Bertambahnya aktivitas kolagenase pada E.B. yang diturunkan secara
RA.
c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL7A1), komponen utama
anchoring fiibrils, sehingga fungsinya terganggu5.

4. Pada sindrom kindler hasil pemeriksaan molekuler dari penyakit ini


menemukan suatu protein epidermal baru yaitu, kindlin-1 yang
menunjukkanpenurunan ekspresi oleh pemeriksaan imunofluoresen. Hal
inimenunjukkan adanya hubungan dengan protein kindling-1 terhadap
pembentukan lepuh.25

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.4.5. Gejala Klinis
Pada epidermolisis bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang
hemoragik.5 Selain mencakup kulit yang mudah rapuh dan mudahnya timbul
suatu lepuh serta erosi pada Epidermolisis Bulosa juga mencakup beberapa atau
semua gambaran klinis seperti : milia, papula kecil berbatas tegas, distrofi kuku,
dan parut (biasanya atrofi), keratoderma dari telapak tangandan telapak kaki, dan
dyspigmentation (Postinflammatory hipo- atau hiperpigmentasi; berbintik-bintik
atau retikulata hiperpigmentasi ).26

2.2.5.5. Diagnosis
Langkah pertama diagnosis dari EB adalah dimulai dengan anamnesis
menyeluruh dan pemeriksaan fisik, anamnesis mencakup usia, onset dari lepuh
dan munculnya lepuh pada anggota keluarga lainnya. Sebuah tinjauan dari
gatrointestinal, pernapasan, mata, gigi, tulang, dan sistem genitourinaria penting
dilakukan untuk evaluasi pertumbuhan dan perkembangan. Pemeriksaan fisik
tidak hanya membutuhkan suatu pemeriksaan fisik yang lengkap, tetapi evaluasi
menyeluruh pada Setiap pasien yang diduga menderita Epidermolisis Bulosa.25
Untuk pemeriksaan penunjang pasien epidermolisis bulosa harus memiliki satu
atau lebih spesimen kulit untuk diagnostic imunofluoresensi antigen mapping
(IAM) dan mikroskop transmisi electron ( TEM ).27 Hasil biopsi yang baik adalah
biopsi yang diambil dari kulit yang lepuhnya belum terjadi. 27 Pemeriksaan darah
pada epidermolisis bulosa simpleks biasanya normal. Kombinasi anemia besi dan
anemia penyakit dapat di jumpai pada pasien EBS with muscular dystrophy. Pada
bentuk lain EBS anemia jarang dijumpai, dan bila didapatkan anemia biasanya
berhubungan dengan gangguan pertumbuhan dan malarbsorbsi. Pada anemia berat
sering dijumpai kadar seng dalam serum ringan sampai sedang.28

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.5.6. Pentalaksanaan
Pada epidermolisis bulosa tidak ada pengobatan yang spesifik yang ada
hanya terapi suportif saja, yang penting adalah pencegahan terhadap trauma,
terutama pada tangan dan kaki untuk menghindari timbulnya bula, oleh karena
sering terjadi infeksi sekunder, pengobatan antibiotika baik topikal maupun
sistemik dapat diberikan. Steroid topikal dapat dipakai, namun pada bayi dan anak-
anak harus secara hati-hati. Kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis (140-160
mg prednison/hari). Juga dapat diberikan vitamin E dengan dosis 600- 2000 I u/hari,
vitamin E dapat menghambat produksi enzim yang dapat merusak kolagenase.
Pengobatan lain adalah dienilhidantion dengan dosis 5,0 mg/kg/hari. Berfungsi juga
untuk menghambat enzim perusak kolagenase.3,5

2.2.5. Chronic bullous disease of childhood (C.B.D.C)


2.2.5.1. Definisi
Chronic bullous disease of childhood ialah dermatosis autoimun yang
biasanya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun ditandai dengan adanya bula dan
terdapatnya deposit igA linear yang homogen pada epidermal.5

2.2.5.2. Etiologi
Belum diketahui pasti. Senagai faktor pencetus ialah infeksi dan antibiotik,
yang sering ialah penisilin.5

2.2.5.3. Gejala Klinis


Penyakit mulai pada usia sebelum sekolah, rata-rata berumur 4 tahun.
Keadaan umum baik dan tidak begitu gatal. Kelainan kulit berupa vesikel atau
bula, terutama bula, berdinding tegang di atas kulit yang normal atau eritematosa,
cenderung bergerombol dan generalisata.5 Lesi terdebut sering tersusun anular
disebut dengan cluster of jewels.29 Terdapat juga manifestasi seperti anular
eritema dengan eksoriasi dan erosi terdapat pada pasien. Dan bula yang terdapat
pada chronic bullous diseases of childhood tidak dapat dibedakan dari lesi
pemfigoid bulosa.30,31 Pada membrane mukosa juga terdapat suatu erosi yang

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
sangat menyakitkan.31 Sebuah studi di Tunisa menjelaskan sebanyak 12,9 % pada
anak memiliki lesi pada mulut dan kelamin. 30 Lesi yang terjadi di mulut biasanya
mengenai palatum dengan jaringan lunak dan keras.30,31

2.2.5.4. Patogenesis
Antigen pada chronic bullous disesase of childhood memiliki target
lokal pada jaringan basal skuamous, antigen yang terlibat adalah 97-kDa
(LABD97) dan 120-kDa (LAD-1), antigen yang merupakan fragmen domain
ekstraseluler kolagen XVII (BP180), transmembran protein yang memiliki peran
penting dalam menjaga hubungan antara intraseluler dan ekstraseluler yang
terlibat dalam adhesi epidermal.32-34

2.2.5.5. Diagnosis
2.2.5.5.1. Histopatologi
Gambaran yang khas ialah bula subepidermal berisi neutrofil, atau
eosinofil, atau keduanya. Mikro abses di papil dermal berisi neutrofil. Gambaran
ini tak dapat dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.3

2.2.5.5.2. Imunologi
Pada umumnya didapati deposit linear igA dan C3 dari kulit di perilesi.
Pada imunofluoresensi tak langsung didapati antibodi igA anti membran basalis
yang beredar pada kira-kira 2/3 kasus.5

2.2.5.6. Diagnosis Banding


Sebagai diagnosis banding ialah dermatitis herpetiformis (D.H.) dan
pemfigoid bulosa. Pada D.H. penyakit berlangsung sehingga dewasa jarang pada
umur sebelum 10 tahun. Lesi yang utama ialah vesikel, sangat gatal dan didapati
IgA berbentuk granular serta biasanya didapati enteropati. Mulainya penyakit
pada C.B.D.C. lebih mendadak daripada D.H, biasanya tidak terdapat H.L.A.-B8.
Mengenai pengobatan, pada D.H. memberi respons dengan sulfon, sedangkan
CBDC dapat memberi respon atau tidak sama sekali.3

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
2.2.5.7. penatalaksanaan
Biasanya memberi respons yang cepat dengan sulfonamida, yakni dengan
sulfapiridin, dosisnya 150 mg per kg berat badan sehari. Dapat pula dengan DOS
atau kortikosteroid atau kombinasi. Diet bebas gluten seperti pada D.H. tidak
perlu.3

2.2.5.8. prognosis
Dalam studi yang dilakukan di Tunisia mengatakan bahwa remisi
chronic bullous disesase of childhood pada anak adalah sebanyak 76,1%.31

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka teori

Penyakit
vesiko- bulosa Klasifikasi

1. Pemfigus
2. Pemfigoid bulosa
3. Dermatitis
herpetiform
Etiologi Akibat proses Autoimun is
4. Epidermolis
tipe igG. 3 is bulosa
iolet baik UVB maupun UVA dan terapi radiasi.
5. Chronic bullous
B8.
disease of
itas enzim sitolitik atau terjadinya mutasi struktur protein yang sensitive.
tibiotik

gangguan
adhesi sel-sel
epidermal klinis
Manifestasi
berbeda-beda
Gambar 3.1. Kerangka teori penelitian
tergantung
kasifikasi
Vesikel dan Bula

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
3.2 kerangka konsep penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik vesiko-bulosa pada
anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari
tahun 2008-2015.

Variabel independen variabel dependen

Penyakit 1. jumlah
vesiko- bulosa 2. Umur
autoimun 3. Jenis kelamin
vesiko-bulosa 4. tipe
5. bentuk klinis
6. Lokasi
7. pengobatan

Gambar 3.2. Kerangka konsep penelitian.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB IV
METODE PENELITAN

4.1. Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunnakan metode penilitan deksriptif dengan pendekatan
cross sectional (studi potong lintang) yang bertujuan untuk mengetahui
karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam
Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


a. lokasi: penelitian ini di lakukan di dua rumah sakit pendidikan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yaitu RSUP. H. Adam
Malik MEDAN dan RSUD DR Pirngadi MEDAN
b. Waktu: penelitian ini dilakukan dari juli – desember 2016.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 . Populasi
a.populasi target : Seluruh pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada
anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari
tahun 2008-2015.
b. Populasi terjangkau : Seluruh pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun
pada anak yang pernah berobat di RSUP. H. Adam Malik Medan dan
RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosa penyakit vesiko-
bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi
Medan dari tahun 2008-2015 yang mana berjumlahkan sebanyak 10 orang

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
4.4. Definisi Operasional
Variabel-variabel yang diteliti mencakup karakteristik penderita vesiko-
bulosa dari segi jumlah, umur, jenis kelamin, tipe, bentuk klinis, lokasi dan
pengobatan.

1. Variabel: jumlah
a. Definisi operasional : jumlah keseluruhan dari subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d. Hasil ukur : pasien yang didiagnosis penyakit vesiko-
bulosa autoimun pada anak
e. Skala ukur : nominal

2. Variabel: umur
a. Defenisi operasional : masa usia subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d.Hasil ukur : 0-5 tahun, 6-11 tahun dan 12-18 tahun
e. Skala ukur : interval

3. Variabel: jenis kelamin


a. Definisi operasional : jenis kelamin dari subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medis
c.Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d.Hasil ukur : laki-laki atau perempuan
e.Skala ukur : nominal

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
4. Variabel: tipe
a. Definisi operasional : tipe penyakit vesiko-bulosa autoimun yang
diderita subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d. Hasil ukur : 1. Pemfigus
2.Pemfigoid bulosa
3. Dermatitis herpetiformis
4. Epidermolisis bulosa (EB)
5. Chronic bullous of childhood
e. Skala ukur : nominal

4. Variabel: bentuk klinis


a. Definisi operasional : bentuk lesi dari penyakit vesiko-bulosa
Autoimun pada subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c .Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d. Hasil ukur : berdasarkan bentuk lesi dari penyakit vesiko-
Bulosa autoimun
a. Skala ukur : ordinal

6. Variabel: lokasi
a. Definisi operasional : lokasi lesi penyakit vesiko-bulosa autoimun
pada subjek penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d. Hasil ukur : berdasarkan tempat predileksi
e. Skala ukur : ordinal

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
7. Variabel: pengobatan
a. Definisi operasional : pengobatan yang digunakan pada subjek
penelitian
b. Alat ukur : rekam medik
c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik
d. Hasil ukur : sistemik atau topikal
e. Skala ukur : ordinal

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan selama bulan Oktober – bulan Desember 2016 yang
berlokasikan di dua rumah sakit yaitu RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.
Pirngadi Medan, RSUP. H. Adam Malik beralamat di jalan bunga lau NO. 17,
Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan,
Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan
nasional berdasarkan SK MenKes RI NO. HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal
17 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional.
RSUD. Pirngadi Medan merupakan salah satu rumah sakit pendidikan yang
terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang pada tanggal 10 April 2007 Badan
Pelayanan Kesehatan RSU Dr. Pirngadi Kota Medan resmi menjadi Rumah Sakit
Pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
433/Menkes/SK/IV/2007. Rumah sakit ini mendidik para calon dokter yang
berasal dari Fakultas Kedokteran Usu dan membuka diri untuk mendidik para
calon dokter dari fakultas lain baik yang ada di Provinsi Sumatera Utara maupun
Sumatera Barat dan Lampung. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis
yang terdapat pada kedua rumah sakit tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Penelitian ini dilakukan dengan melihat data sekunder yang berupa data
rekam medis dari pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak yang
terdapat pada RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari
tahun 2008-2015.
Karakteristik sampel yang diamati oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
berupa jumlah pasien, umur pasien, jenis kelamin, bentuk klinis dan lokasi dan
pengobatan. Yang disajikan dalam bentuk table sebagai berikut.

Tabel 5.1. Jumlah Pasien


TIPE JUMLAH

Pemfigus 1

Pemfigoid bulosa 3

Dermatitis herpetiormis 0

Epidermolisis bulosa 6

Chronic bullous disease of 0


childhood

dari hasil tabel diatas maka dapat diketahui jumlah pasien vesiko-bulosa
autoimun pada anak adalah : Pemfigus (10%), Pemfigoid bulosa (30%),
Dermatitis herpetiformis (0), Epidermolisis bulosa (60%), Chronic bullous
disease of childhood (0).

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2. Umur Pasien
TIPE UMUR PASIEN

0 - 5 TAHUN 6 - 11 TAHUN 12 - 18 TAHUN


Pemfigus 0 0 1

Pemfigoid bulosa 0 0 3

Dermatitis herpetiformis 0 0 0

Epidermolisis bulosa 3 1 2
Chronic bullous disease of
childhood 0 0 0

berdasarkan tabel hasil diatas maka didapatkan umur pasien yang


terbanyak pada penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak adalah : umur 0 – 5
tahun (30%), umur 6 – 11 tahun (10%) dan umur 12 – 18 tahun (60%)

Tabel 5.3. Jenis Kelamin


TIPE
JENIS KELAMIN

LAKI-LAKI PEREMPUAN
Pemfigus 0 1
Pemfigoid bulosa 1 2
Dermatitis herpetiformis 0 0
Epidermolisis bulosa 2 4
Chronic bullous diseaseof childhood 0 0

dari tabel hasil di atas dapat diperoleh jenis kelamin yang terdapat pada
penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak adalah: laki-laki (30%) dan
perempuan (70%)

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.4. Bentuk Klinis dan Lokasi

TIPE BENTUK KLINIS LOKASI


Regio tarsalis,
Pemfigus Bula hipopion regio antebrachii
sinistra dan dekstra

Ventrikel regio
Bula eritematosa
intra orbital,
regio
Pemfigoid bulosa tegang, makula, Palmaris dekstra
dan sinistra, regio
hipopigmentasi, erosi
facialis

Dermatitis herpetiformis - -
Bula hemoragik, Regio capitalis,
regio lumbalis,
bula berisi air, papul
Epidermolisis regio facialis, regio
bulosa kecil dan milia abdomen coli

Chronic bullous disease of childhood - -

dari tabel hasil diatas menunjukkan beberapa bentuk klinis dan lokasi khas
dari masing – masing klasifikasi penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak.

Tabel 5.5. Pengobatan Sistemik

PENGOBATAN
SISTEMIK
6

Tabel 5.6. Pengobatan Sistemik

PENGOBATAN
TOPIKAL
12

berdasarkan tabel hasil pengobatan pada penyakit vesiko-bulosa autoimun


pada anak di dapatkan pengobatan yang terbanyak digunakan adalah: pengobatan
sistemik (33,3%) dan pengobatan topikal (66,6%)

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
5.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian total sampling

5.2.1. Jumlah Pasien


Pada penelitian di rumah sakit pendidikan father muller medical college
hospital di dapatkan jumlah pasien terbanyak dari penyakit vesiko-bulosa adalah
pemfigus vulgaris dimana terdapat 19 kasus (38%), pemfigoid bulosa sebanyak 13
kasus (26%), penyakit linear immunoglobulin A, 2 kasus (4%), epidermolisis
bulosa sebanyak 2 kasus (4%), 1 kasus dermatitis herpetiformis (2%).35
Sedangkan pada hasil penelitian yang didapat, epidermolisis bulosa adalah jumlah
kasus terbanyak (60%) , pemfigoid bulosa (30%), dan pemfigus (10%). Tidak di
jumpai kasus dermatitis herpetiformis dan chronic bullous disease of childhood.

5.2.2 Umur Pasien


Anak dengan kelompok umur 1- 6 tahun menunjukkan angka kejadian
dalam penyakit vesiko-bulosa sebesar (48/100).36 dengan insidensi tertinggi
impetigo bulosa 42%, chronic bullous of childhood 7% dan dermatitis
herpetiformis 6%.36 Pemfigus jarang terdapat pada anak-anak terutama dengan
umur rata-rata 12 tahun.37 Beberapa faktor lingkungan seperti pengobatan, dan
substansi akantolisis pada predisposisi genetik memiliki peran terhadap
munculnya penyakit.38,39 Pada masa anak jenis pemfigus yang paling sering terjadi
adalah pemfigus vulgaris, pemfigus folaiseus.40 Berdasarkan hasil penelitian ini
umur rata-rata anak yang didiagnosa dengan pemfigus adalah umur 12-18 tahun.
Pada kasus pemfigoid bulosa jarang terjadi pada masa anak. 41 Namun berdasarkan
hasil penelitian ini didapatkan umur rata-rata anak pada kasus pemfigoid bulosa
adalah 12-18 tahun dimana terdapat 3 kasus pemfigoid bulosa. Dermatitis
herpetiformis merupakan salah satu penyakit lepuh autoimun yang kronis, dan
dianggap sebagai salah satu yang sering muncul pada anak namun prevalensi
pastinya belum dapat diketahui.42,43 Umur persentasi bervariasi, menurut pada
hasil penelitian umur berkisar anatara 2 sampai dengan 7 tahun.44 dan 7 tahun
sampai dengan rata-rata 14 tahun.43 Berdasarkan hasil penelitian tidak dijumpai

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
pasien anak dengan diagnosis dermatitis herpetiformis. Pada epidermolisis bulosa
persentasi kemunculan pada umur bisa di semua rata-rata umur selama masa anak-
anak dan dapat dimulai dari bayi. 45 Pada hasil penelitian ini umur rata-rata pasien
anak dengan epidermolisis adalah 3 kasus pada 0 – 5 tahun, 1 kasus pada 6 – 11
tahun dan 2 kasus pada 12 – 18 tahun. Chronic bullous disesase of childhood
terdapat pada semua etnik khususnya di Negara berkembang, di inggris prevalensi
di perkirakan 1 dari 500.000 anak.46 Onset umur biasanya sebelum umur 5 tahun
41
, namun pada hasil penelitian ini tidak di temukan pasien anak dengan diagnose
chronic bullous disease of childhood.

5.2.3. Jenis Kelamin


Hasil penelitian di father muller medical college hospital menunjukkan
bahwa perbandingan antara pasien anak laki-laki dengan pasien anak perempuan
adalah 1:2.35 namun pada penelitian yang dilakukan di india menunjukkan bahwa
perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:2 hal ini di sebabkan
karena laki-laki sering melakukan kegiatan di luar rumah, adanya kontak dengan
anak-anak lain dan pola berpakaian yang salah dapat menjadi alasan peningkatan
resiko.36 Sedangkan pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase anak
perempuan adalah (70%) dan anak laki-laki (30%) dimana hasil penelitian ini
menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang di lakukan di father muller
medical college hospital.

5.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi


Gambaran klinis pada pemfigus melibatkan keterlibatan membran mukosa
terutama dari mulut yang menunjukkan gejala awal.41 Lepuh yang terlihat
biasanya terlihat sangat lembek dan mudah pecah dan adanya erosi dan krusta
yang meninggalkan rasa sakit yang terdapat pada kulit.41 Lepuh pada pemfigus
dapat timbul di kepala, bibir dan pada abdomen atas.47 Berdasarkan hasil
penelitian ini gambaran yang di dapat pada pemfigus berbeda yaitu adanya bula
hipopion yang terdapat pada telapak tangan. Pada pemfigoid bulosa gambaran
yang sering muncul adalah bula yang tegang dan terkadang bula hemoragik yang

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
timbul dari kulit normal atau meradang.48,49 Plak Biasanya muncul pada daerah
abdomen, lipatan paha, palmar dan plantar. 50,51 Pada hasil penelitian ini terdapat
bula eritematosa yang tegang, makula hipopigmentasi dan erosi yang terdapat
pada daerah bola mata, wajah dan telapak tangan. Dermatitis herpetiformis
menunjukkan gambaran seperti vesikel yang gatal, papula eritematosa dan plak
urtikaria yang biasanya muncul pada tungkai bagian depan, bokong, bahu dan
lipatan leher.41 Hasil penelitian ini tidak mendapatkan pasien anak dengan
diagnose dermatitits herpetiformis. Epidermolisis bulosa menyajikan gambaran
seperti puritus, bula yang tegang, eritematosa dan urtikaria kulit.50,51 Pada lesi
hemoragik sesekali dapat terjadi pembentukan krusta dengan perubahan pigmen
dan dapat terjadi keruskan membran mukosa.50,51 Dari hasil penelitian ini
mengatakan bahwa gambran yang terjadi berupa Bula hemoragik, bula berisi air,
papul kecil dan milia yang tersebar di daerah wajah, kepala, badan dan pundak
belakang. Gambaran penyakit chronic bullous disesase of childhood dapat
mengenai membran mukosa dan kulit, dan biasanya didahului oleh penyakit
prodormal yang nonspesifik.41 Temuan pada kulit dapat disertai dengan gejala
sistemik seperti demam atau anoreksia.52 Lepuh dapat menyebar ke beberapa
lokasi yaitu wajah, ekstremitas dan daerah genital.52 Tidak di temukan anak
dengan diagnosa chronic bullous disease of childhood pada hasil penelitian.

5.2.5. Pengobatan
Pada penelitian Autoimmune Blistering Diseases in Children menyatakan
bahwa hampir keseluruhan penyakit vesiko-bulosa autoimun dapat di tatalaksana
dengan menggunakan pengobatan sistemik kortikosteroid dan dapson sebagai
pengobatan lini pertama dosis yang berbeda-beda pada setiap penyakit vesiko-
bulosa autoimun.41 Untuk pengobatan topikal dengan steroid dapat meringankan
gejala namun biasanya remisi dapat terjadi pada umur dewasa.41 Dari hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pengobatan yang di gunakan untuk penyakit
vesiko-bulosa lebih mengarah ke pengobatan topikal dengan persentasi (66,6%)
dibandingkan sistemik dengan persentasi (33,3%). Adapun pengobatan sistemik
yang dilakukan di kedua rumah sakit tersebut adalah amoxicillin tab 500 mg,

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
cetirizine tab dan sandimun neural tab. Sedangkan pada pengobatan topikal yang
digunakan ialah inersan cream, soft u derm, furon cream, burnazin cream
burnosin, hidrokortison cream, mupirosin cream dan NaCL0,9%.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pada karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun
pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari
tahun 2008-2015 maka dapat di tarik kesimpulan:
1. Jumlah pasien vesiko-bulosa pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan
dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015 adalah sebanyak 10
orang

2. Umur pasien yang terbanyak dengan diagnosa penyakit vesiko-bulosa


autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.
Pirngadi Medan adalah pasien dengan umur 12 – 18 tahun dengan
persentasi 60%

3. Jenis kelamin pasien yang terbanyak dengan diagnosa penyakit vesiko-


bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.
Pirngadi Medan adalah perempuan dengan persentasi 70%

4. Tipe terbanyak dari penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP.


H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015
adalah Epidermolisis Bulosa dengan angka kejadian 60%

5. Pengobatan yang terbanyak dilakukan pada pasien dengan diagnosa


penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik
Medan dan RSUD. Pirngadi Medan adalah dengan pengobatan topikal
dengan persentasi 66,6%

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
6.2. SARAN
Dari seluruh proses menyelesaikan penelitian ini maka peneliti ingin
mengungkapkan beberapa saran yang mungkin bermanfaat bagi peneliti dan bagi
semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun beberapa saran yaitu:
1. Kepada institusi kesehatan dan tenaga medis agar memberikan edukasi
kepada orangtua penderita penyakit vesiko-bulosa autoimun diberikan
edukasi yang baik dan benar agar penyakit tersebut tidak mengarah ke
penyakit sekunder

2. Kepada institusi kesehatan dan tenaga medis agar meningkatkan informasi


dan pengetahuan terhadap penyakit vesiko-bulosa autoimun khususnya
pada anak agar lebih mengenal dan dapat mengerti diagnosa banding,
diagnosa dan penatalaksanaan dari penyakit vesiko-bulosa autoimun pada
anak

3. Kepada pihak RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan,
khususnya pada pihak yang bertanggung jawab dalam penyimpana rekam
medis agar dapat menyimpan seluruh data dan menyusun data dengan rapi
dan baik agar penelitian selanjutnya pembaca dapat mengerti dan
memahami isi dari data tersebut

4. Peneliti berharap agar Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data
dasar ataupun data pendukung untuk penelitian selanjutnya mengenai
penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

1. Barhnhill RL, Croseon An; Magro CM, Piepkorn MW. Dermatopathology.


3rd ed. New York:Mc Graw-Hill Medical: 2010: 578-590. (cited 2013 Aug
01).
2. Mufida fauzia, penyebaran pola penyakit pada kulit anak dan dewasa ,2010
3. Kariosentono, Harijono, Penyakit Vesiko-bulosa., Dalam: HIPOKRATES.
Ilmu penyakit kulit. Jakarta. 2015.
4. Dewi Rosalina, Sunarko Martodihardjo, Muhammad Yulianto Listiawan.
Staphylococcus aureus as the Most Common Cause of Secondary Infection in
All Skin Lesions of Vesicobullous Dermatosis). 2009.
5. Wiryadi, Benny E., Dermatosis Vesikobulosa., Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.
6. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine
(two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill;2008:459-74.
7. Amagai M. Pemfigus. In:Bolognia JL,Jorizzo JL,Rapini RP (eds).
Dermatology. Spain:Elsevier.2008;5;417-29.
8. Stanley John R. Bullous pemphigoid. Dalam: Wolff IlGoldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,penyunting. Fitzpatrick's dermatolory
in general medicine.Volurne One. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill
Companies;2008. h. 475-80.
9. Zenzo GD, Laffitte E, Zambruno G, Borradori L. Bullous pemphigoid:
clinical features, diagnostic markers, and immunopathogenic mechanisms.
Dalam: Hertl M, editor. Autoimmune diseases of the skin. Edisi ke-3. New
York: Springer Wien; 2011. h. 65-95
10. Wojnmowska F, Venning VA. Immunobullous diseases. Dalam: Bums T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of
dermatolory. Volume Two. Edisi ke-8. Massachusetts: Blackwell Science
Ltd; 2010. h. 40.26-35
11. Laffitte E, Borradori L. Bullous Pemphigoid : Clinical Features, Diagnostic
Markers, and Immunopathogenic Mechanisms. Dalam : Hertl M, penyunting.
Autoimmune Disease of the Skin. Edisi ke-2. New York : Springer; 2005.h. 71-
87.
12. Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin : pathogenesis, diagnosis,
management. 2nd revised edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.
13. Maria lorete, kotze silva dermatitis herpetiformis the celiac disease of the skin.
Gastroenterol. Vol. 50. Brazil. 2013.
14. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett. Mar
2013;18(3):1-3.
15. Sardy M, Karpati S, Merkl B, Paulsson M, Smyth N. Epidermal transglutaminase
(TGase 3) is the autoantigen of dermatitis herpetiformis. J Exp Med. Mar 18
2002;195(6):747-57.
16. Marietta EV, Camilleri MJ, Castro LA, Krause PK, Pittelkow MR, Murray JA.
Transglutaminase autoantibodies in dermatitis herpetiformis and celiac sprue. J
Invest Dermatol. Feb 2008;128(2):332 5.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
17. Huwitz S. Chronic Non Hereditary Blistering Disesease Of Childhood. In :
Clinical Pediatric Dermatology. 2nd ed. Philadelphia. WB Saunders Company.
1993: 278-82
18. Pye RJ. Bullous Eruption. In : Champion RH, Burton jL, Burns DA, eds.
Rook/Wilkinson/Ebling. Text Book Of dermatology. 6th ed. VOL.III. London.
Blackwell Science Ltd. 1998 : 1888
19. Bodiardja SA. Epidermolisis bulus Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Boediardjo
SA, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin ; edisi ke-3. Jakarta : Bali Penerbit
FK UI, 2002,200-7.
20. Hurwitz S. Bullous disorders of childhood and alolennsceene. Edisi ke-2
Philadelphia, W.B. Sauders. Co 1993 : 432-5,439-41.
21. Fine JD, Hintner H, eds: Life with Epidermolysis Bullosa: Etiology,
Diagnosis, and Multidisciplinary Care and Therapy. Wien New York:
Springer Verlag GmbH; 2009:338.
22. Alper JC, Baden HP, Goldsmith LA: Kindler's syndrome. Arch
Dermatol1978, 114:457.
23. Fine JD, Eady RAJ, Bauer JA, et al.: The classification of inherited
epidermolysis bullosa (EB): report of the Third International Consensus
Meeting on Diagnosis and Classification of EB. J Am Acad Dermatol 2008,
58:931-950.
24. Marinkovich MP. Inherited Epidermolysis Bulosa. in : fitzPatricks 8nd ed .
VOL.II. New york. Mc graw-hill company2012. h. 659-660.
25. Marinkovich MP. Inherited Epidermolysis Bulosa. in : fitzPatricks 8nd ed .
VOL.II. New york. Mc graw-hill company 2012. h. 660-661.
26. Fine JD, Johnson LB, Suchindran C, et al.: Cutaneous and skin-associated
musculoskeletal manifestations of inherited EB: the National Epidermolysis
Bullosa Registry experience. Edited by: Fine JD, Bauer EA, McGuire J,
Moshell A. Epidermolysis Bullosa: Clinical, Epidemiologic, and Laboratory
Advances, and the Findings of the National Epidermolysis Bullosa Registry
Baltimore: Johns Hopkins University Press; 1999:114-146.
27. Fine JD, Smith LT: Non-molecular diagnostic testing of
inheritedepidermolysis bullosa: current techniques, major findings, and
relativesensitivity and specificity. Edited by: Fine JD, Bauer EA, McGuire
J,Moshell A. Epidermolysis Bullosa: Clinical, Epidemiologic, and
LaboratoryAdvances, and the Findings of the National Epidermolysis Bullosa
RegistryBaltimore: Johns Hopikins University Press; 1999:48-78.
28. Fine JD. Bullous disesases. Dalam: Mosechella, Hurley HJ, editor.
Dermatology. Edisi ke-3 philadelphia : W.B. Sounders Co. 1992 : 681-9
29. LR, Caroline and PH, Russel. Linear Immunoglobulin A Dermatosis and
Chronic bullous disease of childhood. in : fitzPatricks 8nd ed . VOL.II. New
york. Mc graw-hill company 2012. h. 626-627.
30. Guide SV, Marinkovich MP (2001) Linear IgA bullous dermatosis. Clin
Dermatol 19: 719-727.
31. Monia K, Aida K, Amel K, Ines Z, Becima F, et al. (2011) Linear IgA
bullous dermatosis in tunisian children: 31 cases. Indian J Dermatol 56: 153-
159.
32. Edwards S, Wojnarowska F, Armstrong LM (1991) Chronic bullous disease
ofchildhood with oral mucosal scarring. Clin Exp Dermatol 16: 41-43.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
33. Zone JJ, Taylor TB, Kadunce DP, Meyer LJ (1990) Identification of
thecutaneous basement membrane zone antigen and isolation of antibody
inlinear immunoglobulin A bullous dermatosis. J Clin Invest 85: 812-820.
34. Marinkovich MP, Taylor TB, Keene DR, Burgeson RE, Zone JJ (1996) LAD-
1,the linear IgA bullous dermatosis autoantigen, is a novel 120-kDa
anchoringfilament.
35. Bhat M Ramesh, Kunhi Khannan Charisma (2015) A retrospective study of
clinical, histopathological and direct immunofluorescence spectrum of
immunobullous Disorders. Father Muller Medical College Hospital :
International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 5,
Issue 9, September 2015 1 ISSN 2250-3153.
36. Gupta Vinita, (2015) Clinicoepidomiological Study Of Vesiocobullous
Disorders In Pediatric Age Group. Sgt Medical College and Reseach
Institute Budh era, Gurgaon, Haryana, India : Indian Journal of Paediatric
Dermatology. Vol 16. January-march 2015.
37. Tur E, Brenner S: Diet and pemphigus. In pursuit of exogenous factors in
pemphigus and Fogo selvagem. Arch Dermatol 134:1406-1410, 1999
38. Thami GP, Kaur S, Kanwar AJ: Severe childhood pemphigus vulgaris
aggravated by enalapril. Dermatology 202:341, 2001
39. Bjarnason B, Flosadottir E: Childhood, neonatal, and stillborn pemphigus
vulgaris. Int J Dermatol 38:680-688, 1999
40. Lyde CB, Cox SE, Cruz PD Jr: Pemphigus erythematosus in a fiveyear-old
child. J Am Acad Dermatol 31:906-909, 1994
41. Lara-corales Irene, pope Elena (2010) A retrospective study of clinical,
histopathological and direct immunofluorescence spectrum of immunobullous
Disorders. Elsevier inc Canadaj.sder.2010.03.005
42. Hill ID, Dirks MH, Liptak GS, et al: Guideline for the diagnosis and
treatment of celiac disease in children: Recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 40:1-19, 2005
43. Weston WL, Morelli JG, Huff JC: Misdiagnosis, treatments, and outcomes in
the immunobullous diseases in children. Pediatr Dermatol 14:264-272, 1997
44. Wananukul S, Pongprasit P: Childhood pemphigus. Int J Dermatol 38:29-35,
1999
45. Edwards S, Wakelin SH, Wojnarowska F, et al: Bullous pemphigoid and
epidermolysis bullosa acquisita: Presentation, prognosis, and
immunopathology in 11 children. Pediatr Dermatol 15:184-190, 1998
46. Collier PM, Wojnarowska F: Chronic bullous disease of childhood, in Harper
J, Orange A, Prose N, (eds): Textbook of Pediatric Dermatology.Oxford,
Blackwell Scientific, 2000, pp 711-723
47. M.bickle Kelly, R. Roark Tom, HSU Sylvia (2002) Autoimmune Bullous
Dermatoses: A Review in AMERICAN FAMILY PHYSICIAN. Baylor College
of Medicine, Houston, Texas
48. Trueb RM, Didierjean L, Fellas A, et al: Childhood bullous pemphigoid:
Report of a case with characterization of the targeted antigens. J Am Acad
Dermatol 40:338-344, 1999

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
49. Waisbourd-Zinman O, Ben-Amitai D, Cohen AD, et al: Bullous pemphigoid
in infancy: Clinical and epidemiologic characteristics. J Am Acad Dermatol
58:41-48, 2008
50. Inauen P, Hunziker T, Gerber H, et al: Childhood epidermolysis bullosa
acquisita. Br J Dermatol 131:898-900, 1994
51. SB, Cho KH, Youn JL, et al: Epidermolysis bullosa acquisita in childhood—
A case mimicking chronic bullous dermatosis of childhood. Clin Exp
Dermatol 22:220-222, 1997
52. Kanwar AJ, Sandhu K, Handa S: Chronic bullous dermatosis of childhood in
north India. Pediatr Dermatol 21:610-612, 2004

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi
Nama : Muhammad Abror Affan
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 26 April 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. H. M. Joni G. Karya no 1, Medan
Telepon 087869157761

II. Riwayat Pendidikan


1. Tahun 1997-2001 : TK Darul Falah Langga Payung
2. Tahun 2001-2007 : SD Center 112246 Langga Payung
3. Tahun 2007-2010 : SMP Negeri-1 Rantau Selatan
4. Tahun 2010-2013 : SMA Negeri-3 Rantau Utara

III. Riwayat Kepanitiaan


1. Panitia Hari Gizi Nasional Pada Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 2

DATA INDUK PENELITIAN


NO. USIA JENIS DIAGNOSA T
REKA KELA A
M MIN H
MEDI U
S N

00.87.0 13 PERE PEMFIGOID 2


7.14 TAH MPUA BULOSA 0
UN N 1
3

00.86.9 11 LAKI- EPIDERMOLISIS 2


7.24 TAH LAKI BULOSA 0
UN 1
3

00.92.3 17 PERE PEMFIGOID 2


6.38 TAH MPUA BULOSA 0
UN N 1
4

00.79.6 2 PERE EPIDERMOLISIS 2


9.49 HARI MPUA BULOSA 0
N 1
1

00.87.9 16 PERE PEMFIGOID 2


9.88 TAH MPUA BULOSA 0
UN N 1

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
3

00.63.7 16 LAKI- PEMFIGUS 2


7.83 TAH LAKI 0
UN 1
5

00.63.7 16 LAKI- PEMFIGOID 2


7.83 TAH LAKI BULOSA 0
UN 1
5

00.50.7 4 PERE EPIDERMOLISIS 2


6.55 TAH MPUA BULOSA 0
UN N 1
2

00.51.5 11 PERE EPIDERMOLISIS 2


2.25 TAH MPUA BULOSA 0
UN N 1
2

00.60.4 6 PERE EPIDERMOLISIS 2


8.28 BUL MPUA BULOSA 0
AN N 1
4

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 3
ETICHAL CLEARANCE

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 4
SURAT IJIN PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera
Universitas Sumatera
Universitas Sumatera
Universitas Sumatera
Universitas Sumatera
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera

Anda mungkin juga menyukai