2015
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/2811
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
KARAKTERISTIK PENYAKIT BRONKIOLITIS DI DIVISI
RESPIROLOGI ANAK RSUP H. ADAM MALIK PADA TAHUN 2012-2014
Oleh:
NIA STEFANI TAMBUNAN
NIM : 120100230
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
Oleh:
NIA STEFANI TAMBUNAN
NIM : 120100230
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyelesaian penelitian ini, banyak bimbingan dan arahan
yang penulis peroleh dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
2. dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked.Ped, Sp.A, selaku dosen pembimbing
penulis, terima kasih atas waktu, perhatian, kesabaran serta masukan yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama masa pendidikan.
4. Kedua orang tua penulis Charles Tambunan dan Sami Rahayu, yang selalu
memberikan doa dan dukungan berupa moral maupun materi, yang selalu
memberi semangat dan arahan dalam bersikap selama proses
menyelesaikan penelitian ini.
5. Teman sekelompok bimbingan penelitian, Muhammad Yamin dan
Uthayadarshini atas kerjasama yang baik dalam proses bimbingan selama
ini.
6. Yang terkasih Salomo Sinaga untuk semangat, nasehat dan dukungannya.
7. Sahabat terbaik, Theresia Situmorang, Hans Simorangkir, Jessica Purba,
Christian L.Gaol, Daniel Tambunan, dan Gomedi yang selalu memberikan
penghiburan dan dukungan selama proses penyelesaian penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan kualitas penelitian ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan
manfaat kepada semua orang untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam dunia kesehatan dan kedokteran.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................. ii
ABSTRACT ............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR……. ..................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii
3.2.8. Tatalaksana............................................................... 28
3.2.9. Keadaan Sewaktu Pulang ......................................... 28
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berumur 3-6 bulan yang tidak
mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk.
Sebanyak 11,4% anak berumur dibawah 1 tahun dan 6% anak berumur 1-2
tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000
kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4.500 kematian setiap tahunnya.
Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi.
Insidens bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS.
Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara-
negara tropis (Zain, 2010).
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus (RSV),
60-90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenza tipe 1,2, dan
3, Influenza B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. Respiratory
Syncytial Virus adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya
penyebab yang dapat menimbulkan epidemik (Setiawati, Asih, & Makmuri,
2005).
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, umur
penderita dan adanya epidemik RSV di masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri
dari : (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan
fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing
(Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Terdapat berbagai faktor risiko terjadinya bronkiolitis pada anak,
diantaranya umur, jenis kelamin laki-laki, pemberian ASI tidak eksklusif, paparan
asap rokok, dan riwayat atopi merupakan faktor risiko yang signifikan.
Berdasarkan penelitian Kartasasmita et al., faktor risiko IRA di komunitas dan
didapatkan hasil faktor risiko IRA adalah sosial ekonomi rendah (Tamba, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Garcia et al. (2010) pada tahun 2002
sampai 2007 didapatkan 83% penderita bronkiolitis berusia ≤ 12 bulan dan
penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan persentase 57%
(Garcia et al., 2010).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.1.1. Infeksi Respiratorik Akut
Infeksi Respiratorik Akut (IRA) memiliki nama lain Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris
(ARI) Acute Respiratory Infections (Depkes RI, 2004).
Infeksi Respiratorik Akut (IRA) adalah penyakit saluran pernapasan akut
yang meliputi saluran pernapasan bagian atas seperti rhinitis, faringitis, dan otitis
serta saluran pernapasan bagian bawah seperti laringitis, bronkitis, bronkiolitis
dan pneumonia (Depkes RI, 2008). Pengertian akut adalah infeksi yang
berlangsung hingga 14 hari (Wantania, Naning, & Wahani, 2010).
2.1.2. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus yang ditandai oleh sesak
napas, wheezing, dan hiperinflasi paru. Penyakit bronkiolitis merupakan infeksi
respiratorik akut bagian bawah (IRA-B) yang sering pada bayi (Subanada et al.,
2009).
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar
terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,
substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada
akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular
Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil
dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari
proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta
spasme otot polos saluran napas (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena
resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan diameter saluran
napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas
bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran napas meningkat
pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi, tetapi karena radius saluran
respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan
hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara
yang terjebak diabsorbsi (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi
karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien.
Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri.
Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat sekama end-expiratory
lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya
baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit (Zain, 2010)
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag (Zain,
2010). Berikut ini gambar interaksi neuroinflamasi dan ‘neural remodeling’ pada
saluran jalan napas yang terinfeksi RSV.
Gambar 2.2. Interaksi neuroinflamasi dan ‘neural remodeling’ pada saluran jalan
napas yang terinfeksi RSV
Dikutip dari : Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005.
Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli
menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki (Zain, 2010).
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita bronkiolitis di
Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta
sebesar 1,44:1 dan secara statistik bermakna {RP 3,42 (IK95% 1,10;10,64,
p=0,034} (Subanada et al., 2009).
2.4.2. Umur
Umur sangat mempengaruhi terjadinya infeksi saluran napas. Infeksi yang
terjadi pada bayi dan anak akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek
dibandingkan orang dewasa. Hal ini disebabkan karena infeksi virus pada bayi
dan anak yang belum memperoleh kekebalan tubuh alamiah (Alsagaff, 2005).
Bronkiolitis paling sering terjadi pada umur 2-24 bulan, puncaknya pada
umur 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berumur di
bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun
(Zain, 2010). Pediatric Society of New Zealand (2005) menyatakan bahwa
bronkiolitis biasanya terjadi pada bayi berumur < 1 tahun. Puncak kejadian adalah
pada bayi berumur 3-6 bulan.
Bayi di bawah umur 6 bulan dengan infeksi RSV menghasilkan lebih
sedikit antibodi spesifik – RSV (IgG, IgM, dan IgA) daripada anak yang lebih tua,
yang dapat menjelaskan mengapa virus dapat ditemukan selama masa waktu yang
lebih lama dan mengapa penyakit lebih berat pada bayi yang lebih muda
(Hazinski, 2007).
2.4.4. Prematuritas
Prematuritas dikaitkan dengan perkembangan paru-paru yang belum
matang dan hal ini mengakibatkan berkurangnya fungsi paru selama masa kanak-
kanak. Hasil penelitian menunjukkan pola yang jelas antara penurunan umur
kehamilan dengan peningkatan risiko rawat inap di rumah sakit. Bahkan untuk
umur kehamilan 39 minggu akan meningkatkan risiko rawat inap sebesar 10%
dibandingkan mereka yang lahir pada umur kehamilan 40-42 minggu, dan risiko
akan meningkat lagi sebanyak 7% bila umur kehamilannya lebih muda
(Paranjothy et al., 2013).
2.5. Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi.
Paling sering terjadi pada umur 2-24 bulan, puncaknya pada umur 2-8 bulan.
Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berumur di bawah 2 tahun
dan 75% di antaranya terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun (Zain, 2010).
Orenstein (2012) menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi
laki-laki berumur 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di
lingkungan padat penduduk.
Sebanyak 11,4% anak berumur dibawah 1 tahun dan 6% anak berumur 1-2
tahun di AS pernah menderita bronkiolitis. Penyakit ini menyebaban 90.000 kasus
perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis
merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Insidens
bronkiolitis di negara berkembang hampir sama dengan di Amerika Serikat (AS).
Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di negara-negara
tropis (Zain, 2010).
Median lama perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi prematur dan
kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan
bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi dengan umur yang lebih muda. Hal itu
ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada bayi yang terpapar
asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau
yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi <34 minggu,
umur <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen <90%, laju respiratori >70 x/menit,
adanya ronki, dan riwayat displasia bronkopulmonar (bronchopulmonar
dysplasia, BPD) (Zain, 2010).
2.6.1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang
disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis,
merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan
nafsu makan (Zain, 2010).
Sianosis dapat terjadi dan paling jelas saat tidur, ketika dorongan terhadap
pernapasan menjadi tumpul. Hiperkapnia lazim pada bayi umur kurang dari 1
tahun, terutama bila mereka bergerak atau batuk. Sekresi nasofaring yang
bertambah dapat menyebabkan obstruksi jalan napas lebih lanjut dan memperberat
obstruksi jalan napas kecil. Apnea, baik sentral maupun obstruktif, merupakan
masalah yang lazim ada pada bayi berumur kurang dari 6 bulan (Hazinski, 2007).
ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula
ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret
pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-posterior (Zain, 2010).
yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.
Penderita risiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berumur kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi
suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian
antivirus (Setiawati, Asih, Makmuri, 2005).
Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara
rutin nebulasi beta 2 agonis juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis.
Steroid sistemik diberikan pada kasus–kasus berat. Antibiotika diberikan bilamana
keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan
bakteri (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo:
A. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita
B. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse
oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda
gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
C. Bronkodilator: nebulasi beta 2 agonis : salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis,
ditambahkan dengan cairan normal salin, diberikan 4 – 6 kali per-hari
D. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV
E. Antibiotik : penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi
sekunder
F. Digitalisasi : bila ada tanda payah jantung (Setiawati, Asih, Makmuri,
2005).
saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan
di rumah sakit (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
2.7.3. Antibiotik
Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan
leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur
darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotik yang
memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan
pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam
mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan
menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika (Setiawati, Asih, &
Makmuri, 2005).
Tabel 2.2. Kriteria terapi ribavirin untuk infeksi berat RSV akut pada bayi
dan anak – anak yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics
(1996)
2.7.5. Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama
diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering
diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid
(Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan
mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis,
sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis -
adrenergik (Zain, 2010).
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik
selektif adalah:
1. Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa,
membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan
sedikit efek pada ventilation-perfusion matching.
2. Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.
2.7.6. Kortikosteroid
Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas
kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Richter (1998) melakukan penelitian
nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan
sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi
gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh
et al. (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang dirawat
jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB
mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis (Setiawati, Asih, & Makmuri,
2005).
Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada
bronkiolitis lebih efektif daripada yang dilaporkan sebelumnya, yaitu
kortikosteroid menyebabkan penurunan skor gejala klinis dan lamanya perawatan
di rumah sakit yang bermakna secara statistik. Sangat mungkin keuntungan
kortikosteroid bergantung pada beratnya penyakit saat dimulainya pengobatan
(Zain, 2010).
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon,
metilprednison, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan
konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dalam
ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3
mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian
adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang
dilaporkan (Zain, 2010). Berikut ini tabel yang berisi tentang terapi bronkiolitis
rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ).
2.8. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap
rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya
dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita
ISPA (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).
Pendekatan profilaksis pada populasi risiko tinggi adalah meningkatkan
(augmentation) antibodi yang menetralisasi (neutralizing antibody) protein F dan
G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi ibu. Pada manumur, efek
immunoglobulin yang mengandung RSV neutralizing antibody titer tinggi atau
antibodi monklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila
pada bayi prematur atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV
hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang disebut
dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskuler tiap hari, lama
perawatan RSV akan berkurang secara bermakna (Zain, 2010).
Sebaiknya profilaksis hanya diberikan pada bayi dengan penyakit paru
kronis atau bayi prematur yang mempunyai banyak faktor risiko untuk dirawat di
rumah sakit. Rodriguez meneliti pemberian RSVIG (RSV immunoglobulin)
dengan dosis 1500 mg/kgBB, dibandingkan dengan infus plasebo albumin.
Hasilnya menunjukkan bahwa bayi dengan penyakit lebih berat mempunyai 1,6
hari perawatan yang lebih singkat dan 2,7 hari perawatan di ICU yang lebih cepat
(Zain, 2010).
Keputusan menggunakan palivizumab harus mempertimbangkan
efektivitas, keamanan, serta individu atau populasi risiko tinggi untuk menderita
RSV berat (Zain, 2010). Berikut ini gambar algoritma tatalaksana bronkiolitis.
2.9. Komplikasi
Komplikasi utama adalah infeksi bakteri sekunder. Pneumotoraks dan
emfisema mediastinum pernah dilaporkan. Gagal napas dapat terjadi (Kempe,
Silver & O’Brien,1980).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Karakteristik :
3.2.2. Umur
Umur adalah umur penderita sesuai dengan yang tertulis di dalam kartu
status yang ada di rekam medis sewaktu berobat di RSUP H. Adam Malik.
Cara Ukur : Analisis Rekam Medis
Alat Ukur : Rekam Medis
Hasil Ukur :
1. 0 - <6 bulan
2. 6 - <12 bulan
3. 12 - <18 bulan
4. 18 - <24 bulan
5. ≥24 bulan
Skala Ukur : Ordinal
3.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana adalah tindakan pengobatan yang diberikan pada pasien
bronkiolitis selama dirawat di rumah sakit sesuai yang tercatat pada data rekam
medis.
Cara Ukur : Analisis Rekam Medis
Alat Ukur : Rekam Medis
Hasil Ukur :
1. Terapi Oksigen
2. Terapi Cairan
3. Antibiotik
4. Antivirus
5. Bronkodilator
6. Kortikosteroid
Skala Ukur : Nominal
BAB 4
METODE PENELITIAN
Karakteristik
1. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.
Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan data dilengkapi dengan
melihat kembali rekam medis.
2. Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
komputer.
3. Entry
Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program
komputer (SPSS).
4. Cleaning
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
5. Saving
Penyimpanan data untuk siap dianalisis.
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari tabel 5.2., berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa penderita
bronkiolitis terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 26 kasus (55,3%).
Penderita berjenis kelamin perempuan sebanyak 21 kasus (44,7%).
Dari tabel 5.3., berdasarkan daerah tempat tinggal, pasien yang berasal
dari luar Medan adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 34 kasus (72,3%).
Sedangkan pasien yang berasal dari Medan sebanyak 13 kasus (27,7%).
Dari tabel 5.4., berdasarkan status gizi, dapat dilihat bahwa penderita
bronkiolitis dengan status gizi buruk adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 25
kasus (53,2%).
Ya Tidak
No Gejala Klinis
f % f %
1. Demam 40 85,1 7 14,9
2. Pilek 7 14,9 40 85,1
3. Batuk 40 85,1 7 14,9
4. Sesak Napas 47 100 0 0
5. Wheezing 11 23,4 36 76,6
6. Sianosis 11 23,4 36 76,6
Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa gejala yang paling banyak
dikeluhkan pasien adalah sesak napas (100%), diikuti batuk (85,1%) dan demam
(85,1%), wheezing (23,4%) dan sianosis (23,4%) dan pilek (14,9%).
Diberikan
No Tatalaksana Ya Tidak
f % f %
1. Terapi Oksigen 42 89,4 5 10,6
2. Terapi Cairan 44 93,6 3 6,4
3. Antibiotik 45 95,7 2 4,3
4. Antivirus 0 0 47 100
5. Bronkodilator 20 42,6 27 57,4
6. Kortikosteroid 8 17,0 39 83
Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa keadaan sewaktu pulang pasien
bronkiolitis paling banyak adalah dalam keadaan sembuh yaitu sebanyak 24
pasien (51,1%), pulang atas permintaan sendiri sebanyak 16 pasien (34,0%) dan
pasien pulang dalam keadaan meninggal sebanyak 7 orang (14,9%).
5.2. Pembahasan
Karakteristik bronkiolitis berdasarkan penggolongan umur pada tabel 5.1
dapat dilihat bahwa penderita bronkiolitis terbanyak pada penelitian ini berada
pada kelompok umur 0 - <6 bulan yaitu sebanyak 34 kasus (72,3%). Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU
Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003 didapatkan lebih dari 50%
penderita bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah (Setiawati, Asih, Makmuri, 2005).
Pediatric Society of New Zealand (2005) juga menyatakan bahwa bronkiolitis
biasanya terjadi pada bayi berumur <1 tahun. Puncak kejadian adalah pada bayi
berumur 3 – 6 bulan. Hal ini dikarenakan bayi di bawah umur 6 bulan dengan
infeksi RSV menghasilkan lebih sedikit antibodi spesifik – RSV (IgG, IgM, dan
IgA) daripada anak yang lebih tua. (Hazinski, 2007).
Karakteristik bronkiolitis berdasarkan jenis kelamin pada tabel 5.2 dapat
dilihat bahwa penderita bronkiolitis terbanyak pada penelitian ini adalah laki-laki
yaitu sebanyak 26 kasus (55,3%). Menurut penelitian di Amerika Serikat
mengenai gambaran epidemiologi penyakit bronkiolitis didapatkan hasil bahwa
penderita bronkiolitis lebih banyak pada anak laki-laki (51,3%) (Koehoorn et al.,
2008). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta didapatkan hasil bahwa
perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita bronkiolitis sebesar
1,44:1 dan secara statistik bermakna {RP 3,42 (IK95% 1,10;10,64, p=0,034}
(Subanada et al., 2009). Bronkiolitis dapat terjadi pada anak laki-laki maupun
perempuan, namun menurut beberapa kepustakaan bronkiolitis lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki. Hal ini dihubungkan dengan diameter saluran
respiratorik yang relatif lebih sempit pada anak laki-laki dibanding perempuan
(Watts & Goodman, 2007 dalam Subanada et al., 2009).
Berdasarkan daerah tempat tinggal kasus terbanyak dijumpai pada
penelitian ini berasal dari luar Medan. Belum ada penelitian sebelumnya yang
berkaitan dengan hal ini. Namun hal ini bisa saja terjadi mengingat RSUP H.
Adam Malik merupakan rumah sakit pusat rujukan wilayah Pembangunan A,
yang meliputi beberapa kota diluar Medan seperti kota di Nanggroe Aceh
Darussalam, kota-kota di Sumatera Barat dan Riau.
Karakteristik bronkiolitis berdasarkan status gizi pada tabel 5.4 dapat
dilihat bahwa penderita bronkiolitis paling banyak berada pada kondisi gizi buruk
yaitu sebanyak 25 kasus (53,2%). Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh
(2006), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara
penyakit ISPA dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa anak balita
yang menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak
baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA (p =
0.038). Anak-anak dengan keadaan gizi kurang lebih rentan terkena penyakit
bronkiolitis. Hal ini dikarenakan keadaan gizi yang kurang dapat melemahkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit (Gulo, 2008). Defisiensi nutrisi umumnya
menurunkan kemampuan untuk bertahan terhadap stres akibat infeksi (Hermawan,
2006).
Gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah sesak napas
(100%), diikuti batuk (85,1%) dan demam (85,1%), wheezing (23,4%) dan
sianosis (23,4%) dan pilek (14,9%). Zain (2010) menyebutkan gejala awal
bronkiolitis berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan,
batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai
dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih
(grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan napsu
makan.
Rerata lama rawatan pasien bronkiolitis pada penelitian ini adalah 8,26
hari, dengan lama rawatan paling lama adalah 49 hari dan lama rawatan paling
singkat adalah 1 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Swingler (2000) menyatakan
bahwa rerata lama rawatan pasien bronkiolitis adalah 12 hari; 39% bayi masih
memiliki gejala setelah 2 minggu, 18% masih memiliki gejala setelah 3 minggu,
dan 9% masih memiliki gejala setelah 4 minggu. Batuk adalah gejala persisten
yang paling umum, diikuti oleh wheezing dan demam. Usia, jenis kelamin, berat
badan, dan frekuensi pernapasan tidak berhubungan dengan lama rawatan.
Bradley et al. (2004) dalam Zain (2010) menyebutkan bahwa median lama
perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi premature dan kelainan bawaan
seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Penyakit akan lebih berat pada bayi muda.
Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada bayi yang
terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya
bronkiolitis atau yang menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi
<34 minggu, usia <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen <90%, laju respiratori >70
x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia bronkopulmoner (bronchopulmonary
dysplasia, BPD).
Pengobatan bronkiolitis yang paling banyak diberikan pada penelitian ini
adalah antibiotik yaitu sebesar 95,7% hal ini kemungkinan besar disebabkan
adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mengingat RSUP H. Adam Malik
merupakan rumah sakit rujukan sehingga pasien-pasien yang datang banyak yang
sudah mengalami komplikasi. Sebagaimana telah dibahas di atas penyebab
tersering bronkiolitis adalah virus terutama RSV, sehingga sebenarnya tidak pada
tempatnya pemberian antibiotik pada bronkiolitis. Di negara maju untuk
membedakan infeksi karena RSV atau bakteri dapat dilakukan dengan cepat yaitu
uji serologis terhadap RSV dan pemeriksaan CRP (Orenstein, 2012). Di
Indonesia, penggunaan uji serologis terhadap RSV belum rutin dikerjakan
sehingga kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumonia bakteri. Van Woensel
et al. (2003) dalam Supriyatno (2006) menyatakan masih banyaknya penggunaan
antibiotik pada bronkiolitis yang sebenarnya dapat dihindari. Namun karena
sulitnya membedakan dengan bakteri terutama superinfeksi oleh bakteri, maka
masih digunakan antibiotik, meskipun sebenarnya kurang tepat. Tatalaksana yang
juga sering digunakan pada penelitian ini adalah terapi cairan (93,6%) dan terapi
oksigen (89,4%). Selain penggunaan obat-obatan, tatalaksana secara suportif
sangat dibutuhkan seperti pemberian oksigen, hidrasi yang cukup, koreksi asam-
basa dan elektrolit, serta nutrisi yang memadai. Tanpa memperhatikan terapi
suportif, pemberian medikamentosa menjadi kurang bermanfaat (Supriyatno,
2006). Penggunaan kortikosteroid sistemik masih menjadikan perdebatan yang
berkepanjangan. Salah satu penelitian meta-analisis mengambil kesimpulan peran
kortikosteroid sistemik pada bronkiolitis adalah bermanfaat dalam hal perbaikan
klinis, lama rawat, dan lamanya gejala menghilang. Pada penelitian tersebut
dianjurkan pemberian kortikosteroid pada awal penyakit. Penelitian lain
menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada kasus infeksi respiratorik
bawah akut yang memerlukan ventilator kurang bermanfaat (Supriyatno, 2006).
Pada penelitian ini penggunaan kortikosteroid diberikan pada 17,0% kasus.
Karakteristik bronkiolitis berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada
penelitian ini paling banyak adalah dalam keadaan sembuh yaitu sebanyak 24
pasien (51,1%), pulang atas permintaan sendiri sebanyak 16 pasien (34,0%) dan
pasien pulang dalam keadaan meninggal sebanyak 7 orang (14,9%). Angka
fatalitas kasus bronkiolitis di bawah 1% dan angka ini dapat dikatakan rendah,
sehingga dengan tatalaksana yang adekuat pasien dapat pulang dalam keadaan
sembuh (Orenstein, 2012).
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang
dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penderita bronkiolitis terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki, pada
kelompok umur 0 - <6 dan berasal dari luar Medan.
2. Berdasarakan status gizi, pasien dengan gizi buruk adalah yang
terbanyak.
3. Gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah sesak napas.
4. Rerata lama rawatan pasien bronkiolitis di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan adalah 8,26 hari.
5. Pengobatan yang sering diberikan adalah pemberian antibiotik, hal ini
kemungkinan besar disebabkan adanya infeksi sekunder oleh bakteri
dan mengingat RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit rujukan
sehingga pasien-pasien yang datang banyak yang sudah mengalami
komplikasi.
6. Sebanyak 51,1% penderita bronkiolitis pulang dalam keadaan
sembuh.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian yang telah dilakukan maka
dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada pihak rumah sakit supaya lebih melengkapi data
dalam rekam medis seperti hasil pemeriksaan dan follow up yang
dilakukan dan lebih spesifik dalam pengklasifikasian serta mencatat
informasi – informasi penting lainnya, sehingga memudahkan dalam
pengolahan data.
2. Bagi penelitian selanjutnya agar lebih memperdalam cakupan
penelitiannya khususnya dalam memperluas variabel yang akan
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H., & Mukty A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press, Surabaya : 110
Dahlan, Zul, 2009. Pneumonia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta
Depkes RI. 2004. Angka Kematian Bayi Masih Tinggi. ISPA Pembunuh Utama,
Jakarta: PPM & PL
Depkes RI, 2008. Pengendalian ISPA, Jakarta : 2197
Garcia, Carla G. et al., 2010. Risk Factors in Children Hospitalized With RSV
Bronchiolits Versus Non-RSV Bronchiolitis. American Academy of
Pediatrics. Available from :
http://pediatrics.aappublications.org/content/126/6/e1453.full.html
[Accesed, Maret 2015]
Gulo, R.N, 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun 2008. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16377 [Accesed, 20 Mei
2015]
Hazinski, Thomas A., 2007. Bronkiolitis Infeksiosa. Dalam : Appleton & Lange.
Buku Ajar Pediatri Rudolph, Ed. 20, Vol. 3. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta : 1796-1797
Hermawan, H.A.G., 2006. Perspektif Masa Depan Imunologi – Infeksi.
Universitas Sebelas Maret Press : 110
Kempe C.H., Silver H.K., & O’Brien D., 1980. Acute Bronchiolitis. Current
Pediatric Diagnosis & Treatment. Lange Medical Publications, California
: 287-288
Koehoorn, Mieke et al., 2008. Descriptive Epidemiological Features of
Bronchiolitis in a Population-Based Cohort. American Academy of
Pediatrics. Available from :
http://pediatrics.aappublications.org/content/122/6/1196.full.html
[Accesed, Maret 2015]
Mairusnita., 2007. Karakteristik Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) pada Balita yang Berobat ke Badan Pelayanan Kesehatan Rumah
Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa Tahun 2006. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14737 [Accesed, 20 Mei
2015]
National Institute of Environmental Health Sciences, 2011. Mechanisms of
Respiratory Syncytial Virus (RSV) Infection and Disease Severity. United
States : National Institutes of Health - Department of Health and Human
Services. Available from :
https://www.niehs.nih.gov/research/atniehs/labs/iidl/pi/enviro-
gen/studies/rsv/index.cfm [Accesed, 20 Mei 2015]
Orenstein, David M., 2012. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, & Arvin.
Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed. 15, Vol. 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta : 1484-1486
Paediatric Society of New Zealand, 2005. Wheeze and Chest Infection in Infants
Under 1 Year. Available from : www.paediatrics.org.nz [Accesed, 6 April
2015]
Paranjothy, Shantini et al., 2013. Gestational Age, Birth Weight, and Risk of
Respiratory Hospital Admission in Childhood. Department of Child
Health, School of Medicine, Cardiff University, United Kingdom
Partogi, Rynaldo, 2014. Bronkiolitis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Saftari, Dewi, 2009. Hubungan Antara Faktor Usia dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Bawah pada Anak Usia 1 Bulan
– 5 Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sastroasmoro S., & Ismael S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Ed. 4. Sagung Seto, Jakarta : 130
Setiawati L., Asih R., & Makmuri, 2005. Tata Laksana Bronkiolitis. Divisi
Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya
Subanada, Ida Bagus et al., 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Bronkiolitis Akut. Divisi Respirologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar
Supriyatno, Bambang, 2006. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Divisi
Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia - RSCM, Jakarta
Suradi, Rulina, 2001. Spesifitas Biologis Air Susu Ibu. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, Jakarta
Swingler, GH et al., 2000. Duration Of Illness In Ambulatory Children Diagnosed
With Bronchiolitis. Arch Pediatr Adolesc Med. Available from :
http://www.jwatch.org/jw200010270000006/2000/10/27/recovery-time-
bronchiolitis [Accesed, November 2015]
Tamba, Rony A.P., 2009. Faktor Risiko Infeksi Respiratorik Akut Bawah pada
Anak di RSUP Dr Kariadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang : 20-22
Wantania J.M., Naning R., & Wahani A., 2010. Infeksi Respiratori Akut. Dalam :
Rahajoe N.N., Supriyanto B., & Setyanto D.B. Buku Ajar Respirologi
Anak, Ed. 1. Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 268
Zain, Magdalena S., 2010. Bronkiolitis. Dalam : Rahajoe N.N., Supriyanto B., &
Setyanto D.B. Buku Ajar Respirologi Anak, Ed. 1. Badan Penerbit IDAI,
Jakarta : 333-347
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Seksi Dana Perayaan Paskah FK USU 2012
2. Sekretaris Perayaan Ibadah Senior Junior FK USU 2013
3. Anggota Seksi Dekorasi Medical Humanity Day 2013
4. Anggota Seksi Acara Scientific Research Festival 2014
DATA INDUK
17 2 bln Lk Medan 4.6kg 57cm normal Sesak, Demam, Batuk 1 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
18 10 bln Lk Medan 8.5kg 73cm normal Sesak, Demam, Batuk, 3 Cairan, Ab Sembuh
Wheezing, Sianosis
19 3 th Pr Deli Serdang 8kg 80cm buruk Sesak, Demam, Batuk 3 Cairan, Ab, Kortikosteroid Meninggal
20 1 bln Lk Deli Serdang 2kg 46cm buruk Sesak, Sianosis 3 O2, Cairan, Ab Meninggal
21 1 bln Lk Langkat 5kg 60cm normal Sesak, Demam, Batuk, 1 Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
Pilek
22 1 bln Lk Dairi 2.5kg 48cm buruk Sesak, Demam, Batuk 1 Cairan, Ab PAPS
23 3 bln Lk Langkat 6.3kg 53cm normal Sesak, Demam, Batuk 4 O2, Cairan, Ab Sembuh
24 8 bln Pr Deli Serdang 8kg 72cm normal Sesak, Demam, Batuk, 4 O2, Cairan, Ab, Kortikosteroid Sembuh
Wheezing, Pilek
25 1 bln Pr Langkat 4kg 55m normal Sesak, Demam, Batuk, 4 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
Sianosis
26 5 bln Lk Medan 3.7kg 52cm buruk Sesak, Batuk, Sianosis 31 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
27 7 bln Lk Medan 4kg 59cm buruk Sesak, Demam, Batuk, 9 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
Sianosis
28 4 bln Pr Langkat 5.4kg 59cm normal Sesak, Demam, Batuk 5 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
29 3 bln Lk Langkat 6.4kg 64cm normal Sesak, Batuk 4 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
30 5 bln Lk Dairi 5.3kg 62cm buruk Sesak, Demam, Batuk 4 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator PAPS
31 2 bln Pr Medan 2.7kg 42cm buruk Sesak, Demam, Batuk, 15 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
Wheezing
32 5 bln Pr Medan 5.5kg 60cm normal Sesak, Demam, Batuk, 5 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
Pilek
33 1 bln Pr Deli Serdang 3kg 52cm kurang Sesak, Batuk 8 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
34 1 th Lk Dairi 5.7kg 66cm buruk Sesak, Demam, Batuk, 9 O2, Cairan, Ab PAPS
Wheezing
35 5 bln Lk Labuhan Batu 4.2kg 60cm buruk Sesak, Demam, Batuk 1 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Meninggal
36 6 bl Pr Medan 6.4kg 60cm normal Sesak, Demam, Batuk 11 O2, Cairan, Ab Sembuh
37 1 th Lk Karo 10kg 84cm normal Sesak, Batuk, Pilek 8 O2, Cairan, Ab, Bronkodilator Sembuh
38 4 bln Lk Asahan 3.7kg 54cm buruk Sesak, Demam, Batuk 12 O2, Cairan, Ab Sembuh
39 2 bln Pr Pakpak Barat 4.6kg 56cm normal Sesak, Demam, Batuk 12 O2, Cairan, Ab, Kortikosteroid PAPS
40 9 bln Pr Medan 5kg 65cm buruk Sesak, Demam, Batuk 28 O2, Cairan, Ab, Kortikosteroid PAPS
41 1 th Lk Deli Serdang 7kg 68cm kurang Sesak, Batuk, 19 O2, Cairan Sembuh
Wheezing, Sianosis
42 3 bln Lk Deli Serdang 3.5kg 52cm buruk Sesak, Demam, Batuk 7 O2, Cairan, Ab Sembuh
43 1 bln Pr Kota Binjai 1.5kg 39cm buruk Sesak, Demam, Batuk, 1 O2, Ab PAPS
Sianosis
44 6 bln Pr Dairi 6.9kg 66cm normal Sesak, Demam, Batuk, 6 O2, Cairan, Bronkodilator Sembuh
Pilek
45 5 bln Lk Dairi 7.3kg 64cm normal Sesak, Demam, Batuk 5 O2, Cairan, Ab, Kortikosteroid Sembuh
46 2 bln Lk Medan 3.6kg 59cm buruk Sesak, Demam, Batuk, 11 O2, Ab PAPS
Wheezing
47 1 th Pr Bener Meriah 6.3kg 58cm kurang Sesak, Demam 4 Cairan, Ab Sembuh
Jenis Kelamin
Tempat Tinggal
Status Gizi
Demam
Pilek
Batuk
Sesak Napas
Wheezing
Sianosis
Lama Rawatan
Terapi Oksigen
Terapi Cairan
Antibiotik
Antivirus
Bronkodilator
Kortikosteroid