Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Filsafat Moral (Etika) dan Filsafat Estetika”

OLEH:
Dinda Emilia Triyanti
21147032

Dosen Pemimbing:
Prof Dr Nurhizrah Gistituati, M.Ed, Ed.D
Prof Dr Sufyarma Marsidin, M.Pd

MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar belakang..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A. Pengertian Etika.......................................................................................................
B. Pengertian Moral......................................................................................................
C. Pengertian Estetika..................................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
A. Penutup....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di
Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya
kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan
kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu
ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu :
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang
oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal
usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk
memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus.
Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap.
Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap
arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus
Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama
(Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti
sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”.
Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan
hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin.
Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka
kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral
bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak
baik.
Posisi estetika tak berbeda dari atau tak perlu dibeda-bedakan dengan
wilayahwilayah studi filsafat yang lainnya, entah itu epistemology, etika dan sebagainya.
Demikian juga dengan cabang-cabang keilmuan yang lain. Ia tidak lebih utama, tidak
lebih superior dari yang lain, biasa-biasa saja. Masalahnya adalah tidak ada satu ilmu
pun, termasuk estetika pada khususnya dan filsafat pada umumnya, yang mampu
menjadi ilmu dengan posisi “tersendiri”, seberapa tinggi atau rendah pun status yang
diberikan oleh komunitas akademik terhadap keberadaan ilmu tersebut. Tidak ada satu
ilmu yang “tersendiri”, yang posisinya terisolasi dari ilmu-ilmu yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengetian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani  ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa,
padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam
bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya
istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada
juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika. Menurut kaharu dan b.
Uno (2004:204) bahwa “ nilai itu sungguh sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan
efektif didalam masyarakat. Nilai-nilai itu sungguh sungguh satu realita dalam arti bahwa
ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu
atau besifat khayali”.
Secara istilah etika memunyai tiga arti:  pertama, nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam,
etika suku Indoan.  Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang
yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi
bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan
filsafat moral. Dalam etika Aristoteles telah disebutkan, bahwa di dalamnya memuat.
a. Kebahahagiaan sebagai tujuan.
b. Kebahagiaan menurut isinya.
c. Ajaran tentang keutamaan dan ini terdiri dari : Keutamaan moral,  Keutamaan
intelektual, Kehidupan ideal
Dari berbagai bentuk perbuatan manusia ini maka, yang menjadi persoalan etika
adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan iktiar dan
sengaja , dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat,. Inilah yang dapat
kita beri hokum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada
dengan kehendak tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Adapun apa yang
timbul bukan dengan kehendak, dan dapat dijaga sebelumya maka ia bukan pokok dari
persoalan etika.
Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette,
yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket
menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang
perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri
maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada
kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika
menyangkut segi batiniah. Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang
universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak
ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus
dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah
(terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang
mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian
filsafat praktis (practical philosophy). Etika dimulai bila manusia merefleksikan
unsurunsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan
kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat
orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika . Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam
melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang
meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia
1. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya
meliputi:
a. Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,
b. Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
c. Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
d. Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
e. Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
f. Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera
bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh
konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai
kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada
dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia
selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk
selama-lamanya di akhirat.
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan
untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik
atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia
memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah
filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)
2. Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat
Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu
menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat
tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik
atau buruk, tetapi tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila
di pagi hari saya menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri,
perbuatan itu tidak mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya,
sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu baik dari sudut efisiensi atau
lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak
lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak
mempunyai relevansi etika.
Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai
perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa
ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan
perbuatan baik. Etika filsafat merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak
khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika
sebagai cabang filsafat sebenarnya yang membedakan manusia daripada makhluk
Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib pada derajat di atas
mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika
sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara
mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika
membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta
sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan
bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak. Tindakan manusia
ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil
sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai
kesadaran moral yang otonom. Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam
etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
3. Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang
dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam
pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara
lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis
tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik
atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas
bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga
membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal
sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani
kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang
mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak
merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam
pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis,
karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu
apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari
observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum
ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada
fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi
gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret,
kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di
situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa
pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku
yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme
Etis. Menurut sokrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan
melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada
pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
B. Pengertian Moral
Moral atau  "ethos"  seseorang atau sekelompok orang adalah bukan hanya apa yang
dilakukan oleh orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi
pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik,
mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau
perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan
atau pandangan hidup orang. Dalam penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat
dimaknakan sebagai:
1. Sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran tentang kebaikan atau
keburukan watak atau kelakuan.
2. Sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun kelakuan yang   baik. 
3. Sesuatu yang timbul dari hati nurani.
4. Hal yang punya dampak kejiwaan bukan keragaan.
5. Hal yang didasarkan atas kelayakan daripada bukti.
6. Prinsip yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah cerita atau kejadian.
Beberapa moral menurut para ahli adalah sebagai berikut;
Zainuddin syaifullah
Moral ialah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan
norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat
Sonny Karef
Moral menjadi tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik
buruknya tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat
atau sebagai orang dengan jabatan tertentu atau profesi tertentu.
Imam Sukardi
Moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran - ukuran tindakan
yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
C. Pengertian Estetika
Estetika atau yang sering didengar sebuah keindahan mempunyai banyak makna dan
arti, setiap orang mempunyai pengertian yang berbeda antara satu dan yang lainnya
mengenai arti dan makna estetika. Sebab, setiap orang mempunyai penilaian dan kriteria
keindahan yang berbeda-beda. Berikut pengertian estetika dan lingkupnya dapat
dicermati di bawah ini :
1. Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).
2. Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan
kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia
dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Mater Ames, Colliers Encyclopedia,
Vol. 1).
3. Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga keburukan (Jerome Stolnitz,
Encylopedia of Philoshopy, Vol. 1).
4. stetika adalah suati ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (A. A. Djelantik,
Estetika Suatu Pengantar, 1999).
5. Estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral
suatu karya seni (William Haverson, dalam Estetika Terapan, 1989).
6. Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan kaya
estetis (Jhon Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989).
7. Estetika adalah fisafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan estetik dan
artisrtik yang sejalan dengnan zaman (Agus Sachari, Estetika Terapan, 1989).
8. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsfat
seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang disebut seni
(Jakob Sumarjo, Filsafat Seni, 2000).

1. Sejarah Perkembangan Estetika


sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika
di Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah
dibahas secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam
lingkungan Filsafat Barat.  Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran
estetika. Secara garis besarnya, tingkatan/tahapan periodisasi estetika disusun dalam
delapan periode, yaitu:
a. Periode  Klasik (dogmatik)
b. Periode Skolastik
c. Periode Renaisance
d. Periode Aufklarung
e. Periode Idealis
f. Periode Romantik
g. Periode Positifistik
h. Periode Kontemporer
2. Nilai Estetika
Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai
salah satu jenis nlai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilainilai yang
lain. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian
keindahan disebut nilai estetis.
Pada prinsipnya masalah estetika selalu bertumpu pada dua hal, yaitu keindahan
dan seni,tetapi dari kedua hal tersebut berkaitan dengan masalah nilai, pengalaman
estetis dan pencipta seni (seniman). Keindahan dan seni merupakan dua hal yang
saling berhubungan. Salah satu bentuk perwujudan keindahan adalah dalam bentuk
karya seni.Bagaimana hubungan keindahan dengan seni, telah dijawab oleh para
filsuf sepanjang zaman. Beberapa ahli berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak
terpisahkan. Sedangkan yang lainnya berpendapat seni tidak selalu harus indah atau
bertujuan untuk keindahan. Pendapat bahwa seni tidak terpisahkan dengan keindahan
terutama oleh Baumgarten sebagai pelopor ilmu estetika. Menurut Baumgarten,
tujuan dari keindahan untuk menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi
keindahan tertinggi tercermin pada alam, maka tujuan seni adalah keindahan dan
mencontoh alam.
3. Pengalaman Estetika
Pengalaman estetika adalah tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai
estetis. Hal ini merupakan persoalan psikologis sehingga pendekatan penelaahan
menggunakan metode psikologi. Ada tiga pengertian yang dapat dirangkum daripara
ahli, yaitu :
a. Pengalaman estetis terjadi karena adanya penyeimbangan antara dorongan
dorongan hati dalam menikmati karya seni.
b. Pengalaman estetis adalah suatu keselarasan dinamis dari perenungan yang
menyenangkan, menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap
karya seni yang diamatinya atau terhadap suatu objek yang dihayatinya,sehingga
tidak merasa ada dirinya sendiri.Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan
pengalaman mistis.
c. Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri
tanpa berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan
(disinterested) dari pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah
pencerapan itu sendiri dan merupakan nilai intrinsik.
John Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap demi
pencerapan (perceive for perceiving's) atau juga pencerapan demi untuk pencerapan
itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan suatu maksud yang
lebih jauh (The Liang Gie, 1976).
4. Peran Estetika
Sebagai pemikiran dasar untuk menjadi pribadi yang tetap mengacu atau
melihat nilai-nilai keindahan sebagai anutan dalam bertingkah laku dan
berpenampilan, sehingga dalam pergaulan bermasyarakat dapat diterima dan dilihat
baik contohnya Keindahan susunan bunyi-bunyi dan kata-kata dalam karya sastra,
misalnya, mampu menimbulkan irama yang merdu, nikmat didengar, lancar
diucapkan, menarik dan penuh pesona untuk didendangkan. Nilai estetis itu juga
mampu memberi hiburan,  kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika
karya sastra dibaca atau didengarkan ataupun diresapinya.
5. Fungsi Estetika
Mengembangkan estetika dan membangun negara untuk menuju ke peradaban
masyarakat madani yang lebih unggul dan bermartabat. Membangun negara dan
bangsa tidak hanya terbatas pada segi fisik, seperti pembangunan infrastruktur jalan,
jembatan, waduk, aliran sungai, gedung-gedung perkantoran, dan perumahan-
perumahan. Sekiranya perlu juga membangun karakter bangsa dari segi mental
spiritual agar masa depan bangsa dan negara menjadi lebih kokoh, lebih bermartabat,
dan lebih beradab.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dalam skema besar filsafat berisi logika, etika dan estetika. Logika adalah bagian
ilmu filsafat yang mempelajari kesahihan premis-premis secara benar dan tepat sesuai
aturan-aturan logis matematis. Etika merupakan bagian filsafat yang membicarakan
problem nilai-nilai dalam kaitanya dengan baik atau buruknya tindakan manusia secara
individu maupun dalam masyarakat. Sementara estetika sering diidentikkan dengan
filsafat seni yang dalam pengkajiannya diutamakan membahas dimensi keindahan dan
nilai rasa baik dalam karya seni, seni itu sendiri, maupun pemikiranpemikiran tentang
seni dan karya seni.
1. Etika berasal dari bahasa Yunani  ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa,
padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir.
2. Moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit
adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral
manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
3. Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu
yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang
bisa merasakannya.
 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.


Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Hadiwijono, Harun. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius.
Harun Hadiwijono. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius. The Liang Gie.
1999. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Hamersma, Harry, 1981, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Kaharu, Usman dan Hamzah b. Uno. 2004  filsafat ilmu (suatu pengantar
pemikiran) gorontalo: BMT nurul jannah.
Keraf, A Sonny dan Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan, sebuah Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Kanisius.
Koento Wibisono Siswomihardjo. 1996.  Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme
Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Melsen, 1985, Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Erlangga. Drs. Kaelan, M.S. 1998.  Filsafat
Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana. Ihsan, fuad.
2010. Filsafat ilmu. Jakarta: rineka cipta.
M. Thoyibi. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: MUP Press.
Peursen, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, sebuah pengantar filsafat ilmu, Jakarta:
Gramedia.
Suryasumantri, Yuyun S. 2001.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Sudarminta, J., 2002, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai