Anda di halaman 1dari 9

Bentuk-Bentuk Ancaman Disintegrasi Bangsa Indonesia

Artikel ini membahas tentang bentuk-bentuk, latar belakang, dan faktor penyebab terjadinya
disintegrasi bangsa di Indonesia.

Sesuai dengan judulnya, di artikel ini kita akan bahas tentang ancaman disintegrasi bangsa,
tepatnya setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Sebagai negara yang baru
memproklamasikan kemerdekaan, pemerintah Indonesia pada saat itu mulai berbenah dan
berusaha menyiapkan sistem pemerintahan baru yang ideal, yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia dan bangsa, juga sesuai dengan konstitusi dan UUD 1945.
Sebagai negara dengan kepulauan terbesar di dunia, tentunya banyak kepentingan dari berbagai
kelompok yang tersebar di berbagai penjuru nusantara. Banyaknya kepentingan ini, memicu
timbulnya konflik-konflik yang bisa mengancam keutuhan negara. Sebelum kita masuk lebih
dalam ke pembahasan disintegrasi bangsa, kamu harus paham dulu apa itu disintegrasi negara.

Disintegrasi bangsa adalah sebuah kejadian ketika suatu bangsa mengalami perpecahan.
Pemicunya banyak. Kalau di Indonesia, ada 3 faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama itu
karena adanya konflik ideologi, kedua itu karena konflik kepentingan atau ketentaraan, dan yang
ketiga itu karena adanya konflik kenegaraan atau sistem pemerintahan.
Konflik Ideologi
Konflik ideologi di Indonesia terjadi 3 tahun pasca proklamasi kemerdekaan. Saat itu terjadi
pemberontakan PKI Madiun. Awalnya, ancaman itu muncul setelah Amir Syarifuddin
diberhentikan dari kursi perdana menteri Soekarno - Hatta. Amir merupakan perdana menteri
ekonomi kedua Republik Indonesia.
Amir Syarifuddin pun kecewa dengan keputusan penurunannya itu. Ia kemudian membuat Front
Demokrasi Rakyat. Sebuah organisasi gabungan dari partai-partai kiri, atau yang berhaluan
komunis di Indonesia. Tiga partai yang bergabung dalam FDR adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Buruh Indonesia (PBI).
Amir Syarifuddin kemudian mendapat bantuan dari Musso, yang merupakan tokoh dari PKI.
Sepulangnya dari Moskow, Musso dengan PKI Madiunnya, langsung bergabung dengan FDR
untuk mencapai tujuannya tersebut.
Tujuan Amir Syarifuddin membentuk FDR adalah untuk menjatuhkan kabinet Mohammad Hatta.
Sementara Musso, ingin mendirikan Negara Sosialis Indonesia yang berpusat di Madiun.
Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia
yang berpusat di Madiun.
Kabar ini pun sampai ke pemerintah pusat. Untuk mencegah pemberontakan yang terus berlanjut,
pemerintah pun mengirim angkatan bersenjata ke Madiun, dan terjadilah pertempuran.
Akibat pertempuran ini, Musso yang merupakan pimpinan PKI, tertembak mati. Sedangkan Amir
Syarifuddin tertangkap dan dipenjara. Sementara pasukan PKI lainnya, ada yang ditangkap, dan
sebagian lagi kabur ke daerah kediri.
Konflik ideologi yang kedua adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan DI/TII ini bermula di Jawa Barat. Setelah terjadinya Perjanjian Renville, TNI
yang berada di dalam garis markas Van Moek, harus memindahkan pasukannya ke wilayah RI.
Pasukan TNI yang saat itu berada di Jawa Barat, juga diminta pindah ke wilayah-wilayah RI seperti
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan juga beberapa wilayah Sumatera.
Baca juga: Kerugian Indonesia Pada Perjanjian Renville
Namun, kebijakan ini ditolak oleh beberapa tentara Indonesia yang berada di Jawa Barat, yaitu
tentara Hizbullah dan tentara Sabilillah yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Kartosuwiryo dengan
dukungan pasukan tentara Islam yang melihat adanya kekosongan kekuasaan di Jawa Barat,
langsung memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia, tepatnya pada bulan Agustus
1948.
Pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII ini langsung direspon oleh pemerintah dengan
mengirimkan pasukan tentara divisi Siliwangi. Operasi penyerbuan ini bernama operasi
Baratayudha atau operasi pagar betis.
Operasi Baratayudha ini berhasil menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Sedangkan
Kartosuwiryo, pada tahun 1962 terbunuh akibat terkena tembakan pasukan tentara Siliwangi, di
Tasikmalaya.
Lalu bagaimana dengan DI/TII yang berada di wilayah lainnya?
Gejolak pemberontakan karena perbedaan ideologi ini tetap tumbuh dan terjadi di beberapa
wilayah. Namun, pemerintah melalui tentaranya berhasil menumpas dan menaklukkan pasukan-
pasukan DI/TII beserta para pimpinannya.
Nah untuk konflik G30S PKI sendiri, sampai saat ini masih belum jelas siapakah yang salah
dan siapa yang menjadi korbannya. Banyak versi yang mengatakan bahwa gerakan ini hanyalah
propaganda pemerintah orde baru, ada juga yang bilang ini adalah konflik angkatan darat, ada yang
bilang salah PKI, ada juga yang bilang salah dari CIA.*
Konflik Kepentingan atau Ketentaraan
Untuk konflik kepentingan, contoh kasusnya adalah konflik APRA atau Angkatan Perang Ratu
Adil yang terjadi di Bandung, Jawa Barat pada Januari tahun 1950.
Apa itu Ratu Adil? Nah jadi dulu itu ada seorang tokoh bernama Jayabaya. Jayabaya ini meramal
bahwa suatu saat akan hadir seorang Ratu Adil, yaitu pemimpin yang akan membawa
kemakmuran.
Memanfaatkan ramalan Jayabaya ini, Komandan pasukan Belanda yang bernama Raymond
Westerling, berusaha mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari masyarakat Bandung.
Tujuan Westerling adalah mempertahankan Pasundan sebagai negara federal dan menghancurkan
tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat.

Raymond Westerling. Sumber: Riaubernas.com


Raymond Westerling kemudian mendapat dukungan dari Sultan Hamid II yang berasal dari
Pontianak. Sultan Hamid II bergabung bersama APRA, karena merasa kecewa dengan pemerintah
Indonesia, karena ia tidak dijadikan menteri pertahanan.
Sultan Hamid II memiliki rencana untuk melakukan pembunuhan terhadap Sultan
Hamengkubuwono IX yang saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan, dan juga T.B.
Simatupang.
Raymond Westerling dan Sultan Hamid II beserta pasukannya yang merupakan bekas tentara
KNIL, berencana melakukan penyerangan ke Jakarta.

Sultan Hamid II. Sumber: Boombastis.com


Mengetahui hal ini, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pemerintah memerintahkan
pasukan militernya untuk melakukan operasi militer untuk menumpas APRA ini. Untuk tahun
penumpasannya juga terjadi di tahun 1950. Memang pemberontakan APRA ini tidak berlangsung
lama. Sampai akhirnya Sultan Hamid II berhasil ditangkap dan dijatuhkan hukuman mati.
Sementara, Raymond Westerling, berhasil kabur ke Belanda.
Baca juga: Tokoh-Tokoh yang Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan NKRI
Selanjutnya adalah pemberontakan Andi Aziz yang terjadi di sepanjang bulan Maret sampai
April 1950, di Makassar, Sulawesi Selatan. Andi Aziz dulunya adalah pasukan KNIL atau tentara
Hindia Belanda. Andi Aziz bersama pasukannya melakukan pemberontakan karena merasa tidak
senang dengan kedatangan APRIS.
Dalam pemberontakan ini, Andi Aziz menculik beberapa panglima APRIS. Selain tidak senang
dengan kedatangan APRIS, Andi Aziz juga berusaha untuk mempertahankan Negara Indonesia
Timur (NIT).
Pemberontakan Andi Aziz ini langsung ditaklukkan oleh pasukan militer Indonesia yang dipimpin
oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Sebelum penyerbuan ini, sebenarnya Andi Aziz sudah diberikan
toleransi oleh pemerintah untuk melapor ke Jakarta dalam tenggang waktu 4x24 jam. Pemerintah
ingin mencoba mengakomodir keinginan Andi Aziz.
Namun kedatangan Andi Aziz ke Jakarta melewati batas waktu. Sehingga, ketika Andi Aziz datang
ke Jakarta, ia langsung ditangkap dan diadili.
Selanjutnya adalah pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Pemberontakan RMS ini
dilatarbelakangi oleh adanya penolakan masyarakat Maluku, terhadap terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka menolak jika Negara Indonesia Timur,
digabungkan ke dalam NKRI.
Tapi, masyarakat dari Indonesia bagian timur lainnya, memilih untuk bergabung dengan NKRI,
maka dari itu, masyarakat Maluku mendirikan negaranya sendiri, yaitu Republik Maluku Selatan.
Pemberontakan RMS ini terjadi pada 25 April 1950, dengan dipimpin oleh Mr. Dr. Christiaan
Robbert Steven Soumokil. Chris Soumokil ini merupakan mantan Jaksa Agung Negara Indonesia
Timur.
Untuk mengkondisikan RMS ini, pemerintah Indonesia pun mengirimkan Dr. J. Leimena untuk
berunding dengan Soumokil. Namun, usaha Leimena ini tidak berujung manis. Soumokil tetap
tidak ingin berunding dengan NKRI.
Kemudian, Kolonel Alex Kawilarang bersama pasukannya dikirim untuk menaklukkan RMS.
Akhirnya, pada tahun 1963 Soumokil berhasil ditangkap di pulau Seram dan dijatuhi hukuman
mati.
Konflik Kenegaraan atau Sistem Pemerintahan
Konflik yang berhubungan dengan sistem pemerintahan contohnya adalah PRRI/PERMESTA.
PRRI merupakan singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sedangkan
PERMESTA singkatan dari Perjuangan Rakyat Semesta.
Pergerakan PRRI/PERMESTA ini terjadi di Sulawesi dan Sumatera. Alasan munculnya
gerakan ini, karena angkatan darat yang ada di Sulawesi dan Sumatera, merasa tidak diperlakukan
adil dalam hal kesejahteraan. Mereka merasa kalau angkatan darat di Jawa jauh lebih sejahtera dan
makmur.
Nah, karena hal itu, mereka pun mulai mendirikan dewan-dewan sendiri. Ada Dewan Benteng,
Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan juga Dewan Garuda. Tujuan dibuatnya dewan-dewan ini,
adalah untuk merebut pemerintahan di daerahnya masing-masing.
Dewan-dewan ini pun memiliki pemimpinnya masing-masing, di antaranya
Dewan Banteng di Sumbar dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein
Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Maludin Simbolon
Dewan Manguni di Manado dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual
Dewan Garuda di Sumsel dipimpin oleh Letkol Barlian
Dewan-dewan ini pun disatukan oleh Letkol Achmad Husein pada 15 Februari 1958, bersama
Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri Sumatera Barat, dalam sebuah pemberontakan
PRRI.
Achmad Husein sekaligus mengultimatum pemerintah pusat, bahwa telah dibentuk
pemberontakan dan didirikan. Kabar tentang pemberontakan PRRI ini pun menyebar ke daerah-
daerah Sulawesi lainnya. Karena hal itu, muncullah gerakan dukungan dari masyarakat untuk
PRRI, yang bernama PERMESTA.
Pemberontakan ini pun langsung direspon oleh Pemerintah Pusat dengan melakukan operasi
militer. Operasi militer yang pertama itu ditujukan untuk meredam PRRI, dan operasi ini bernama
Operasi 17 Agustus, dipimpin oleh Letkol Achmad Yani.
Sedangkan operasi untuk meredam PERMESTA, dinamakan Operasi Merdeka dan dipimpin oleh
Letkol Rukminto H.
Naaah begitulah kira-kira gambaran terjadinya ancaman disintegrasi bangsa yang pernah terjadi di
Indonesia. Konflik-konflik itu terjadi dalam waktu yang berdekatan, dan terjadi setelah Soekarno
memproklamirkan Indonesia.
Jadi sebenarnya wajar konflik seperti itu muncul, karena dalam perjuangan kemerdekaan, pasukan-
pasukan yang ikut andil pun banyak dan dari berbagai daerah. Sehingga, banyak pula kelompok-
kelompok yang ingin kepentingannya terlaksana.
Tapi, sebagai negara yang sedang membangun sistem pemerintahannya, penting bagi pemerintah
Indonesia untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dari berbagai ancaman yang memicu
perpecahan. Untuk itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, haruslah adil, dan mampu
memenuhi hak-hak warga negaranya.

Anda mungkin juga menyukai