Anda di halaman 1dari 11

Santo Fransiskus Asisi Berbicara dengan Burung

Santo pelindung hewan, Santo Fransiskus dari Asisi, membangun ikatan cinta dengan
semua jenis makhluk di kerajaan hewan. Namun, Santo Fransiskus memiliki
hubungan khusus dengan burung, yang sering mengikutinya berkeliling dan
beristirahat di pundak, lengan, atau tangannya saat dia berdoa atau berjalan di luar.
Burung sering melambangkan kebebasan dan pertumbuhan rohani, sehingga beberapa
orang percaya berpikir bahwa mukjizat burung-burung yang mendengarkan dengan
saksama pesan Fransiskus dikirimkan oleh Tuhan untuk mendorong Fransiskus dan
sesama bhikkhu untuk melanjutkan pekerjaan mereka mengkhotbahkan pesan Injil
Yesus Kristus, yang berfokus pada bagaimana orang bisa menjadi bebas secara rohani
dan tumbuh lebih dekat dengan Tuhan. Inilah kisah khotbah burung terkenal yang
Fransiskus beritakan pada suatu hari:

Sekawanan Burung Mengumpulkan

Ketika Fransiskus dan beberapa sahabat sedang mengadakan perjalanan melalui


Lembah Spoleto di Italia, Francis memperhatikan bahwa sekelompok besar burung
berkumpul di beberapa pohon di samping ladang. Fransiskus memperhatikan bahwa
burung-burung mengawasinya seolah mengharapkan sesuatu. Terinspirasi oleh Roh
Kudus, dia memutuskan untuk mengkhotbahkan sebuah khotbah tentang kasih Allah
bagi mereka.

Francis Berbicara kepada Burung-burung Tentang Kasih Tuhan

Francis berjalan ke sebuah tempat di samping pepohonan dan memulai khotbah


dadakan, melaporkan para biarawan yang bepergian bersama Francis dan menuliskan
apa yang dikatakan Francis. Laporan mereka kemudian diterbitkan dalam buku kuno
The Little Flowers of St. Francis .

"Kakak-kakak kecilku yang manis, burung-burung di langit," kata Francis, "kau


terikat ke surga, kepada Tuhan, Penciptamu. Di setiap ketukan sayapmu dan setiap
nada dari lagumu, pujilah dia. Dia telah memberimu yang terbesar. hadiah, kebebasan
udara.Anda tidak menabur, atau menuai, namun Tuhan menyediakan bagi Anda
makanan, sungai, dan danau yang paling lezat untuk memuaskan dahaga, gunung, dan
lembah untuk rumah Anda, pohon-pohon tinggi untuk membangun sarang Anda, dan
pakaian yang paling indah: perubahan bulu dengan setiap musim. Anda dan jenis
Anda dilestarikan dalam Bahtera Nuh. Jelas, Pencipta kita sangat mencintaimu,
karena ia memberi Anda begitu banyak karunia. Jadi tolong berhati-hatilah, saudara
perempuan kecilku, dari dosa tidak tahu berterima kasih, dan selalu menyanyikan
pujian untuk Tuhan. "
Para biarawan yang mencatat khotbah Fransiskus kepada burung-burung menulis
bahwa burung-burung mendengarkan dengan saksama segala sesuatu yang dikatakan
Francis:

"Sementara Francis mengatakan kata-kata ini, semua burung itu mulai membuka
paruh mereka, dan meregangkan leher mereka, dan melebarkan sayap mereka, dan
menekuk kepala mereka dengan hormat ke bumi, dan dengan tindakan dan lagu,
mereka menunjukkan bahwa ayah suci Francis memberi mereka kesenangan yang
luar biasa. "

Francis Memberkati Burung-burung

Fransiskus "bersukacita" atas tanggapan burung-burung itu, para biarawan menulis,


dan

"Bertanya-tanya tentang begitu banyak burung dan keindahan mereka dan perhatian
serta kelihaian mereka, dan ia dengan penuh kerohaan bersyukur kepada Tuhan untuk
mereka."

Burung-burung tetap dengan penuh perhatian berkumpul di sekitar Francis, ceritanya


berlanjut, sampai dia memberkati mereka dan mereka terbang menjauh - beberapa
mengarah ke utara, beberapa selatan, beberapa timur, dan beberapa barat - keluar ke
segala arah seolah-olah dalam perjalanan mereka untuk meneruskan kebaikan berita
tentang cinta Tuhan yang baru saja mereka dengar kepada makhluk lain.
Santo Fransiskus dari Assisi dengan Serigala

Dekat sebuah kota kecil dalam pegunungan adalah seekor serigala, amat besar, kuat
lagi bagus. Sekalian orang takut akan serigala itu Binatang itu merampas peliharaan
penduduk. Ya, serigala itu berani menyerang manusia juga. Tidak ada yang berani
berjalan seorang diri. Sudah kerap kali para pemburu mencoba menembak serigala
itu. Sia-sia belaka! Makin lama makin ganas serigala itu! Siang hari serigala itu
berani menyerang rumah dan melarikan seekor kambing atau seorang anak kecil.

Karena putus asa, penduduk kota itu meminta tolong kepada santo Fransiskus.

“Barangkali Pesuruh Raja Besar punya akal,” kata mereka.

Fransiskus melipur orang yang bersusah itu.

Jawabnya, “Aku akan berunding dengan serigala itu!”

Fransiskus berangkat, menuju ke hutan. Baru saja melalui rumah yang terakhir di tepi
kota, ... tiba-tiba serigala yang jahat datang melompat-lompat, mendekati Fransiskus.
Semua yang ikut dengan Fransiskus, lari cerai berai ketakutan.

Tetapi Fransiskus berseru, “Mari sini, serigala! Atas Nama Yesus Kristus aku
melarangmu menyakiti aku atau orang-orang yang lari itu!”

Lihatlah, heran sekali! Serigala jahat, yang tadinya sudah membuka mulutnya,
menjadi sabar lagi lemah, seperti seekor anak kambing saja. Sambil mengibas-
ngibaskan ekornya, binatang buas itu maju setapak demi setapak. Tepat di hadapan
kaki Santo Fransiskus, ia berbaring di tanah.

“Serigala,” kata Fransiskus kemudian.

“Kesalahanmu sangat banyak. Kau tidak diizinkan Tuhan, membunuh orang dewasa
dan memakan anak kecil. Selayaknya kau juga harus dibunuh sekarang. Semua orang
benci kepadamu, serigala jahat. Tetapi aku tahu, kau berbuat begitu karena lapar. Jika
kau berjanji tak akan berbuat jahat lagi, aku akan mengampunimu. Ingatlah, Tuhan
tidak mengizinkanmu!”

Serigala mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi kau harus berjanji juga, serigala! Kau tidak boleh lagi mencuri kambing.
Kalau kau lapar, pergilah berjalan, dari rumah yang satu ke rumah yang lain.
Penduduk kota mau memberi makanan. Kau mau berdamai dengan manusia,
serigala?”

Serigala itu menggesek-gesekkan kepalanya ke kaki Fransiskus seperti anjing yang


setia.
“Baiklah! Sekarang mana kakimu. Tanda kau berjanji, letakkan kakimu, dalam
tanganku.”

Sekarang penduduk kota itu, yang telah datang menonton, menyaksikan perjanjian
aneh itu. Serigala yang amat ganas itu, meletakkan kaki mukanya ke dalam tangan
Fransiskus.

“Mari, ikut aku!” kata Fransiskus.

Serigala ikut serta seperti anjing yang amat besar. Mereka pergi ke alun-alun. Di sana
penduduk kota juga berjanji bahwa mereka akan selalu memberi makanan kepada
serigala. Serigala itu dinamai “Gobio”.

Masih 2 tahun lamanya Gobio hidup. Tiap-tiap hari ia berjalan dari pintu yang satu ke
pintu yang lain, untuk meminta makanannya. Ia tidak lagi menyakiti binatang atau
manusia. Dan anak-anak berani bermain dengan Gobio, serigala jinak.

Ketika Gobio mati, ia ditangisi orang, yang sudah biasa menyayangi bintang itu.

Masih banyak sekali ceritera-ceritera tentang Santo Fransiskus Pesuruh Raja Besar.

Sebaiknya kalian mencari dan membaca kitab yang lebih tebal tentang Santo
Fransiskus.
Cerita St Fransiskus bertemu Sultan malik Al Kamil

Santo Fransiskus dengan berani mendekati Sultan Mesir demi mengupayakan


perdamaian, seka lipun nyawanya menjadi taruhan.

Di tengah Perang Salib, Sultan Mesir Malek al-Kamil, keponakan Saladin,


menyatakan bahwa siapa pun yang menyerahkan padanya kepala orang Kristen akan
diberi imbalan sepotong emas Bizantium. Pada Agustus 1219, pasukannya berhasil
mempertahankan Benteng Damietta dan menewaskan sekitar 5.000 tentara salib.

Lalu, datanglah Santo Fransiskus dari Asisi. Awalnya, ia memohon kepada Kardinal
Pelagius, komandan pasukan Kristen, untuk menghentikan pertempuran ini. Namun,
Pelagius menolak. Fransiskus pun mengajak Bruder Illuminatus menemaninya
melintasi garis pertempuran dengan berani tanpa senjata. Tentara Sultan menangkap
Fransiskus dan Illuminatus, memukul mereka hingga babak belur lalu menyeret
keduanya ke hadapan Sultan.

Dalam tulisannya, St Bonaventura menggambarkan dalam pertemuan itu, Sultan


mengawali percakapan dan bertanya oleh siapa, mengapa, dalam kapasitas apa
mereka diutus, dan bagaimana mereka sampai di sana. Namun, Fransiskus menjawab,
mereka diutus oleh Allah, bukan oleh manusia, untuk menunjukkan jalan keselamatan
kepada Sultan dan rakyatnya, serta memberitakan kebenaran Injil. Ketika Sultan
melihat antusias dan keberaniannya, ia mendengarkan Fransiskus dengan sabar dan
mendesaknya untuk tetap bersamanya.

Fransiskus menyapa Sultan dengan salam, “Semoga Tuhan memberimu kedamaian.”


Ini mirip dengan salam tradisional Muslim “assalam o alaikum” atau ‘salam bagimu’.
Salam yang sontak mengejutkan Sultan, yang langsung terpesona oleh kekudusan
Fransiskus. Fransiskus pun melanjutkan dengan sebuah renungan dari Injil.

Sultan dapat melihat kasih yang mengalir dari Fransiskus. Ia kagum akan
keberaniannya. Mereka berbicara bersama tentang kehidupan spiritual, dan
merefleksikan tradisi masing-masing.

Fransiskus dan Illuminatus kemudian tinggal di kamp Muslim selama beberapa hari.
Sebelum mereka pergi, Sultan memberi banyak hadiah berharga. Namun, karena
spiritualitas kesederhanaannya, Fransiskus menolak semuanya, kecuali satu hadiah
istimewa: tanduk gading. Tanduk gading itu biasa digunakan oleh muazin untuk
menandakan azan. Sekembalinya ke Italia, Fransiskus menggunakan tanduk gading
untuk memanggil umatnya berdoa atau saat ia ingin berkhotbah. Tanduk gading itu
kini dipajang di Asisi.
Fransiskus juga membagikan rasa hormatnya yang baru dan mendalam terhadap
saudara-saudari Muslimnya, menghancurkan lingkaran permusuhan dan
kesalahpahaman yang memicu Perang Salib. Fransiskus terutama dikejutkan oleh
Muslim yang berdoa lima kali sehari dan bersujud untuk menyembah Allah. Surat-
suratnya mendesak orang-orang Kristen untuk mengadopsi praktik serupa:
menjadikan doa sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, untuk mengingat Allah
dalam segala hal.

Pertemuan ini juga mengubah Sultan. Ia meminta prajuritnya untuk mengawal


Fransiskus, saat ia harus melalui negara-negara Muslim. Sejak saat itu, Sultan
memperlakukan tahanan perang Kristen dengan kebaikan dan kemurahan hati.

Fransiskus dan Sultan tidak ada yang berpindah keyakinan. Tetapi, mereka bertemu
sebagai manusia ciptaan Allah. Tak lama setelah itu, ada beberapa ikonografi dari
Timur yang menunjukkan kedua pria ini. Salah satu penasihat spiritual Sultan,
mempunyai tulisan di nisannya bahwa yang mengubah hidupnya adalah pertemuan
antara seorang biarawan Kristiani dengan Sultan.
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pahlawan nasional yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei
1889 yang meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun. Sebelum
tahun 1922 namanya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi
Suryaningrat).

Ki Hajar Dewantara atau biasa disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD" adalah
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti
halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan


Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan
Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada
28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959).

Masa muda dan awal karier

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan


pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut
ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara
lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya
komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivitas pergerakan

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di s3ksi propaganda
untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama
Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa
dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi


multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri
di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga,


termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun
1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian
menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa
pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta


kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk
pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku
seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.

Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun
benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi
Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan
diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua
rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka
bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam pengasingan

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar


ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang
bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang
didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh
pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India,
Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya
dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Taman Siswa

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia


bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian
digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan
pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan
Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya
ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan").
Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih
di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian pada masa Indonesia merdeka

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri


Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan
(doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah
Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).

Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman


Wijaya Brata. (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia - Ensiklopedia bebas)
Raden Dewi Sartika, Pejuang Pendidikan dari Tanah Sunda

Raden Dewi Sartika yang lahir di Bandung, 4 Desember 1884 adalah tokoh perintis
pendidikan untuk kaum wanita. Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat
pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan.

Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di


sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di
kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat
bantu belajar.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar
di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-
menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A.A Martanagara pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon
Cau.

Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan
dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa
sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa
Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang
memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri
sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten
se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri
tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakolah
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap
memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.
Sumber: https://daerah.sindonews.com/berita/1160269/29/raden-dewi-sartika-
pejuang-pendidikan-dari-tanah-sunda/20

Anda mungkin juga menyukai