Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN DI RUANG BAYI


RSUD. DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

Tanggal 12 – 17 Maret 2018

Oleh:
Zuraida Mulqiah, S. Kep
NIM. 1730913320013

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PADA KLIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN DI RUANG BAYI


RSUD. DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

Oleh:
Zuraida Mulqiah, S. Kep
NIM. 1730913320013

Banjarmasin, 12 Maret 2018

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Devi Rahmayanati, S.Kep, Ns, M. Imun Siti Rusmalina, S.Kep,. Ns


NIP. 19780101 2008 12 2002 NIP. 19751104 200803 2 001
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari
hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di
samping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel
retikuloendotel membuat bilirubin tidak larut dalam air, bilirubin yang
disekresikan dalam darah harus diikatkan kepada albumin untuk diangkut dalam
plasma menuju hati. Di dalam hati, hepatosit melepaskan ikatan itu dan
mengkonjugasinya dengan asam glukoronat sehingga bersifat larut air. Proses
konjugasi ini melibatkan enzim glukoroniltransferase.
Ikterus neonatorum (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin
dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak
kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2
mg/dL (> 17 μmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5 mg/dL (>86μmol/L).

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum


setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis ‘Non Physiological Jaundice’
apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 %.
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada
kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin
serum total.
B. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir,
karena hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek, karena fungsi hepar yang belum sempurna.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih (ikterus nonfisiologis) menurut
(Moeslichan, 2004) dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor di bawah ini:
1. Hemolisis akibat inkontabilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi
G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, Infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin
3. Polisitemia
4. Trauma lahir, sefalhematom
5. Asidosisf
6. Hipoksia/asfiksia
Faktor resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum menurut (Moeslichan,
2004) adalah sebagai berikut:
1. Faktor maternal
a. Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
b. Komplikasi kehamilan (DM, inkomtabilitas ABO dan Rh)
c. Penggunaan oksitosin dalam larutan hipotonik
d. ASI
2. Faktor Perinatal
a. Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
b. Faktor neonatus
3. Prematuritas
a. Obat (Streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)
b. Rendahnya asupan ASI
c. Hipoglikemia
d. Hipoalbuminemia
Penyebab ikterus berdasarkan waktu timbul:
1. 24 jam pertama. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab
antara lain:
a. Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
b. Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
c. Kadang oleh defisiensi G6PD

2. 24 jam sampai < 72 jam. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir
dengan penyebab anatara lain:
a. Biasanya ikterus fisiologis
b. Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
c. Polisitemia
d. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan
hepar sub kapsuler dan lain-lain)
e. Dehidrasis asidosis
3. Lebih dari 72 jam. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai
minggu pertama dengan penyebab antara lain :
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat


beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO meningkat)

5. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia


6. Polisitemia
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus yaitu sebagai
berikut.
1. Prahepatik
Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada
proses hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi, kelainan
sel darah merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri.
2. Pascahepatik (obstruktif)
Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin
konjugasi akan kembali lagi kedalam sel hati dan masuk kedalam aliran darah,
kemudian sebagian masuk dalam ginjal dan diekresikan dalam urin.
Sementara itu, sebagian lagi tertimbun dalam tubuh sehingga kulit dan sklera
berwarna kuning kehijauan serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran
empedu menyebabkan ekskresi bilirubin kedalam saluran pencernaan
berkurang, sehingga feses akan berwarna putih keabu abuan, liat dan seperti
dempul.
3. Hepatoseluler
Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mangalami
kerusakan maka secara otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubin
sehingga bilirubin direc meningkat dalam aliran darah. Bilirubin direc mudah
larut dalam air, namun sebagian masih tertimbun dalam aliran darah.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus menurut Prawihardjo (2005):
1. Usia Ibu
2. Tingkat pendidikan
3. Tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi ikterus
4. Riwayat kesehatan Ibu
5. Masa gestasi
6. Jenis persalinan
7. Inkomtabilitas Rhesus
8. Inkomtabilitas ABO
9. Berat badan lahir
10. Prematur
11. Asupan ASI
12. Terpapar sinar matahari

C. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi  Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam
hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat  serta cukup bulan, hatinya sudah matang
dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis. Bilirubin merupakan produk yang
bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut
berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin
inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah
otak.
D. Klasifikasi
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum
matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai

puncaknya pada hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 –


14. Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 μmol/L) pada bayi kurang
bulan dan < 12 mg/dL (205 μmol/L) pada bayi cukup bulan.
Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau
konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan
kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian
hari, bahkan terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap
fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus
dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat
dilaksanakan dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Di RS Dr. Soetomo Surabaya,
bayi dinyatakan menderita bilirubinemia apabila kadar bilirubin total > 12 mg/dL
(> 205 μmol/L) pada bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila
kadarnya > 10 mg/dL (>171 μmol/L).
1. Ikterus Fisiologis
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Kadar
bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL
pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan.
Ikterus fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis
yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Ikterus
fisiologis diantara sebagai berikut:
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologi
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah
bayi lahir, peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL setiap jam, ikterus
bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang
bulan.
Ikterus patologi adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kern ikterus jika tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan
dengan keadaan yang patologis. Adapun ikterus patologis menurut beberapa
sumber adalah sebagai berikut:
a. Ikterus patologi
Ikterus patologi menurut Ngastiyah (2005):
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg %.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
b. Ikterus patologi
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik menurut Surasmi (2003) sebagai berikut:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan
dan 12,5 % pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
E. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus menurut Surasmi (2003) yaitu:
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargi (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
10. Tampak ikterus: sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24
jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis,
atau ibu dengan diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
Gejala menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan
menjadi:
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonates adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis).
F. Pemeriksaan fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
G. Periksaan penunjang
1. Anamnesa
a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
b. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
c. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d. Riwayat inkompatibilitas darah
e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak
sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia
berat (lihat ‘point-point’ etiologi). Namun pada bayi yang mengalami ikterus
berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar
dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serumbilirubin.
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat
ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan
tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain:
a. Golongan darah dan ‘Coombs test’
b. Darah lengkap dan hapusan darah
c. Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc

d. Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

H. Penatalaksaan
Pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa penyebab yang mungkin
dan memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal
(fisiologis) ataukah sudah patologis. Resiko cidera susunan saraf pusat akibat
bilirubin harus diimbangi dengan resiko pengobatan masing-masing bayi. Kriteria
yang harus dipergunakan untuk memulai fototerapi. Oleh karena fototerapi
membutuhkan waktu 12-24 jam, sebelum memperlihatkan panjang yang dapat
diukur, maka tindakan ini harus dimulai pada kadar bilirubin, kurang dari kadar
yang diberikan. Penggunaan fototerapi sesuai dengan anjuran dokter biasanya
diberikan pada neonates dengan kadar bilirubin tidak lebih dari 10 mg.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma

atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin),

terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat

mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan

(IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan


maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.

a. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak

1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.

Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya


isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,
15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin
isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua

penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi

dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari
pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi
sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah
lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang
berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470
nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu
dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang
tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada
boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah
bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat

seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya

diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat
menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan
yang menyertainya diperbaiki.
Cara melakukan terapi sinar:
a. Buka pakaian agar seluruh bagian tubuh bayi kena sinar.
b. Tutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya.
c. Jarak bayi dengan lampu kurang lebih 40 cm.
d. Posisi sebaiknya diubah setiap 6 Jam sekali.
e. Lakukan Pengukuran suhu setiap 4-6 Jam.
f. Periksa kadar bilirubin setiap 8 Jam atau sekurang kurangnya sekali dalam
24 Jam.
g. Lakukan pemeriksaan Hb secara berkala terutama pada penderita
hemolisis.
h. Lakukan observasi dan catat lamanya terapi sinar.
i. Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas
normal, terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak
banyak berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara
lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia,
infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian
memerlukan tindakan kolaboratif dengan tim medis.
b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam
mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang
menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat,
tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di
perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat
tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin,
juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
Yang dimaksud ada komplikasi apabila :
a. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
b. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
c. pH < 7,15 selama 1 jam

d. Suhu rektal ≤ 35 O C
e. Serum Albumin < 2,5 g/dL
f. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
g. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
h. Anemia hemolitik
i. Berat bayi ≤1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah
yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya
digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan
serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O
dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk
transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
a. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
b. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
c. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan

harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan

yang aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi
disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan
pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis,
bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana
dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar,
penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(‘transportable’) dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir
risiko tinggi.
c. Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital
atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga
bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan
yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya
terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika
sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan
dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi banyak
tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan
kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh
karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani
hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin.
Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI
memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar
dan kecilnya.
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam
dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup.
Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum
cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu
tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi
melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula
situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
I. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
Identitas Pasien
1. Nama :
2. TTL :
3. Jenis Kelamin :
Identitas Orang Tua Pasien
1. Ibu
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Pendidikan :
e. Agama :
f. Suku/Bangsa :
g. Alamat :
2. Ayah
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Pendidikan :
e. Agama :
f. Suku/Bangsa :
g. Alamat :
3. Keluhan utama bayi :
4. Riwayat kehamilan
a. Antenatal
a. Riwayat obstetri : G….P….A….
b. Keluhan kehamilan ibu : TM 1
TM 2
TM 3
c. Riwayat penyakit :
b. Kebiasaan waktu hamil :
c. Komplikasi :
d. Riwayat persalinan :
e. Riwayat post natal
i. Nilai APGAR

.
ii. Pola pemenuhan sehari-hari
a) Pola nutrisi
b) Pola eliminasi
c) Pola istirahat
d) Pola aktivitas
e) Pola personal hygiene
Pemeriksaan Fisik
1. Vital Signs
2. Suhu ( O C) axilla :
3. HR ( Heart Rate ) :
4. RR ( Respiratory Rate ) :
5. Capillary Refill Time :

Pemeriksaan Antropometri
1. BB Lahir :
2. Panjang Badan :
3. Lingkar Kepala :
4. Lingkar Dada :
5. Lingkar abdomen :
Sistem Kardiovaskuler
1. Inspeksi :
2. Palpasi :
3. Auskultasi :
Sistem Respirasi
1. Warna Kulit :
2. Pernapasan :
3. Suara napas :
Sistem Neurologis
1. Aktivitas :
2. Tingkat Kesadaran :
3. Gerakan :
4. Tonus :
5. Pupil :
6. Membuka mata :
7. Tangisan :
8. Fontanella :
9. Sutura :
10. Kejang :
11. Reflek primitive :
Sistem Gastrointestinal
1. Inspeksi :
2. Palpasi :
3. Perkusi :
4. Auscultasi :
5. Emesis :
Sistem Genitourinaria
1. BAK :
2. BAB :
Ekstremitas
1. Postur ekstremitas :
2. Gerakan :
3. Plantar :
E. Diagnosa keperawatan
1. Ikterik neonatus b.d bayi mengalami kesulitan transisi kehidupan ektrauterin,
keterlambatan pengeluaran mekonium, penurunan berat badan tidak
terdeteksi, pola makna tidak tepat, usia < 7 hari.
2. Ansietas pada orang tua b.d ancaman pada status terkini kepada anak,
perubahan besar pada kesehatan anak.
3. Defisiensi pengetahuan orang terhadap penangan penyakit b.d kurang
informasi.
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d eksternal (terapi radiasi).
5. Risiko mata kering dengan faktor risiko program pengobatan (terapi sinar)
F. Rencana tindakan keperawatan

Diagnosa NOC NIC

Ikterik neonatus b.d Setelah dilakukan tindakan Newborn monitoring


bayi mengalami keperawatan selama 1 x 24 1. Evaluasi APGAR 1 dan 5
kesulitan transisi jam diharapkan ikterik menit setelah di lahirkan
kehidupan neonatus berkurang, dengan 2. Monitor warna kulit baru
ektrauterin, kriteria hasil: lahir
keterlambatan Newborn adaptation 3. Monitor untuk tanda
pengeluaran 1. Warna kulit tidak hiperbillirubinemia
mekonium, kekuningan
penurunan berat 2. Kadar billirubin < 5 mg/ Phototherapy: neonate
badan tidak dl
terdeteksi, pola 1. Mencari tahu cerita ibu dan
makna tidak tepat, bayi untuk tanda penyakit
usia < 7 hari. faktor risiko
hiperbilirubinemia.
2. Memantau tanda gejala
Definisi: hiperbillirubin.
kulit dan membran 3. Letakkan bayi diruang
mukosa neonates isolasi.
berwarna kuning 4. Melaporkan nilai hasil
yang terjadi setelah laboratorium.
24 jam kehidupan 5. Memberitahukan keluarga
sebagai akibat tentang prosedur dan
bilirubin tak perawatan foto terapi.
terkonjugasi ada 6. Gunakan penutup mata,
didalam sirkulasi untuk mengurangi tekanan
berlebih pada mata.
Batasan 7. Lepas penutup mata jika
karakteristik cahaya sudah mati.
1. Kulit kuning 8. Monitor mata dari bengkak
sampai orange dan warna.
2. Memar kulit 9. Periksa intensitas cahaya
abnormal
setiap hari.
10. Monitor tanda-tanda vital
11. Rubah posisi bayi setiap 4
3. Membran mukosa
jam.
kuning
12. Monitor tingkat serum
4. Profil darah
bilirubin.
abnormal
13. Observasi dari tanda
5. Sclera kuning
dehidrasi (turgor kulit yang
buruk, kehilagan berat
badan).

Ansietas pada orang Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction


tua b.d ancaman pada keperawatan selama 1 x 30
status terkini kepada menit diharapkan cemas akan 1. Kaji dan dokumentasikan
anak, perubahan berkurang, Dengan kriteria tingkat kecemasan dengan
besar pada kesehatan hasil: menggunakan skala 0-4.
anak.
Anxiety Self - Control 2. Lakukan pendekatan kepada
pasien untuk
Definisi: 1. Keluarga melaporkan mengungkapkan pikiran dan
Perasaan tidak skala cemas menurun dari perasaan.
nyaman atau skala 2 ke skala 1.
kekwatiran yang 3. Berikan motivasi kepada
samar disertai respon 2. Keluarga terlihat rileks pasien, gunakan kalimat yang
autonom (sumber positif kepada pasien dan
sering kali tidak anjurkan keluarga pasien
3. Keluarga mampu
spesifik atau tidak selalu menemani pasien
mengindetifikasi,
diketahui oleh
mengungkapkan dan
individu.
menunjukan teknik untuk 4. Kaji mekanisme koping yang
mengontrol cemas. digunakan pasien untuk
Batasan
mengtasai ansietas dimasa
Karakteristik:
4. Menggunakan teknik lalu
relaksasi untuk
a. Gelisah
mengurangi kecemasan 5. Monitor vital sign

b. Gugup berlebihan
5. Tekanan darah dalam 6. Anjurkan dan ajarkan teknik
rentang normal (120/80
c. Khawatir mmHg) relaksasi dan distraksi.

d. Bingung 6. Frekuensi napas dalam 7. Berikan informasi factual


rentang normal (18- (nyata dan benar) kepada
e. Wajah tegang 24x/menit) pasien dan keluarga tentang
kondisi kehamilan sekarang
7. Nadi dalam rentang dan kebutuhan yang harus
normal (80-100x/menit) dipenuhi.

Defisiensi Setelah dilakukan tindakan Teaching process


pengetahuan orang keperawatan selama 1 x 15 1. Kaji tingkat pengetahuan
terhadap penangan menit diharapkan keluarga keluarga tentang proses
penyakit b.d kurang mengetahui tentang penyakit penyakit
informasi dan penanganannya, Dengan 2. Jelaskan patofisiologi dari
kriteria hasil: penyakit dan bagaimana hal
ini berhubungan dengan
Knowledge: disease process anatomi dan fisiologi,
Definisi dengan cara yang tepat.
1. Spesifik tentang penyakit 3. Gambarkan tanda dan gejala
2. Penyebab dan faktor- yang biasa muncul pada
Ketiadaan atau
faktor yang berkontribusi penyakit, dengan cara yang
defisiensi informasi
3. Faktor risiko tepat
kognitif yang
4. Tanda dan gejala dari 4. Gambarkan proses penyakit,
berkaitan dengan
penyakit dengan cara yang tepat
topik tertentu
5. Pencegahan dari 5. Identifikasi kemungkinan
komplikasi penyakit penyebab, dengan cara yang
6. Strategi untuk tepat
memperkecil 6. Sediakan informasi pada
Batasan keluarga tentang kondisi,
perkembangan penyakit
karakteristik dengan cara yang tepat
7. Sediakan bagi keluarga
1. Ketidakakuratan informasi tentang kemajuan
melakukan tes pasien dengan cara yang
2. Ketidakakuratan tepat
melakukan 8. Diskusikan perubahan gaya
perintah hidup yang mungkin
3. Kurang diperlukan untuk mencegah
pengetahuan komplikasi dan atau
4. Perilaku tidak mengontrol proses penyakit
tepat (agitasi, 9. Diskusikan pilihan terapi
apatis) atau penanganan
10. Dukung keluarga untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
11. Menggambarkan
kemungkinan komplikasi
kronis dengan cara yang
tepat
12. Anjurkan keluarga untuk
mengontrol atau
meminimalkan gejala secara
tepat

Risiko kerusakan Setelah dilakukan tindakan Skin Surveillance


integritas kulit b.d keperawatan selama 4 x 60
eksternal (terapi menit diharapkan kerusakan 1. Inspeksi kulit dari
radiasi). integritas kulit tidak terjadi, kemerahan, panas, bengkak
Dengan kriteria hasil: atau kekeringan
2. Obsevasi ektremitas untuk
warna, panas, dan tekstur
Tissue Integrity : Skin and 3. Monitor warna kulit dan
Definisi Mucous Membranes temperatur
4. Monitor kulit untuk
Rentan mengalami 1. Texture kekeringan yang berlebihan
5. Meminta keluarga untuk
kerusakan pidermis
melaporkan tentang adanya
dan atau dermis yang 2. Temperatur jaringan tanda kerusakan kulit jika
dapat mengganggu dalam rentang yang diperlukan
kesehatan diharapkan

3. Elastisitas dalam rentang


yang diharapkan
4. Hidrasi dalam rentang
yang diharapkan

5. Pigmentasi dalam rentang


yang diharapkan

6. Warna dan tektur dalam


rentang yang diharapkan

7. Integritas kulit baik bisa


dipertahankan

Risiko mata kering Setelah dilakukan tindakan Perawatan mata


dengan faktor risiko selama 1x24 jam diharapkan
program pengobatan tidak terjadi mata kering pada 1. Monitor kemerahan,
(terapi sinar) klien. dengan kriteria hasil: eksudat dan ulserasi
1. Efek terapeutik tidak pada mata
terganggu 2. Monitor refleks kornea
2. Perubahan gejala yang 3. Pakai penutup mata
diharapan tidak terganggu yang sesuai
3. Respon perilaku yang 4. Berikan salep mata yang
diharapkan tidak sesuai
terganggu 5. Berikan pelembab pada
4. Tidak ada reaksi alergi mata
5. Tidak ada dampak buruk
program pengobatan
6. Tidak ada efek perilaku
merugikan

DAFTAR PUSTAKA
NANDA International. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2014 –
2017. Jakarta: EGC
Moorhead, S., et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Mosbie
Elsevier: USA
Bulechek, G.M., et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed.
Mosbie Elsevier: USA
Suriadi & Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: Fajar Inter
Pratama.
Ngastiah. 2012. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan
Maternal / Bayi. Jakarta: EGC.
Alimul, Hidayat A. 2015. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba
medika.
Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental  Keperawatan :
Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. Jakarta: EGC.
Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M. Damanik.
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. FK Unair/RSU Dr. Soetomo - Surabaya

Anda mungkin juga menyukai