LP Hiperbilirubin
LP Hiperbilirubin
Oleh:
Zuraida Mulqiah, S. Kep
NIM. 1730913320013
Oleh:
Zuraida Mulqiah, S. Kep
NIM. 1730913320013
Mengetahui,
A. Definisi
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari
hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di
samping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel
retikuloendotel membuat bilirubin tidak larut dalam air, bilirubin yang
disekresikan dalam darah harus diikatkan kepada albumin untuk diangkut dalam
plasma menuju hati. Di dalam hati, hepatosit melepaskan ikatan itu dan
mengkonjugasinya dengan asam glukoronat sehingga bersifat larut air. Proses
konjugasi ini melibatkan enzim glukoroniltransferase.
Ikterus neonatorum (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin
dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak
kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2
mg/dL (> 17 μmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5 mg/dL (>86μmol/L).
2. 24 jam sampai < 72 jam. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir
dengan penyebab anatara lain:
a. Biasanya ikterus fisiologis
b. Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
c. Polisitemia
d. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan
hepar sub kapsuler dan lain-lain)
e. Dehidrasis asidosis
3. Lebih dari 72 jam. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai
minggu pertama dengan penyebab antara lain :
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat
C. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam
hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang
dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis. Bilirubin merupakan produk yang
bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut
berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin
inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah
otak.
D. Klasifikasi
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum
matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai
d. Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
H. Penatalaksaan
Pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa penyebab yang mungkin
dan memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal
(fisiologis) ataukah sudah patologis. Resiko cidera susunan saraf pusat akibat
bilirubin harus diimbangi dengan resiko pengobatan masing-masing bayi. Kriteria
yang harus dipergunakan untuk memulai fototerapi. Oleh karena fototerapi
membutuhkan waktu 12-24 jam, sebelum memperlihatkan panjang yang dapat
diukur, maka tindakan ini harus dimulai pada kadar bilirubin, kurang dari kadar
yang diberikan. Penggunaan fototerapi sesuai dengan anjuran dokter biasanya
diberikan pada neonates dengan kadar bilirubin tidak lebih dari 10 mg.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat
a. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi
dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari
pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi
sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah
lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang
berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470
nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu
dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang
tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada
boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah
bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat
menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan
yang menyertainya diperbaiki.
Cara melakukan terapi sinar:
a. Buka pakaian agar seluruh bagian tubuh bayi kena sinar.
b. Tutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya.
c. Jarak bayi dengan lampu kurang lebih 40 cm.
d. Posisi sebaiknya diubah setiap 6 Jam sekali.
e. Lakukan Pengukuran suhu setiap 4-6 Jam.
f. Periksa kadar bilirubin setiap 8 Jam atau sekurang kurangnya sekali dalam
24 Jam.
g. Lakukan pemeriksaan Hb secara berkala terutama pada penderita
hemolisis.
h. Lakukan observasi dan catat lamanya terapi sinar.
i. Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas
normal, terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak
banyak berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara
lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia,
infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian
memerlukan tindakan kolaboratif dengan tim medis.
b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam
mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang
menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat,
tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di
perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat
tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin,
juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
Yang dimaksud ada komplikasi apabila :
a. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
b. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
c. pH < 7,15 selama 1 jam
d. Suhu rektal ≤ 35 O C
e. Serum Albumin < 2,5 g/dL
f. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
g. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
h. Anemia hemolitik
i. Berat bayi ≤1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah
yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya
digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan
serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O
dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk
transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
a. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
b. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
c. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia
yang aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi
disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan
pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis,
bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana
dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar,
penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(‘transportable’) dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir
risiko tinggi.
c. Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital
atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga
bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan
yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya
terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika
sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan
dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi banyak
tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan
kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh
karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani
hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin.
Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI
memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar
dan kecilnya.
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam
dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup.
Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum
cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu
tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi
melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula
situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
I. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
Identitas Pasien
1. Nama :
2. TTL :
3. Jenis Kelamin :
Identitas Orang Tua Pasien
1. Ibu
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Pendidikan :
e. Agama :
f. Suku/Bangsa :
g. Alamat :
2. Ayah
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Pendidikan :
e. Agama :
f. Suku/Bangsa :
g. Alamat :
3. Keluhan utama bayi :
4. Riwayat kehamilan
a. Antenatal
a. Riwayat obstetri : G….P….A….
b. Keluhan kehamilan ibu : TM 1
TM 2
TM 3
c. Riwayat penyakit :
b. Kebiasaan waktu hamil :
c. Komplikasi :
d. Riwayat persalinan :
e. Riwayat post natal
i. Nilai APGAR
.
ii. Pola pemenuhan sehari-hari
a) Pola nutrisi
b) Pola eliminasi
c) Pola istirahat
d) Pola aktivitas
e) Pola personal hygiene
Pemeriksaan Fisik
1. Vital Signs
2. Suhu ( O C) axilla :
3. HR ( Heart Rate ) :
4. RR ( Respiratory Rate ) :
5. Capillary Refill Time :
Pemeriksaan Antropometri
1. BB Lahir :
2. Panjang Badan :
3. Lingkar Kepala :
4. Lingkar Dada :
5. Lingkar abdomen :
Sistem Kardiovaskuler
1. Inspeksi :
2. Palpasi :
3. Auskultasi :
Sistem Respirasi
1. Warna Kulit :
2. Pernapasan :
3. Suara napas :
Sistem Neurologis
1. Aktivitas :
2. Tingkat Kesadaran :
3. Gerakan :
4. Tonus :
5. Pupil :
6. Membuka mata :
7. Tangisan :
8. Fontanella :
9. Sutura :
10. Kejang :
11. Reflek primitive :
Sistem Gastrointestinal
1. Inspeksi :
2. Palpasi :
3. Perkusi :
4. Auscultasi :
5. Emesis :
Sistem Genitourinaria
1. BAK :
2. BAB :
Ekstremitas
1. Postur ekstremitas :
2. Gerakan :
3. Plantar :
E. Diagnosa keperawatan
1. Ikterik neonatus b.d bayi mengalami kesulitan transisi kehidupan ektrauterin,
keterlambatan pengeluaran mekonium, penurunan berat badan tidak
terdeteksi, pola makna tidak tepat, usia < 7 hari.
2. Ansietas pada orang tua b.d ancaman pada status terkini kepada anak,
perubahan besar pada kesehatan anak.
3. Defisiensi pengetahuan orang terhadap penangan penyakit b.d kurang
informasi.
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d eksternal (terapi radiasi).
5. Risiko mata kering dengan faktor risiko program pengobatan (terapi sinar)
F. Rencana tindakan keperawatan
b. Gugup berlebihan
5. Tekanan darah dalam 6. Anjurkan dan ajarkan teknik
rentang normal (120/80
c. Khawatir mmHg) relaksasi dan distraksi.
DAFTAR PUSTAKA
NANDA International. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2014 –
2017. Jakarta: EGC
Moorhead, S., et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Mosbie
Elsevier: USA
Bulechek, G.M., et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed.
Mosbie Elsevier: USA
Suriadi & Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: Fajar Inter
Pratama.
Ngastiah. 2012. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan
Maternal / Bayi. Jakarta: EGC.
Alimul, Hidayat A. 2015. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba
medika.
Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan :
Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. Jakarta: EGC.
Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M. Damanik.
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. FK Unair/RSU Dr. Soetomo - Surabaya