Anda di halaman 1dari 29

BAB 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Proses Pengerjaan Lapangan


Penelitian ini merupakan penelitian fenomelogis dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, dimana peneliti melakukan penelitian mengenai makna
pengalaman hidup beberapa orang terkait fenomena atau konsep tertentu dan
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
yang berada dalam situasi-situasi tertentu. Informan dalam penelitian ini diambil
secara snowball sampling, penentuan informan dengan teknik ini dengan memilih
orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan
dimulai dari kelompok kecil yang diminta untuk menunjuk seseorang atau
kelompok lain dan seterusnya. Jumlah informan dalam penelitian ini didasarkan
pada kejenuhan data.
Proses awal penelitian ini adalah dengan menghubungi salah satu
pendamping lapangan pada sebuah LSM di Kabupaten Jember yang menangani
HIV/AIDS, pendamping lapangan di LSM ini menangani waria yang berada di
Kabupaten Jember. Peneliti memberitahukan maksud dan tujuan dalam penelitian
yang akan dilakukan kepada pendamping lapangan. Peneliti mendapatkan
informasi-informasi yang dibutuhkan mengenai waria dari pendamping lapangan
waria, dalam menunjang kelancaran penelitian peneliti menggunakan pendamping
lapangan sebagai informan kunci yang dapat memberikan informasi untuk
mendapatkan informan yang sesuai dengan persyaratan inklusi yang diinginkan
oleh peneliti. Pendamping lapangan memberikan beberapa alternatif waria yang
dapat dihubungi dan bisa untuk dijadikan informan utama. Setelah itu, peneliti
dibantu oleh pendamping lapangan dalam menghubungi calon informan yang bisa
membantu penelitian.
Proses penelitian dilakukan pada tempat yang telah disepakati oleh
informan, pendamping lapangan dan juga peneliti, seperti di tempat kerja
informan yaitu di salon selain itu penelitian juga dilakukan di rumah informan.

44
45

Pada saat melakukan wawancara, peneliti didampingi oleh pendamping lapangan.


Informan utama yang telah memenuhi kriteria inklusi akan didatangi oleh peneliti
dan peneliti menanyakan apakah bersedia untuk menjadi informan penelitian,
setelah informan bersedia peneliti mewawancarai serta merekam pembicaraan
dengan informan. Informan penelitian juga mengizinkan peneliti untuk
mengambil gambar dengan informan. Setelah mendapatkan informan utama,
peneliti juga mewawancarai informan tambahan. Informan tambahan yang dipilih
adalah teman sebaya informan dan keluarga. Peneliti mewawancarai 1 informan
tambahan dari keluarga, dan 2 informan tambahan yaitu teman sebaya.
Kendala yang dirasa peneliti dalam proses penelitian adalah waktu
bertemu dengan informan dan pendamping lapangan, karena pada saat melakukan
penelitian pendamping lapangan dan informan dalam kondisi yang sibuk dengan
acara dan pekerjaan masing-masing. Sehingga peneliti menunda dalam melakukan
penelitian, serta menjadwal ulang pertemuan dengan informan untuk mencari
pengganti hari. Pada saat penelitian berlangsung juga bertepatan dengan bulan
ramadhan dan lebaran, sehingga proses penelitian tidak berjalan sesuai dengan
jadwal yang telah peneliti buat. Kendala lainnya yang dirasa peneliti dalam proses
penelitian adalah menciptakan rasa kepercayaan antara informan dengan peneliti
sehingga dapat tercipta kenyamanan, kepercayaan dalam proses wawancara
mendalam, keterbukaan, dan kejujuran informan. Proses wawancara yang
dilakukan peneliti baik informan utama maupun informan tambahan dilakukan
pada siang, sore, dan ada yang malam hari, bertempat di salon maupun rumah
informan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti pada saat proses
wawancara dan melakukan observasi serta pengambilan dokumentasi.
Untuk mempermudah analisis maka hasil wawancara mendalam pada 4
informan, dibuat satuan-satuan kajian atau kategori sebagai berikut :
a. Sebagian besar = jika > 2 informan menjawab sama
b. Separuh = jika 2 informan menjawab sama
c. Sebagian kecil = jika < 2 informan menjawab sama
46

4.2 Gambaran Karakteristik Informan


Menurut kamus besar Bahasa Indonesia karakteristik adalah: ciri-ciri
khusus atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.
Karakteristik informan merupakan salah satu penentu perilaku seseorang dimana
karakteristik informan tersebut terbagi menjadi tiga golongan. Karakteristik
pertama adalah karakteristik umur, daerah asal, status perkawinan, pendidikan,
tingkat pengetahuan dan hal lainnya yang bersifat personal. Karakteristik kedua
adalah karaktersitik profesi, yaitu meliputi mata pencaharian, pendapatan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan profesi tersebut. Sedangkan karakteristik
yang ketiga adalah karakteristik kontekstual yang meliputi sosial budaya, tingkat
ekonomi dan budaya tempat kerja (Zalduondo dalam Sedyaningsih, 1991).
Karakteristik informan utama yang diteliti dalam penelitian ini meliputi usia,
pendidikan, pekerjaan, lama menjadi waria, alasan melakukan rekonstruksi tubuh,
jenis bahan yang digunakan dalam melakukan rekonstruksi tubuh, tempat
melakukan rekonstruksi tubuh, frekuensi rekonstruksi tubuh, dan orang yang
membantu dalam proses rekonstruksi.
Informan utama dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yang berstatus
sebagai waria. Seluruh informan utama merupakan waria yang telah melakukan
rekonstruksi pada tubuhnya. Proses wawancara mendalam dilakukan dengan 2
bahasa yakni Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Berdasarkan wawancara
mendalam yang telah dilakukan, dihasilkan informasi tentang karakteristik
informan utama sebagai berikut:
a. MM
MM adalah seorang waria yang telah melakukan rekonstruksi pada
tubuhnya berusia 39 tahun. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah
SMA, saat ini MM bekerja sebagai Hair Stylist di sebuah salon, dan salon ini
adalah miliknya sendiri. MM merasa menjadi wanita semenjak kecil, tetapi
mulai benar-benar terjun menjadi waria dimulai dari tahun 1993 yaitu saat
berumur 19 tahun sampai sekarang. Alasan MM melakukan rekonstruksi
tubuh karena dia ingin tampil lebih sempurna, dan jenis bahan yang
digunakan dalam merekonstruksi tubuhnya adalah silikon, dan kontrasepsi
47

yaitu berupa hormon yang disuntikkan kepada tubuhnya. MM melakukan


rekonstruksi secara illegal dari temannya, rekonstruksi dilakukan dengan
mendatangkan teman yang dapat merekonstruksi ke salonnya. Bagian tubuh
yang telah direkonstruksi diantaranya hidung, dagu, bibir, pipi, dan payudara.
Frekuensi melakukan rekonstruksi berulang kali dan biasanya tahunan,
sampai sekarang rekonstruksi yang dilakukan MM menggunakan silikon
sudah berulang kali dan dalam merekonstruksi MM dibantu oleh teman
sesama waria. Wawancara dilakukan pada siang hari sekitar pukul 12 siang di
salon sekaligus tempat tinggal MM. Pada awalnya, MM dan peneliti tidak
saling mengenal. Peneliti mengenal informan kunci yakni pendamping
lapangan waria di salah satu LSM yang bergerak di program penanggulangan
HIV/AIDS yaitu LSM LASKAR yang berada di Kabupaten Jember yakni RS.
Melalui RS, peneliti diperkenalkan pada waria yang dirasa memenuhi kriteria
inklusi dalam penelitian. Proses awal wawancara berjalan cukup baik, karena
RS merupakan seseorang yang sangat friendly dan enak dalam berdiskusi.
Sehingga, proses wawancara bisa berjalan dengan cukup lancar. RS juga
mengizinkan peneliti untuk merekam proses wawancara dan mengambil foto
sebagai dokumentasi yang dapat membantu kelengkapan dalam penelitian.
Pada waktu peneliti melakukan wawancara dengan MM, wawancara juga
berjalan cukup baik dan lancar. MM juga mengizinkan peneliti untuk
merekam proses wawancara, melakukan observasi dan berfoto bersama
sebagai dokumentasi kelengkapan penelitian.

b. FK
FK adalah seorang waria yang telah melakukan rekonstruksi pada
tubuhnya berusia 24 tahun. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah
SMP kelas 2, saat ini FK bekerja di sebuah salon, dan salon ini adalah
miliknya sendiri. FK sudah berlagak menjadi waria dari kecil mulai
berdandan sejak umur 15 tahun, dan menjadi waria sampai sekarang. Alasan
FK melakukan rekonstruksi tubuh karena senang-senang saja, dan jenis bahan
yang digunakan dalam merekonstruksi tubuhnya adalah silikon, minum pil
48

KB dan dia juga telah operasi alat kelamin. FK melakukan rekonstruksi


waktu masih bertempat tinggal di papua, karena dia berasal dari papua.
Bagian tubuh yang telah direkonstruksi diantaranya hidung, dagu, dan alat
kelamin. Frekuensi melakukan rekonstruksi Kalau minum pil KB sehari 4x
memakai selama 4 bulan, silikon sudah 6 kali, biasanya setahun memakai 1
atau 2x, mulai memakai silikon umur 20 tahun, kalau operasi jenis kelamin
sudah 6 tahun yang lalu. Dalam merekonstruksi yang berupa suntik silikon
FK dibantu oleh teman sesama waria dan untuk operasi kelamin dilakukan di
singapura dengan bantuan ahli kesehatan. Wawancara dilakukan di salon
sekaligus tempat tinggal FK pada siang hari sekitar pukul 12.00. Pada
awalnya, FK dan peneliti tidak saling mengenal. Melalui RS, peneliti juga
diperkenalkan pada FK. Proses awal wawancara berjalan lancar sejak awal,
karena FK adalah seorang yang terbuka dan senang untuk diajak diskusi
sehingga proses wawancara mengalir begitu saja. Proses wawancara sering
kali diselingi dengan canda'an dari FK maupun dari pendamping lapangan
yakni RS. FK juga mengizinkan peneliti untuk merekam proses wawancara,
melakukan observasi dan mengambil foto yang dapat membantu kelengkapan
penelitian.

c. SK
SK adalah seorang waria yang telah melakukan rekonstruksi pada
tubuhnya berusia 35 tahun. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah
SD, saat ini SK bekerja sebagai perias pengantin dan di salon. SK sudah
menjadi waria dari kecil setelah tamat SD menjadi waria sampai sekarang.
Alasan SK melakukan rekonstruksi tubuh karena ingin percaya diri, cantik
dan ingin memiliki payudara, jenis bahan yang digunakan dalam
merekonstruksi tubuhnya adalah minum pil KB dan suntik silikon. SK
melakukan rekonstruksi di salah satu hotel yang berada di jember, saat
melakukan dia dibantu oleh sesama teman waria yang berasal dari Surabaya.
Bagian tubuh yang telah direkonstruksi diantaranya hidung dan payudara.
Frekuensi melakukan rekonstruksi, silikon hanya sekali dan langsung jadi
49

pada hidung, kalau memakai pil KB selama 3 tahun, dan dalam sehari
mengkonsumsi 3x. Wawancara dilakukan dikediaman SK pada sore hari
sekitar pukul 15.00. Pada awalnya, SK dan peneliti tidak saling mengenal.
Melalui RS, peneliti juga diperkenalkan pada SK. Proses awal wawancara
berjalan sedikit canggung, karena SK sedikit kaku dan sulit mengungkapkan
pendapatnya. Namun dengan bantuan dari peneliti proses wawancara dapat
berjalan lancar. Meskipun dengan terbatasnya kata-kata dan pengetahuan,
peneliti mampu menangkap maksud dari ungkapan SK. SK juga mengizinkan
peneliti untuk merekam proses wawancara, melakukan observasi dan
mengambil foto dalam membantu kelengkapan penelitian.

d. DD
DD adalah seorang waria yang telah melakukan rekonstruksi pada
tubuhnya berusia 39 tahun. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah
SMA, saat ini DD bekerja di sebuah salon, dan salon ini adalah miliknya
sendiri. DD merasa dirinya sudah menjadi wanita sejak lahir, dan benar-benar
terjun dalam dunia waria setelah lulus SMA. Alasan DD melakukan
rekonstruksi tubuh karena ingin mempercantik diri, dan jenis bahan yang
digunakan dalam merekonstruksi tubuhnya adalah kolagen. DD melakukan
rekonstruksi dirumah dan juga di salon. Bagian tubuh yang telah
direkonstruksi diantaranya hidung dan pipi. Frekuensi melakukan
rekonstruksi sekali rekonstruksi bisa sampai 5 kali suntikan, tetapi memakai
lagi 2 tahun kemudian baru ditambahkan lagi ke tubuh yang telah disuntik.
Pada saat melakukan rekonstruksi yang berupa kolagen DD dibantu
oleh mami waria dan teman sesama waria. Wawancara dilakukan di salon
sekaligus tempat tinggal DD pada siang hari sekitar pukul 13.00. Pada
awalnya, DD dan peneliti tidak saling mengenal. Melalui RS, dan juga dari
informan utama yaitu MM peneliti juga diperkenalkan pada DD. Proses awal
wawancara berjalan lancar sejak awal, karena DD adalah seorang yang
terbuka dan senang untuk diajak diskusi sehingga proses wawancara mengalir
begitu saja. Pada saat proses wawancara sering kali DD bercanda dengan
50

peneliti. Saat wawancara DD juga mengizinkan peneliti untuk merekam


proses wawancara, melakukan observasi dan mengambil foto yang dapat
membantu kelengkapan penelitian.
Berdasarkan hasil rangkuman wawancara mendalam seperti yang telah
dijelaskan diatas, didapatkan rangkuman karakteristik seluruh informan utama
sebagai berikut:

1) Usia Informan Utama


Karakteristik pertama dari informan utama adalah usia, dimana usia
disini dapat membedakan tingkat kedewasaan dari seseorang. Usia adalah
lama waktu hidup informan dihitung sejak tanggal lahir sampai ulang tahun
terakhir saat wawancara dilakukan. Usia juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi tingkat pengetahuan informan utama dan berdampak
pada perilakunya. Berdasarkan hasil penelitian ditunjukkan bahwa sebagian
kecil informan berumur kurang lebih 20 tahun dan sebagian besar yang
berumur kurang lebih 30 tahun. Usia tersebut merupakan usia seksual aktif
dan dalam kategori produktif. Apabila dicermati lebih mendalam maka
sebagian besar informan secara fisik mempunyai penampilan yang menarik
dan alami seperti perempuan pada umumnya, ditambah dengan rekonstruksi
tubuh yang dilakukan juga semakin menambah daya tarik tersendiri bagi
informan penelitian berdasarkan hasil observasi yang didapatkan. Walaupun
demikian, seluruh informan masih terlihat fisik kelelakiannya.
Apabila ditinjau dari usia, sebagian besar usia informan utama masuk ke
dalam golongan dewasa dini (yakni kira-kira 18 tahun sampai kira-kira 40
tahun) karena seluruh informan utama masih berstatus aktif secara produktif
yang memiliki rentang usia antara 24 sampai 39 tahun, dimana pada masa ini
merupakan “masa pengaturan”. Mereka sudah menekuni bidang pekerjaan
yang akan ditangani sebagai karirnya, serta menentukan pola hidupnya dan
memilih pasangan hidupnya. Pada masa usia dewasa dini juga merupakan
“masa kreatif”, dimana sebagai orang yang telah dewasa yang tidak terikat
51

oleh ketentuan dan aturan orang tua maupun gurunya, sehingga mereka bebas
berbuat apa yang mereka inginkan (Hurlock, 2004).

2) Pendidikan
Karakteristik selanjutnya dari informan adalah tingkat pendidikan,
dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
informan utama dan berdampak pada persepsinya. Tingkat pendidikan
adalah Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh anak atau
korban. (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sis Diknas). Tingkat pendidikan
digolongkan menjadi 3 jenjang yaitu:
1) Pendidikan tingkat dasar (meliputi; tidak sekolah-tamat
SD/MI/SMP/MTS;
2) Pendidikan tingkat menengah (meliputi tidak tamat–tamat
SMA/MA/SMK/ MAK
3) Pendidikan tingkat tinggi (meliputi; tamat Diploma/ Sarjana /Megister /
Spesialis)
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan informan utama
tergolong pada rentang antara tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan
tingkat menengah (rentang antara SD/SMP sampai SMA) dapat disimpulkan
bahwa sebagian informan memiliki pendidikan dasar yaitu tamat SD/tidak
tamat SMP. Sebagian memiliki pendidikan tingkat menengah, yaitu tamat
SMA. Umumnya disebabkan mereka tidak memiliki kekuatan menghadapi
tekanan-tekanan sosial yang berlangsung pada masa menginjak remaja,
khususnya di dalam ruang pergaulan dan pendidikan (Koeswinarno, 2005).
Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Nikmah (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar waria
memiliki pendidikan tingkat dasar yaitu tidak sekolah/SD/SMP, dan hanya
sebagian kecil yang lulus SMA.
52

3) Pekerjaan
Karakteristik ke tiga adalah pekerjaan informan utama, dimana faktor
jenis pekerjaan yang dimiliki informan menjadi salah satu faktor penentu
jumlah pemasukan informan setiap bulannya. Pekerjaan adalah jenis mata
pencaharian utama pada informan baik terkait jam kerja maupun yang tidak
terkait untuk mendapatkan penghasilan. Berdasarkan hasil penelitian, jenis
pekerjaan informan utama hampir seragam yaitu kebanyakan mereka
bekerja di bidang kecantikan, sebagai Hair stylist di salon, maupun menjadi
perias pengantin. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Nafikadini (2006) yang menyatakan bahwa kelompok
waria lebih banyak bekerja di salon (50%).

4) Lama menjadi waria


Karakteristik selanjutnya adalah lama informan menjadi waria yaitu
waktu pertama kali terjun menjadi waria sampai saat ini. Koeswinarno
(1998) fenomena waria, dalam psikologi disebut sebagai gejala abnormalitas
seksual, pada dasarnya tidak mungkin dipisahkan dari unsur-unsur
kehidupan dan pengalaman seseorang. Beberapa ahli berpandangan bahwa
keadaan abnormalitas seseorang, apa pun bentuknya, tidak dapat dipisahkan
dari proses perkembangan manusia, sejak ia berada dalam kandungan, lahir,
dan dibesarkan di alam kehidupan dunia.
Menurut Nadia (2005) menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor
terjadinya waria (transsexual) disebabkan karena :
a) Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya,
sejak ia berada dalam kandungan hingga mereka dianggap
menyimpang.
b) Menetapnya kebiasaan perilaku yang dianggap menyimpang.
c) Sikap, pandangan dan persepsi seseorang terhadap gejala
penyimpangan perilaku.
d) Seberapa kuat perilaku menyimpang itu berada dalam dirinya dan
dipertahankan.
53

e) Kehadiran perilaku menyimpang lainnya yang biasanya ada secara


paralel.
Berdasarkan hasil penelitian kepada informan diketahui bahwa sudah
merasa menjadi waria semenjak kecil. Salah satu informan juga menyebutkan
bahwa dia sudah berdandan sejak usia 15 tahun. Perilaku menyimpang ini
tetap berada pada dirinya sampai sekarang. Berikut kutipan wawancara
dengan beberapa informan penelitian:
“…Berapa lama ya.. ehmm, mulai tahun 1993 sampai sekarang. Iya, yang aku terjun
benar-benar terjun sampai sekarang ini …”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 14 dan 16)

“…Dari awalnya, emang aku dari kecil. Memang aku sudah lagaknya jadi waria.
Kalau aku dandan itu, pas umur 15…”
(FK, 3 September 2013, Line 20 dan 21)

“…Sudah sejak kecil dah, sudah abis SD dah saya menjadi waria…”
(SK, 3 September 2013, Line 18)

“…eee, sejak lahir ya, bener-bener terjun lulus SMA…”


(DD, 16 September 2013, Line 14 dan 16)

Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara, pada informan tambahan
yaitu keluarga yang merupakan adik salah satu informan utama yang
menyatakan bahwa perilaku menyimpang kakaknya sudah terlihat dari kecil.
Berikut kutipan wawancara dengan informan tambahan:
“tanda-tandanya cuman, yak opo yho kalau dari teman bermain aja, lek cowok sudah
suka sama boneka berarti kan sudah ada kelainan toh mbak. Cuma mungkin tidak bisa
terdeteksi dari kecil, soalnya kita dari kecil orang tua kerja jadi TKI di luar negri gitu
loh mbak. Jadi kita kan tinggalnya sama nenek mungkin dari itu juga, terus saya
dengan mbak MM bedanya kan Cuma 2 tahun, jadi kan gak bisa, sama-sama masih
kecil lah”
(DPR, 13 September 2013, Line 36)

Tjahjono (dalam Hamid, 2011) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya waria (transsexual) yaitu anak laki-laki yang
dibesarkan tanpa ayah atau dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode
waktu yang panjang menunjukkan minat-minat, sikap-sikap dan perilaku
feminin.
54

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa sebagian besar


informan merasakan dirinya sebagai waria semenjak kecil, dan tetap menjadi
waria sampai sekarang.

5) Alasan melakukan rekonstruksi tubuh


Karakteristik kelima dari informan adalah alasan melakukan rekonstruksi
tubuh yaitu suatu hal yang mendorong waria untuk melakukan rekonstruksi
tubuh. Bastaman dkk (dalam Hamid, 2011) mengatakan bahwa waria
(transsexual) memiliki keinginan untuk hidup dan dapat diterima sebagai
anggota kelompok lawan jenis. Biasanya, keinginan tersebut disertai dengan
rasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya,
sehingga mereka menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta
menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan dengan jenis kelamin
yang diinginkan. Menurut Atmojo (dalam kurniawati 2011), langkah awal
mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki-lakinya, misalnya
mengoperasi sebagian dari tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata,
jakun, dan ciri fisik laki-laki lainnya. Minimal mereka merasa perlu merias
diri dan berpakaian seperti wanita. Untuk itu, beberapa alasan waria
melakukan rekonstruksi tubuh sebagaimana diungkapkan oleh informan
dalam hasil wawancara berikut ini:
“…ehmmm, untuk apa ya.. ee… biar tampil lebih sempurna…”
(MM, 26 Agustus 2013 Line 18)

“…ya seneng aja…”


(FK, 3 September 2013, Line 22)

“…ya kepengen apa ya, kepengen percaya diri lah, gitu. Kepengen cantik, kepengen
punya tetek itu sampek mengkonsumsi KB itu...”
(SK, 3 September 2013, Line 20)

“…ya, ingin mempercantik diri…”


(DD, 16 September 2013, Line 18)

Berdasarkan hasil wawancara pada informan ketiga dan kedua, yakni


alasan melakukan rekonstruksi tubuh yaitu keinginan untuk tampil percaya
diri, dan juga untuk mempercantik diri, dan keinginan untuk memiliki
55

payudara sehingga sampai mengkonsumsi pil KB. Hal ini sesuai pula dengan
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rokhmah (2009) yang menyebutkan
bahwa upaya para waria dalam memaksimalkan penampilan sebagai waria
seutuhnya dengan cara melakukan rekonstruksi bentuk tubuh mulai dari
wajah atau muka, payudara dan pantat dengan melakukan suntik silikon,
operasi plastik atau minum pil KB. Alasan mereka melakukan hal ini adalah
untuk menambah daya tarik dan mempercantik penampilan, juga menambah
daya tarik secara seksual bagi laki-laki. Hal ini didukung pula dengan hasil
wawancara kepada informan tambahan yaitu teman, mengenai alasan seorang
waria melakukan rekonstruksi tubuh karena waria ingin tampak lebih
sempurna sehingga melakukan rekonstruksi tubuh. Berikut ini adalah hasil
kutipan wawancaranya:
“…Sebenernya semua waria itu kepengen tampak sempurna ya, jadi kan dari awalnya
wajahnya cowok jadi gimana caranya supaya hidungnya mirip cewek, mulutnya mirip
cewek, jadi kepengen sempurna aja kelihatannya…”
(DPR, 16 September 2013, Line 30)

Selain itu, terdapat suatu hal menarik yang didapat oleh peneliti sewaktu
mewawancarai informan tambahan yaitu teman. Teman informan utama juga
merupakan seorang waria yang berinisial SS. Informan tambahan
mengatakan, bahwa alasan melakukan rekonstruksi agar tidak keriput supaya
tidak ditolak oleh lelaki. Tetapi ketika memiliki harta, walaupun sudah
keriput, gemuk, jelek, bodynya tidak ada akan tetap disukai oleh lelaki. Selain
itu, informan tersebut mengakui bahwa dia mempunyai suatu ilmu yang
didapatkan dari neneknya, seperti ilmu pengasihan. Berikut ini adalah hasil
kutipan wawancaranya:
“…Ya karena kalau sudah keriput ditolak orang lelaki, kalau gak banyak harta. Iya,
kalau banyak harta biarpun keriput kayak bu haji, sudah gemuk, sudah jelek, bodynya
itu gak ada. Tetapi lelaki itu… ihhhhh luar biasa. Karena bu haji pake ilmu, bu haji
pake ilmu. Karena sejak kecil bu haji sudah ditawarin oleh nenek, cara anu itu
pengasihan. Iya, kalau bu haji itu gak pake silikon-silikon, tapi pakek ilmu pengasihan.
…”
(SS, 3 September 2013, line 40)
Kesimpulan yang dapat diambil dari wawancara dengan informan
tambahan tersebut yaitu untuk mendapatkan laki-laki tidak hanya dengan
56

melakukan rekonstruksi tubuh saja, akan tetapi juga dengan memiliki harta
dan ilmu.

6) Jenis bahan yang digunakan


Karakteristik selanjutnya adalah jenis bahan yang digunakan yaitu bahan
kimia yang digunakan untuk merekonstruksi tubuh pada waria. Seperti
diantaranya melakukan operasi plastik, suntik silikon, kolagen, hormon, dan
minum pil KB. Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 informan utama
dalam penelitian, didapatkan jenis-jenis bahan yang sering digunakan dalam
merekonstruksi tubuh pada waria di Kabupaten Jember. Berikut ini adalah
hasil kutipan wawancaranya:

“…Silikon, dan kayak hormon gitu dari kontrasepsi…”


(MM, 26 Agustus 2013, Line 20, 22, dan 24)

“…Silikon, pernah memakai pil KB yaitu pil KB marvelons. Pernah melakukan operasi di
singapur, aku sudah operasi itu sudah 6 tahunan. Biaya itu biayanya hampir 300 juta,
saya memutuskan untuk mengganti alat kelamin itu, biar saya istilahnya kan jiwa saya
sudah kayak cewek badan saya sudah kayak cewek, biar tambah sempurna … ”
(FK, 3 September 2013, Line 26, 28,30, 82, 84, 86, 88 dan 90)

“…Pil KB sama lindiol, iya pil KB sama lindiol itu sama dah memang, dan suntikan
silikon di hidung…”
(SK, 3 September 2013, Line 22, 24, dan 26)

“…Aku dulu kolagen, tapi ada yang make silikon saja, juga ada yang dicampur dengan
kolagen. Kalau aku dulu masih kolagen, kan paling bagus itu, jadi gak terlalu
berpengaruh. Kalau sekarang banyak silikon…”
(DD, 16 September 2013, Line 192)

Berdasarkan hasil penelitian sebagian kecil informan menggunakan


kolagen dan melakukan operasi plastik yaitu mengubah jenis kelamin, karena
biaya untuk operasi kelamin itu sangat mahal maka sebagian besar informan
menggunakan silikon dan kontrasepsi baik itu pil KB maupun hormon KB
suntik untuk merekonstruksi tubuhnya. Hal ini juga diperkuat dari wawancara
peneliti dengan informan kunci yaitu pendamping lapangan waria. Berikut ini
kutipan wawancaranya:
“…endak, cuma beberapa persen ya. standartnya antara pomo 100% yang melakukan
gitu, kebanyakan tapi cuma suntik KB, silikon, pemutih gitu. Kalau waria kan otomatis ke
salon 80% kan otomatis ke salon di hitung kurang lebih ya antara… berkisar,
kebanyakan antara ya hampir separuhnya lah yang usia antara sekitar 30 lah mulai
57

berani. Kalau yang hampir keseluruhan sering suntik. Kalau cuma gedheknho payudara
kayak semacam KB gitu dibawah ya mulai umur 20 nyampek 30 itu masih sing biasa.
Kalau yang sampek suntik segala macem itu yang berumur 30 keatas. Kan mulai ada
kemapanan….”
(RS, 26 Juli 2013, Line 20)

Menurut pendamping lapangan, waria yang melakukan rekonstruksi


kebanyakan melakukan suntik KB, silikon, dan juga pemutih, karena waria
banyak yang pergi ke salon. Hal ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Rokhmah (2009) bahwa sebagian waria yang melakukan
rekonstruksi bentuk tubuh mulai dari wajah atau muka, payudara dan pantat
dengan melakukan suntik silikon, operasi plastik atau minum pil KB.
Penggunaan pil KB dan suntik silikon paling banyak dilakukan oleh waria,
hal itu dilakukan karena alasan biaya murah dan terjangkau bagi waria. Hal
yang sama juga disebutkan dalam salah satu jurnal penelitian (Xavier J,
2005 dalam Hartanti, 2012) dalam wawancara pribadinya dengan
transgender pemakai hormon silikon suntik, salah satu alasan menggunakan
silikon suntik adalah untuk mendapatkan hasil yang instant dan cepat
dibandingkan dengan meminum hormon yang hasilnya lama.

7) Tempat melakukan rekonstruksi


Karakteristik berikutnyat tempat melakukan rekonstruksi yaitu ruang atau
tempat yang dipakai waria untuk melakukan rekonstruksi. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan utama, sebagian besar mengatakan bahwa
melakukan rekonstruksi di salon seperti suntik silikon, kolagen, dan suntik
hormon bisa juga dilakukan dirumah, selain itu ada juga rekonstruksi yang
dilakukan di hotel. Salah satu informan utama ada yang mengungkapkan
bahwa dia mengganti jenis kelaminnya dengan jalan operasi plastik dan
rekonstruksi tersebut dilakukan di salah satu rumah sakit di luar negeri.
Bedah rekonstruksi, merupakan salah satu bagian dari cabang ilmu
kedokteran dalam bidang bedah, yaitu bedah plastik yang dalam tindakannya
sangat memperhatikan hasil penampakan/kerapian/keindahan. Bedah Plastik
terbagi dalam dua bagian besar yaitu bedah rekonstruksi dan bedah
estetik/kosmetik. Penamaan saat ini disebut secara lengkap yaitu bedah
58

plastik rekonstruksi dan estetik. Tujuannya adalah untuk memperbaiki yang


kurang harmonis, seperti individu normal ingin lebih dari normal atau
individu yang merasa kurang cantik menjadi lebih cantik (Perdanakusuma,
2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, rekonstruksi seharusnya dilakukan
oleh ahlinya yaitu bidang kedokteran serta dengan prosedur yang tepat, hal ini
berbeda dengan keadaan yang terjadi di lapangan pada saat penelitian.
Sebagian besar informan melakukan rekonstruksi di salon, dan tidak dibantu
oleh ahli seperti dokter kecantikan. Hanya salah satu informan saja yang
melakukan rekonstruksi yaitu merubah jenis kelaminnya yang melakukan di
tempat yang benar. Salah satu alasan kenapa waria melakukan rekonstruksi
bukan pada ahlinya, karena biaya yang mahal untuk melakukan rekonstruksi.

8) Frekuensi rekonstruksi tubuh


Karakteristik selanjutnya adalah frekuensi rekonstruksi tubuh yaitu
jumlah pemakaian bahan kimia untuk rekonstruksi. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan penelitian, didapatkan berbagai macam
frekuensi yang dilakukan dalam berbagai rekonstruksi tubuh. Berikut ini
kutipan hasil wawancaranya:
“…Berulang kali, biasanya cuman apa, tahunan itu …”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 28 dan 32)

“…Kalau hormon KB aku, ya memakai sih. Tapi gak rutin gitu lo, apa ya kalo misalnya
sudah cukup yasudah. Nanti kalau kurang lagi, kita terapi lagi. Kan kalau sering terapi
gitu gemuk badannya. Biasanya hormon KB seminggu sekali iya, tapi kalau pipi kan
banyak kali suntik bisa 12x suntikan. Kalau sempamanya hidung, 6 ampul kita biasanya 3
minggu, kalau pipi 12 ampul, kalau pipi itu langsung. Ya pokok sekali terapi beberapa
bulan saja terus sudah sekali terapi. Kalau dari dagu 2 kali kalau payudara 3x, itu
perbulan. Sebulan sekali, lalu seterusnya gak.…”
(MM, 18 September 2013, Line 191,193, 242, dan 244)

Menurut hasil penelitian dari MM, frekuensi yang dilakukan dalam


penggunaan suntik hormon KB yaitu sekali suntik dalam jangka waktu
seminggu, tetapi kalau suntik silikon berbagai macam frekuensinya. Semua
tergantung dari bagian yang direkonstruksi, tetapi pada suntik silikon hanya
awal saja frekuensi menyuntik sering dilakukan, tetapi setelah itu tidak atau
dalam jangka waktu beberapa tahun lagi kalau kurang baru direkonstruksi.
59

Frekuensi rekonstruksi tubuh yang dilakukan juga berbeda dengan yang


dilakukan FK, menurut hasil wawancara dari informan dalam sehari pil KB
yang diminum sebanyak 4 buah, dan suntik silikon yang dilakukan per tahun
yaitu dalam setahun bisa sekali atau 2 kali penyuntikan. Berikut kutipan
wawancaranya:

“…berapa kali, kalau aku waktu itu dalam minum pil KB itu, dalam seharinya
kadang 4, aku dulu makek selama 4 bulan. kalau yang silikon, berapa kali wes… 1,
2, 3, 4 ehm… 6 kali. he.ehmmm satu tahun sekali, kadang ada juga satu tahun 2 kali
gitu …”
(FK, 3 September 2013, Line 40, 42, 44, dan 54)

Selain melakukan suntik silikon, dan mengkonsumsi pil KB FK juga


pernah melakukan operasi plastik yaitu pada jenis kelamin yang dilakukan di
luar negeri tepatnya di Singapura. FK melakukan operasi 6 tahun yang lalu,
saat ini FK berumur 24 tahun. Berikut kutipan wawancara yang didapatkan
peneliti terkait operasi plastik yang dilakukan oleh FK:
“ya gak tahu juga sih, soalnya waktu pada saat di operasi itu aku gak itu, gak
ngelihat. aku dulu di singapura, aku sudah, operasi itu sudah 6 tahunan, itu
biayanya, hampir 300 juta. saya memutuskan untuk mengganti alat kelamin itu, biar
saya istilahnya kan jiwa saya sudah kayak cewek badan saya sudah kayak cewek,
biar tambah sempurna. kalau perawatannya yaitu minum antibiotic”
(FK, 3 September 2013, Line 82, 84, 86, 88, 90, dan 148)

Berdasarkan hasil wawancara dengan SK, informan mengatakan bahwa


hanya sekali melakukan rekonstruksi dengan menyuntik silikon pada
hidungnya, dalam pemakaian pil KB dilakukan selama 3 tahun dan dalam
sehari itu minum pil KB sebanyak 3 kali. Berikut ini kutipan wawancara
dengan SK:
“…cuma satu kali…”
(SK, 3 September 2013, Line 42)

“…mungkin 3 tahunan gitu dah. Tapi dah lama mbak berhenti, hampir 10 tahun lebih
dah berhentinya. 3 kali…“
(SK, 3 September 2013, Line 56 dan 58)

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan DD, didapatkan frekuensi


dalam menggunakan suntik kolagen yaitu jarak 2 tahun sekali dan dalam
jangka waktu yang lama. Berikut kutipan wawancara:
60

“…kalau aku dulu 2 tahun, tahun pertama pake, lalu 2 tahun pake lagi, memperbarui ini
ini… pokok dalam jangka waktu lama, gak langsung satu kali…”
(DD, 16 September 2013, Line 32)

Berdasarkan hasil wawancara dari semua informan, didapatkan bahwa


frekuensi rekonstruksi tubuh yang dilakukan oleh masing-masing informan
berbeda, dari pemakaian suntik silikon dan kolagen dari bulanan sampai
tahunan, pemakaian kontrasepsi pil KB yaitu sehari bisa 3 atau 4 kali, dan
hormon KB yang seminggu sekali.

9) Orang yang membantu dalam proses rekonstruksi


Karakteristik informan yang terakhir adalah orang yang membantu dalam
proses rekonstruksi yaitu seseorang yang membantu dalam melakukan
rekonstruksi, seperti petugas kesehatan sebagai ahlinya atau dibantu oleh
teman. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti
sebagian besar mengatakan bahwa yang membantu dalam merekonstruksi
yaitu menyuntik silikon maupun menyuntik hormon KB adalah teman dan
hanya yang melakukan operasi jenis kelamin saja yang dibantu oleh dokter
ahli. Selain teman, terdapat pula informan yang mengaku bahwa yang
menyuntik adalah mami waria dan dibantu temannya. Peneliti mendapatkan
sebuah pengakuan dari salah satu informan tambahan yaitu keluarga, adik
kandung dari informan utama, dia membantu dalam proses penyuntikan
hormon KB kepada waria yaitu kakak kandungnya sendiri dan juga terkadang
membantu waria lain untuk suntik hormon KB. Berikut kutipan hasil
wawancara dengan informan tambahan yaitu keluarga:
“…kadang dibantu temannya, kadang saya yang nyuntik juga. awalnya sih takut, tapi kan
dari kemaren-kemarennya itu di tempatnya mbak MM kan banyak bencong-bencong itu
minta tolong “ayo wes suntikno, timbang aku neng bidan bayare piro?” kan gitu.
Akhirnya aku bilang “aku loh, gak isok nyuntik”, pokok.e wes leboknho jarume. Akhirnya
saya coba kog gak apa-apa ya saya teruskan…”
(DPR, 13 September 2013, Line 48 dan 54)

Terlihat dari hasil penelitian pada sebagian informan saat proses


rekonstruksi, tidak semuanya dilakukan oleh tenaga ahli. Suntik silikon, pil
KB dan hormon suntik merupakan alternative yang diminati oleh waria dalam
rekonstruksi walaupun bahaya bagi kesehatan tubuh sangat besar, karena
61

untuk melakukan bedah plastik atau operasi plastik estetik itu relative mahal.
Seharusnya masyarakat atau waria lebih teliti lagi dalam menggunakan bahan
dan cara untuk rekonstruksi, seperti yang diungkapkan oleh dr M. Sjafuddin
Noer SpBP dalam Hanny Hafiar (2010), yang mengatakan:
“Masyarakat harus berhati-hati bila ditawari suntik silikon. Biasanya cara ini
ditawarkan dengan harga miring. Jika menghadapi tawaran seperti ini seharusnya
masyarakat kritis. Sebab, silikon cair itu sudah dilarang sejak lama. Jika ada tawaran
suntik silikon, apakah betul itu cairan silikon? Sebab, cairan itu harganya sangat mahal
dan digunakan di dunia medis saja. Jangan-jangan itu bahan kimia pabrik atau minyak
pelumas. Kalau, cairan tersebut bereaksi dengan jaringan tubuh, maka akan
menimbulkan silikonoma (bagian tubuh yang disuntik mengalami perubahan yang
bermasalah). Operasi untuk mengembalikan ke bentuk semula juga tidak bisa sekali
dilakukan. Ini membutuhkan beberapa kali penanganan. Itu pun tidak dapat kembali 100
persen seperti bentuk awal sebelum disuntik. Risiko 'asal suntik' ini sering dijumpai pada
pipi, hidung, dagu, dan bibir. Sekitar 10 persen pasien adalah orang-orang yang salah
suntik”

Untuk pemasangan silikon ke dalam tubuh harus diperhatikan


pemakaiannya, dan ditangani oleh ahli dan dengan prosedur atau tata cara
penggunaan yang benar supaya tidak terjadi suatu hal yang merugikan bagi
pemakainya.

4.3 Pemaknaan Rekonstruksi Tubuh


Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction (Inggris)
menurut Kamus Bahasa Indonesia memiliki arti pengembalian sebagai semula
atau penyusunan (penggambaran) kembali. Pada dunia kedokteran, dikenal istilah
bedah rekonstruksi. Bedah rekonstruksi adalah tindakan bedah yang ditujukan
untuk memperbaiki dari suatu keadaan yang tidak normal/cacat diupayakan
menjadi normal atau mendekati normal. Tindakan rekonstruksi ditujukan untuk
memperbaiki penampilan agar dapat meningkatan kualitas kehidupannya. Artinya
rekonstruksi tubuh sangat dimaknai begitu mendalam oleh waria, sehingga
mereka rela berkorban agar dapat merekonstruksi tubuhnya sehingga dapat
memperbaiki penampilannya supaya menjadi seorang wanita. Waria dilihat dari
definisi sosiologi, merupakan suatu transgender. Maksudnya adalah mereka yang
menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya,
yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian;
perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki
62

Oetomo (dalam Kurniawati, 2011) menyatakan bahwa dalam


perkembangannya waria merupakan “proyek” feminitas yang artinya suatu proses
keadaan maskulin ke feminin. Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki-laki,
mempertontonkan perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun
pada saat-saat tertentu mereka masih menunjukkan keagresifannya, menunjukkan
aksi maskulin dan menganggap penetrator sebagai peran seksualnya.
Satu hal yang cukup penting dalam proses pengenalan atribut perempuan
dalam diri waria adalah bagaimana waria melakukan rekonstruksi terhadap tubuh.
Hal ini didasari realitas bahwa secara biologis tubuh mereka ditandai dengan ciri-
ciri fisik sebagai seorang laki-laki (Rokhmah, 2009). Anthony Synnot (dalam
A’malia, 2010), menyatakan bahwa tubuh manusia memancarkan simbol-simbol
non verbal yang menunggu untuk dimaknai. Misalnya, bagaimana tubuh manusia
diinterpretasikan oleh orang-orang dalam konsensus tertentu atau suatu opini
pribadi. Begitu pula dengan waria yang melakukan rekonstruksi pada tubuhnya.
Secara umum, pendapat seorang waria mengenai rekonstruksi hampir sama, yaitu
mereka ingin tampil agar lebih feminin dan sempurna seperti wanita. Pemaknaan
tubuh feminin dan sempurna seperti wanita menimbulkan berbagai macam
dampak bagi waria terhadap orientasi tubuhnya. Permasalahan tidak puasnya
terhadap sosok tubuh, menyebabkan makin kuatnya keinginan waria untuk
melakukan berbagai cara demi memperbaiki penampilan fisiknya seperti
melakukan rekonstruksi. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan
informan mengenai arti rekonstruksi bagi mereka sebagai berikut:
“…kalau aku penting banget ya, untuk menjaga penampilan. Tapi sekarang itu kadang
tergantung warianya sih, ada waria yang gak direkonstruksi karena yang dia miliki
sudah perfect., sudah bagus, jadi gak perlu di apa-apakan lagi…”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 46)

“…untuk menyempurnakan badan kita…”


(FK, 3 September 2013, Line 66)

Tetapi, ada juga informan yang menganggap bahwa rekonstruksi itu tidak
terlalu berarti karena dia tidak terlalu mementingkan tubuh. Berikut ini kutipan
wawancara:
63

“…biasa aja kalau aku, soalnya aku gak terlalu mementingkan tubuh. Biar mau gendut
mau apa, biasa dengan keadaan ini wes, biasa aja. Gak terlalu neko-neko. Kan ada yang
pengen nambah susu, atau apa, kalau aku gak biasa ae…”
(DD, 16 september 2013, Line 56)

Demi mendapatkan tubuh yang sempurna, mereka melakukan rekonstruksi


dan banyak cara yang dilakukan waria demi menyempurnakan bentuk tubunnya
seperti melakukan operasi plastik, suntik silikon, kolagen, memakai kontrasepsi
seperti minum pil KB dan juga suntik hormon. Hal ini juga diungkapkan oleh
Koeswinarno (2005) bahwa untuk meningkatkan daya tarik, tidak jarang seorang
waria melakukan perubahan-perubahan pada bagian tubuh yang diianggap vital,
misalnya payudara, pipi, hidung, janggut dan pantat. Perubahan ini bisa dilakukan
dengan operasi plastik bagi yang ingin memiliki tubuh atau wajah yang cantik
serta mampu atau penyuntikan silikon bagi yang keadaan status ekonomi sedang
atau menengah kebawah .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata informan utama melakukan
rekonstruksi tubuh mulai dari wajah, yaitu pada hidung, dagu, pipi, bibir dengan
menggunakan suntik silikon, kolagen, atau minum pil KB dan suntik hormon. Hal
ini juga diperkuat oleh observasi yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat juga satu
informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa dia telah melakukan operasi
jenis kelamin. Hal ini diperkuat juga menurut Nadia (2005) yaitu, berbagai cara
dilakukan untuk menghilangkan atribut kelaki-lakiannya. Misalnya dengan
operasi kelamin, payudara, bibir dan sebagainya. Berikut pernyataan informan
yang terkait dengan rekonstruksi tubuh:
“…saya melakukan itu karena biar wajah saya dilihat bagus dan hidung saya tinggi,
menambah penampilan saya, menyempurnakan…”
(FK, 3 September 2013, Line 80)

“…ya kepengen percaya diri, kepengen cantik, ya kepengen punya tetek begitu…”
(SK, 3 September 2013, Line 79)

“…mungkin karena alasan ya, karena aku pesek gitu makanya dimancungkan. Kalau
pipi, karena aku kempot, gak pengen kelihatan tua gitu aja…”
(DD, 16 September 2013, Line 70)

Berdasarkan pada pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa rekonstruksi


tubuh yang dilakukan merupakan salah satu karakteristik yang dilakukan oleh
waria, yang menunjukkan adanya suatu makna dari simbol yaitu tentang
64

pemaknaan rekonstruksi yang dilakukan waria sehingga menunjukkan adanya


kualitas tertentu dari diri seorang waria yang dianggap oleh sebagian waria supaya
dapat tampil percaya diri dan merasa sempurna dengan memiliki bentuk wajah
dan tubuh yang bagus serta terlihat feminin. Hal ini didukung pula dari penelitian
yang dilakukan oleh A’malia (2010) bahwa melakukan operasi plastik atau suntik
implant untuk memperbaiki penampilan merupakan suatu hal yang wajar bagi
waria, tidak peduli apakah operasi atau suntik implant yang dijalankan aman atau
tidak bagi waria karena memiliki hidung yang mancung, dagu yang indah, bibir
yang merekah adalah suatu yang selalu diimpikan. Supaya mereka bisa memiliki
bentuk wajah yang sempurna seperti perempuan dan menghilangkan karakteristik
laki-laki pada wajahnya.

4.4 Interaksi Sosial pada Waria yang Telah Melakukan Rekonstruksi


Interaksi yang didasarkan dengan adanya kesadaran yang
satu terhadap yang lain ketika mereka saling berbuat, mengakui, dan mengenal.
Sehingga individu mampu beradaptasi pada banyak jenis masyarakat dan budaya.
Interaksi sosial hubungan atau pergaulan waria dengan keluarga, teman sebaya,
pasangan waria, komunitas waria, dan masyarakat.

4.4.1 Keluarga
Menurut H. Bonner (dalam Santosa, 2004) interaksi sosial adalah suatu
hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika kelakuan individu yang
satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain
atau sebaliknya. Setiap individu dalam kehidupan harus menjalin interaksi sosial
antar individu lain. Keluarga merupakan tempat sosialisasi awal terutama pada
masa kecil. Informan utama dalam penelitian ini sebagian besar sudah tidak
tinggal bersama keluarganya, karena di dalam ranah keluarga mereka berhadapan
dengan kendala yang paling berat. Hal ini mereka rasakan karena sejak awal
keluarga mereka menentang mereka menjadi waria, sehingga mereka memilih
untuk tidak tinggal dengan keluarga mereka. Berikut ini kutipan wawancara
mendalam yang peneliti dapatkan dari informan:
65

“…gak, gak pernah. Aku melakukan tanpa ijin orang tua, soale apa ya.. dulu pas aku
mau jadi kayak gini, keluarga mana, orang tua mana yang mau ya. jadi aku lari dari
keluarga. Istilahnya aku itu minggat, apa ya kabur dari rumah. Jadi aku bersama temen-
temen waria, lingkungannya waria semua. Jadi itu ya dari situ, aku mulai menjadi waria
yang sebenarnya. Karena aku lebih nyaman kumpul sama temen-temen sendiri daripada
sama keluarga sendiri sih. ya kita jaga perasaan lah ya, kalau kita sama keluarga ya.
kayak mau apa-apa kan ada batasannya, beda kalau kita sama temen-temen kan wes
biasa …”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 106 dan 108)

Hal ini diperkuat dengan penelitian Rokhmah (2009) yang mengatakan


bahwa proses sosialisasi waria dengan keluarga mengalami kesulitan pada awal
mereka memutuskan menjadi waria, karena keberadaan seorang waria secara
umum tidak pernah dikehendaki oleh keluarga. Pada saat waria melakukan
rekonstruksi, hal ini juga berpengaruh kepada respon atau tanggapan keluarga saat
mengetahui bahwa informan telah melakukan rekonstruksi, sebagian besar
keluarga tidak peduli dan biasa saja dengan yang dilakukan informan. Berikut ini
kutipan wawancara peelitian:
“…mereka gak terlalu banyak coment …“
(MM, 26 Agustus 2013, Line 110)

“…biasa aja, ya cuma bilang kenapa gitu. Tapi aku gak ngomong kalau aku suntik wajah
gitu. Soalnya aku jarang pulang mbak, satu bulan sekali kadang. Kadang 8 bulan aku
baru pulang…”
(DD, 16 September 2013, Line 140)

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar keluarga


informan sebenarnya banyak yang menolak ketika mengetahui rekonstruksi yang
dilakukan, tetapi seiring berjalannya waktu, keluarga akhirnya dapat menerima
dan biasa saja. Sehingga, menurut informan rekonstruksi tubuh yang dilakukan
tidak berpengaruh terhadap interaksi sosial dengan keluarganya.

4.4.2 Teman Sebaya


Teman sebaya merupakan individu yang memiliki kesamaan sosial atau
yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia dan kesamaan
tujuan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar informan mengatakan bahwa
rekonstruksi tubuh yang dilakukan tidak mempengaruhi dan tidak ada
permasalahan terhadap interaksi mereka dengan teman sebaya baik itu teman
66

sebaya waria maupun teman sebaya yang lainnya. Akan tetapi, terdapat konflik
walaupun tidak terlalu besar terkait dengan relasi interpersonal, berikut kutipan
wawancara yang didapatkan oleh peneliti:
“…itu sih, kalau teman sebaya saya ada yang setuju, ada yang gag. Istilahnya yang gag
itu kadang iri hati gitu, takut kalah saingan…”
(FK, 3 September 2013, Line 199)

Salah satu hal menarik yang didapatkan dalam penelitian, yaitu salah satu
informan penelitian mengatakan setelah dia merekonstruksi tubuh, dirinya
menjadi tidak nyaman untuk bergaul dengan teman sebaya yang bukan waria.
Berikut kutipan hasil wawancara peneliti dengan informan:
“…iya sih kayaknya, mungkin aku lebih menjauh dari temen-temen. Soalnya kan memang
aku sudah waria toh, jadi yak apa mau gaul sama temenku yang lainnya itu jadi agak gak
enak. mending aku bergaul dengan sesame waria. Kalau dulu, kalau sekarang uda gak
sih, temen sebaya aku cuma bilang, kamu sekarang kok gitu, “opo’o, ini ya memang
aku”. Kadang ada yang bilang, kamu kok beda ya…”
(DD, 16 September 2013, Line 146)

Berdasarkan hasil kutipan pada penelitian tersebut, terdapat sesuatu hal


yang berbeda bahwa sebenarnya setiap orang dalam kehidupannya pasti
memerlukan interaksi dengan orang lain di sekitarnya. Waria juga memiliki
kebutuhan yang sama dengan manusia pada umumnya. Kebutuhan akan rasa aman
dan memiliki serta adanya suatu penghargaan dan pengakuan dari orang lain
(Puspitosari, 2005).

4.4.3 Pasangan Waria


Seorang manusia, memiliki pasangan hidup dapat dipandang dalam
beberapa aspek, antara lain sebagai media reproduksi, penyaluran hasrat seksual
sekaligus pasangan hidup untuk saling melindungi dan memberikan kepuasan
tertentu. Demikian juga pada waria (Rokhmah, 2009). Salah satu alasan waria
melakukan rekonstruksi adalah untuk menarik pasangan secara seksual. Waria
memiliki karakteristik tersendiri dalam melakukan hubungan seksual.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian informan menyatakan dengan melakukan
rekonstruksi tubuh interaksi dengan pasangannya semakin baik, dan pasangan
merasa puas dengan hasil rekonstruksi yang telah dilakukan. Berikut salah satu
kutipan wawancara dengan informan:
67

“…menurut beliau tambah senang, ehm, sebelum dan sesudah. Sebelumnya itu kadang
pasangan saya itu mengatakan gak kurang nikmat. Tapi setelah aku apa namanya,
operasi itu dia mengatakan lebih puas dari sebelumnya…”
(FK, 3 September 2013, 237 dan 247, )

Berdasarkan kutipan wawancara diatas, pasangan FK sangat senang


dengan perubahan atau rekonstruksi yang telah dilakukan olehnya. FK merupakan
salah satu waria yang melakukan rekonstruksi tubuh dengan operasi jenis kelamin.

4.4.4 Komunitas Waria


Interaksi sosial informan dengan sesama komunitas waria tidak mengalami
kesulitan. Ketika mereka berkumpul dengan sesama komunitas mereka, seluruh
informan merasa tidak ada pertentangan dan penolakan, bahkan mereka merasa
senasib dan sehati (Rokhmah, 2009). Waria adalah komunitas eksklusif yang lebih
suka hidup berkelompok dengan sesama waria dengan alasan kenyamanan karena
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan waria masih berbeda-beda. Para
waria yang ada selalu berusaha untuk terus mengemukakan eksistensinya,
sehingga mereka membentuk suatu organisasi atau komunitas. Komunitas ini
dibentuk sebagai wadah berinteraksi, berkumpul, mendapat informasi dan
sekaligus memperjuangkan hak-hak mereka yang kadang masih terpinggirkan dan
dipertanyakan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, melalui interaksi
dengan komunitas informan mendapat banyak informasi dan pengetahuan tentang
rekonstruksi dari komunitas sesama waria. Menurut hasil penelitian sebagian
besar infoman menyatakan bahwa, rekonstruksi tubuh yang dilakukan waria itu
merupakan sebuah trend dikalangan waria. Berikut hasil kutipan wawancara
peneliti dengan informan:
“…kalau sekarang trend ya…”
(DD, 16 September 2013, Line 168)

“…trend…”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 150)

Selain mendapatkan informasi, dan pengetahuan tentang rekonstruksi,


interaksi yang terjadi di komunitas juga menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi waria untuk melakukan rekonstruksi. Waria mendapatkan
68

dorongan dan juga dukungan dari teman-teman yang berada di komunitas untuk
melakukan rekonstruksi, berikut kutipan hasil wawancara penelitian:

“…iya, kita kan bercerita dulu. Untuk mencari informasinya. Ya, bercerita dulu,
sharing-sharing dulu. Cari tempat yang murah, cari tempat yang bagus. Ya gitu non. ya,
komunitasku itu ibaratnya menganjurkan bagi yang mampu ya. bagi yang mampu dan
mau. Kadang ada sebagian yang, “aku kayak gini ae”. Karena kan mereka masih ada
keluarga, ini itu.. bekerja, bekerja di apa, ehm kayak di pegawai negeri itu kan belum
berani. Mereka masih dari kalangan kantor…”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 152 dan 154)

“…ya apa ya, mempengaruhi aku. “eh, kamu kalo diginikan lebih cantik, kamu kalau
hidungnya mancung itu lebih ayu. Gak pesek, gak ndlesep” gitu aja, mempengaruhi gitu
aja…”
(DD, 16 September 2013, Line 170)

Setelah melakukan rekonstruksi, menurut hasil penelitian tidak ada


perbedaan perlakuan diantara informan yang telah melakukan rekonstruksi dengan
komunitas mereka. Sebagian besar, informan mengaku bahwa komunitas mereka
menganggap biasa-biasa saja.
Berdasarkan hasil penelitian, setelah informan melakukan rekonstruksi,
tidak mempengaruhi interaksi yang terjadi diantara informan dan komunitas
sesama waria, dengan adanya interaksi sosial diantara komunitas mereka
mendapatkan banyak informasi dan masukan tentang rekonstruksi sehingga
mereka terdorong untuk melakukan rekonstruksi. Tetapi jika dilihat dari faktor
internal, terjadi sebuah persaingan antara kelompok waria. Hal ini dipicu karena
faktor daya tarik tiap waria utamanya yang melakukan rekonstruksi tubuh. Berikut
kutipan wawancara yang diperoleh peneliti dari informan yang telah melakukan
operasi jenis kelamin, ketika peneliti bertanya tentang perbedaan perlakuan yang
didapatkan dari komunitas setelah melakukan rekonstruksi:
“…perbedaannya? Disini yang ditanyakan perbedaannya ya. disini sebenarnya
perbedaannya sebelum saya operasi itu perbedaannya biasa aja ke saya. Ada yang biasa
ada yang gitu dah.. sesudahnya ada yang kayak iri hati yang kayak gimana gitu ke saya,
sikapnya berbeda…”
(FK, 3 September 2013, Line 284)
69

4.4.4 Masyarakat
Masyarakat merupakan bahasan dari sosiologi. Masyarakat sebagai
kelompok orang adalah merupakan wadah pergaulan bagi orang-orang itu sendiri,
dimana antara satu dengan yang lain terjalin suatu hubungan yang timbal-balik
guna mewujudkan suatu tujuan hidup masing-masing. Menurut Keontjaningrat
masyarakat adalah “kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu identitas
bersama” (Puspitosari, 2005). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar
informan menyatakan bahwa setelah mereka melakukan rekonstruksi, tidak
berpengaruh pada interaksi mereka dengan masyarakat sekitar baik masyarakat
yang berada di sekitar rumah maupun sekitar tempat kerja. Dalam kehidupan
sosial kaum waria banyak menghadapi berbagai tekanan-tekanan sosial, selain itu
mereka kurang mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat (Puspitosari
2005). Berikut kutipan wawancara penelitian:
“…gak, biasa semua. gak, gak ada perubahan yang berbeda. Karena mereka
menghormati saya, dilihat sama mereka itu istilahnya saya bisa merubah diri saya
berarrti saya hidup di dunia ini ndak boleh dipandang sebelah mata karena saya bisa
merubah diri saya sendiri dan saya memiliki usaha, jadi mereka itu segan, segan sama
saya dan sellau menghargai saya…”
(FK, 3 September 2013, Line 286 dan 290)

“…ya awalnya sih, mereka. Apa ya, kayaknya.. kan kita ada sedikit yang berubah ya.
pangling gitu. Kadang lupa “ehh siapa itu, ehh iya” “hlo, kog bedho” kebanyakan gitu
gak, ada. kebanyakan gak peduli sih, apa sih maksudnya, ya uwis gitu, apa ya…”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 160, 164 dan 166)

Dari kutipan wawancara dengan informan, didapatkan sebagian besar


masyarakat tidak terlalu peduli dengan keberadaan mereka, sehingga interaksi
yang terjadi di masyarakat baik di sekitar rumah maupun di sekitar tempat kerja
tidak terlalu berpengaruh setelah informan melakukan rekonstruksi.

4.5 Dampak Rekonstruksi tubuh pada Waria dari Aspek Kesehatan


Pengertian sehat menurut Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Sementara definisi sehat menurut WHO adalah keadaan sehat jasmani, rohani
70

(mental) dan sosial yang bukan hanya bebas dari penyakit cacat dan kelemahan.
Sebagian besar dari informan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
dari berbagai jenis bahan dan cara melakukan rekonstruksi informan penelitian
mengesampingkan tentang dampak atau bahaya penggunaan bahan kimia dalam
proses rekonstruksi terhadap kesehatan tubuhnya. Hal ini diperoleh dari kutipan
wawancara berikut:
“…semua kayak gitu kan mesti ada efek sampingnya, tapi aku kadang mengesampingkan
hal-hal kayak gitu, yang penting aku bisa kelihatan menarik. Jadi, itu gak selalu aku
pikirkan efek sampingnya...”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 26)

“…kalau itu sih pikiran yang ke belakangnya itu, ya namanya kita waria kan pengennya.
Beda-beda pendapat kan, pengen yang ini yang itu. Kalau saya sih gak berfikir
belakangannya…”
(FK, 3 September 2013, Line 118)

“…ehm, pertama sih takut. Akhirnya, ya gak sih biasa aja. Soalnya apa ya, kan aku uda
mengalami berapa tahun. Jadi sudah dalam jangka waktu yang lama, jadi biasa aja.
Kalau pertama sih takut…”
(DD, 16 September 2013, Line 94)

Berdasarkan hasil penelitian, jenis bahan seperti silikon dan kolagen yang
disuntikkan ke dalam tubuh akan berdampak kepada kesehatan seseorang, apalagi
bila bahan yang dimasukkan bukan merupakan bahan asli dan dilakukan dengan
cara menyuntikkan ke dalam tubuh. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Salirawati (2012) jika ada yang melakukan suntik silikon, pasti bukan silikon
murni karena silikon murni yang padat selalu ditanamkan ke dalam tubuh pasien
bukan melalui suntik tetapi melalui operasi bedah plastik, begitu juga pada
penggunaan kolagen. Kolagen bukanlah cairan yang disuntikkan sama seperti
silikon, karena kolagen lebih cocok untuk jaringan kulit, bukan pada jaringan
lemak. Sedangkan seperti yang diketahui, payudara adalah jaringan lemak
sehingga tidak sesuai jika dimasukkan kolagen. Selain itu pada payudara (wanita,
waria, pria) terdapat banyak pembuluh darah besar atau vena, sehingga zat yang
disuntikkan dapat langsung menerobos pembuluh darah dan menyumbatnya. Hal
inilah yang menyebabkan tak seorang dokterpun mau menyuntikkan kolagen
kedalam payudara, karena nyawa taruhannya. Cara yang paling aman adalah
melalui operasi dengan memasukkan kantong silikon gel, sehingga jika ada
masalah peradangan atau alergi sebagai reaksi tubuh menolak keberadaannya,
71

akan lebih mudah dikeluarkan lagi. Oleh karena itu, di dunia medis biasanya
kolagen hanya digunakan untuk mengatasi kerutan kulit, bukan untuk
memperbesar payudara.
Selain itu, bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan suntik silikon
dan kolagen bagi kesehatan diantaranya:
1) Sekali dimasukkan dalam tubuh, silikon cair tidak dapat dikeluarkan
secara sempurna.
2) Silikon cair dapat memicu reaksi penolakan tubuh
3) Silikon cair tidak punya kemampuan untuk mempertahankan
bentuknya
4) Risiko infeksi dan penularan penyakit
5) Kesalahan penyuntikan
6) Peradangan dan infeksi saat menggunakan bahan kimia kolagen
Berdasarkan bahaya yang telah disebutkan, sebenarnya informan telah
mengalami gejala-gejala seperti reaksi penolakan tubuh saat melakukan suntik
silikon maupun kolagen. Tetapi, informan tidak menyadari bahwa hal tersebut
merupakan salah satu gejala dari bahaya yang ditimbulkan. Berikut kutipan
wawancaranya:
“…kalau kesakitan itu sudah biasa, soalnya kan sehari dua hari itu masih aboh
gitu, bengkak. Jadi kalau gak bengkak itu masih belum bentuk...”
(DD, 16 September 2013, Line 104)

“…ehm… ada sih sedikit, kadang kan kalau apa itu, kita suntik silikon kadang ada
kayak, kalau kita itu selalu terkena sentuhan yang berlebihan itu kadang terasa
sakit…”
(MM, 26 Agustus 2013, Line 78)

Hal ini, juga diungkapkan, oleh pendamping lapangan yaitu, berikut kutipannya:

“…ya itu, biasanya kan abis disuntik harus diratakan dipijet-pijet hidungnya gitu,
tapi kebanyakan mesti merah. Dan pasti ada bekas merah, kalau merah itu pasti dia
pakek silikon…”
(RS, 26 Juli 2013 Line 86)

Selain penggunaan silikon dan kolagen, sebagian besar informan


menggunakan kontrasepsi, yaitu berupa pil KB dan suntik hormon KB.
Berdasarkan hasil penelitian, efek yang dirasakan oleh informan saat
72

menggunakan kontrasepsi yaitu bertambahnya berat badan, kulit menjadi bersih,


dan payudara membesar tetapi nafsu seksualnya menurun hal ini diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Prof. Nurul Ilmi Idris, Ph. D (2012) dikutip dari
seminar bulanan yang dilakukan oleh Media Center PSKK UGM menyatakan
efek penggunaan produk-produk hormonal bagi para waria. Baik pil maupun
suntik KB dapat membuat payudara tumbuh, menghaluskan kulit, membentuk
pantat, hingga mengurangi otot. Hal ini merupakan efek positif. Tapi ada juga
efek merugikan seperti diare, mual, mengantuk, berjerawat, timbul flek merah di
wajah, bahkan konstipasi atau sembelit. Berikut hasil kutipan wawancara dari
informan yang mengungkapkan efek positif dari penggunaan kontrasepsi yaitu pil
KB:
“seumpamanya badan kita sebelumnya tidak minum pil kb itu berbentuk lagi
setelah kita minum kb bisa lentur, kulit kita itu bisa bercahaya. sangat terasa dan
itu jangka waktunya kita minum. Minum satu bulan di badan itu sudah ada
perubahan. Kulit kita bisa bersih, bercahaya, berminyak gitu”
(FK, 3 September 2013, Line 68 dan 70)

Selain efek positif, beberapa informan juga mengalami efek yang


merugikan bagi dirinya setelah melakukan suntik hormon, seperti dikutip dari
wawancara berikut:
“kalau rekonstruksinya sendiri gak, cuman hormonnya. Kalau hormon kan bikin
kita apa ya, kayak seksualnya kurang, kurang bergairah gitu”
(MM, 18 September 2013,Line 195)

Rekonstruksi yang dilakukan oleh informan, selain penggunaan silikon,


kolagen dan KB juga terdapat satu informan yang telah melakukan operasi plastik
yaitu jenis kelamin. Berdasarkan hasil dari wawancara dengan informan yang
bersangkutan, informan menyatakan bahwa sampai saat ini operasi yang telah
berjalan sekitar 6 tahun masih belum menimbulkan efek atau dampak terhadap
kesehatannya. Demi menjaga kesehatan setelah operasi, informan menyatakan
hanya meminum antibiotik saja.

Anda mungkin juga menyukai