Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS KONSEP PENGATURAN GUGATAN

WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:

RIZKI NUGROHO FITRIANTO


NPM: 16.81.0562

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2021
ANALISIS KONSEP PENGATURAN GUGATAN
WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna melanjutkan


penyusunan skripsi pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Kalimantan

Oleh:

RIZKI NUGROHO FITRIANTO


NPM: 16.81.0562

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepadaTuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya yang telah memberikan nikmat kepada kita, sehingga dapat

menyelesaikan Proposal Skripsi ini tepat pada waktunya yang berjudul

ANALISIS KONSEP PENGATURAN GUGATAN WARGA NEGARA

(CITIZEN LAWSUIT)

. Proposal ini bertujuan untukmemenuhi salah satu syarat guna

melanjutkan penyusunan skripsi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada

dosen pembimbing dan semua pihak yang telah memberikan dukunga moril

maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna

membangun demi kesempurnaan proposal skripsi ini. Semoga proposal skripsi ini

dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi pembaca.

Banjarmasin, juli 2021

Rizki Nugroho Fitrianto


A. JUDUL PENELITIAN

“ANALISIS KONSEP PENGATURAN GUGATAN WARGA NEGARA

(CITIZEN LAWSUIT) “

B. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan Negara Hukum (Rechstaat), sebagaimana yang

tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) hasil Amandemen, d an tentunya hal ini sudah cukup

jelas dan memberikan isyarat bahwa segala aspek yang terjadi di dalam negara

hukum tentunya di atur melalui sebuah peraturan (Hukum), dan hal tersebut juga

mengisyaratkan bahwa UUD 1945 telah menjamin hak-hak warga Negara agar

setiap warga Negara mendapat perlindungan dari Pemerintah Negara. Dan salah

satu tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Alinea ke

IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD NRI Tahun 1945) adalah

untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan

tersebut, negara Indonesia berlandaskan pada prinsip-prinsip yang dijadikan pilar

dalam penyelenggaraan negara. Salah satunya adalah prinsip negara hukum

sebagaimana yang sudah disampaikan diatas yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat

(3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar”, yang bermakna kedaulatan berada di tangan rakyat dan segala tindakan
yang dijalankan ataupun diputuskan oleh alat kelengkapan negara dan masyarakat

harus didasarkan pada aturan hukum.1

Dalam prinsip negara hukum ini, Aristoteles mengemukakan pemikiran

bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang

adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.2

Hukum merupakan suatu kesatuan sistem bernegara. Sesungguhnya,

pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, bukan tercermin

pada pribadi atau orang. Konsep negara hukum menghendaki adanya unsur-unsur

tertentu dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, yang terutama yaitu

adanya jaminan hak asasi manusia (HAM). Sejatinya negara terbentuk karena

adanya kontrak sosial. Dari kontrak sosial inilah individu-individu dalam ikatan

kehidupan bersama dalam negara menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya

kepada komunitas negara, sehingga negara harus memberikan jaminan kepada

hak-hak yang melekat di dalam individu-individu maupun di dalam ikatan

kehidupan kemasyarakatan.3

Mengingat bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, oleh karenanya

dirasa sangat perlu akan adanya sebuah mekanisme untuk menjamin dan

melindungi hak-hak warga Negara tersebut, yang salah satunya dijalankan melalui
1
Kedaulatan berada ditangan rakyat dapat diartikan sebagai demokrasi, akan tetapi demokrasi yang
konstitusional (consti- tutional democracy), yaitu demokrasi yang berdasarkan oleh hukum. Lihat Jimly Asshiddiqie.
2010. Green Constitution. Jakarta: Rajawali Pers, h. 108. Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Krabe bahwa negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada
hukum yang berlaku.Ini berarti hukum membawahkan negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari
kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal).
Lihat Usep Ranawijaya,1983. Hukum Tata Negara:Dasar-Dasarnya. Jakarta: Ghalia Indonesia, h.181.

2
Mukthie Fadjar. 2004. Tipe Negara Hukum. Malang:Bayu Media,h.19.
3
Hestu Cipto Handoyo. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Cah
Kll aya Atma Pustaka, h.17.
penyelesaian di Pengadilan. Pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang mana dalam

pasal tersebut telah diatur tentang Kekuasaan Kehakiman yang dilaksankan oleh

Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada dibawahnya dalam

lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Dalam upaya penegakkan hukum disebuah Negara, tentunya lembaga

Peradilan menjadi salah satu ujung tombak dalam upaya penegakkan Hukum dan

Keadilan, lembaga Peradilan juga berperan penting sebagai pengawal bagi para

pencari keadilan di Negara Hukum. Lembaga Peradilan dan segala komponen di

dalamnya termasuk tentang kekuasaan Kehakiman adalah tempat terakhir bagi

masyarakat pencari Keadilan. Oleh karenanya penguatan lembaga Peradilan sudah

semestinya menjadi sebuah keharusan demi menegakkan keadilan dan melindungi

hak-hak setiap orang.

Mengutip kalimat dari Guru Besar Sejarah Universitas Cambridge dan

Sejarawan Moralis Inggris Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton)

yang terkenal, ia mengatakan bahwa: “Power tends to corrupt, and absolute

power tends to corrupt absolutely” (terjemah penulis: Kekuasaan cenderung

untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak pasti mutlak untuk korup), dan dari sini

dapat kita pahami bahwa, tidak menutup kemungkinan sebuah Negara yang

dijalankan oleh Pemerintah (Manusia) dapat melakukan sebuah kesalahan yang

kemudian dianggap tidak adil, tidak berpihak kepada rakyat bahkan dianggap

mengambil hak-hak rakyat, maka semestinya apabila kemudian diduga terdapat


kesalahan dalam sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Masyarakat

dapat mengambil sebuah jalan dengan melakukan gugatan melalui Pengadilan

sebagai sebuah alternatif mekanisme penegakan hak-hak warga Negara melalui

sistem check and balances di Pengadilan.

Kemudian apabila memang terjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan

oleh Pemerintah Negara (Indonesia) terhadap warga Negaranya, diharapkan

memang adanya sebuah sistem atau mekanisme guna terlaksananya check and

balances dalam kehidupan berbangsa serta bernegara, dan dalam beberapa dekade

belakangan ini memang di dunia Peradilan Indonesia terbit beberapa model

gugatan yang sebelumnya tidak dikenal dalam proses beracara dalam lingkungan

Peradilan di Indonesia yang merupakan adopsi dari sistem Hukum lain. Model

gugatan tersebut dikenal dengan istilah gugatan “Citizen Lawsuit” atau dalam

terminologi hukum Indonesia saat ini diterjemahkan sebagai “Gugatan Warga

Negara”.

Pada masalah yang penulis teliti, upaya penegakan hukum sebagai salah

satu komponen keberlangsungan sebuah Negara Hukum tentunya juga

mempunyai hubungan erat dengan berbagai sektor lainnya4. Seperti ekonomi,

politik, budaya dan pertahanan keamanan. Pembangunan hukum bukanlah sebuah

proses yang otonom atau terkotak-kotakkan berdasarkan wilayah atau sebuah

sektor saja, melainkan sebuah proses yang heteronom, artinya pembangunan

4
M. Busyoro Muqodas Salman Luthan san Muh Miftahudin, 1992, Politik Hukum
Nasional sebuah Pengantar, ULI Press, Yogyakarta, hlm. 2.
hukum tidak bisa dilepaskan dari sektor-sektor lainnya. Maka dari sebuah metode

Check and Balances seperti Gugatan warga Negara ini sangat penting.

Kemudian berangkat dari hal tersebut muncul lah pemikiran bahwasanya

sistem hukum acara tentunya harus lengkap, namun hingga sampai saat ini penulis

sudah menelaah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP)

dan mencari diberbagai literatur tentang Gugatan Warga Negara atau Citizen

Lawsuit, ternyata prosedur dan tatacara ber-acara gugatan ini masih belum diatur

secara jelas. Dari praktik yang ada selama ini di Indonesia, Citizen Lawsuit hanya

berdasarkan yurisprudensi-yurisprudensi yang diterima sebagai dasar hukum,

meski begitu Citizen Lawsuit tetap dapat digunakan sebagai mekanisme gugatan

warga Negara kepada Negara (pemerintahan) agar negara memenuhi hak-hak

warga negara, seperti yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang dasar 1945

melalui tindakan tertentu berupa pembentukan kebijakan atau peraturan tertentu.

Sistem hukum acara yang baik pastinya mampu mengakomodir

kepentingan penuntutan hak ke Pengadilan melalui lembaga-lembaga penegakkan

hukum yang memadai, baik menyangkut penuntutan hak oleh seseorang atau oleh

sekelompok orang dalam jumlah yang besar atau Masyarakat luas.

Proses penegakkan hukum melalui pengadilan yang tidak memadai,

pastinya akan mendorong para pencari keadilan untuk menyelasaikan

permasalahannya diluar pengadilan. Ketiadaan atau kekurang lengkapan suatu

sarana yang dapat dipergunakan oleh sekelompok orang dalam jumlah yang besar

atau masyarakat luas untuk menuntut haknya melalui pengadilan atau lembaga

lainnya diluar pengadilan, misalnya lembaga DPR, dapat menimbulkan


kerawanan sosial atau tindakan kekerasan, sebagaimana dikemukakan oleh

Durkheim5 “kekerasan hanya akan terjadi apabila cara mengerjakan sesuatu

yang telah dikukuhkan secara tradisional (lewat budaya, hukum, agama) tidak

lagi memadai”. Untuk menghindari kerawanan-kerawanan tersebut diperlukan

sarana yang tepat, memadai, terarah dan jelas bagi Masyarakat untuk dapat

menuntut apa yang menjadi haknya.

Selain menimbulkan dapat menimbulkan kerawanan Sosial6 berupa

kekerasan atau anarkisme, ketiadaan petunjuk untuk mencari sebuah alternatif

penyelesaian masalah, juga dapat berdampak pada aspek Psikologis Masyarakat

secara langsung, kejadian semacam ini dapat menimbulkan sifat tidak percaya

terhadap penegak hukum atau Negara selain itu juga dapat menimbulkan sikap

pesimistis Masyarakat terhadap penegakkan hukum dan apabila sifat pesimistis ini

muncul disetiap Individu yang ada di negara ini, maka hal ini sangat

memungkinkan menimbulkan sikap kesewenang-wenangan oleh pemerintah.

Maka dengan demikian tentunya sangat penting bagi sebuah Negara

Hukum untuk memberikan sebuah jalan atau upaya terhadap Warga negaranya

untuk melakukan sebuah upaya guna terwujudnya usaha Check and Balance

apabila memang suatu ketika Negara dianggap melakukan kesalahan atau

kelalaian.

5
Bruce J. Choen, Sosiologi, Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 338

6
Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan
oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok
golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
masyarakat/kelompok golongan tersebut. Indra Kertati, dalam Majalah Ilmiah FISIP UNTAG
Semarang, Volume 1 No. 21 Oktober 2020
Berbicara tentang upaya Hukum, di Indonesia Secara umum upaya

Hukum yang ditempuh melalui jalur perdata ada 2 (dua) macam yaitu sebagai

berikut:

a. Upaya hukum/gugatan yang dilakukan diluar pengadilan yang

dikenal dengan sebutan Non Litigasi

b. Gugatan yang dilakukan melalui Peradilan yang biasa disebut

dengan Litigasi.

Dan didalam gugatan perdata melalui pengadilan (litigasi) seperti yang

sudah penulis sampaikan pada uraian diatas ada gugatan yang merupakan adopsi

dari Hukum di Negara lain yang dapat dilakukan oleh sekelompok Warga Negara

yang merasa memiliki kesamaan tujuan dan merasa dirinya dirugikan oleh Negara

atas dasar kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara Negara (Pemerintah)

dalam memenuhi hak Warga Negara, dan gugatan tersebut dikenal dengan istilah

Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit).

Namun seringkali orang juga masih sulit membedakan perbedaan

gugatan Citizen Lawsuit ini dengan gugatan Class Action, mengingat keduanya

sama-sama diajukan lebih dari 1 orang sehingga masih banyak orang yang masih

sulit membedakan gugatan Citizen Lawsuit ini dengan gugatan Class Action,

terlebih istilah Citizen Lawsuit masih sangat jarang digunakan di Indonesia

bahkan bagi para praktisi Hukum sekalipun, padahal terdapat beberapa perbedaan

yang cukup signifikan diantara keduanya, oleh karena itulah sebelum melangkah
lebih jauh disini penulis merasa perlu untuk membuat sedikit penjabaran tentang

perbedaan keduanya.

Berdasarkan konsepnya, Citizen Lawsuit mirip dengan gugatan Class

Action (Gugatan Kelompok) yakni dalam hal kepentingan suatu kelompok

masyarakat diganggu oleh adanya suatu perbuatan hukum yang mana dalam hal

Citizen Lawsuit subjek pelaku perbuatan hukum tersebut adalah

Pemerintah/Negara. Perbedaannya adalah, kepentingan dalam Citizen Lawsuit

bukanlah kepentingan yang bersifat langsung namun lebih kepada hak-hak warga

negara secara umum. Yang dimajukan dalam hal ini adalah “kepentingan untuk

menggugat” (Processbelang) sebagai warga Negara (mewakili seluruh warga

yang dilingkupi peraturan yang akan jadi objek) dan bukan lagi semata-mata

sebagai “kepentingan perlindungan nilai” (Het Rechtens te Beschermen Belang).

Menurut Ten Berge7 kepentingan dalam hukum publik memiliki dua arti, yakni:

1. Het rechtens te bescherment belang atau Kepentingan yang

menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan

2. Processbelang atau Kepentingan Proses, yakni hal-hal yang hendak

dicapai dengan melakukan gugatan di pengadilan.

Lebih lanjut yang dimaksud dengan gugatan Class Action (Gugatan

Perwakilan Kelompok) adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana

satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri

atau diri‐sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya

7
J.B.J.M. Ten Berge, dan A.Q.C. Tak, Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief
Processrecht, Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987, hlm. 65.
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok

dan anggota kelompok dimaksud.

Perwakilan kelompok dapat dibagi dalam :

1. Wakil kelompok yaitu satu orang atau lebih yang menderita

kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok

orang yang lebih banyak jumlahnya.

2. Anggota kelompok yaitu sekelompok orang dalam jumlah

banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh

wakil kelompok di pengadilan

3. Sub kelompok yaitu pengelompokan anggota kelompok ke dalam

kelompok yang lebih kecil dalam satu gugatan berdasarkan perbedaan

tingkat penderitaan dan / atau jenis kerugian.

Kemudian yang dimaksud dengan gugatan Citizen Lawsuit yaitu gugatan

yang diajukan sekelompok orang atau Masyarakat terhadap Otoritas (Pemerintah),

yang memperjuangkan kepentingan publik karena negara dianggap membuat

suatu peraturan atau kebijakan yang dianggap keliru dan bisa merugikan rakyat

atau Warga Negara, atau bisa juga karena terjadi Omisi (Pembiaran) atas suatu

kejadian yang bisa merugikan Masyarakat. Lebih lanjut dalam hasil penelitiannya

“Class Action & Citizen Lawsuit Laporan Penelitian” H. Anwar Usman, SH.,

MH. Menjelaskan bahwa Citizen Lawsuit dapat dijelaskan sebagai sebuah

mekanisme bagi warga Negara untuk menggugat tanggungjawab Penyelenggara

Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut

didalilkan sebagai perbuatan melawan Hukum. Oleh karena itu atas kelalaian
tersebut, Negara dihukum untuk melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan

suatu kebijakan yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian tersebut tidak

terjadi lagi dikemudian hari8.

Lebih mudahnya penulis mencoba untuk menggambarkan melalui sebuah

tabel terkait perbedaan keduanya, yakni sebagai berikut :

Tabel perbedaan antara Class Action dan Citizen Lawsuit ;

Bentuk
Penggugat Tergugat Tuntutan Keterangan
Gugatan

Mengalami
- Individu 1. Pemerintah ‐ Pemulihan kerugian
2. Perusahan Keadaan langsung
- Kelompok
Class Action 3. Badan lingkungan maupun
masyarakat
hukum dll berpotensi
4. Individu ‐ Ganti rugi mengalmi
kerugian

‐ individu Ganti rugi


‐ Kelompok maupun
Masyarakat Pemerintah pemulian suatu
Citizen Lawsuit ‐ Badan keadaan
Hukum
‐ Ngo/LSM

Berdasarkan uraian serta penggambaran melalui tabel diatas, dapat

dipahami bahwasanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara gugatan

Class Action dengan gugatan Citizen Lawsuit, baik dari para pihak yang terlibat

8
H.Anwar Usman, SH., MH. Dalam Class Action dan Citizen Lawsuit Laporan
penelitian 2009 Hal. 57
di dalamnya serta pada petitum gugatannya.

Gugatan Citizen Law Suit atau Action Popularis9 atau gugatan Warga Negara

adalah sebuah mekanisme gugatan yang sudah cukup lama dikenal dan

berkembang di beberapa Negara, menurut Isrok, Citizen Lawsuit merupakan

mekanisme bagi warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Negara atas

kesalahan10 dalam memenuhi hak-hak warga Negara11 namun sayangnya gugatan

Citizen Law Suit ini merupakan salah satu upaya hukum yang jarang diketahui

secara jelas oleh Masyarakat awam. Oleh karena itu salah satu keprihatinan dalam

penyelesaian permasalahan hukum di Indonesia selain memang karena belum ada

aturan beracara yang jelas mengenai Citizen Lawsuit ini dan batas kewenangan

kehakiman, adalah bentuk ketidaktahuan publik terhadap mekanisme penyelesaian

masalah itu sendiri khususnya gugatan Citizen Law Suit ini.

Gugatan Citizen Lawsuit ini sudah dikenal lebih dulu dan lahir di luar

negeri dan di Negara-Negara yang menganut sistem Hukum Common Law, dan

dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan

lingkungan yang diajukan oleh warga Negara Amerika pada Tahun 1970 yang

dikenal dengan Clean Air Act (Pasal 304), selain itu hak gugat ini juga dapat

ditemui pada beberapa undang-undang lainnya, antara lain dalam Clean Water Act

(Pasal 505),

9
adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara
perwakilan Syahdeini, Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis,
http://sudikno.blogspot.com, 07-03-2008.
10
Kesalahan (schuld) dapat berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa).
11
Isrok dan Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit: Penegakan Hukum Alternatif Warga
Negara, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010, hlm. 21.
Melihat dari penjelasan diatas, tentunya hasil atau output daripada

gugatan Warga Negara ini menimbulkan dampak yang sangat luar biasa apabila

memang dalam praktiknya Negara terbukti melakukan kelalaian atau

pelanggaran. Dari praktik yang ada selama ini dan berdasarkan yurisprudensi-

yurisprudensi yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum, maka saat ini

Citizen Lawsuit ini dapat digunakan sebagai salah satu mekanisme gugatan

Warga Negara kepada Negara (Pemerintahan) agar Negara memenuhi hak-hak

warga Negara melalui tindakan tertentu berupa pembentukan kebijakan atau

peraturan tertentu.

Dan pastinya Citizen Lawsuit ini diharapkan mampu menjadi sebuah

Mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Negara atas

kesalahan dalam memenuhi hak-hak Warga Negara, yang mana bahwa setiap

Warga Negara berhak dan memiliki kedudukan yang sama untuk menggugat

Negara di muka hakim agar Negara memenuhi hak-hak yang dilanggar oleh

Negara. Namun tentunya dalam sebuah mekanisme itu sudah seharusnya

terdapat sebuah pengaturan yang jelas dan baku mengenai tata cara ber-acaranya,

sampai pada eksekusi putusannya.

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Citizen Lawsuit

atau gugatan Warga Negara ini karena Beberapa referensi menyatakan bahwa hak

gugat warga Negara (Citizen Law Suit) masih belum diatur di Indonesia namun telah

lama berkembang di negara-negara yang menganut sistem Common Law.

Karakteristik utama yang membedakan antara sistem Common Law dan Civil Law

adalah dalam sistem Common Law, yurisprudensi dijadikan sebagai sumber


hukum utama, menganut doktrin stare decisis,12 dan adanya adversary system13

dalam proses peradilan. Berbeda halnya dalam sistem hukum Civil Law yang

mengenal adanya kodifikasi, undang-undang sebagai sumber hukum utama, dan

sistem peradilannya bersifat inkuisitoral.14 Dengan pembedaan karakteristik tersebut,

maka beberapa pakar menyimpulkan bahwa citizen law suit tidak diterapkan di

negara yang menganut sistem hukum Civil Law dengan dalih untuk menjamin

kepastian hukum. Hal ini tentu perlu ditelaah lebih lanjut, apakah memang demikian

bahwa citizen law suit hanya dianut oleh negara-negara yang bersistem Common

Law.

Dalam sistem Common Law, prinsip citizen law suit sama dengan prinsip

actio popularis, misalnya dalam gugatan terhadap perlindungan lingkungan oleh

warga negara, terlepas apakah warga negara tersebut mengalami langsung

pencemarannya atau tidak. Oleh karena masalah perlindungan lingkungan

merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap

warga negara berhak menuntutnya.15 Secara sederhana, Actio popularis

merupakan sebuah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan

12
Stare decisis adalah presedenatau suatu prinsip hukum menurut tradisi Common Law, dalam hal mana
suatu pengadilan yang menghadapi masalah tertentu akan menerapkan atau mengikuti keputusan pengadilan
sebelumnya yang memuat masalah hukum yang sama dengan yang dihadapi oleh pengadilan tersebut.

13
Adversary system merupakan sistem yang umumnya berlaku di negara yang menganut Common
Law.Sistem ini men- empatkan hakim sebagai wasit yang tidak berpihak dan menjaga supaya para pihak dan
pengacaranya bertindak sesuai prosedur pengadilan. Kemudian hakim memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti
yang dikemukakan oleh para pihak dan hukum yang berlaku.

14
Inkuisitorial maksudnya bahwa dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan besar dalam
mengarahkan dan memutus- kan perkara. Hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti.

15
E. Sundari, 2000, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indone- sia), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h.18.
umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan acuan bahwa setiap

warga negara tanpa kecuali mempu- nyai hak membela kepentingan umum.

Namun ironisnya Citizen Lawsuit menjadi wacana publik yang tidak

pernah selesai diperdebatkan. Karena menyangkut kepentingan masyarakat

maupun warga Negara. Akhir-akhir ini, pro dan kontra terhadap permasalahan

gugatan perwakilan kelompok kembali mengemuka sekaligus mempertanyakan

alternatif-alternatif solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah guna

memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Isu ini menjadi sangat

sensitif karena tidak saja berkaitan dengan permasalahan yuridis semata namun

juga menyangkut permasalahan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Perdebatan yang terjadi pun menjadi tidak jelas dan jauh dari penyelesaian.

Sebenarnya keberadaan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Undang- undang No. 41 tahun

1999 tentang kehutanan, Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen, sebenarnya telah memperkenalkan asas gugatan perwakilan

kelompok secara terbuka sebagai jalan keluar permasalahan ini; Dan masih

banyak undang undang yang terkait dengan gugatan perwakilan kelompok

seperti Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, Undang-

undang No. 27 tahun 2003 tentang panas bumi, Undang-undang No. 7 tahun

2004 tentang sumber daya air, undang undang No. 31 tahun 2004 tentang

perikanan, semuanya Pada dasarnya merupakan pedoman kata dari istilah class

action dan Citizen Lawsuit serta legal standing yang sering digunakan dalam

praktek peradilan di Negara barat, khususnya di Negara anglo amerika yang


umumnya menganut system common law, dimana system ini banyak menitik

beratkan pada penciptaan kaidah hukum melalui putusan putusan hakim.

Namun Dari beberapa contoh perkara yang pernah terjadi di Indonesia

dapat dilihat bahwa di antara Hakim masih belum ada kesesuaian pendapat

mengenai bentuk gugatan Citizen Lawsuit. Ada Hakim yang berpendapat dapat

menerima kehadiran gugatan Citizen Lawsuit, namun ada pula Hakim yang

masih tidak dapat menerima bentuk Citizen Lawsuit. Hal ini dimaklumi karena

hingga saat ini prosedur gugatan Citizen Lawsuit memang belum diatur dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia bahkan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Perdata itu sendiri, lain halnya dengan bentuk gugatan

Class Action yang telah tercantum dalam beberapa Undang-undang serta telah

di-akomodir hukum acaranya dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.

1 Tahun 2002. Pada intinya Citizen Lawsuit adalah mekanisme bagi Warga

Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian

dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai

Perbuatan Melawan Hukum. Oleh karena itu Atas kelalaiannya tersebut, Negara

dihukum untuk melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu kebijakan

yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di

kemudian hari.

Dalam Laporan Penelitian Class Action dan Citizen Lawsuit yang

dibuat oleh Mahkamah Agung tahun 2009, ada sedikit gambaran mengenai isi

petitum yang dapat diajukan dalam citizen law suit antara lain, adalah:16
16
Mahkamah Agung, 2009, Laporan Penelitian Class action dan Citizen Lawsuit,
Bogor: Badan Penelitian, Pengemban- gan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Mahkamah
1. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi

materiil, karena warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan

secara materiil dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan fakta hukum

sebagaimana class action.

2. petitum citizen law suit harus berisi permohonan agar negara

mengeluarkan suatu kebi- jakan pengaturan umum agar perbuatan melawan

hukum berupa kelalaian dalam pemenu- han hak warga negara tersebut di masa

mendatang tidak terjadi lagi.

3. Petitum citizen law suit tidak boleh berupa pembatalan atas

keputusan penyelenggara negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat

kongkrit, individual, dan final karena hal terse- but merupakan kewenangan dari

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

4. Petitum citizen law suit juga tidak boleh berupa pembatalan atas

suatu undang-undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah

Konstitusi (MK). Selain itu, citizen law suit juga tidak boleh meminta

pembatalan atas peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA)

berdasarkan judicial review.

Seperti halnya dengan prosedur citizen law suit di beberapa negara,

maka dalam praktiknya di Indonesia, disyaratkan adanya notifikasi terlebih

dahulu dari penggugat kepada tergugat. Notifikasi merupakan proses khusus

Agung RI, h. 65.


semacam somasi, dalam bentuk pernyataan (statement) dari penggugat kepada

tergugat yang sudah berisi dasar pelanggaran dan tuntutan spesifik yang dim-

intakan. Notifikasi ini harus dilakukan terlebih dahulu sebelum gugatan

memasuki tahap admin- istratif diajukan ke pengadilan.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, meskipun ada sebuah gambaran

prosedur yang disampaikan Mahkamah Agung dalam laporan penelitiannya,

namun tetap saja belum ada pengaturan yang jelas baik itu tata cara beracaranya

ataupun format baku mengenai kedudukan Citizen Lawsuit dalam sistem

peradilan di Indonesia, maka dari itu tentunya diperlukan Pengaturan Hukum

yang jelas mengenai Citizen Lawsuit agar tidak terjadi kebingungan seorang

hakim dalam memutus sebuah perkara, karena apabila kita telaah dalam Pasal 28

D ayat 1 UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa warga negara Indonesia berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan sama di depan hukum. Apabila hak tersebut dilanggar maka dapat

menimbulkan konsekuensi hukum.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana prosedur gugatan warga negara (citizen lawsuit) dalam sistem

peradilan di Indonesia?

2. Bagaimana peluang gugatan warga negara (citizen lawsuit) dalam menciptakan

sebuah kepastian hukum.

D. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan skripsi ini yaitu :


1. Untuk mengetahui dan memahami terkait prosedur gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dalam sistem peradilan di Indonesia;

2. Untuk mengetahui dan memahami peluang gugatan warga negara (citizen

lawsuit) dalam penyelesaian sebuah sengketa dan dalam peranannya

menciptakan sebuah kepastian hukum.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dimaksudkan sebagai wahana pengembangan

ilmu pengetahuan dan wawasan baik peneliti sendiri atau orang lain.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan karya ilmiah ini dapat menjadi masukan dan

referensi bagi para pihak yang berkepentingan dalam bidang

Keperdataan atau Beracara dalam Gugatan Warga Negara ini.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Nurmaningsih Amriani, sengketa merupakan suatu situasi,

dimana terdapat pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lainnya, yang kemudian

pihak yang merasa rugi tersebut, menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak

kedua. Apabila situasi menunjukkan indikasi adanya perbedaan pendapat, maka

terjadilah apa yang dinamakan sengketa. Dalam konteks hukum kontrak, sengketa

merupakan perselisihan yang terjadi di antara dua pihak atau lebih dalam

perjanjian, karena terdapat adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu

pihak.
Menurut Takdir Rahmadi, sengketa merupakan suatu situasi dan kondisi,

dimana orang-orang sama-sama mengalami perselisihan yang bersifat faktual,

maupun perselisihan yang ada pada persepsi para pihak masing-masing. Sengketa

dapat timbul oleh beberapa faktor, yang terrangkum dalam beberapa teori sebagai

berikut :

a. Teori Hubungan Masyarakat

Teori ini bertitik berat pada adanya ketidakpercayaan dan

rivalitas antar kelompok di dalam suatu masyarakat. Para penganut teori

ini memberikan solusi terhadap konflik yang ada melalui peningkatan

komunikasi dan pengertian antara kelompok-kelompok yang berkonflik,

serta pengembangan toleransi demi terwujudnya rasa saling menerima

keberagaman dalam masyarakat.

b. Teori Negosiasi Prinsip

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena

terdapat beberapa perbedaan di antara para pihak. Para penganut teori ini

memberikan solusi untuk menyelesaikan konflik melalui pemisahan

perasaan pribadi dengan masalah yang ada dan mampu melakukan

negosiasi berdasarkan kepentingan bersama.

c. Teori Identitas

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena suatu

kelompok orang yang merasa identitasnya terancam oleh pihak lainnya.

Penganut teori ini memberikan solusi untuk menyelesaikan konflik

melalui dialog antara wakil masing-masing kelompok, mengidentifikasi


ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan, serta membangun rasa

empati dan rekonsiliasi antara para pihak.

d. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya

ketidakcocokan dalam berkomunikasi antara orang-orang yang memiliki

latar belakang budaya yang berbeda satu dengan lainnya. Penganut teori

ini memberikan solusi untuk menyelesaikan konflik melalui dialog antara

pihak- pihak yang berkonflik untuk saling mengenal dan memahami

budaya antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

e. Teori Transformasi

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena terdapat

masalah- masalah terkait ketidaksetaraan, ketidakadilan, maupun

kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial,

ekonomi, maupun politik. Penganut teori ini memberikan solusi untuk

menyelesaikan konflik melalui upaya melakukan perubahan dalam

struktur dan kerangka kerja yang mengakibatkan ketidasetaraan,

meningkatkan hubungan antar para pihak, serta mengembangkan proses-

proses dan sistem untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pihak.

f. Teori Kebutuhan atau Kepentingan Manusia

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena kebutuhan

atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi, atau merasa terhalangi

oleh adanya keberadaan pihak lain. Kebutuhan manusia dapat dibedakan


jadi tiga jenis yaitu substantif, psikologis, dan prosedural. Substantif

berkaitan dengan kebutuhan manusia yang berupa kebendaan seperi

sandang, pangan, papan, dan uang. Psikologis berkaitan dengan hal-hal

non-materiil seperti empati dan penghargaan. Prosedural berkaitan

dengan tata dalam pergaulan masyarakat.

Teori yang relevan dengan sebab munculnya sengketa

kehutanan maupun perkara kehutanan adalah teori kebutuhan. Kebutuhan

yang dimaksud adalah kebutuhan substantif, dalam hal ini adalah sumber

daya hutan dan lahan dari hutan yang dapat dimanfaatkan guna

memperoleh sandang, pangan, papan, dan uang. Pihak-pihak yang

membutuhkan tersebut adalah pihak pemerintah, pihak korporasi, dan

masyarakat setempat.

Penyelesaian sengketa adalah cara-cara yang ditempuh oleh

pihak yang bersengketa, dalam menyelesaikan sengketa yang mereka

hadapi. Cara-cara tersebut meliputi penyelesaian sengketa melalui jalur

litigasi, dan penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi. Secara

umum, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dilaksanakan dalam

prosedur pengadilan, sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur non-

litigasi ditempuh dalam prosedur diluar pengadilan.

Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dapat diartikan sebagai

menyelesaikan suatu masalah hukum di pengadilan. Proses litigasi menempatkan

para pihak saling berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi merupakan sarana akhir setelah alternatif

penyelesaian sengketa lainnya tidak mampu membuahkan hasil bagi para pihak.

Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di dalam pengadilan,

di mana para pihak saling berhadapan untuk mempertahankan haknya masing-

masing. Penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dapat dilakukan melalui jalur

pidana, perdata dan tata usaha negara (TUN). Hasil akhir dari penyelesaian

sengketa melalui jalur litigasi adalah putusan yang menyatakan bahwa ada pihak

yang menang dan ada pihak yang kalah, atau disebut win-lose solution.

Gugatan warga negara atau citizen lawsuit adalah termasuk dalam salah

satu tahapan di dalam penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mengingat

bahwa gugatan hanya dapat diajukan di dalam pengadilan. Maka dari itu, di dalam

pembahasan akan lebih ditekankan kepada proses penyelesaian sengketa melalui

jalur litigasi, dan hal-hal terkait dengan pengadilan.

Jalur Non-Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi dapat diartikan sebagai

menyelesaikan suatu masalah hukum di luar pengadilan, dan dikenal dengan

sebutan penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian perkara di luar pengadilan

diakui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu di dalam Pasal 6

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang mana disebutkan bahwa sengketa atau beda

pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Menurut


Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian

sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa secara tertulis.

Penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam Pasal 1 angka

10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang didalamnya menyatakan bahwa alternatif

penyelesaian perkara merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat, melalui prosedur yang telah disepakati oleh para pihak, yaitu

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi,

penilaian ahli, dan konsiliasi. Pengertian dari masing-masing lembaga

penyelesaian sengketa di atas adalah sebagai berikut :

1. Konsultasi: suatu tindakan bersifat personal, antara satu pihak yang

bertindak sebagai klien, dengan pihak lain yang bertindak sebagai

konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien sesuai kebutuhan

kliennya.

2. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa di luar proses

pengadilan, yang bertujuan untuk mencapai suatu kesepakatan bersama

berdasarkan kerja sama yang lebih harmonis.

3. Mediasi: penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui proses

perundingan, yang bertujuan untuk memperoleh kesepakatan bersama,

yang dibantu oleh mediator.

4. Konsiliasi: penyelesaian sengketa antara dua belah pihak atau lebih,


yang dibantu oleh konsiliator (penengah), yang mengusahakn untuk

mencari solusi terbaik bagi para pihak.

5. Penilaian ahli: pendapat para ahli untuk menjawab suatu hal yang

memiliki sifat teknis, dan sesuai dengan keahliannya.

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yurisdis-normatif yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang menggunakan

objek kajian penulisan berupa pustaka-pustaka yang ada, baik berupa buku-

buku, majalah, dan peraturan-peraturan yang mempunyai korelasi terhadap

pembahasan masalah, sehingga penulisan ini juga bersifat penulisan pustaka (library

reseach).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang diambil adalah berdasarkan data normatif atau

penelitian hukum kepustakaan library research. Penelitian ini dilakukan

dengan cara menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas

hukum, konsepsi hukum, pandangan, peraturan dan sistem hukum dengan

menggunakan data sekunder, diantara nya asas, kaidah, norma dan aturan

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan

lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan

dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.

3. Tipe penelitian

Tipe penlitian ini adalah Prosedur beracara dan kepastian hukum

menyangkut Gugatan Citizen Lawsuit.


4. Sumber hukum penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan yang isinya bersifat mengikat

karena dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Undang-Undang:

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

(3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

(4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan

(5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

(6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.
(8) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara

(9) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Gugatan Perwakilan Kelompok

b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan hukum yang bersifat

menjelaskan atau membahas bahan hukum primer, yang terdiri dari

buku-buku literatur, jurnal, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya

yang berhubungan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yang terdiri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi pustaka

dan studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan mengkaji,

menelaah dan mempelajari jurnal, hasil penelitian hukum dan mengkaji

berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-

undangan, risalah sidang dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian.

6. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah

pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Data sekunder yang akan


digunakan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, penelitian ini

disusun dengan menggunakan sistematika sebagai berikut;

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat pedahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM

Merupakan bab yang menyajikan teori dan konsep yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan maupun literatur-literatur mengenai prosedur, asal

mula (Sejarah) dan pengaturan tentang mekanisme berjalannya Citizen Lawsuit

BAB III PEMBAHASAN

Merupakan bab yang akan memaparkan hasil penelitian yang berupa

Implementasi serta Prosedur beracara atau pelaksanaan Gugatan Warga Negara di

Pengadilan.

BAB IV PENUTUP

Merupakan bab yang berisi kesimpulan dari pembahasan tentang

rumusan masalah dan dilengkapi dengan saran sebagai bahan rekomendasi dari

hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai