Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


kuman basil tahan asam atau kuman Mycobacterium tuberculosis. TB secara garis
besar dikelompokkan menjadi TB pulmonal, sering disebut dengan TB paru dan
TB ekstrapulmonal. Pada TB ekstrapulmonal, organ yang terlibat diantaranya,
kelenjar getah bening, otak, tulang temporal, rongga sinonasal, hidung, mata,
faring, kelenjar liur, dan termasuk salah satunya laring. TB laring jarang bersifat
primer tanpa disertai kelainan paru dan terjadi karena komplikasi suatu TB paru
stadium lanjut ataupun dengan lesi minimal.1
Pada pertengahan tahun 1900, TB laring memiliki prevalensi yang cukup
tinggi di dunia, dan 37% merupakan penderita yang disertai TB paru dengan
prognosis yang buruk. Dahulu TB laring terjadi pada kelompok usia muda, namun
sekarang terjadi pada usia 50-60 tahun dimana laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dengan perbandingan 2:1. Di RSUP Dr. M. Djamil dalam 3 tahun
terakhir, terhitung sebanyak 473 kasus TB paru, sementara TB laring tercatat
sebanyak 35 kasus.2,3
Diagnosis TB laring dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratorium, radiologis, bakteriologis, histopatologis, serta
pemeriksaan serologis seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) dapat dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan beberapa diagnosis
banding. Biopsi laring tetap menjadi standar baku emas untuk diagnosis pasti dari
TB laring.1
Pengobatan TB tergantung dari tempat infeksi berasal, berat ringannya
penyakit, pemeriksaan bakteriologis, dan pengobatan sebelumnya. Pada
prinsipnya pengobatan TB laring dengan TB paru adalah sama. Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E) merupakan
kombinasi obat yang digunakan untuk pengobatan TB laring. Semenjak tahun
1950-an angka TB dapat ditekan dengan pemakaian Obat Anti Tuberkulosis

1
(OAT), penggabungan metode deteksi serta pencegahan secara dini, perubahan
gaya hidup, dan edukasi, sehingga dapat menekan penyebaran infeksi ke ekstra
pulmonal dan ke lingkungan sekitar. Dua dekade terakhir terjadi peningkatan
insiden TB laring yang disebabkan peningkatan penyakit imunosupresif, faktor
usia, meningkatnya jumlah imigran dari daerah resiko tinggi TB, dan terjadinya
resistensi terhadap OAT.1,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring


Laring adalah organ yang berfungsi sebagai alat pernafasan, terdiri dari
satu tulang dan beberapa kartilago. Pada bagian superior laring terdapat os hyoid
yang berbentuk U. Pada permukaan superior os hyoid melekat tendon dan otot-
otot lidah, mandibula, dan kranium. Pada bagian bawah os hyoid terdapat dua
buah alae atau sayap kartilago tiroid yang menggantung pada ligamentum tiroid
dan akan menyatu di bagian tengah yang disebut dengan adam’s apple (jakun).
Kartilago krikoid dapat diraba di bawah kulit, melekat pada kartilago tiroid
melalui ligamentum krikotiroideum.4

Gambar 2.1 Anatomi Laring

3
Bagian superior terdapat pasangan kartilago aritenoid, yang berbentuk
piramida bersisi tiga. Bagian dasar piramida berlekatan dengan krikoid pada
artikulasio krikoaritenoid sehingga dapat terjadi gerakan meluncur dan juga
gerakan rotasi. Ligamentum vokalis meluas dari prosesus vokalis melalui tendon
komisura anterior. Dibagian posteriornya, ligamentum krikoaritenoid posterior
meluas dari batas superior lamina krikoid menuju permukaan medialkartilago
aritenoid.4
Sendi laring terdiri dari dua, yaitu: artikulasio krikotiroid dan
krikoaritenoid. Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot intrinsik dan
ekstrinsik. Otot intrinsik menyebabkan gerakan-gerakan di bagian laring sendiri,
dan otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan. Plika vokalis dan plika
ventrikularis terbentuk dari lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ligamentum ventrikulare. Bidang yang terbentuk antara plika vokalis kanan dan
kiri disebut rima glotis. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga
laring dalam 3 bagian yaitu vestibulum laring (supraglotik), daerah glotik, dan
daerah infraglotik (subglotik).4
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus
laringeus superior dan inferior. Kedua saraf merupakan campuran motorik dan
sensorik. Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari nervus rekurens yang
merupakan cabang dari nervus vagus. Nervus rekurens kanan akan menyilang
arteri subklavia kanan dibawahnya sedangkan nervus rekuren kiri akan menyilang
arkus aorta. Laring terdiri dari dua pasang pembuluh darah diantaranya arteri
laringeus superior dan arteri laringeus inferior. Arteri laringeus inferior cabang
arteri tiroid inferior, bersama-sama nervus laringeus inferior ke belakang sendi
krikotiroid dan memasuki laring ke pinggir bawah otot konstriktor inferior.4

2.2 Definisi Tuberkulosis Laring


Tuberkulosis laring adalah radang spesifik pada laring yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis laring jarang bersifat primer dan
hampir selalu disertai dengan tuberkulosis paru aktif.5

4
2.3 Faktor Resiko
Tuberkulosis laring sebelumnya dilaporkan sering terjadi pada kelompok
usia dewasa muda yaitu antara 20 – 40 tahun, tetapi dalam 20 tahun belakangan
ini, insiden penyakit ini pada pendudukyang berumur lebih dari 60 tahun jelas
meningkat.8 Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada
laki-laki dibanding perempuan. Untuk pasien berumur diatas 50 tahun,
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Tuberkulosis laring lebih sering
terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien- pasien dengan keadaan sosio-
ekonomi yang rendah dan keadaan kesehatan yang buruk.9

2.4 Etiologi
Tuberkulosis laring disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang
merupakan bakteri tahan asam yang secara sekunder berasal dari tuberkulosis
paru. Tuberkulosis laring primer jarang ditemukan. Basil tuberkulosis berukuran
sangat kecil, berbentuk batang tipis agak bengkok dan bergranular, yang hanya
bisa dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya 1-4 mikron dan lebarnya antara 0,3 -
0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37oC
dengan tingkat pH optimal (pH 6,4 – 7,0).7

2.5 Patogenesis
Tuberkulosis laring dapat terjadi karena infeksi primer maupun sekunder.
Pada infeksi primer terjadi karena tidak ada keterlibatan tuberkulosis paru dan
kuman secara langsung menginfeksi mukosa laring melalui partikel udara dan
mengakibatkan terbentuknya granuloma. Kuman ini melayang-layang di udara
yang dapat terhirup oleh pasien lain. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah
kedekatan dan lamanya kontak serta derajat infeksius pasien, semakin dekat
seseorang berada dengan pasien, maka makin banyak kuman tuberkulosis yang
mungkin akan dihirupnya.5
Pada infeksi sekunder, tuberkulosis laring terjadi bisa karena mekanisme
penyebaran secara langsung dari tuberkulosis paru yang aktif, luas dan berkavitas,
yang menghasilkan sputum yang sangat infeksius dan akibat batuk keluar dari

5
trakeobronkial. Mycobacterium tuberculosis dapat mencapai mukosa laring
melalui 2 jalur, yaitu:5,6
1. Bronkogenik
Penyebaran ini terjadi karena kontak dengan sputum yang mengandung
Mycobacterium tuberculosis. Sputum yang dibatukkan mengadakan implantasi
pada mukosa laring yang sebelumnya telah mengalami mikrolesi. Menurut
Espinoza CG, mukosa saluran pernafasan normal yang intak biasanya tahan
terhadap serangan Mycobacterium tuberculosis, tetapi trauma lokal seperti
penggunaan suara yang berlebihan dan malnutrisi mungkin merupakan faktor
predisposisi terjadinya infeksi tersebut.
2. Hematogen dan Limfogen
Penyebaran ini terjadi tanpa kontak dengan sputum, melainkan
Mycobacterium tuberculosis terbawa melalui pembuluh darah dan pembuluh
limfe submukosa dari lokasi infeksi di paru dan kemudian terakumulasi di
submukosa laring. Penyebaran ke laring secara hematogen dan limfogen sangat
jarang terjadi dan hanya sedikit melibatkan paru atau tuberkulosis miliar.
Penyebaran hematogen lebih sering terjadi pada epiglotis, aritenoid, plika
ariepiglotika, meskipun ada juga keterlibatan korda vokalis sejati. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini
akan mengakibatkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang
adekuat.

2.6 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis laring dapat ditegakkan dari anamnesis yang
cermat, pemeriksaan klinis, laringoskopi langsung maupun tidak langsung,
pemeriksaan patologi anatomi, mikrobiologi, dan foto rontgen toraks. Indeks
kecurigaan yang tinggi sangat diperlukan untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis
laring. Laringoskopi langsung dan biopsi harus dilakukan pada semua kasus untuk
menegakkan diagnosis tuberkulosis laring dan untuk menyingkirkan ada tidaknya
karsinoma atau penyakit lain.10,11

6
2.6.1 Anamnesis
Gejala permulaan tuberkulosis laring adalah suara parau yang berlangsung
berminggu-minggu, mulanya ringan tetapi dapat progresif menjadi disfonia atau
afonia berat pada stadium lanjut.
Di tenggorok mungkin ada perasaan kering, panas dan nyeri. Rasa nyeri
biasanya tidak berat, kecuali jika ada perikondritis yang akan menyebabkan
odinofagia berat dan odinofonia yang dapat menjalar ke telinga sehingga terjadi
otalgia. Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
oleh karena radang lainnya merupakan tanda yang khas.
Sumbatan jalan nafas dapat terjadi pada stadium lanjut penyakit ini, dan
diperkirakan seperempat dari penderita tuberkulosis laring mengalami sumbatan
jalan nafas pada saat mereka datang pertama kali. Sumbatan jalan nafas dapat
terjadi akibat edema, tuberkuloma atau adanya fiksasi pita suara bilateral pada
garis median.
Gejala sistemik tuberkulosis paru biasanya juga ditemukan antara lain
berupa keluhan demam, menggigil, berkeringat pada malam hari, berat badan
menurun dan rasa lelah. Batuk dengan sputum yang mukopurulen dan kadang-
kadang batuk darah juga dapat terjadi.
2.6.2 Pemeriksaan Klinis
Hasil pemeriksaan laringoskopi pada tuberkulosis laring bermacam-
macam, tergantung pada lokasi lesi. Bila mukosa melekat pada struktur di
bawahnya seperti pada daerah korda vokalis asli, maka ulserasi merupakan
gambaran yang paling sering tampak, sedangkanapabila mukosa tidak melekat
pada struktur di bawahnya, seperti pada daerah plika ariepiglotik, maka hiperemia
dan udem merupakan gambaran yang sering muncul.
Pada pemeriksaan laringoskopi, didapatkan tanda dini tuberkulosis laring
berupa hiperemia di daerah interaritenoid dan pita suara bagian posterior, dan
mungkin disertai pembengkakan di daerah interaritenoid dan timbulnya eksudat
berwarna kekuningan. Epiglotis dapat juga berwarna merah dan membengkak,
terutama permukaan yang menghadap laring.

7
Menurut Clery dan Batsakis, saat ini keterlibatan daerah anterior laring
terjadi sama besar dengan daerah setengah posterior laring, pita suara asli
merupakan lokasi paling sering (50 -70%), diikuti pita suara palsu (40 – 50%) dan
epiglotis, plika ariepiglotika, komisura posterior dan subglotis (10 -15%).
Pada beberapa kasus, infiltrasi proses inflamasi mungkin terlokalisasi pada
satu pita suara, memberikan gambaran bentuk kumparan. Nodul berwarna
kekuningan mungkin terlihat di bawah mukosa yang utuh pada daerah
interaritenoid dan epiglotis. Nodul ini mungkin bersatu dan daerah yang kena
menjadi merah muda, membengkak dan noduler, yang khas terjadi pada daerah
interaritenoid. Pada saat itu, mungkin terlihat permukaan yang kasar atau erosi
pada satu atau kedua pita suara. Tahap selanjutnya ditandai dengan ulserasi yang
cenderung berlokasi pertama kali pada prosesus vokalis, tetapi kemudian
menyebar ke anterior. Ulkus biasanya dangkal dan ditutupi oleh eksudat kasar
berwarna abu-abu kotor dan memberi gambaran pita suara seperti digigiti tikus
(mouse eaten appearance)
Epiglotis dan atau daerah interaritenoid dapat sangat udem dan terlihat
merah muda dan bening. Gambaran ini khas, epiglotis sering berbentuk turban
atau jantung, dan aritenoid berbentuk buah pear atau daun semanggi. Edema pada
kasus demikian dapat menutup seluruh lumen laring dan menyumbat jalan nafas.
Tahap terakhir perubahan laring mungkin ditandai oleh kombinasi ulserasi,
edema, granulasi yang penuh dan pembentukan tuberkuloma. Paralisis pita suara
mungkin terjadi akibat infiltrasi ke otot atau fiksasi sendi krikoaritenoid.
Selain itu, infiltrasi tuberkulosis ke pleura atau kelenjar limfe mediastinum
dapat mengenai n.rekuren dan menyebabkan paralisis. Secara klinis tuberkulosis
laring terdiri dari 4 stadium, yaitu:
1. Stadium infiltrasi
Pada stadium infiltrasi, yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan
hiperemi adalah mukosa laring bagian posterior, kadang juga mengenai pita suara.
Di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak
bintik- bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar, dan beberapa

8
tuberkel yang berdekatan bersatu sehingga mukosa di atasnya meregang dan pada
suatu saat karena sangat meregang maka akan pecah dan timbul ulkus.
2. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar, ulkus ini
dangkal dan dasarnya ditutupi oleh pengejuan, serta dirasakan sangat nyeri oleh
pasien.
3. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling
sering terkena adalah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi
kerusakan tulang rawan sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
berlanjut dan terbentuk sekuester.
Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal
dunia. Bila pasien dapat bertahan, maka proses penyakit berlanjut dan masuk
dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4. Stadium fibrotuberkulosis
Stadium ini disebut juga sebagai stadium pembentukan tumor. Pada
stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior laring, pita suara
dan epiglotis.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
2.6.3.1 Pemeriksaan Histopatologi dan Kultur
Tuberkulosis laring harus dibedakan dari kanker dan penyakit
granulomatosis lainnya yang mirip secara klinis. Diagnosis pasti tuberkulosis
laring dapat ditunjukkan oleh adanya gambaran radang granulomatosa dengan
granuloma kaseosa atau pengejuan yang khas, hiperplasia pseudoepitelial atau
adanya sel Langhans pada pemeriksaan histopatologi, serta ditemukannya bakteri
tahan asam pada hapusan dan atau kultur sputum atau bilasan lambung penderita
dengan pewarnaan Ziehl Nielsen. Berdasarkan patologi anatomi dari hasil biopsi,
pada tuberkulosis laring didapatkan 2 macam lesi, yaitu:
1 Jenis eksudatif
Mula- mula terdapat fase inflamasi akut difus yang ditandai dengan
hiperemia, udem, dan infiltrasi ruang subepitel oleh sel – sel eksudat nonspesifik.

9
2. Jenis produktif
Fase eksudatif diikuti oleh perkembangan granuloma tuberkulosa pada
jaringan subepitel. Tuberkel yang avaskular berisikan daerah pengejuan di tengah,
dikelilingi oleh sel epiteloid atau sel Langhans dan di bagian perifer oleh sel- sel
mononuklear. Hal ini tergantung pada daya tahan tubuh penderita, tuberkel akan
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosis yang pada akhirnya akan menggantikan
tuberkel. Gambaran mukosa secara histologi bisa tampak normal, hiperkeratosis
atau hilang pada lesi yang ulserasi. Submukosa terisi dengan granuloma kaseosa
yang dapat meluas ke kartilago yang berdekatan. Lesi tuberkel juga ada kalanya
verukosa dan displastik, dengan demikian lesi sering dibingungkan dengan suatu
karsinoma skuamosa.
Tuberkel bersatu membentuk nodul yang secara makroskopis berwarna
kuning kelabu, dan karena letaknya di subepitel, dan epitel yang melapisinya
mungkin hilang, maka sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini
pertama kali cenderung mengenai prosesus vokalis dan epiglotis karena tipisnya
mukosa yang melapisi tulang rawan yang avaskular. Ulserasi dan infeksi
menyebabkan perikondritis dan kondritis, terutama pada aritenoid dan epiglotis,
menimbulkan destruksi tulang rawan dan jika aritenoid yang terkena, maka akan
terjadi destruksi sendi krikoaritenoid.
Adanya tuberkel dapat merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan
jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin akan bermanifestasi pada daerah
interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis
dan daerah lain mungkin ditutupi oleh nodul yang menyerupai morbili atau massa
jaringan granulomatosis berbentuk papil. Pada beberapa kasus massa ini besar,
soliter, bertangkai dan dikenal sebagai tuberkuloma.
Edema tampak jelas pada keadaan yang lebih lanjut. Hal ini mungkin
terjadi sebagai akibat obstruksi aliran limfe oleh granuloma. Epiglotis dan
jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak edema.
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan
fibrosa dan jaringan yang menggantikan tuberkel. Penyembuhan lesi pada stadium

10
lanjut berakhir dengan stenosis oleh jaringan fibrosis atau fiksasi sendi
krikoaritenoid, serta kontraksi jaringan parut akibat ulkus yang menyembuh.
2.6.3.2 Pemeriksaan Rontgen
Foto toraks hampir selalu memperlihatkan kelainan dan seharusnya selalu
dilakukan sejak awal karena adanya hubungan dengan tuberkulosis paru sangat
tinggi, dan adanya gambaran abnormal di paru mengingatkan perlunya tindakan
pencegahan saat akan dilakukan laringoskopi untuk mencegah paparan dari
organisme yang sangat menular ini.
Menurut Rupa seperti yang dikutip Chen Wang dkk4 melaporkan dari 26
kasus TB laring ditemukan sebanyak 92,3% dengan kelainan di paru pada
Rontgen torak, dan 7,2% dengan gambaran paru yang normal. Gambaran
radiologi berupa infiltrasi pada daerah apikal, lesi fibrokalsifikasi, terdapat
kavitas, adanya gambaran granuloma nodular, atau terdapat gambaran opak pada
lapangan paru.10

2.7 Penatalaksanaan
Pemberian OAT pada TB ber tujuan menurunkan mata rantai penularan,
mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah kekambuhan
atau resistensi terhadap OAT. American Thoracic Society (ATS) menyatakan
prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah berbeda dengan TB pulmonal,
termasuk pengobatan untuk TB laring. Pada kasus-kasus TB dengan penyulit
terdapat perbedaan dari dosis, waktu pengobatan, dan kombinasi obat, seperti TB
meningitis, TB tulang, yang memiliki penanganan berbeda.12
Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk
pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara umum. Dosis OAT
adalah dosis individual yang sesuai dengan berat badan. Evaluasi keteraturan
berobat merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pengobatan
TB. Ketidakteraturan konsumsi obat akan menyebabkan timbulnya masalah
resisten multi obat (Multi Drug Resistance/MDR). Selain tidak teraturnya
konsumsi obat, faktor HIV dan faktor kuman juga dapat menyebabkan MDR.
Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu. Suara

11
serak yang terjadi karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun
pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat bersifat menetap. Yelken
melaporkan respon OAT terhadap laring cukup baik rata-rata 2 bulan dimana
sebagian kasus lesi yang terjadi sebelumnya tidak terlihat lagi.12,13
Pemberian kortikosteroid pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara dapat
diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas
atas. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di Indonesia,
menyatakan kortikosteroid tidak memberikan peranan penting pada TB laring.
Kortikosteroid berperan pada kasus-kasus TB yang disertai faktor-faktor penyulit,
seperti pada TB milier, TB meningitis, TB dengan efusi pleura, dan TB disertai
sepsis dan keadaan umum yang buruk.13

Tabel 2.1 Dosis dan efek samping dari obat anti tuberkulosis lini pertama
Nama Obat Dosis Harian Efek Samping
Hepatitis, neuropati
Isoniazid 4-6 mg/kgBB (max. 300 mg) perifer, kulit memerah,
demam, agranulositosis,
ginekomastia
Hepatitis, gangguan
pencernaan, demam, kulit
Rifampisin 8-12 mg/kgBB (max 600
memerah,
mg)
trombositopenia, nefritis
interstitial, sindrom flu

Hepatitis, hiperurisemia,
Pirazinamid
20-30 mg/kgBB muntah, nyeri sendi, kulit
memerah

Streptomisin 15-18 mg/kg Ototoksik, nefrotoksik


Etambutol 15-20 mg/kg Neuritis retrobulbar,
nyeri sendi,
hiperurisemia, neuropati

12
perifer

2.8 Komplikasi
Penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis secara limfogen atau
hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
akibat meluasnya penyebaran fokus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi di
paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,
endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan bronkiektasis.
Selain komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat terjadi,
diantaranya stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis, subglotis
stenosis, gangguan otot laring, dan pararalisis pita suara ketika krikoaritenoid atau
nervus laringeal rekuren mengalami trauma dan memerlukan tindakan bedah
untuk menanggulanginya.

13

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    agnes daniella
    Belum ada peringkat
  • Lapsus 2
    Lapsus 2
    Dokumen54 halaman
    Lapsus 2
    agnes daniella
    Belum ada peringkat
  • Lapsus 4
    Lapsus 4
    Dokumen27 halaman
    Lapsus 4
    agnes daniella
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen27 halaman
    Laporan Kasus
    agnes daniella
    Belum ada peringkat
  • Bab I, Ii, Iii & Iv
    Bab I, Ii, Iii & Iv
    Dokumen47 halaman
    Bab I, Ii, Iii & Iv
    agnes daniella
    Belum ada peringkat