Anda di halaman 1dari 7

A.

      PLURALISME

1.    Pengertian Pluralisme

     Secara etimologi pluralisme berasal dari kata “plural” (inggris) yang berarti lebih dari
satu atau banyak dan berkenaan dengan keanekaragaman dan “ isme” Yang Berarti
paham. Dengan demikian pluralisme berarti paham kemajemukan[1].
 Ada dua perspektif dalam memahami pluralisme. Anti pluralis menganggap pluralisme
sebagai menyamakan semua agama (sinkretik). Sedangkan orang yang pro dengan pluralisme
memaknai pluralisme sebagai  menghargai antar umat beragama, tidak menghakimi agama
lain, serta tidak merasa agamanya paling benar. 
            Wacana tentang pluralisme masih begitu penting karena masih terkait dengan hal
penting dan sensitif yaitu masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan
ada kebenaran lain di luar agamanya[2].

2.    Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Pluralisme

     Hubungan sosial antara umat manusia membuka dua pilihan yaitu harmoni atau
konflik. Harmoni terbangun ketika masing-masing berusaha untuk saling memahami, saling
toleransi dan menghilangkan berbagai prasangka negatif terhadap orang lain. Dengan cara
tersebut, akan tercipta suatu kehidupan yang rukun, nyaman, tentram dan penuh kedamaian.
Sebaliknya, konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang dengan teguh kebenaran
yang diyakininya. Melihat pihak lain sebagai lawan yang harus dikuasai dan ditundukkan.
Sikap itulah yang merupakan penyebab suatu konflik yang tidak dapat dihindari. Perbenturan
kepentingan, hasrat yang menguasai dan sikap arogan menjadi sebab  lahir dan
berkembangnya sebuah konflik pluralisme.

     Pemahaman masyarakat terhadap pluralisme sangat beragam, di antaranya ada yang


berkonotasi positif, netral, dan negatif. Mereka yang memaknai secara negatif melihat
pluralisme sebagai konsep yang sarat kepentingan ideologis, imperialis, bahkan teologis.
Sikap mencurigai dan memusuhi terhadap pluralisme menjadi bahan perdebatan secara sengit
merupakan bentuk interpretasi negatif atas konsep ini[3]. Dalam pandangan mereka yang
mengartikan pluralisme secara negatif, dinilai sama dengan relativisme yaitu pandangan yang
melihat tidak ada kebenaran yang mutlak atas sebuah agama. Masing-masing agama memiliki
kebenaran yang bisa berubah setiap saat, sehingga kebenaran yang ada dalam setiap agama
relatif sifatnya. Dengan pandangan ini ,maka  pluralisme dinilai sebagai hal yang
membahayakan aqidah. Padahal makna pluralisme tidaklah sama dengan relativisme.

Setiap agama mempunyai dua wilayah ajaran,yaitu :

a.       Wilayah agama dan Aqidah.


            Di wilayah inilah tidak boleh ada kerja sama antar pemeluk agama, karena akan
menyebabkan kemurtadan.

b.      Wilayah sosial.
Hampir setiap agama mengajarkan hal yang sama. Tiap pemeluk agama diharuskan
untuk dapat menghargai antar pemeluk agama.

Jadi,dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam mengakui


adanya  pluralisme dalam wilayah sosial, akan tetapi untuk pluralisme agama dan aqidah,
Islam hanya mengakui keberadaan dan identitas tiap-tiap agama tanpa mengakui
kebenarannya. 
          
3.      Solusi Pluralisme

Dalam memahami dan upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut jelas


dibutuhkan kesadaran dan pemahaman yang kuat akan pentingnya kerukunan antar agama.
Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran pluralisme di
kalangan masyarakat. Bahwa perbedaan agama di antara mereka bukanlah penghalang untuk
menjalin sebuah kerjasama dan kedamaian dunia ini. Islam sendiri mengajarkan bahwa
kebebasan memilih agama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Seperti yang
kita ketahui kemajemukan masyarakat indonesia adalah sebuah realitas, dan dalam
kemajemukan itu tidak boleh dibiarkan adanya sikap-sikap dan tindakan diskriminatif.[4]

Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki
sikap dan pandangan yang jelas, yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan
membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan
menghilangkan identitas agama-agama selain Islam.

B.       FUNDAMENTALISME

1.      Pengertian Fundamentalisme

   Kata “fundamental” Adalah Kata Sifat Yang Berarti “bersikap mendasar/ pokok”
diambil dari kata fundamen yang artinya  “dasar, asas, alas, fondasi”[5].

 Jika diartikan Sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai


penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki doktrin
untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci.

   Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di antara sikap kaum fundamentalisme yang
menonjol adalah sikap tidak mau kompromi terhadap keadaan yang menyimpang dari dalil-
dalil dasar. Keadaan harus ditundukkan kepada ajaran, bukan ajaran yang harus dipahami lagi
ketika keadaan berubah.

2.    Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Fundamentalisme

Melihat Perkembangan Sekarang ini, maka fundamentalisme dapat dibagi menjadi 2


macam :

1.      Fundamentalisme Positif.
            Fundamentalisme yang sifatnya positif diartikan sebagai suatu gerakan sosial, bukan
sebagai gerakan keagamaan. Intinya mereka ingin memurnikan ajaran Islam di tengah
bahayanya ancaman dari Barat yang ingin menghancurkan Islam.

2.      Fundamentalisme Negatif
            Penganut fundamentalisme ini lebih banyak menggunakan jalur kekerasan agar
keinginannya itu tercapai.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gerakan fundamentalisme,yaitu :


·         Adanya keinginan dari sekelompok umat untuk melakukan pemurnian  terhadap ajaran
agama Islam yang dianggap sudah menyimpang dari sumber aslinya
·         Perkembangan sains yang tidak jarang bertentangan dengan kepercayaan keagamaan yang
selama ini dipegangi sebagai kebenaran.
·         Perkembangan ekonomi yang sering menghalalkan segara cara untuk meraih sebuah
keuntungan.
·         Kesempitan berpikir atau kebodohan yang menyebabkan orang tidak melihat kemungkinan
kebenaran pada pihak lain.
·         Globalisasi yang berkecenderungan untuk menyeragamkan gaya hidup.

Banyak para sarjana muslim mengakui bahwa fundamentalisme sangat menjadi


problem. Fundamentalisme menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem,hitam putih,tidak
toleran dan tidak kompromi. Agama dijadikan alat untuk mengintimidasi dan menindas
sekelompok orang yang bertentangan dengan pahamnya. Padahal,agama manapun tidak
mengajarkan demikian. Nilai-nilai kemanusiaan agama ditinggalkan. Agama yang berfungsi
memenuhi kebutuhan rohani manusia agar menjadi tentram, damai, dan aman telah beralih
pada kebencian, kegelisahan, serta ketakutan. Agama yang berprinsip nilai-nilai kemanusiaan
untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan telah berganti nilai-nilai kekerasan dan fanatisme
sempit. Paham fundamentalisme agama yang demikian itulah yang harus dibenarkan dan
diluruskan.

3. Solusi Fundamentalisme
                          
Fundamentalisme merupakan sebuah fenomena secara sepintas dapat dirasakan
menakutkan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Tetapi jika diperhatikan dengan
seksama akan kelihatan bahwa sebenarnya ia hadir sebagai sesuatu yang wajar dalam
kehidupan masyarakat. Sikap memusuhinya tidak akan menyelesaikan masalah,yang
diperlukan adalah usaha memahaminya dengan baik dan membawanya kepada dialog dan
kebersamaan[6].

C.      HAM

1.        Definisi HAM

HAM merupakan upaya untuk mendudukkan manusia sebagaimana mestinya dengan


memberikan hak- haknya tanpa ada diskriminasi.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antara salah satu asasnya


adalah asas kebebasan/kemerdekaan (al-Hurriyah). Kebebasan ini meliputi kebebasan
berpikir, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki
harta/benda dan kebebasan beragama. Dalam kebebasan beragama ini, Islam mengajarkan
bahwa manusia untuk menganut suatu agama tidak perlu ada paksaan dan tidak perlu
memaksakan orang lain seperti yang tercantum dalam Qur’an surat  Al Baqarah ayat 256
dan  Yunus ayat 99.
2.        Sikap dan Pemahaman Islam tentang HAM
                       
            Masalah yang dihadapi umat Islam berkenaan dengan HAM universal adalah tentang
rincian spesifik yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB di bulan Desember 1948 masalah
kebebasan seorang mengubah keyakinan (konversi agama)[7].
            Permasalahan selanjutnya mengarah pada pandangan Islam mengenai status hukum
konversi agama yang menyangkut hak asasi manusia, hak berpendapat dan beragama.
Sebenarnya ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan
prinsip kebebasan,karena sebuah paksaan itu menyebabkan jiwa tidak damai. Namun sisi
lain,sebagian besar ulama mengkategorikan sikap mengkonversi agama tidak dilihat dari
perspektif kebebasan melainkan dipandang sebagai tindak kriminal  yang masuk dalam
kategori tindak pidana berat sehingga sanksi hukumnya berupa hudud yaitu suatu bentuk
hukuman yang pasti dan telah ditetapkan syari ̓ah. Hukuman itu tidak lain adalah hukuman
mati. Penetapan hudud bagi pelaku murtad  dengan hukuman mati ini  berdasarkan kepada
hadits Nabi,“Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), maka mati (bunuh)lah dia.” (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan).” Akan tetapi, hukuman itu tidak boleh
dilaksanakan jika orang murtad itu telah bertaubat.

3.      Solusi Konversi Agama HAM.

            Sebenarnya Islam mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama


dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang
pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa
umat agama lain untuk memeluk Islam. Allah tidak memberikan ancaman duniawi bagi
siapapun yang memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya, apakah dia memeluk agama
Islam atau selain Islam. Begitu pula dengan konversi agama. Hak semua orang diberikan
kebebasan untuk memiliki keyakinan masing-masing tanpa harus dipaksakan dan tanpa harus
memaksa orang lain.

Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Namun perlu


diperhatikan setelah seseorang memutuskan untuk memeluk Islam, maka berarti ia telah
mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam,
termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam.

D.       DEMOKRASI

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,


partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini
kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan sebagainya.

Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu
‘demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat “cratein” atau “cratus” yang berarti
kekuasan dan kedudukan jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam
sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh
rakyat. Adapun beberapa pendapat tentang demokrasi yaitu sebagai berikut:

    1.              Menurut Joseph A Schmeter menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan


institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh
kekuasan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat.
    2.              Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dalam diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
politik.

1.      Hubungan Islam Dan Demokrasi

Seperti yang sempat di singgung sebelumnya, Sebenarnya ada beberapa prinsip Islam
yang sesuai dengan demokrasi, yaitu :

1.             Syura (Musyawarah) Musyawarah dijelaskan dalam QS.42:28, “yang berisi perintah kepada
para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan dan masalah
kepemerintahan dengan cara bermusyawarah”.
2.             Keadilan Artinya dalam menegakkan egar termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan
pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan egaram. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT
dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; as-Syura:15; al-Maidah:8; An-
Nisa’:58. Prinsip keadilan dalam sebuah egara memang sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia egara
kafir, sebaliknya egara yang zalim akan hancur meski ia egara (yang mengatasnamakan)
Islam”.
3.             Kesejajaran (al-Musawah) Artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Ayat Al-Qur’an yang
sering digunakan adalah QS. Al-Hujurat ayat 13.
4.             Kebebasan Untuk Hidup Ini dijelaskan pada (QS.17:33 dan QS.5:52) yang menyebutkan
bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi dibandingkan mahluk yang
lain, sehingga manusia diberi kebebasan untuk hidup dan merasakan kenikmatan dalam
kehidupannya.
5.             Prinsip Persamaan Dijelaskan pada (QS.49:13) yaitu pada dasarnya semua manusia itu sama,
karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan manusia dengan manusia lainnya
adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
6.             Kebebasan Menyatakan Pendapat Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mau dan
berani menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan pendapat yang benar dan
dipenuhi rasa tanggung jawab.
7.             Kebebasan Beragama Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menganut dan menjalankan agama yang diyakini kebenarannya, sehingga tak seorangpun
dapat dibenarkan memaksa orang lain untuk masuk Islam. Perintah ini terdapat dalam
QS.2:256, QS.88:22, dan QS.50:45.

   Hubungan Islam dengan politik demokrasi liberal muncul sebagai isu yang paling
sering menimbulkan perdebatan. Nader Hashemi menantang kepercayaan umum para
ilmuwan sosial yang meyakini bahwa politik keagamaan dan perkembangan demokrasi
liberal secara struktur tidak sejalan (incompatible). Ketegangan-ketegangan yang serius
antara agama dan demokrasi liberal bukan berarti bahwa keduanya tidak mungkin untuk
didamaikan.

Yang lebih dulu biasanya mendahului yang terakhir, di mana proses tersebut secara
mendalam saling terhubung (interlinked) Demokratisasi tidak mengharuskan privatisasi
agama, tetapi membutuhkan reinterpretasi ide-ide keagamaan yang lebih kondusif untuk
demokrasi liberal. Dengan reinterpretasi ini, kelompok agama akan memainkan peran penting
dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi.

Islam, Sekulearisme, dan Demokrasi Liberal menawarkan cara berpikir baru


(rethinking) terkait teori demokrasi yang menghubungkan variabel agama dengan
perkembangan demokrasi liberal. Buku ini membuktikan bahwa teori dasar sekularisme
Muslim bukan hanya mungkin, tetapi bahkan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
demokrasi liberal di dalam masyarakat muslim. Selama ini, ada asumsi yang melekat kuat
dalam benak masyarakat: demokrasi mensyaratkan sekularisme. Dalam hal ini, sekularisme
adalah pengalaman khas Barat dalam pergulatannya memosisikan hubungan negara dengan
agama. Padahal, perkara ini tidak ada dasar sama sekali dalam sejarah maupun teks telogis
masyarakat muslim. Maka, dapat dimaklumi bila kemudian muncul penolakan terhadap
demokrasi liberal berikut sekularismenya oleh masyarakat muslim.

Dalam kajian ini, ia mengkritik demokrasi yang tumbuh di negara mayoritas muslim
lebih sebagai usaha pencangkokan dari luar dan sangat dipengaruhi kolonialisme. Begitu juga
sekularisme yang sempat hadir dalam diskursus publik. Ia mengambil contoh proses yang
berlangsung di Turki di bawah Kemal Ataturk dan Iran di masa Reza Pahlevi.

Dalam tradisi politik Barat pun, demokrasi liberal dan sekularisme dalam prakteknya
tidaklah monolitik. Hal ini bisa dilihat pada model demokrasi liberal Prancis yang
menempatkan agama berikut simbol-simbolnya terpisah jauh dari ruang-ruang publik.
Perbedaan ini akibat pergulatan panjang sejarah memosisikan agama (gereja) dengan negara
yang berbeda dan sering dihiasi dengan pergolakan sosial yang dramatis dan tragis.
BAB III

PENUTUP

1.      Simpulan

v  Pluralisme  berarti paham kemajemukan. bahwa Islam mengakui adanya  pluralisme dalam


wilayah sosial,akan tetapi untuk pluralisme agama dan aqidah,Islam hanya mengakui
keberadaan dan identitas tiap-tiap agama tanpa mengakui kebenarannya.  
v  Jika diartikan sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut
gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali
kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci. 
v  Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan atau
laki-laki untuk            mengubah keadaan tersebut.
v  Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran ganda dalam konteks
kemerdekaan hidupnya.
v  Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antara salah satu asasnya adalah asas
kebebasan/kemerdekaan (al-Hurriyah) 
v  Islam mengakui kebebasan beragama. Namun  setelah seseorang memutuskan untuk memeluk
Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam.

2.        SARAN
            Kita harus dapat menyikapi isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat dengan
baik.

Anda mungkin juga menyukai