Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

RUPTUR HEPAR E.C. TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

Oleh:
Riwi Bedori Larasatty, S.Ked
K1A1 11 087

Pembimbing:
dr. Wayan Eka Winarka, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Umur : 17 tahun
Alamat : Totombe Jaya
Tanggal Masuk : 31 Oktober 2021

B. Anamnesis
Keluhan utama : Penurunan kesadaran sejak subuh post KLL
Anamnesis terpimpin : Penurunan kesadaran sejak subuh setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas kemarin magrib
Mechanism of trauma :
Riwayat pasien mengalami kecelakaan tunggal dengan mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan + 60 km/jam. Pasien mengenakan helm.
Pada saat kecelakaan pasien terlempar dan perut pasien terbentur di
tumpukan kayu yang terletak di pinggir jalan. Setelah kecelakaan pasien
merasakan penglihatan menghitam. Pasien segera dibawa ke Puskesmas
terdekat oleh warga sekitar dan pasien sempat mengalami pingsan saat
perjalanan menuju Puskesmas. Riwayat penanganan di Puskesmas tidak
diketahui secara pasti. Setelah dari Puskesmas pasien pulang ke rumah dan
setelah 1 hari di rumah pasien mengalami mual, muntah, pusing, dan sesak.
- Riwayat pingsan saat terjatuh (+)
- Riwayat mual dan muntah (+)
- Riwayat konsumsi alkohol dan obat-obatan disangkal
- Riwayat penyakit sebelumnya (-)

2
C. Primary Survey
Airway : Clear
Breathing : Simetris, suara napas menurun di basal kanan, terdapat
jejas di dada, pernapasan 32x/menit
Circulation :
TTV : TD: 80/palpasi
N: 39x/menit, akral dingin
CRT: >2 detik
Assessment : Syok Hipovolemik + Trauma Tumpul Abdomen +
Trauma Tumpul Dada
Tindakan : IVFD RL guyur 2 kolf
Pasang NGT
Pasang kateter urin
Laparatomi eksplorasi
Follow Up :

Hari/
Perjalanan penyakit Planning
Tanggal
S :Penurunan kesadaran T:
O :KU lemah - Resusitasi cairan 2 kolf
TD : 80/palpasi - Ceftriaxone 1 g/12 jam
N : 39x/m - Metronidazole 1 g/12 jam
P : 32x/m - Ketorolac 1 amp/8 jam
S : 36°C - Ranitidine 1 amp/12 jam
31/10/2021
Status Lokalis - Dexametason 1 amp/12 jam
Regio abdomen: - Adona 1 amp drips
Inspeksi: Distensi (+) - Vit K 1 amp drips
Auskultasi: Peristaltik - Asam Tranexamat 1 amp drips
menurun - Pasang NGT
Palpasi: Nyeri tekan (-) - Pasang kateter

3
Perkusi: Hipertimpani (+) - BNO 3 posisi
Lab (31/10/21) - Foto thorax
WBC: 19.67 - Transfusi bila Hb <8 g/dL
RBC: 2.99
Hb: 9.2
PLT: 57
BNO 3 Posisi: Tak tampak
kelainan
USG:
Intraparenkimal hepatoma
di lobus kanan disertai
laserasi kapsuler
A : Trauma Tumpul
Abdomen
S : Nyeri perut T:
O : KU lemah - Resusitasi cairan 2 kolf
TD : 118/75 mmHg - Ceftriaxone 1 g/12 jam
N : 80x/menit - Metronidazole 1 g/12 jam
P : 20x/menit - Ketorolac 1 amp/8 jam
S : 36,8°C - Ranitidine 1 amp/12 jam
Lab (1 Nov 2021) - Dexametason 1 amp/12 jam
01/11/2021 WBC: 12.98 - Adona 1 amp/12 jam
RBC: 2.98 - Vit K 1 amp/12 jam
HB: 9.5 - Asam Tranexamat 1 amp/12 jam
A: - Diet susu
- Trauma Tumpul - Lab darah rutin
Abdomen - Rencana operasi besok
- Hematoperitoneum
- Laserasi Hepar

4
T:
- RL:D5 2:1
- Ceftriaxone 1 g/12 jam
S : Nyeri perut
- Metronidazole 1 g/12 jam
O : Sakit lemah
- Ketorolac 1 amp/8 jam
TD : 125/75 mmHg
- Ranitidine 1 amp/12 jam
N : 64x/menit
02/11/2021 - Dexametason 1 amp/12 jam
P : 20x/menit
- Fentanyl 12 jam
S : 36°C
- Adona 1 amp/12 jam
A : Trauma Tumpul
- Vit K 1 amp/12 jam
Abdomen + Ruptur Hepar
- Asam Tranexamat 1 amp/12 jam
- Diet susu
- Rencana op malam
T:
- RL:D5 2:1
S : Nyeri perut
- Ceftriaxone 1 g/12 jam
O : Post Laparatomi
- Metronidazole 1 g/12 jam
eksplorasi
- Ketorolac 1 amp/8 jam
TD : 113/72 mmHg
- Ranitidine 1 amp/12 jam
N : 79x/menit
03/11/2021 - Dexametason 1 amp/12 jam
P : 20x/menit
- Adona 1 amp/12 jam
S : 36°C
- Vit K 1 amp/12 jam
A : Post Laparatomi
- Asam Tranexamat 1 amp/12 jam
Eksplorasi + Laserasi
- Kontrol Hb
Hepar
- Buang cairan sisa
- Transfusi jika Hb <8 g/dL

Dissability : Pain Responsive

5
D. Secondary Survey
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Thorax : Terdapat jejas
Abdomen : Status lokalis
Ekstremitas Sup. : CRT >2 detik
Ekstremitas Inf. : Akral dingin
Status Lokalis Regio Abdomen
Inspeksi : Distensi (+)
Auskultasi : Peristaltik menurun
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Hipertimpani (+)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
31 Oktober 2021 01 November 2021
WBC 19.67 (meningkat) 12.98 (meningkat)
RBC 2.99 (rendah) 2.98 (rendah)
HB 9.2 (rendah) 9.5 (rendah)
HCT 26.1 (rendah) 25.9 (rendah)
PLT 57 (rendah) 73 (rendah)

2. Radiologi BNO 3 Posisi (31 November 2021)


- Tak tampak step ladder patologis maupun gambaran udara di luar
kontur usus
- Kesan: BNO 3 posisi tak tampak kelainan

6
3. USG (31 November 2021)

Kesan:
- USG FAST Positif
- Intraparenkimal hematoma ukuran 7,1 x 7,7 x 5,9 cm di lobus kanan
disertai laserasi kapsuler (AAST grade II)

F. Diagnosa
- Laserasi hepar
- Hematoperitoneum
- Syok Hipovolemik

G. Terapi
- Laparatomi Eksplorasi

H. Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

7
I. Foto Klinis

Foto post op lapatomi eksplorasi (kanan)


Drain pasien (kiri)

J. Kesimpulan
Riwayat pasien mengalami kecelakaan tunggal dengan mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan + 60 km/jam. Pasien mengenakan helm. Pada
saat kecelakaan pasien terlempar dan perut pasien terbentur di tumpukan kayu
yang terletak di pinggir jalan. Setelah kecelakaan pasien merasakan
penglihatan menghitam. Pasien segera dibawa ke Puskesmas terdekat oleh
warga sekitar dan pasien sempat mengalami pingsan saat perjalanan menuju
Puskesmas. Riwayat penanganan di Puskesmas tidak diketahui secara pasti.
Setelah dari Puskesmas pasien pulang ke rumah dan setelah 1 hari di rumah
pasien mengalami mual, muntah, pusing, dan sesak.
Pemeriksaan fisik KU lemah dan ditemukan tanda-tanda syok. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan jejas pada daerah dada. Radiologi X-Ray BNO 3
posisi tidak ada kelainan. USG ditemukan adanya laserasi hepar grade II.
Pemeriksaan darah WBC 19.67, Hb 9.2, PLT 57.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar

1.500 gr, 2% berat badan orang dewasa normal. Hepar merupakan organ

lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Hepar memiliki

permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan

diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hepar berbentuk cekung

dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus.1

Hepar memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan

dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan

yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan

lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar.1

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa

melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar

sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah

darah vena porta. Volume total darah yang melewati hepar setiap menitnya

adalah 1.500 ml.1

9
Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh.

Organ ini melakukan berbagai fungsi, mencakup hal-hal berikut:

1. Pengolahan metabolik kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak,

protein)

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan

senyawa asing lainnya

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting

untuk pembekuan darah, serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid

dan kolesterol dalam darah

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin

5. Pengaktifan vitamin D

6. Pengeluaran bakteri dari sel-sel darah merah yang lama berkat adanya

makrofag

7. Menyekresi hormone trombopoietin

8. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi

9. Ekskresi kolesterol.2

10
Gambar 1. Anatomi Hepar Tampak Depan dan Tampak Belakang.12

B. DEFINISI

Hepar adalah organ yang paling sering mengalami cedera pada trauma

tumpul abdomen. Mengingat ukurannya yang besar di rongga perut dan hepar

juga bisa mengalami cedera/luka tembus perut. Trauma hepar dapat berupa

laserasi minor atau hematoma kapsuler dengan morbiditas minimal hingga

dapat menyebabkan kematian.4

11
C. EPIDEMIOLOGI

Di negara-negara Barat, kejadian ruptur hepar paling banyak

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan prevalensi sekitar 70% kasus.

Penyebab utama kematian terkait cedera hepar adalah perdarahan yang tidak

terkontrol, dan dikaitkan dengan tingkat kematian hingga 54%.5 Hati adalah

organ padat yang paling umum cedera pada trauma tumpul, dan pasien

dengan cedera hati biasanya memiliki cedera penyerta lainnya.4

Kematian akibat trauma hepar tergantung pada derajat cedera. cedera

hepar membuat sebagian besar trauma hati, dengan 80% sampai 90% masuk

dalam grade I atau II. Kematian meningkat seiring meningkatnya cedera, dan

cedera hepar grade IV seringkali berakibat fatal. Cedera hati adalah penyebab

utama kematian pada trauma perut yang parah dan memiliki tingkat kematian

10% hingga 15%.4

D. ETIOLOGI

Beberapa penyebab trauma hepar antara lain pukulan langsung atau

terkena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk (intruded) pada

tabrakan kendaraan bermotor. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau

berongga dan dapat mengakibatkan ruptur dengan perdarahan sekunder dan

peritonitis. Shearing injuries pada organ isi abdomen merupakan bentuk

trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk pengaman

jenis lap belt atau komponen sabuk bahu) dipakai dengan cara yang salah.6

12
Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat

menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan

yang bergerak dan yang tidak bergerak. Pada penderita yang dilakukan

laparatomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering cedera, adalah

limpa (40-55%), hati (35-45%) dan hematoma retroperitoneum (15%).6

E. MEKANISME CEDERA

Cedera hati berkisar dari cedera besar dan serius hingga cedera ringan.

Cedera pada hati bisa berasal dari hematoma subkapsular minor dan laserasi

kapsuler kecil hingga parenkim profunda mayor. Banyak faktor yang

berkontribusi terhadap tingkat kerentanan ruptur hepar. Hati adalah organ

padat terbesar dalam rongga abdomen dan relatif memiliki posisi tetap. Hati

terletak anterior di rongga perut di kuadran kanan atas. Dukungan kapsul

Glisson mudah terganggu membuat organ ini rentan terhadap cedera.

Kecelakaan kendaraan bermotor adalah yang paling sering terjadi yang

menyebabkan terjadinya ruptur hepar. Tidak mengherankan, bahkan pada

trauma tembus abdomen, hati adalah yang kedua terbanyak organ yang sering

terluka. Penyebab paling umum dari luka tembus hati adalah karena pisau

serangan dan luka tembak. Tingkat keparahan cedera tembus tergantung pada

lintasan dari rudal atau alat. Cedera dapat berkisar dari cedera parenkim

sederhana atau laserasi vaskular yang serius dan besar.7

13
Selama respirasi, tepi hati, yang biasanya dapat dipalpasi 2 sampai 3

cm di bawah kanan sela iga dan akan naik turun dengan diafragma. Dengan

ekspirasi kubah hati naik setinggi puting susu yaitu T4. Hubungan dengan

dinding dada juga membuat hati rentan selama cedera dada. Selanjutnya, luka

tembus di perut bagian bawah dapat menyebabkan trauma serius pada hati

karena batas inferior hati turun ke T12 pada inspirasi yang dalam. Lobus hati

kanan lebih sering terlibat, karena ukurannya yang lebih besar dan lebih dekat

dengan tulang rusuk. Kompresi terhadap tulang rusuk, tulang belakang atau

dinding perut posterior umumnya mengakibatkan kerusakan dominan pada

segmen posterior (segmen 6, 7, dan 8).7

Sebaliknya, pukulan ke hemitoraks kanan dapat menyebar melalui

diafragma menghasilkan memar pada lobus kanan hati. Cedera hati juga bisa

terjadi sebagai akibat dari transmisi tekanan vena yang terlalu tinggi ke

bagian tubuh. Cedera deselerasi yang menghasilkan gaya geser dapat

merobek lobus hepatik dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena

hepatika. Secara umum, trauma hati dapat menyebabkan hematoma, laserasi,

memar, cedera vaskular hati, dan cedera saluran empedu. Berdasarkan

mekanisme dan lokasi trauma tumpul hepar, cedera hepar dapat

diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu tipe A dan B.7

14
Gambar 2. Cedera tipe A: Ruptur pada lobus hati kiri sebagian besar di

sepanjang ligamen falciform, termasuk segmen II, III, atau IV hati. Pola

cedera ini diamati ketika trauma memiliki dampak langsung dari trauma.

Gambar 3. Cedera tipe B: Cedera ini mewakili mekanisme trauma yang lebih

kompleks dengan dampak yang datang dari beberapa arah, mempengaruhi

segmen V–VIII pada hati.

15
F. KLASIFIKASI

Berdasarkan American Association for Surgery of Trauma (AAST)

telah menyusun tingkat keparahan ruptur hepar sebagai berikut:8

Klasifikasi
Hematoma pada subkapsular <1 cm, avulsi kapsuler, laserasi
Grade I
pada parenkim superficial <1 cm
Laserasi parenkim 1-3 cm dan hematoma
Grade II
subkapsular/parenkim 1-3 cm
Laserasi parenkim >3 cm dan hematoma
Grade III
subkapsular/parenkim dengan diameter >3 cm
Hematoma subkapsular/parenkim dengan diameter >10 cm,
Grade IV
kerusakan lobus dan devaskularisasi
Grade V Kerusakan menyeluruh atau devaskularisasi
Grade VI Avulsi hepatic

G. DIAGNOSIS

Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma abdomen

merupakan unsur terpenting dalam mengurangi kematian akibat trauma

abdomen. Pada pasien trauma penilaian abdomen merupakan salah satu

bagian yang menarik. Penilaian sirkulasi saat survei awal harus mencakup

deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi di dalam

abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada

diantara puting dan perineum harus dianggap potensial yang dapat

menyebabkan cedera intraabdominal.9

16
1. Penanganan Awal

Resusitasi awal dan evaluasi pasien dengan trauma tumpul

abdomen atau trauma tembus toraks harus segera dilakukan. Paling umum,

resusitasi awal, evaluasi diagnostik, dan manajemen pasien trauma dengan

trauma tumpul atau tembus didasarkan pada protokol dari pedoman

Advanced Trauma Life Support (ATLS), yang ditetapkan oleh American

College of Surgeons Committee on Trauma. Penanganan awal meliputi

primary survey; airway, breathing, circulation, disability, dan exposure,

dan secondary survey.

2. Anamnesis (Riwayat Trauma)

Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan

kemungkinan cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus

diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera,

tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan

kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital,

kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.6

3. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Lepas seluruh pakaian pasien. Kemudian periksa perut depan

dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus

diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang tertancap

serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati untuk

mempermudah pemeriksaan lengkap.6

17
b. Auskultasi

Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak.

Darah intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi)

abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi

usus. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang

belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada

cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan

berarti pasti ada cedera intra-abdominal.6

c. Perkusi

Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat

menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga

dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di

kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.6

d. Palpasi

Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen

(voluntary guarding) dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen.

Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang

handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan

adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan

dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang

menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan biasanya menandakan

peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.6

18
4. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pasien trauma tetap harus menjalani tes laboratorium.Hal ini

meliputi panel metabolik yang komprehensif, hitung darah lengkap,

parameter koagulasi, dan tingkat laktat. Tambahan, tes fungsi hati

mungkin tidak normal, meskipun ini mungkin tidak terlihat sampai

beberapa jam sampai beberapa hari setelah cedera.4

b. Radiologis

Penilaian radiologis juga dapat dimulai di IGD dengan penilaian

terfokus pada pemeriksaan sonografi untuk trauma (FAST). Hal ini

dapat memandu manajemen trauma dan membantu dokter memutuskan

apakah pasien dengan cedera hati harus melanjutkan langsung ke ruang

operasi. Pasien yang telah dilakukan resusitasi dan secara hemodinamik

stabil di IGD dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan. CT scan perut dan

panggul dengan kontras intravena (IV) telah banyak dilakukan untuk

hemodinamik yang stabil pada pasien trauma abdomen. Hal ini

merupakan modalitas terbaik untuk mengidentifikasi cedera hati.4

c. Penilaian Cedera

Temuan radiologis digunakan untuk menilai derajat cedera hati

seperti yang didefinisikan oleh American Association for the Surgery of

Trauma (AAST) mengenai Skala Cedera Hati.4

19
H. TATALAKSANA

Mayoritas pasien yang dirawat dengan rupture hepar memiliki cedera

ringan atau sedang dan berhasil diobati dengan tatalaksana non operatif.

Sebaliknya, sepertiga cedera parah dan memungkinkan untuk tatalaksana non

operatif. Dalam menentukan strategi pengobatan yang optimal, anatomi

deskripsi letak kelainan pada hati tidaklah cukup untuk menjadi dasar

dilakukannya tindakan operatif. Bahkan, keputusan apakah pasien perlu

dikelola secara operatif atau menjalani non operatif didasarkan terutama pada

status hemodinamik, cedera terkait, dan derajat cedera hati anatomis.10

1. Manajemen Nonoperatif

Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil

tanpa indikasi lain untuk eksplorasi penanganan yang terbaik adalah

dengan pendekatan konservatif nonoperatif. Pasien yang stabil tanpa

tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan menggunakan USG,

dan jika ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus dilakukan.

Dengan tidak adanya ekstravasasi kontras selama fase arteri CT scan,

cedera yang ada dapat ditangani secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk

penanganan nonoperative pada trauma hepar diantaranya adalah stabilitas

hemodinamik, status mental normal, tidak adanya indikasi yang jelas

untuk laparotomi seperti tanda peritoneum, trauma hepar grade rendah

(kelas I-III), dan kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit darah.6

20
Baru-baru ini, kriteria ini telah ditantang dan indikasi yang lebih

luas untuk manajemen nonoperative telah digunakan. Telah menunjukkan

bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara serial

dan tanda-tanda vital bukan oleh pemeriksaan abdomen serial, yang

merupakan alasan mengapa status mental yang utuh bukan sine qua non

untuk manajemen nonoperative. Selanjutnya, jika hematokrit turun,

sebagian besar pasien akan menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi

dan mengukur hemoperitoneum tersebut.6

Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen nonoperative

cedera tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan

nonoperatif dari nilai cedera I hingga III sekitar 95%, sedangkan untuk

cedera kelas IV dan V tingkat keberhasilan menurun menjadi 75% sampai

80%. Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda

vital dan hematokritnya. Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke

unit perawatan intermediate, di mana mereka mulai diet oral, namun

mereka tetap istirahat sampai hari ke 5 post-injury. Aktivitas fisik dapat

normal kembali setelah 3 bulan dari waktu cedera.6

2. Manajemen Operatif

a. Cedera Hepatik

Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan

triage yang dilakukan di UGD dan keputusan untuk operasi dibuat oleh

ahli bedah trauma. Hati adalah organ yang paling sering mengalami

cedera intra abdomen, dan lebih dari 85% dari cedera hepar dapat

21
dikelola dengan teknik hemostatik sederhana. Gauze packing dapat

menghentikan perdarahan aktif dari cedera hati yang paling superficial.

Untuk perdarahan superficial yang berlanjut, electrocautery argon beam

coagulation dan agen hemostatik topikal umumnya efektif. Profilaksi

drainase perihepatic tidak diperlukan untuk laserasi parenkim kecil ini.6

Prioritas utama pada pasien dengan perdarahan hati yang parah

adalah resusitasi pasien. Manuver Pringle (oklusi sementara dari sistem

porta hepar, yaitu vena portal, arteri hepatik, dan duktus biliaris

communis) dan packing hepar yang ketat merupakan manuver penting

untuk mengkompensasi kehilangan darah. Meskipun hepar manusia

yang mentoleransi iskemia hangat yang secara tradisional dianggap

dalam hitungan menit, namun periode aman sekarang dianggap lebih

dari satu jam. Kegagalan manuver Pringle untuk memperlambat

perdarahan adalah hasil dari vena hepatik – robeknya vena kava

retrohepatic atau derivasi menyimpang dari arteri hepatik lobar.6

Dalam studi anatomi Michel, arteri hepatika sinistra muncul dari

arteri lambung kiri pada 25% pasien dan merupakan arteri utama untuk

lobus kiri di 12%. Demikian pula, arteri hepatika dekstra berasal dari

arteri mesenterika unggul dalam 17% pasien dan merupakan prinsip

lobar arteri di 12%. Arteri hepatik aksesori seperti tidak

terletak dalam hepaties portal, dan karenanya harus tersumbat secara

terpisah. Jika oklusi vaskular hepar berhasil masuk, hepar maka harus

dimobilisasi untuk memungkinkan pemeriksaan yang memadai luasnya

22
cedera. Mobilisasi hati yang memadai penting untuk proses bedah

perbaikan luka hati yang kompleks. Hati dimobilisasi dengan membagi

ligamentum falsiforme ke diafragma, menggores lampiran peritoneum

antara lobus kiri dan kanan hati dan diafragma, dan menggores

ligamentum segitiga kanan dan kiri untuk mengekspos vena hepatik dan

inferior vena. Mobilisasi dilengkapi dengan menggores ligamentum

gastrohepatic dan retroperitoneum sepanjang lobus caudate, yang

memaparkan retrohepatic vena kava di sebelah kiri.6

Manuver ini memungkinkan hati harus ditarik ke dalam luka

bedah garis tengah untuk cedera parenkim dan pembuluh darah

diperbaiki. Situs fraktur kemudian dieksplorasi secara sistematis oleh

tractotomy, dengan ligasi individu dari pembuluh darah dan dibagi

intrahepatik saluran empedu. Jika ligasi mencapai hemostasis yang

cukup setelah rilis oklusi aliran, hepar ligasi arteri selektif (SHAL)

harus dipertimbangkan. Prosedur ini biasanya aman karena vena portal

lobar menyediakan oksigen yang cukup ke jaringan hepatik

dearterialized sampai agunan yang fungsional. Kegagalan untuk

mengontrol perdarahan setelah suatu manuver Pringle efektif

menyiratkan luka hepar vena. Jika perdarahan berlanjut, pilihan adalah

apakah untuk melanjutkan dengan reseksi hepatik atau menggunakan

packing abdomen. Packing jelas lebih disukai jika ada koagulopati

refraktori, hipotermia, luka bilobar luas, lainnya cedera yang

mengancam jiwa, atau kurangnya dukungan bank darah.6

23
Reoperation direncanakan dalam waktu 24 jam untuk

menghilangkan packing dan debridemen hati tambahan. Packing harus

dihilangkan diawal karena mereka meningkatkan tekanan

intraabdomen, yang dapat mengganggu perfusi splanknikus dan ginjal,

dan karena darah dikumpulkan berfungsi sebagai media yang baik

untuk pertumbuhan bakteri.6

b. Hepatic lobektomi trauma

Dengan angka kematian yang melebihi 50%. Drainase duktus

biliaris communis melalui T tube tidak menguntungkan melalui reseksi

hepatik, namun drainase daerah perihepatic penting karena tingginya

insiden kebocoran empedu pasca operasi.6

I. KOMPLIKASI

Dokter harus mewaspadai beberapa komplikasi yang dapat

berkembang setelah trauma hati. Komplikasi yang paling umum adalah

kebocoran empedu dan dapat terjadi pada sebanyak 21% pasien yang

ditangani secara operatif. Abses hati dapat berkembang setelah ligasi arteri

hepatik atau angioembolisasi. Nekrosis hati sering terjadi setelah cedera hati

dan kemungkinan besar terjadi pada pasien yang menjalani angioembolisasi.

Komplikasi lain yang jarang terjadi dari trauma hepatik adalah fistula arterio-

bilier atau porto-bilier yang menyebabkan hemobilia. Hemobilia dapat

menyebabkan bekuan darah dan obstruksi percabangan bilier.4

24
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien Tn. I, 17 tahun masuk dengan penurunan kesadaran setelah


mengalami kecelakaan lalu lintas. Riwayat pasien mengalami kecelakaan tunggal
dengan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan + 60 km/jam. Pasien
mengenakan helm. Pada saat kecelakaan pasien terlempar dan perut pasien
terbentur di tumpukan kayu yang terletak di pinggir jalan. Setelah kecelakaan
pasien merasakan penglihatan menghitam. Pasien segera dibawa ke Puskesmas
terdekat oleh warga sekitar dan pasien sempat mengalami pingsan saat perjalanan
menuju Puskesmas. Riwayat penanganan di Puskesmas tidak diketahui secara
pasti. Setelah dari Puskesmas pasien pulang ke rumah dan setelah 1 hari di rumah
pasien mengalami mual, muntah, pusing, dan sesak.
Beberapa penyebab trauma hepar antara lain pukulan langsung atau
terkena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk (intruded) pada tabrakan
kendaraan bermotor. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan
dapat mengakibatkan ruptur dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Hepar
adalah organ yang paling sering mengalami cedera pada trauma tumpul abdomen.
Mengingat ukurannya yang besar di rongga perut dan hepar juga bisa mengalami
cedera/luka tembus perut. Trauma hepar dapat berupa laserasi minor atau
hematoma kapsuler dengan morbiditas minimal hingga kematian.
Pemeriksaan fisik KU lemah dan ditemukan tanda-tanda syok. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan jejas pada daerah dada. Radiologi X-Ray BNO 3
posisi tidak ada kelainan. USG ditemukan adanya laserasi hepar grade II.
Pemeriksaan darah WBC 19.67, Hb 9.2, PLT 57.
Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma abdomen merupakan
unsur terpenting dalam mengurangi kematian akibat trauma abdomen. Pada pasien
trauma penilaian abdomen merupakan salah satu bagian yang menarik. Penilaian
sirkulasi saat survei awal harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya
perdarahan yang tersembunyi di dalam abdomen dan pelvis pada pasien trauma

25
tumpul. Trauma tajam pada dada diantara puting dan perineum harus dianggap
potensial yang dapat menyebabkan cedera intraabdominal.
Pada pasien ini dilakukan laparatomi eksplorasi dan ditemukan adanya
laserasi hepar. Mayoritas pasien yang dirawat dengan rupture hepar memiliki
cedera ringan atau sedang dan berhasil diobati dengan tatalaksana non operatif.
Sebaliknya, sepertiga cedera parah dan memungkinkan untuk tatalaksana non
operatif. Dalam menentukan strategi pengobatan yang optimal, anatomi deskripsi
letak kelainan pada hati tidaklah cukup untuk menjadi dasar dilakukannya
tindakan operatif. Bahkan, keputusan apakah pasien perlu dikelola secara operatif
atau menjalani non operatif didasarkan terutama pada status hemodinamik, cedera
terkait, dan derajat cedera hati anatomis.
Prioritas utama pada pasien dengan perdarahan hati yang parah adalah
resusitasi pasien. Manuver Pringle (oklusi sementara dari sistem porta hepar, yaitu
vena portal, arteri hepatik, dan duktus biliaris communis) dan packing hepar yang
ketat merupakan manuver penting untuk mengkompensasi kehilangan darah.
Meskipun hepar manusia yang mentoleransi iskemia hangat yang secara
tradisional dianggap dalam hitungan menit, namun periode aman sekarang
dianggap lebih dari satu jam. Kegagalan manuver Pringle untuk memperlambat
perdarahan adalah hasil dari vena hepatik – robeknya vena kava retrohepatic atau
derivasi menyimpang dari arteri hepatik lobar.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit

edisi 6 volume 1 bagian lima; gangguan sistem gastrointestinal, bab 27;

gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Jakarta : EGC; 2006 hal 472-

475.

2. Sherwood L. Sistem pencernaan sekresi pankreas dan empedu fisiologi

manusia: dari sel ke sistem Edisi 8. Jakarta : EGC; 2014 hal 647-648.

3. Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia sobotta jilid 2 Edisi 21. Jakarta :

EGC; 2013 hal 142.

4. Taghavl, S dan Askari, R. 2021. Liver Trauma. NCBI Bookshelf.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513236

5. Slotta, E., Justinger, C., Kollmar, O., Kollmar, C., Schafer, T., Schilling, K.

2014. Liver Injury Following Blunt Abdominal Trauma: A New Mechanism-

driven Classification. Springer No. 44: 241-246.

6. Warsinggih. 2016. Ruptur Hepar. Siloam Hospital. Makassar.

7. Alghamdi. H. 2017. Liver Trauma Chapter 12. Intech. Saudi Arabia.

8. Kumar, S., Ramya, R., Alexander, N. 2007. Blunt Trauma Liver – Case

Reports and Review. Sri Ramachandra Journal of Medicine.

9. Umboh, I., Sapan, H., Lampus, H. 2016. Hubungan Penatalaksanaan Operatif

Trauma Abdomen dan Kejadian Laparatomi Negatif di RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado. Jurnal Biomedik Vol. 8 (2): 52-57.

27
10. Coccolini, Colmbra, Ordones, Kluger, Vega, Moore, dkk. 2020. Liver

Trauma: WSES 2020 Guidelines. Journal of Emergency Surgery No. 15: 24.

28

Anda mungkin juga menyukai