Anda di halaman 1dari 12

NAMA : FIQRI NURUL FIRDAUS

NPM 1102019240

1. MM Mapraktik
1.1  Definisi

Pengertian Malpraktek Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai
pengertian malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari “malpractice” yang
pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai
akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter. (Anny
Isfandyarie,2005 : 20).
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau
praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik
dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena
malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”,
yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan
praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk
menggunakan istilah “maltreatment”.
c. Danny W iradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter
yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan
praktek buruk.
d. Kamus Besar bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan
malapraktik yang diartikan dengan: “praktik kedokteran yang salah, tidak tepat,
menyalahi undang-undang atau kode etik”.
e. Pengertian malpraktek medik di dalam Black’s Law Dictionary : “ Malpraktek
adalah setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat
yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para
dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional
dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di
dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut
yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya
setiap sikaptindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar
atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau illegal atau
sikap immoral “.
1.2  Ciri dan tolak ukur malpraktik
Sementara menurut Dr. dr. Imran, SpS, M.Kes disebut malapraktik apabila dokter
tidak menggunakan standar pengobatan, kelalaian dalam menangani penderita,
mengakibatkan kecacatan pasien. Seperti misalnya, adanya kesalahan pemeriksaan,
kekeliruan memberikan penilaian penyakit, salah menulis dosis resep, kesalahan operasi,
melakukan pembedahan oleh bukan dokter bedah, atau mengobati pasien pasien di luar
spesialisasinya
1.3  Jenis
1) Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan


tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
Adapun yang dimaksud dengan etik kedokteran ini mempunyai dua sisi dimana satu
sisi saling terkait dan saling pengaruh mempengaruhi, yaitu etik jabatan atau medical
ethics, yang menyangkut maalah yang berhubungan dengan sikap para dokter
terhadap sejawatnya, sikap dokter terhadap pembantunya dan sikap dokter terhadap
masyarakat. sedangkan etik asuhan atau ethics of the medical care, yaitu merupakan
etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari mengenai sikap dan tindakan seorang
dokter terhadap penderita yang menjadi tanggung jawabnya. Pelanggaran terhadap
terhadap ketentuan Kode Etik Kedokteran ada yang merupakan pelanggaran etik
semata-mata, tetapi ada juga merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran
hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran etikologal.Lebih lanjut bentuk-
bentuk pelanggaran etik kedokteran adalah sebagai berikut :

a. Pelanggaran etik murni :


(1) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga
sejawat dokter dan dokter gigi; (2) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan
sejawatnya (melanggar Pasal 16 Kodeki) ; (3) Memuji diri sendiri di hadapan pasien
(melanggar Pasal 4 huruf a Kodeki) ; (4) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri
(pelanggaran Pasal 17 Kodeki)

b. 2) Terhadap pelanggaran etikolegal antara lain : (1) Pelayanan dokter di bawah


standar ; (2) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki sekaligus
Pasal 267 KUHP) ; (3) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar
Pasal 13 Kodeki dan Pasal 322 KUHP) ; (4) Tidak pernah mengikuti pendidikan dan
pelatihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ; (5) Abortus
provokatus ; (6) Pelecehan seksual (7) Tidak mau melakukan pertolongan darurat
kepada orang yang menderita (melanggar Pasal 14 Kodeki dan Pasal 304 KUHP).

2) Malpraktek Yuridis
S o e d j a t m i k o m e m b e d a k a n malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

a. M a l p r a k t e k P e r d a t a ( C i v i l Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik
oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Pelanggaran profesi kedokteran menurut hukum perdata bersumber pada dua
dasar hukum, yaitu :
(1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata).
Dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul
dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual). Dalam arti
harfiah adalah prestasi yang buruk (Subekti, 1985: 45) yang pada
dasarnya melanggar isi / kesepakatan dalam suatu perjanjian / kontrak
oleh salah satu pihak. Bentuk pelanggaran dalam wanprestasi sebagai
berikut :
(a) Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang
diperjanjikan; (b) Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya,
tidak sesuai kualitas atau kuantitas dengan yang diperjanjikan;
(c) Memberik an prest as i t et api sudah terlambat tidak tepat waktu
sebagaimana yang diperjanjikan ;
(d) memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan. Di lihat dari
transaksi terapeutik yang merupakan inspanning verbentenis dimana
kewajiban atau prestasi dokter yang harus dijalankan pada pasien adalah
perlakukan medis yang sebaik-baiknya dan secermatcermatnya sesuai
dengan standar profesi medis atau standar prosedur operasional. Maka
wanprestasi dokter terjadi karena melanggar standar profesi medis atau
standar prosedur operasional sehingga memberikan pelayanan medis
pada pasien tidak sebagaimana mestinya, dan/atau memberikan prestasi
yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

b. Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami


cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut. Pelanggaran dokter dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang
memenuhi aspek hukum pidana apabila memenuhi syaratsyarat tertentu dalam
tiga aspek, yaitu (Bambang Tri Bawono, 2011: 3):

1) Syarat dalam sikap batin dokter.


Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang
berbuat. Sesuatu yang ada dalam alam batin ini dapat berupa kehendak,
pengetahuan, pikiran, perasaan dabn apapun yang melukiskan keadaan
batin seseorang sebelum berbuat. Dalam keadaan normal setiap orang
memiliki kemampuan mengarahkan dan mewujudkan s i k a p b a ti n n ya
k e d a l a m perbuatan-perbuatan. Apabila kemampuan mengarahkan dan
mewujudkan alam batin ke dalam perbuatan-perbuatan tertentu yang
dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun apabila kemampuan berpikir,
berperasaan dan berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya
dalam melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka
sikap batin tersebut dinamakan kelalaian (culpa). Sebelum melakukan
perlakuan medis diwujudkan oleh dokter , ada tiga arah sikap batin dokter
yaitu :

a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi) ;


b. Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan ; c. Sikap batin
mengenai akibat dari wujud perbuatan.
2) Syarat dalam perlakuan medis.
Perlakuan medis, yakni wujud dan prosedur serta alat yang
digunakan dalam pemeriksaan untuk memnperioleh data-data medis,
menggunakan data-data medis dalam mendiagnosis, cara atau prosedur dan
wujud serta alat terapi, bahkan termasuk pula perbuatan-perbuatan dalam
perlakukan pasca terapi. Syarat lain dalam aspek ini adalah kepada siapa
perlakuan medis itu diberikan dokter. Berarti untuk kasus konkrit tertentu
kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari
sudut logika umum. Misalnya, salah dalam menarik diagnosis, tetapi
perbuatan itu dapast dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya
fakta-fakta medis uyang ada dari sudut kepatutan dibenarkan untuk
menarik kesimpulan diagnosis itu.

3) Syarat mengenai hal akibat.


Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktek kedokteran
harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan
dokter. Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori
malpraktek kedokteran antara malpraktek pidana at au perdata. Dari sudut
hukum pidana akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana
apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan menjadi unsur
tindak pidana akibat kematian atau luka merupakan unsur dalam ketentuan
Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana dan masuk kategori malpraktek
pidana. Meskipun demikian untuk dapat dipidananya seseorang tidaklah
cukup apabila orang itu telah melakukan perbuat an yang bertentangan
dengan hukum / bersifat melawan hukum, masih diperlukan adanya syarat
yaitu orang tersebut melakukan perbuatan itu memenuhi unsurunsur
kesalahan, baik itu berupa kesengajaan ataupun kelalaian
1.4  Perbedaan Mapraktik medis dan resiko medis

Perbedaan antara resiko medis dengan malpraktek medis Pembedaan antara resiko
medis dengan malpraktek medis dilakukan dengan terlebih dahulu menegaskan
pengertian kedua hal tersebut. Pengertian dan kualifikasi resiko medis, serta
pengertian malpraktek telah diuraikan pada alenia sebelumnya. Berikut adalah
pembahasan mengenai unsur-unsur malpraktek.
Kelalaian menurut Jusuf Hanafiah maksudnya adalah sikap kurang hati-hati yaitu
tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan, atau sebaliknya melakukan apa
yang tidak seharusnya dilakukan. Kelalaian juga merupakan tindakan kedokteran di
bawah standar pelayanan medis.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian
tersebut tidak sampai membawa pada kerugian atau cedera pada orang lain dan orang
lain itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum de minimis noncurat lex
yang berarti hukum tidak mencampuri halhal yang dianggap sepele. Tetapi jika
kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata) serus
dan kriminal (Hanafiah, 1998 : 88).
Jika suatu peristiwa terjadi karena unsur kelalaian maka hal itu termasuk
kesalahan (sculhd) dalam arti negligence (Guwandi, 2008 : 60).

Menurut Jonkers suatu kesalaan (schuld) mengandung 4 unsur yaitu :


a. tindakan itu bertentangan dengan hukum (wederrechttelijkheid)
b. akibatnya sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya (voorziendbaarheid)
c. akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindarkan (vermijbaarheid)
d. timbulnya akibat itu dapat dipersalahkan pada si pelaku ( verwijtbarheid)

Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa yang
tidak mengandung keempat unsur tadi bukanlah kesalahan (negligence).

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika (Hanafiah, 1998 : 88) :


a. dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum di
kalangan profesi kedokteran
b. memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi
c. melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati-
hati
d. melakukan tindaan medik yang bertentangan dengan hukum

W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F dalam
tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and
Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, menyebutkan beberapa unsur malpraktek yaitu:
a. Adanya perjanjian dokter-pasien;
b. Adanya pengingkaran perjanjian;
c. Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan
musibah yang terjadi;
d. Tindakan pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari musibah
e. Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya

Asri Rasad menyebutkan unsur-unsur malpraktek adalah kelalaian, kesalahan


medis, dan kerugian bagi pasien (Soewono, 2005 : 144).
Secara perdata, malpraktek dapat dimintakan sebagai perbuaan melawan hukum
apabila memenuhi 4 syarat dalam Pasal 1365 KUH Perdata :
1. Pasien menderita kerugian
2. Ada kesalahan/kelalaian
3. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dengan kesalahan
4. Perbuatan itu melanggar hukum Kualifikasi malpraktek juga dimiliki oleh
hukum pidana.

Unsur-unsur untuk sesuatu dikategorikan sebagai malpraktek menurut hukum


pidana adalah :
1. Harus ada perbuatan yang dapat dipidana
2. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum
3. Harus ada kesalahan.
Unsur kesalahan atau kelalaian adalah kesalahan atau kelalaian penilaiannya
adalah terhadap seorang dokter dalam tingkat kepandaian dan ketrampilan rata-rata
bukan dengan dokter yang terpandai.
Kualifikasi malpraktek medis diukur dengan standar medis. Sampai saat ini
standar medis yang berlaku secara universal tidak ada. Pengertian standar profesi
medis juga tidak ditemukan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia.
Karena sumber hukum peraturan perundangundangan di Indonesia belum ada yang
mengatur mengenai standar profesi medis secara khusus maka harus dicari sumber
hukum yang lain seperti doktrin atau ajaran hukum.
Leenen memberikan ukuran standar profesi medis sebagai bertindak hati-hati
seperti seorang dokter yang mempunyai kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian
yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama untuk mencapai tujuan pengobatan
secara konkrit (Soewono, 2005 : 124)
Hukum hanya mensyaratkan standar profesi yang wajar , bukan yang istimewa.
Apabila ada Apabila terjadi keatian atau cacat disebabkan karena lalai, kuran hati-
hati, maka dokter dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Tindakan seperti ini
dinamakan tidak memenuhi standar profesi medis. Seorang dokter dikatakan
melakukan kesalahan profesional apabila ia tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau mengabaikan hal-hal yang oleh dokter pada umumnya dianggap baik
dalam situasi yang sama diperiksa, dnilai, diperbuat, atau diabaikan (Komalawati,
1989 : 120).
Kesalahan profesional di bidang medik (medical malpractice) adalah kesalahan
dalam menjalankan profesi medik sesuai dengan standar profesi medik sesuai dengan
profesi medis, atau tindakan medik menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada
ilmu pengetahuan medik dan pengalaman yang rata-rata dimiliki seorang dokter
meurut situasi dan kondisi dimana tindakan medik itu dilakukan (Soewono, 2005 :
146).
Dari unsur-unsur tersebut maka perbedaan antara resiko medis dengan malpraktek
medis adalah bahwa dalam malpraktek medis, subyek yang bertanggung jawab adalah
dokter karena dokter dalam hal ini yang melakukan tindakan di luar standar
profesinya. Dokter dimintai pertanggungjawaban karena ada unsur kesalahannya
yaitu lalai tidak mendsarkan tindakannya pada standar profesi medis.
Dalam resiko medis, subyek yang bertanggung jawab justru pasien. Pasienlah
yang harus menanggung kerugian. Kewajiban menanggung ini didasari bahwa dokter
sudah menjalankan tindakan medis sesuai dengan standar profesi medis. Dokter telah
menjalankan aktivitasnya sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
tidak seharusnya dilakukan.
Kesesuaian ini lebih dipertegas bahwa di sana tidak ada unsur kesalahan dari
dokter dalam melakukan tindakan medis. Tidak adanya kesalahan baik itu
kesengajaan maupun kekhilafan menjadi syarat dalam resiko medis ini.
Malpraktek medis seharusnya tidak diprediksikan akan terjadi, karena asumsi
dasarnya dokter melakukan tindakan berdasarkan standar profesi medis. Sedangkan
dalam resiko medis, dokter sudah dapat memprediksikan meskipun belum tentu akan
terjadi karena asumsi dasarnya dokter menjalankan sesuai standar profesi medis.
2. MM Aspek hukum yang mengatur tentang Malpraktik
2.1  Kewajiban dokter dalam perundang – undangan
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan d. menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
2.2  Alur Penyelesaian Tindakan Malpraktik

Cara Pengaduan sesuai dengan UU no 29 tahun 2004

1. (1)  Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

2. (2)  Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :

1. identitas pengadu;

2. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu

tindakan dilakukan; dan

3. alasan pengaduan.
(3)  Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

3. MM Informed Consent
3.1 Definisi
Informed consent atau persetujuan Medik adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien sesuai dengan pasal 1 (a) Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 Di
mana pasal 1 (a) menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik (informed consent)
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed
consent mencakup peraturan yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan
pasien. Interaksi tersebut melahirkan suatu hubungan yang disebut hubungan dokter-
pasien.
Informed consent secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent.
Informed berarti telah mendapat penjelasan atau informasi; sedangkan consent berarti
memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent berarti suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi atau dapat juga dikatakan
informed consent adalah pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan
rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan sudah dimengerti olehnya
3.2 Tujuan

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :


a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;

b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak


terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

3.3 Bentuk
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :

1.Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya


dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.

2.Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis


yangbersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi.

3.4 Prosedur Penyampaian


Dasar Hukum Informed Consent ( Persetujuan Medis ) terdapat dalam :

A. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008


B. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia585/Menkes/Per/IX/ 1989,
C. UU NO. 29 Tahun 2004
D. Dan UU No. 36 Tahun 2009
Namun, secara umum, tata cara dan prosedur Informed Consent dijelaskan pada
Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/2008.

Pasal 1

1.Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien


atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

2.Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3.Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik
atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

4.Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat


mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.

5.Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis


yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan.

6.Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

7.Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidakt erganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuatkeputusan secara bebas.

Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat
perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentudianggap melanggar Hukum.
Dalam pelanggaran Informed Consenttelah diatur dalam pasal 19 Permenkes No.
290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consentdapat dikenakan sanksi
berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.

a. Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan

Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab


dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang
dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan,
namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk
memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.Seseorang
dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas
nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu
menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan
dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–untuk memastikan bahwa
persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.

b. Pemberi Persetujuan

Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi


usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih
atautelah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih
tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran
tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan
kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya
adalah sebagai berikut:

1)Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang


berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa
dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
2)Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap
orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan
anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang
dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
3)Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih
tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk
berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan
dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran
tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat
menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan
dengan bebas.

c. Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan


mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut
terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan
tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah
pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek
kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan
atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya. Dalam setiap
masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan
dengan baik.

d. Penundaan Persetujuan

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya


oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya
terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau
masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka
perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

e. Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan

Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka


dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai.
Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat
dari pembatalan persetujuan tindakan. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus
menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya.

f. Lama Persetujuan Berlaku


Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi
baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang
baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi.
Apabila terdapat jeda waktu antara saat pemberian persetujuan hingga
dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan
membantu pasien,terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-
ragu atau masih memiliki pertanyaan.

3.5 Isi (Pihak terlibat, dampak dan Tindakan)


3.6  Aspek Hukum yang mengatur tentang Informed Consent
4. Pandangan islam tentang Malpraktik 

Anda mungkin juga menyukai