Anda di halaman 1dari 30

dang Nomor 24, 2007).

ahun 2016 telah mencapai 176 dengan korban meninggal 20 jiwa, dan
korban menderita serta mengungsi sejumlah 733.650 jiwa. Data tersebut
menunjukkan masih banyaknya korban akibat dari bencana. Kesiapsiagaan
bencana tidak jauh dari peran pemerintah. Alur birokrasi, penataan jalur
evakuasi, serta perundang-undangan.
Tsunami 2004 menjadi titik awal bagi Indonesia untuk memiliki
kerangka hukum yang lebih komprehensif dalam manajemen bencana.
Tsunami pada tahun 2004 memiliki dampak yang mendalam dan signifikan
dalam pembaruan kelembagaan dalam penanganan bencana. Sebelum
terjadinya bencana tersebut, Indonesia tidak memiliki dasar hukum
manajemen bencana yang menyeluruh dan tidak ada prosedur yang jelas
untuk memandu masuknya bantuan internasional (IFRC, 2015). Oleh karena
itu, Indonesia memerlukan kebijakan atau prosedur yang jelas untuk
manajemen bencana.

A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam menghadapi
bencana?
2. Bagaimana peran perawat terhadap kebijakan pemerintah dalam
manajemen bencana?

B. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui kebijakan yang diterapkan pemerintah
dalam menghadapi bencana.
2. Mahasiswa mampu mengetahui peran perawat terhadap kebijakan
pemerintah dalam manajemen bencana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Bencana
Menurut WHO tahun 2002, bencana merupakan suatu kejadian
yang mengganggu kondisi normal dan menyebabkan adanya kerugian
yang melampaui kapasitas lokal. Sedangkan menurut Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Bencana dibedakan menjadi tiga macam, yaitu bencana alam,
nonalam, dan sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam merupakan bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan
oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan terror (UU No 24, 2007).
Menurut American College of Emergency Physicians (ACEP),
2012 terdapat pula medical disaster yang bisa terjadi ketika efek dari
kejadian alam atau buatan manusia yang melampaui kemampuan suatu
komunitas untuk mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan.
2. Kebijakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan adalah
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya). Selain itu kebijakan
juga merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu
yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok
pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (Anderson, 2015)

B. Kebijakan di Indonesia
Setelah adanya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh pada akhir
tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006, pemerintah
Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting.
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan
bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki
fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh (BNPB, 2016).
Pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang
penanggulangan bencana, yaitu Undang-undang Nomor 24 tahun 2007.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok
sebagai berikut (UU No 24, 2007):
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan penanggulangan
bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur pelaksana. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu
sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan sosial,
mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga
internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masingmasing
tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain
didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan
pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada
setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
penggunaan dana penanggulangan bencana.
8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus
memberikan efek jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian maupun
karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya bencana yang
menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda maupun matinya
orang, menghambat kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan
bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan sumber daya bantuan bencana
dikenakan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana denda,
dengan menerapkan pidana minimum dan maksimum.
Selain itu pada tahun 2008 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
memberikan keseimbangan perhatian dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana dari semula cenderung pada pertolongan dan
pemberian bantuan kepada upaya-upaya penanganan sebelum terjadi
bencana. Oleh karenanya peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan
penanggulangan bencana ini ditetapkan untuk melaksanakan UU No 24
Tahun 2007. Ruang lingkupnya meliputi (PP No 21, 2008):
1. Semua upaya penanggulangan bencana yang dilakukan pada saat
prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana
2. Penitikberatan upaya-upaya yang bersifat preventif pada prabencana
3. Pemberian kemudahan akses bagi badan penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat
4. Pelaksanaan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pada pascabencana.

C. Arah Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia 2010-2014


Menurut BNBP (2010), penanggulangan bencana masuk ke dalam
prioritas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana. Dimana lebih diarahkan
kepada pengarusutamaan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
nasional dan daerah, penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat
dan daerah, optimalisasi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam
aspek pengurangan risiko bencana, mendorong keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana, peningkatan sumber daya
penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusiaan, serta percepatan
pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana.

D. Kebijakan terkait Bencana di Luar Negeri (Jepang)


Dalam pemerintahan nasional Jepang, Dewan Penanggulangan Bencana
Pusat dibentuk oleh Kabinet sesuai dengan The Disaster Counter measures
Basic Act atau UU Penanggulangan Bencana Dasar. Dewan tersebut diketuai
oleh Perdana Menteri dan melibatkan Menteri Manajemen Bencana Negara,
seluruh Menteri Negara, Kepala Lembaga Publik dan ahli bencana. Dewan
Penanggulangan Bencana ini bertanggung jawab dalam koordinasi dan
mempertimbangkan kebijakan manajemen bencana (Kato et al., 2012).
Menurut Organization of the Central Disaster Management Council
(2014), peran dari Dewan Penanggulangan Bencana Pusat di Jepang:
- Untuk merumuskan dan mempromosikan pelaksanaan Basic Disaster
Management Plan and Earthquake Plans
- Mempertimbangkan isu-isu penting manajemen bencana sesuai dengan
permintaan dari Perdana Menteri atau Menteri Manajemen Bencana
Negara (kebijakan manajemen bencana dasar, koordinasi keseluruhan
penanggulangan bencana dan deklarasi keadaan darurat bencana)
- Untuk menawarkan pendapat tentang manajemen bencana kepada
Perdana Menteri dan Menteri Manajemen Bencana Negara.
UU Penanggulangan Bencana Dasar adalah hukum manajemen bencana
nasional di Jepang yang mencakup (Kato et al., 2012):
1. Definisi tanggung jawab disaster management
2. Organisasi penanggulangan bencana
3. Sistem perencanaan penanggulangan bencana
4. Disaster prevention and preparedness
5. Disaster emergency response
6. Disaster recovery and rehabilitation
7. Pendanaan
8. Keadaan darurat bencana
Berdasarkan UU Penanggulangan Bencana Dasar, Basic Disaster
Management Plan telah disiapkan oleh Dewan Penanggulangan Bencana
Pusat. Rencana ini bersama-sama dibentuk sebagai sistem manajemen
bencana yang komprehensif di Jepang yang berkaitan dengan semua tahapan
penanggulangan bencana: pencegahan; mitigasi dan kesiapsiagaan; respon
darurat; dan, pemulihan dan rehabilitasi (Kato et al., 2012).
Di tingkat kota, di bawah Local Disaster Management Plan yang
disiapkan oleh Dewan Manajemen Bencana lokal, walikota/kepala desa dan
pemerintah kota menerapkan langkah-langkah kerjasama dengan polisi,
pemadam kebakaran, kelompok masyarakat, sekolah dan pihak terkait
lainnya. Rincian langkah-langkah penanganan bencana berdasarkan jenis
bencana, serta kompetensi dan tugas pemegang lembaga/saham telah
dijelaskan oleh masing-masing hukum khusus (misalnya Flood Control Act,
Landslide Prevention Act, UU Tindakan Khusus untuk Gunung berapi aktif,
dan UU tindakan Khusus untuk Pencegahan Bencana di Daerah rawan
Typhoon).
Pada Januari 2014, Jepang membuat Amandemen Basic Disaster
Management Plan. Di dalam Amendment of Basic Disaster Management
Plan (2014) terdapat beberapa penguatan upaya penanggulangan bencana
berskala besar yang dilakukan Jepang:
1. Klarifikasi prinsip-prinsip dasar manajemen bencana
- Menjelaskan ide-ide tentang "pengurangan risiko bencana" untuk
meminimalkan kerusakan dan pemulihan segera
- Promosi penanggulangan bencana dengan upaya bersama oleh
Pemerintah Nasional, Pemerintah Daerah, sektor swasta dan warga
Negara.
2. Meningkatkan upaya penanggulangan bencana berskala besar dengan
cakupan wilayah yang luas
- Mengembangkan Pedoman Dasar untuk memperkenalkan langkah-
langkah tanggap bencana dan menjaga ketertiban ekonomi nasional
dengan upaya terpadu oleh pemerintah secara keseluruhan di saat
Deklarasi Situasi Darurat Bencana
- Peningkatan sistem pendukung dengan upaya pemerintah nasional
dalam memberikan bantuan dan sebagai cakupan dari upaya tanggap
darurat bagi pemerintah daerah yang terkena dampak ketika fungsi
administratif mereka lumpuh
3. Memastikan evakuasi warga lancar dan aman
- Memastikan keselamatan warga di saat darurat dengan mendesain
papan penunjuk arah menuju tempat evakuasi darurat
- Sesuai dengan pedoman evakuasi dan perbaikan sistem konfirmasi
keselamatan dengan membuat dan memanfaatkan daftar orang yang
membutuhkan bantuan evakuasi, seperti orang tua dan difable.
4. Perbaikan tindakan dalam melindungi korban
- Memperbaiki lingkungan penampungan korban sebagai tempat
tinggal sementara
5. Memperkuat kesiapsiagaan bencana di waktu normal
- Menjalin kemitraan antara pemerintah nasional/lokal dengan
perusahaan swasta yang terlibat tanggap darurat
- Promosi kegiatan pencegahan bencana di daerah perumahan dengan
mengembangkan District Disaster Management Plans dan
implementasi latihan pencegahan bencana dengan warga dan sektor
swasta
6. Rekonstruksi cepat dan bebas hambatan
- Menerapkan prinsip-prinsip dasar rekonstruksi (menghormati
pendapat warga terkait rekonstruksi)
- Promosi dan koordinasi komprehensif langkah-langkah yang
dilaksanakan oleh markas rekonstruksi yang didirikan oleh
pemerintah nasional
- Rekonstruksi sistematis berdasarkan rencana rekonstruksi kota.

BAB III
PEMBAHASAN
A. ISI JURNAL
1. Jurnal 1
Judul : Pakistan 2010 floods. Policy gaps in disaster
preparedness and response
Penulis : Samar Deen
Tahun : 2015
Tujuan :Mengungkapkan adanya beberapa kesenjangan
kelembagaan dan kelemahan peraturan dalam kesiapsiagaan
dan respon terhadap bencana
Pakistan merupakan negara rawan bencana. Tahun 1997 terjadi bencana
banjir, tahun 1999 terjadi kekeringan, tahun 2005 dan 2008 terjadi gempa
bumi, dan tahun 2010 terjadi lagi bencana banjir yang dahsyat yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya terjadi kerusakan rumah, infrastruktur,
peternakan, sanitasi, kesehatan, energi, kesehatan, perlindungan sosial, dan
layanan publik. Menurut Multi-cluster Rapid Assesment Mechanism
(McRAM) dilaporkan bahwa 57% kehilangan matapencaharian (seperti:
pertanian dan peternakan) sehingga pendapatan mereka tidak pulih dan
mengalami kemiskinan terutama penduduk yang tinggal di pedesaan, dan
77% dilaporkan muncul mengenai masalah kesehatan yang terkait dengan
banjir (seperti: diare, kekurangan gizi, gatal-gatal, dll).
Mengingat besarnya skala bencana banjir ini, pemerintah tidak siap
dalam menanggapi bencana. Dari 135 negara, Pakistan adalah negara yang
lemah dalam penanggulangan bencana, pemberian bantuan bencana dan
rehabilitasi bencana. Tahun 2011 dibentuk Local Governance Ordinance
(LGO) ditingkat desa. Kemudian di tahun 2009 dikembangkan oleh
pemerintah provinsi LGO digantikan Distric Coordination Officers (DCOs)
dan pergantian tersebut mengakibatkan melemahnya jaringan politik.
Sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah Pakistan dalam
pemenuhun kebutuhan penduduk dalam pengungsian.
Dalam respon bencana kesiapan banjir, pemerintah Pakistan masih
terdapat kekurangan yaitu:
1. Bantuan yang disumbangkan oleh NGOs disalah gunakan.
2. Beberapa titik distribusi bantuan pangan diperlukan kartu identitas
nasional.
3. Masih kurangnya dukungan kelembagaan dalam pemberian bantuan.
4. Pemerintah juga tidak mempunyai strategi dalam sistem penyaluran
bantuan.
5. Tentara pakistan juga tidak mencukupi dalam penanganan bencana.
Adanya wawancara dari beberapa lembaga yang berperan dalam
kebencanaan di Pakistan, mengungkapkan bahwa adanya kelemahan dalam
mengidentifikasi kesiapan terjadinya banjir. Banjir di Pakistan terjadi setiap
musiman sehingga pemerintah susah dalam memantau manajemen banjir.
Kemudian juga terjadi hilangnya wewenang pemerintah dan sering kali
terjadi pergeseran kebijakan.
Hal tersebut menimbulkan munculnya rekomendasi kebijakan-
kebijakan dari pemerintah Pakistan. Berikut terdapat rekomendasi yang
didasarkan pada wawancara dengan pemerintah dan contoh yang sebelumnya
terkait dengan strategi dalam mengatasi banjir yang berhasil diambil dari
negara-negara berkembang:
1. Meskipun rekomendasi dan pengalaman berdasarkan gempa bumi pada
2005, 2008, Pakistan masih tetap kurang dalam melakukan strategi
mitigasi, kesiapsiagaan, dan kelembagaan. Dalam Strategic Framework
2010-2015, FAO mengidentifikasi pencegahan bencana, mitigasi,
kesiapsiagaan, dan bantuan pasca darurat serta rehabilitasi sebagai area
prioritas yang diterapkan melalui pengembangan pemberian bantuan
berkelanjutan, yang termasuk dalam 8 fase yaitu, pencegahan,
kesiapsiagaan, early warning, dampak dan penilaian kebutuhan, bantuan,
rehabilitasi, rekonstruksi, dan pemulihan yang berkelanjutan.
Dalam kejadian covariate and idiosyncratic shocks bergantung
pada mekanisme koping individu dan yang lebih penting terletak pada
institutional support. Lembaga yang berhubungan seharusnya dilengkapi
dengan kemampuan untuk menyediakan mekanisme koping yang segera
dan kemampuan untuk kemudian membangun kembali apa yang telah
rusak akibat bencana. Hal ini termasuk dalam memperkuat jaringan
jaminan sosial baik swasta maupun secara umum, kesiapsiagaan bencana
dan penyelarasan bantuan, rekonstruksi dan pembangunan jangka
panjang.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk merubah respon bencana
jangka pendek dengan tujuan pembangunan jangka panjang, pemerintah
Pakistan perlu memperkuat lembaga penanggulangan bencana di tingkat
kabupaten, meningkatkan kemampuan manajemem banjir, dan ikatan
dalam program bantuan dan rekontruksi dengan program pembangunan
jangka panjang. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah
dengan memperkuat jaringan jaminan sosial secara umum untuk
membentuk respon tanggap bencana yang sesuai. Pada banjir di
Bangladesh tahun 1998, pemerintahan dengan cepat mengerahkan
adanya program jaminan (pengiriman makanan kepada 4 jutaan rumah
tangga) seperti program Gratuitous Relief (untuk rumah tangga yang
terkena banjir secara serius), Vulnerable Group Feeding (VGF),
Vulnerable Group Development (VGD) dab Foor for Work (FFW), yang
mencegah adanya kelaparan dan korban banjir, anak malnutrisi dan
wabah penyakit.
Pakistan tidak memiliki program jaringan jaminan nasional.
Mengembangkan progam jaringan jaminan sosial yang kuat akan
memungkinkan Pakistan untuk memenuhi tujuan pembangunan jangka
panjang, selain untuk memenuhi kebutuhan darurat jangka pendek pada
kelompok rentan. Program Pakistan’s WATAN card merupakan sebuah
contoh kasus, dimana terdapat tantangan yang berkaitan dengan
mengidentifikasi penerima bantuan dan memastikan dana logistik
terkirim secara efisien kepada daerah yang terkena bencana. Saat terjadi
bencana, selalu ada kelambatan antara menyiapkan program pengiriman
bantuan tunai maupun bantuan makanan serta pencairan dari bantuan-
bantuan tersebut. Respon terhadap bencana alam dibutuhkan reaksi yang
segera. Pemerintah seharusnya memiliki tempat pelayanan dan program
yang diperuntukkan untuk menanggapi bencana.
Pakistan Poverty Alleviation Fund (PPAF) merupakan sebuah
lembaga dan program multidonor yang didanai dari program kerja
publik. Dalam merespon banjir pada tahun 2010, PPAF mengeluarkan Rs
1000 million, untuk bantuan terhadap bencana, membantu penjangkauan,
distribusi makanan, cakupan medis, tempat tinggal, dan layanan
peternakan. PPAF dapat berpotensi diperluas sebagai program jaringan
keamanan sosial dalam menanggapi covariate shocks. PPAF telah
membentuk kemitraan dengan 85 lembaga komunitas berbasis organisasi
yang telah terlibat dalam lebih dari 200.000 masyarakat dalam 127
kabupaten provinsi yang ada di Pakistan.
Di Bangladesh juga diamati terkait dengan terdapat penurunan
kerentanan dan kemiskinan di antara partisipan dalam program micro
credit. Lembaga keuangan mikro dapat membantu masyarakat yang
terkena dampak bencana dengan merestrukturisasi atau memberikan
pinjaman untuk pembelian benih, melalui produk pinjaman darurat
seperti pinjaman konsumen, perbaikan rumah, dan modal kerja. Lembaga
keuangan mikro Pakistan seharusnya memiliki dana kontingensi darurat
untuk memungkinkan pemberian respon yang segera. Dana tersebut
dapat memungkinkan korban yang terkena banjir untuk mudah
meminjam uang guna membangun kehidupan mereka yang hilang. Salah
satu lembaga keuangan mikro di Pakistan, Akhuwat Foundation
membantu keluarga yang terkena dampak banjir dengan mengumpulkan
mereka di tempat ibadah, seperti masjid. Pemberian pinjaman tanpa
bunga kepada keluarga yang terkena dampak banjir, dapat secara efektif
menurunkan kemiskinan dan kerentanan. Dengan adanya pinjaman tanpa
bunga tersebut dapat membantu mereka untuk membangun kehidupan
mereka kembali melalui jalan entrepreneur atau membuka usaha.
Organisasi-organisasi seperti Punjab Rural Support Progrmme (PRSP)
juga telah termasuk dalam implementasi dari intervensi keuangan mikro.
2. Konsep pembangunan pemerintah membutuhkan tinjau ulang. Negara-
negara dengan lembaga yang baik, akan berkaitan dengan sistem politik
yang lebih baik pula. Negara-negara tersebut akan berkaitan dengan
penurunan jumlah kematian akibat bencana. Sebaliknya, pemerintah,
voters, dan komunitas internasional lebih memilih menghabiskan dana
bantuan bencana dibandingkan dengan pengeluaran untuk pencegahan
bencana jangka panjang.
Pembentukan National Disaster Management Authority
(NDMA)/ Provincial Disaster Management Authority (PDMA) dan
pelayanan yang mengalokasikan dana untuk bantuan bencana bukan
merupakan investasi terhadap pencegahan bencana. NDMA/PDMA perlu
diberikan keuangan, kekuatan, dan kekuatan politik yang lebih besar
untuk mampu memastikan dilakukannya langkah-langkah pencegahan
yang diperlukan. Pencegahan dapat dilakukan melalui langkah-langkah
seperti pemetaan risiko dan penilaian bahaya, pengurangan risiko,
transfer risiko (asuransi), dan kesiapsiagaan bencana (sistem peringatan
dini, pelatihan masyarakat, kesadaran tentang risiko, dan pencegahan).
Situasi di Pakistan sehubungan dengan fokus pada pengeluaran
bantuan, dan langkah-langkah pencegahan bencana tidak berbeda dari
negara-negara berkembang lainnya seperti Kolombia, Meksiko, Nepal
dan Indonesia. Mantan Sekretaris Irrigation and Power, Mr.Nawaz
menyoroti adanya beberapa kelemahan dalam perencanaan bila terjadi
banjir dan standar prosedur manajemen operasi yang ada di Pakistan.
Pemerintah federal, melalui Federal Flood Commission (FFC) perlu
untuk menyediakan pembiayaan yang memadai untuk perlindungan
terhadap banjir. Peran FFC perlu diperkuat sehingga dapat memainkan
peran yang lebih besar dalam koordinasi manajemen banjir; dapat
mengalokasikan lebih banyak sumber daya ke arah daerah yang terjadi
bencana dan desain struktur yang tepat; dapat menerapkan jaminan mutu
melalui ketiga validasi pihak untuk memastikan infrastruktur
perlindungan banjir memenuhi standar kualitas; mengatur dan
mendorong pembentukan undang-undang yang mengatur penggunaan
lahan pribadi dan milik negara di dataran banjir aktif. Hukum harus
diberlakukan untuk mengatur dataran sungai dan menghentikan
pembangunan ilegal perumahan permanen, industri, dan infrastruktur
publik milik pemerintah di dataran banjir.
3. Sesuai dengan Amandemen yang ke 18, penyediaan pelayanan kesehatan
sekunder dan primer jatuh di bawah tanggung jawab pemerintah daerah.
Mengingat kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai, banyak
masyarakat yang terkena penyakit dan infeksi yang berhubungan dengan
kulit. Hepatitis juga umum di antara wanita dan anak-anak. Konsep
higienis pribadi hampir tidak ada, dan kesehatan masyarakat sebagian
besar kuratif, bukan pencegahan.
Sering kali dilakukan perubahan dalam kebijakan dan tata kelola
yang lemah menjadi kesenjangan di sektor kesehatan. Sektor kesehatan
perlu diserahkan melalui pendekatan yang bertahap untuk pelayanan
yang lebih baik di tingkat kabupaten dalam situasi pra dan pasca
bencana. Selain itu, lembaga penelitian seperti Lembaga Kesehatan
Masyarakat, harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk
melakukan penelitian yang berkualitas.
4. Deklarasi Paris tentang Aid Effectiveness disahkan sebagai perjanjian
internasional untuk meningkatkan upaya dalam harmonisasi, keselarasan
dan pengelolaan. Perjanjian Deklarasi Paris dapat diimplementasikan di
tingkat Negara yaitu untuk negara pemberi dan penerima bantuan melalui
penyusunan strategi bantuan negara bersama. Pakistan juga telah
mengikuti Deklarasi Paris meskipun Pakistan belum menyiapkan Joint
Country Assistance Strategy.
Pemerintah harus menyelaraskan bantuan dan rekonstruksi
dengan bantuan dari NDMA dan PDMAs dan juga sudah seharusnya
membangun kemitraan yang kuat dengan LSM yang beroperasi di tingkat
mikro, badan-badan bantuan internasional, dan organisasi tanggap
bencana negara.
Kapasitas pemerintah daerah untuk manajemen risiko bencana
dapat dikembangkan melalui mekanisme keuangan publik yang
sepenuhnya transparan, akuntabel, dan diawasi secara ketat oleh sebuah
badan independen seperti halnya membangun kredibilitas yang
didasarkan pada kebijakan 'tidak ada korupsi'.
5. Menurut FAO’s Strategic Objective A3: Kesiapsiagaan dan respon yang
efektif yang berkelanjutan dalam kegiatan pemberian bantuan benih
pangan dan pertanian darurat, harus (a) memenuhi kebutuhan petani yang
mendesak untuk akses ke bahan tanam dan (b) memberikan kontribusi
untuk pemulihan jangka panjang , rehabilitasi, atau perbaikan sistem
pertanian.
Populasi yang terkena dampak harus diidentifikasi, sehingga
sumber daya dapat didistribusikan secara adil, dan penyediaan bantuan
bibit yang aman dapat diakses oleh semua petani. Sebelum menyiapkan
program bantuan benih pemerintah harus melakukan penilaian kebutuhan
benih secara rinci. The Catholic Relief Service (CRS) di Pakistan telah
mengidentifikasi untuk menilai status kebutuhan sistem benih untuk
membantu badan-badan pemberi bantuan. CRS menyarankan agar petani
diberikan voucher benih sehingga mereka dapat mengelola recovery dari
mereka sendiri. FAO mengusulkan bahwa agar petani mendapatkan
Agri-packages yang terdiri dari bibit, pupuk, pestisida, alat-alat dan
instrumen. Namun, dengan tidak adanya penilaian kebutuhan benih per
provinsi, intervensi kebijakan tidak akan efektif kecuali diketahui secara
jelas yang menjadi penyebab dan sifat krisis yang dialami. Sehingga,
diperlukan undang-undang yang mengatur kebijakan guna
memberdayakan departemen pertanian untuk menerapkan skema bantuan
bibit berdasarkan data yang benar.
6. Program Inovatif asuransi ternak dapat diadaptasi untuk menjamin
adanya resiko kematian ternak yang berkaitan dengan terjadinya banjir
terhadap penduduk yang menetap di Pakistan.
2. Jurnal 2
Judul : Bridging the gaps: the role of local government capability and
the management of a natural disaster in Bantul, Indonesia
Tahun : 2011
Oleh : Bevaola Kusumasari dan Quamrul Alam
Penelitian ini membahas tentang kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola pra bencana, saat bencana, dan paska bencana di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di daerah Bantul yang
memiliki pengalaman dalam mengelola gempa bumi tahun 2006.
Kemampuan pemerintah daerah dan kebutuhan untuk mengelola bencana
merupakan masalah yang sangat penting untuk menjelajahi peran penting dari
pemerintah daerah dalam kegiatan mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan
menejemen pemulihan bencana.
Metode penelitian ini menggunakan informan sebanyak 40 orang yang
diklasifikasikan menjadi 6 kelompok yang masing-masing mewakili
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, tokoh masyarakat,
LSM lokal maupun internasional.
Pada jurnal ini manajemen bencana pada tahun 2006 sangat dipengaruhi
oleh semangat pada masa desentralisasi yang dimulai pada tahun 2001 dan
menuju pada perubahan yang signifikan dalam sistem politik dan
administratif. Penerapan konsep baru yaitu otonomi daerah tercantum pada
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang mempunyai
wewenang dalam memimpin provinsi dan pemerintahan daerah. Dalam hal
lain, untuk mengetahui masing-masing daerah mempunyai kemampuan dan
kendala-kendala dalam sumber daya manusia, serta area jangkauan bencana
di setiap daerah, dibentuklah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB), yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 111
tahun 2001. Untuk mendukung fungsi Bakornas PB, pemerintah pusat
membentuk Satkorlak PB (Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan
Bencana) yang berada di tingkat provinsi berada di bawah Gubernur. Sebagai
tambahan, untuk menangani bencana yang terjadi di suatu wilayah atau
kabupaten, dibentuklah Satlak PB (Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana) yang berada di bawah Bupati atau Walikota. Satlak PB terdiri dari
Satgas (Satuan Tugas) yang berisi institusi-institusi yang berhubungan
dengan bencana seperti kesehatan, search and rescue (SAR), TNI, POLRI,
pekerja umum dan sosial, Palang Merah Indonesia (PMI) dan
Nongovernmental Organization (NGO). Unit Wilayah menjadi garda
terdepan dalam memobilisasi semua sektor dalam masing-masing
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan, bersama dengan organisasi
komunitas. Keputusan ini juga dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah
dalam menyusun struktur Satkorlak PB dan Satlak PB berdasarkan kebutuhan
daerah.
Wakil Pimpinan:
Bakornas PB
(Badan Koordinasi Nasional  Kementerian Koordinasi
Penanggulangan Bencana) Kesejahteraan rakyat
Dibawah Wakil Presiden  Kementerian Dalam Negeri
Anggota:

 Kementerian Energi dan


Satkorlak PB Sumber Daya Mineral
 Kementerian Sosial
(Satuan Koordinasi Pelaksana
 Kementerian Kesehatan
Penanggulangan Bencana)
 Menteri Pekerjaan Umum
Dibawah Gubernur  Menteri Keuangan
 Menteri Perhubungan
 Menteri Komunikasi dan
Informasi
Satlak PB  Panglima TNI
(Satuan Pelaksana Penanggulangan  Kapolri
Bencana)  Ketua PMI
Dibawah Bupati/Walikota Sekretaris:
 Chief Executive Officer

Dalam sejumlah workshop nasional berkala yang melibatkan


Satkorlak PB dan diselenggarakan oleh Bakornas PB, masuknya manajemen
bencana ke dalam rencana pembangunan provinsi bersangkutan telah
dipertimbangkan dan diterima. Sementara wacana manajemen bencana di
tingkat nasional dan daerah telah mendorong dalam menerima kebutuhan
untuk memasukkannya dalam rencana pembangunan secara keseluruhan, dan
juga menerima bahwa kesiapan bencana sangat penting untuk mengurangi
dampak bencana, aplikasi dari program-program tersebut tidak bisa
menjangkau komunitas. Bakornas PB mengenalkan konsep manajemen
bencana berbasis komunitas (Community-based disaster management)
melalui Sistem Manajemen Bencana yang diinisiasi diri sendiri (Self-
Initiative Disaster Management System). Konsep ini lalu dikembangkan
untuk meningkatkan kepedulian komunitas terhadap potensi bencana yang
mungkin terjadi di area tersebut.
Koordinasi strategi dan kebijakan dalam pencegahan dan mitigasi
bencana ditangani oleh Bakornas PB. Dalam penerapannya, tiap-tiap
kementerian setuju dengan tugas masing-masing. Pada saat terjadi bencana,
dalam kasus penyelamatan, bantuan emergency penanganan diarahkan
langsung oleh Satlak PB pada tingkat kabupaten/kota, Satkorlak PB di tingkat
provinsi, dan Bakornas PB di tingkat nasional. Setelah terjadi bencana, dalam
kasus rehabilitasi, ditangani oleh Satlak atau Satkorlak PB, bekerja sama
dengan biro kementerian terkait dan di bawah koordinasi Pemerintah Pusat.
Dalam sistem koordinasi tersebut, semua kegiatan, pemetaan daerah rawan
bencana, serta pengkajian risiko ditangani secara langsung oleh tiap-tiap
kementerian sesuai dengan kebijakan. Untuk menunjukkan respon paska
bencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan
Bakornas PB, membentuksuatu biro/tim untuk kejadian tertentu yang
berhubungan dengan tahap pemulihan (recovery).
Namun, kemampuan yang ada di Pemda Bantul pada saat gempa
tahun 2006, masih sangat lemah karena fakta bahwa Satlak PB di Bantul yang
dibawah Bupati, belum terlatih manejemen pre, saat, dan paska bencana. Tim
pelaksana ini berperan sangat penting pada sebelum, saat, dan setelah
bencana. Namun, dikarenakan unit tersebut tidak pernah mendapatkan
pengalaman dalam kondisi yang rumit dan tidak mempunyai pengetahuan
mengenai meanajemen bencana, hambatan tersebut menjadi kendala bagi
Pemda Bantul dalam menanggulangi bencana. Tidak ada program-program
dari Pemda untuk mengidentifikasi daerah rawan bencana di kecamatan-
kecamatan di Bantul. Meskipun Bantul berada dalam daerah rawan bencana
seperti tanah longsor, tornado, kekeringan, banjir, kebakaran, dan gempa
bumi, tidak ada tanda kesiapsiagaan bencana di Pemda ataupun komunitas.
Ditambah lagi, ketersediaan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)
dan kapasitas untuk memahami sistem tersebut masih terbatas.
Manajemen bencana di Bantul tidak terlepas dari implementasi
kebijakan yang ada di Kabupaten Bantul, hal tersebut merupakan salah satu
dari kemampuan Pemda Bantul dalam menanggulangi bencana. Kemampuan
Pemerintah Daerah Bantul digambarkan sebagai berikut:
Kemampuan Gambaran

Faktor institusional Pemda Bantul tidak memiliki SPO


yang baku dalam menghadapi
bencana, tidak adanya pelatihan dan
pendidikan mengenai bencana, tetapi
Pemkab sudah mengadopsi sistem
mitigasi bencana ke dalam rencana
pengembangan wilayah jangka
menengah

Sumber daya manusia SDM di Bantul tidak memiliki


pengalaman dikarenakan kurangnya
tugas yang diberikan dan pembagian
tugas yang tidak jelas tetapi telah
memiliki tugas tambahan untuk
memahami lebih baik kebutuhan lokal
atau komunitas.

Kebijakan Tidak ada kebijakan nasional dan


daerah yang diterapkan dalam
penanggulangan bencana, tidak
tersedianya peta daerah rawan
bencana dan early warning system,
serta tidak ada program mitigasi
bencana untuk karyawan dan
komunitas

Finansial Dana yang disediakan untuk


penanggulangan bencana masih
terbatas, walaupun demikian, Pemkab
Bantul mampu mengalokasikan dana
dari alokasi kebutuhan lain untuk
bencana. Selain itu, Pemkab Bantul
juga mendapat bantuan dana dari
Nasional, Provinsi, dan Internasional

Teknis Pemkab Bantul sangat peduli terhadap


kebutuhan anak-anak dan perempuan,
secara logistic telah mampu mengelola
dengan baik

Kepemimpinan Bupati Bantul menunjukkan tanggung


jawab dan kepedulian terhadap
warganya dan melibatkan banyak
pemangku kebijakan dalam satu
kepemimpinan

B. PEMBAHASAN
Pembahasan kali ini, akan membandingkan kebijakan pemerintah
dalam penanggulangan bencana yang ada di Pakistan dan di Bantul. Pada
tahun 2010 di Pakistan terjadi banjir yang sangat dahsyat dan menimbulkan
banyak kerugian untuk kalangan masyarakat yang ada di Pakistan, seperti
hilangnya rumah, harta benda, dan mata pencaharian; rusaknya sistem
pertanian, sanitasi air, dan sistem irigrasi sehingga menyebabkan hilangnya
panen dan terjadi kemiskinan. Selain terjadinya banjir pada tahun 2010, pada
tahun 1997 juga terjadi banjir tetapi tidak dahsyat, pada tahun 2005, 2008
Pakistan juga pernah mengalami bencana gempa bumi, dan pada tahun 1999
terjadi kekeringan.
Hal tersebut di atas seharusnya menjadi bentuk pelajaran untuk
pemerintah Pakistan dalam menyusun dan membentuk kebijakan. Akan
tetapi, meskipun Pakistan pernah mengalami kekeringan pada tahun 1999,
gempa bumi pada tahun 2005 dan 2008, banjir di tahun 1997 dan 2010,
Pakistan masih tetap kurang dalam melakukan strategi mitigasi,
kesiapsiagaan, dan kelembagaan bencana. Maka dari itu, pemerintah Pakistan
perlu memperkuat lembaga penanggulangan bencana, meningkatkan
kemampuan manajemem banjir, dan ikatan dalam program bantuan dan
rekontruksi untuk pembangunan jangka panjang.
Keadaan di Pakistan sehubungan dengan langkah-langkah pencegahan
bencana tidak berbeda dari negara-negara berkembang lainnya seperti
Kolombia, Meksiko, Nepal dan Indonesia. Di Pakistan sendiri, masih terdapat
kelemahan dalam perencanaan managemen banjir, sehingga diperlukan
sebuah pembentukan undang-undang yang mengatur penggunaan lahan
pribadi dan milik negara di dataran banjir aktif untuk menghentikan
pembangunan ilegal perumahan, industri, dan infrastruktur publik milik
pemerintah di dataran banjir aktif. Selain itu, dalam hal penyediaan pelayanan
kesehatan sekunder dan primer jatuh di bawah tanggung jawab pemerintah
daerah sehingga menyebabkan kurangnya pelayanan kesehatan masyarakat
yang memadai.
Pemerintah Pakistan telah mengikuti Deklarasi Paris tentang Aid
Effectiveness, akan tetapi belum menyiapkan Joint Country Assistance
Strategy. Selain itu, pemerintah Pakistan telah memiliki kesiapsiagaan dan
respon efektif yang berkelanjutan dalam kegiatan pemberian bantuan benih
pangan dan pertanian darurat di mana sebelum menyiapkan program bantuan
benih, pemerintah harus melakukan penilaian kebutuhan benih secara rinci.
The Catholic Relief Service (CRS) menjadi badan yang telah melakukan
penilaian tersebut.
Salah satu bentuk rekomendasi kebijakan yang bisa diadaptasi di
Pakistan adalah bentuk Program Inovatif asuransi ternak yang menjamin
adanya resiko kematian ternak yang berkaitan dengan terjadinya banjir
terhadap penduduk yang menetap di Pakistan.
Sedangkan yang di Bantul, sebuah kebijakan untuk implementasi yang
efektif terkait dengan kapabilitas merupakan gabungan dari kebijakan,
peraturan, dan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah lokal untuk
mengatur dan menyediakan guideline untuk tingkatan menejemen bencana
yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini ingin menunjukkan ketidakadanya
penetapan legislasi hampir di semua tingkat pemerintahan pada tahun 2006.
Sejak tidak tersedianya legislasi pada saat itu, tidak ada perintah dari
pemerintah lokal untuk menyelenggarakan adopsi dari mekanisme koordinasi
bencana, pemberian edukasi pada masyarakat, serta birokrasi dalam
kesadaran bencana, identifikasi daerah yang rentan dan memaksimalkan
peringatan dini terhadap bencana pada level lokal. Pemerintah Kabupaten
Bantul juga mengidentifikasi kekurangan, Bantul merupakan daerah yang
rawan terjadi bencana tetapi regulasi tentang kesadaran bencananya masih
kurang, tidak ada badan lokal untuk menejemen bencana, mekanisme
koordinasi bencana juga belum optimal, organisasi masyarakat tidak
diberdayakan, tim SAR juga terlalu sedikit, dan peralatan SAR yang tidak
memadai, belum adanya identifikasi daerah rawan bencana pada peta Bantul,
belum optimalnya sistem peringatan dini bencana, dan tidak adanya upaya
mitigasi untuk birokrasi dan masyarakat.
Bagaimanapun, salah satu rancangan kebijakan nasional tentang
menejemen bencana melalui implementasi Undang-Undang No. 24 Tahun
2007 pada menejemen bencana setelah gempa Bantul tahun 2006 yang
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah lokal. Mengingat Kabupaten Bantul
merupakan daerah rawan bencana, pemerintah menyusun Midle-Term
Development Plan untuk mengklasifikasikan daerah yang rawan bencana
dalam 4 kategori, yaitu: rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa, dan
daerah rawan abrasi pantai. Setiap daerah telah dirancang program mitigasi
dan kesiapsiagaan, seperti menyebarkan informasi tentang kesadaran
bencana, melakukan simulasi tsunami, mempersiapkan evakuasi, dan
penghijauan pantai untuk mencegah tsunami dengan menanam mangrove.
Upaya mitigasi juga telah diterapkan pada Bantul Midle-Term Development
Plan (RPJMN) 2006-2010, dengan alokasi dana yang memadai untuk
program ini. Kemauan untuk mengadopsi upaya mitigasi bencana pada
Midle-Term Development Plan menunjukkan upaya besar sebagai bukti
pemerintah daerah menjadi lebih tanggung jawab untuk melindungi
masyarakat. Bupati Bantul juga menerapkan kabijakan Nomor 166 Tahun
2006 tentang Satlak PB. Kebijakan ini menekankan bahwa semua organisasi
masyarakat di Bantul harus mendukung aktivitas Satlak PB sehingga setiap
organisasi memiliki kesadaran bencana. Ini memungkinkan pemerintah
daerah Bantul untuk menjadi lebih terlibat dalam manajemen bencana.
Sebagai respon terhadap dampak gempa, pemerintah daerah Bantul dan
masyarakat saat ini menjadi lebih sadar setiap potensi risiko bencana di
daerah mereka. Kebijakan tersebut secara teoritis dapat mempercepat upaya
pengurangan bencana, seperti yang dibuktikan oleh rencana bencana formal
yang telah menjadi universal untuk tingkat lokal di banyak negara bencana
rentan (Gopalakrishnan dan Okada 2007).
BAB 1V
IMPLIKASI KEPERAWATAN

a. Pra-Bencana
1. Perawat berkoordinasi dengan berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti melakukan pengkajian
masalah kesehatan pada suatu wilayah yang memiliki resiko bencana.
2. Perawat membantu menyusun rencana strategis terkait masalah
kesehatan sesuai dengan hasil pengkajian dalam bidang kesehatan.
3. Perawat memberi masukan untuk pengembangan kebijakan terkait
penganggulangan bencana.
4. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan
oleh dinas pemerintahan dalam penanggulangan ancaman bencana.
b. Saat Bencana
1. Perawat membantu mengkaji dan menatalaksana permasalahan
kesehatan yang mungkin timbul pada saat bencana.
2. Perawat melakukan triase pada korban bencana.
3. Perawat melakukan dokumentasi setiap pemberian tindakan.
c. Pasca Bencana
1. Perawat memberikan input permasalahan kesehatan yang didapatkan
saat fase bencana untuk perencanaan aktifitas pelayanan kesehatan
lanjutan.
2. Perawat memberikan treatment lanjutan kepada korban-korban yang
mengalami trauma akibat bencana seperti PTSD (Post Traumatic
Stress Disorder).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kesiapsiagaan
bencana tidak jauh dari peran pemerintah. Alur birokrasi, penataan jalur
evakuasi, serta perundang-undangan.
Dalam konteks bencana, pemerintah Pakistan telah memiliki
kesiapsiagaan dan respon efektif yang berkelanjutan dalam kegiatan
pemberian bantuan benih pangan dan pertanian darurat di mana sebelum
menyiapkan program bantuan benih, pemerintah harus melakukan penilaian
kebutuhan benih secara rinci dan program Inovatif asuransi ternak yang
menjamin adanya resiko kematian ternak yang berkaitan dengan terjadinya
banjir terhadap penduduk yang menetap di Pakistan.
Pemerintah Indonesia khususnya di Bantul, sebuah kebijakan untuk
implementasi yang efektif terkait dengan kapabilitas merupakan gabungan
dari kebijakan, peraturan, dan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah
lokal untuk mengatur dan menyediakan guideline untuk tingkatan menejemen
bencana yang berbeda. Pemerintah Kabupaten Bantul implementasi Undang-
Undang No. 24 Tahun 2007 pada menejemen bencana setelah gempa Bantul
tahun 2006 yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah lokal. Mengingat
Kabupaten Bantul merupakan daerah rawan bencana, pemerintah menyusun
Midle-Term Development Plan untuk mengklasifikasikan daerah yang rawan
bencana dalam 4 kategori, yaitu: rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa,
dan daerah rawan abrasi pantai. Setiap daerah telah dirancang program
mitigasi dan kesiapsiagaan, seperti menyebarkan informasi tentang kesadaran
bencana, melakukan simulasi tsunami, mempersiapkan evakuasi, dan
penghijauan pantai untuk mencegah tsunami dengan menanam mangrove.
Upaya mitigasi juga telah diterapkan pada Bantul Midle-Term Development
Plan (RPJMN) 2006-2010.
Oleh karena itu, sebagai perawat harus mampu berkolaborasi dengan
pemerintah untuk membantu menyusun rencana strategis terkait masalah
kesehatan sesuai dengan hasil pengkajian memberi masukan untuk
pengembangan kebijakan terkait penganggulangan bencana.

B. SARAN
1. Pemerintah
a. Pemerintah membuat kebijakan sesuai analisis resiko bencana.
b. Pemerintah
2. Perawat
a. Perawat diharapkan dapat terlibat dilembaga atau organisasi
penanggulangan bencana agar dapat memberi masukan kepada
pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan
kesehatan.
b. Perawat diharapkan dapat menjalankan perannya sesuai dengan
kebijakan yang dibuat pemerintah.
3. Masyarakat
a. Masyarakat diharapkan meningkatkan kesadaran untuk terlibat dalam
penanggulangan bencana di daerahnya
b.
DAFTAR PUSTAKA
Addis Ababa. 2002. Disaster and Emergencies. www.who.int diakses pada 16
Februari 2016 pukul 19.48 WIB.
American College of Emergency Physicians. 2012. Disaster Medical Service.
www.acep.org Diakses pada Selasa, 16 Februari 2016 pukul 21.02 WIB.
Anderson, J. E. 2015. Public Policymaking: Eight Edition. USA: Cengage
Learning.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Rencana Strategis Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2010-2014. Jakarta: BNPB.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sejarah, Visi, dan Misi Lembaga
BNPB. www.bnpb.go.id Diakses pada Selasa, 16 Februari pukul 20.37
WIB.
ESCAP. 2015.The Asia-Pacific Disaster Report 2015 – Disasters without
Borders. UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.
Government of Japan. 2014. Amendment of Basic Disaster Management Plan.
http://www.cao.go.jp/en/disaster.html diakses pada 16 Februari 2016
21:43.
IFRC. 2015. World Disaster Report 2015. Geneva: The International Federation
of Red Cross and Red Crescent Societies.
Kato, Y., Cipullo, L., Disaster Law programme, & International Federation of
Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). 2012. Law and Regulation
for the Reduction of Risk from Natural Disasters in Japan, A National
Law Desk Survey. Switzerland: IFRC.
Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana. Diakses pada tanggal 16 Februari
2016 pukul 20.09 WIB.
Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaaan dan Penanggulangan Bencana. Diakses pada
tanggal 16 Februari 2016 pukul 20.37 WIB.
UNDP Indonesia. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
2006-2009.
World Health Organization. (2002). Disaster and Emergencies.

Anda mungkin juga menyukai