Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PENDAHULUAN

MASALAH ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Isolasi Sosial: Menarik Diri


6. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinterasi dengan orang lain di sekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Nurhalimah, 2016).
7. Proses terjadinya isolasi sosial
Proses terjadinya isolasi sosial pada pasien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi.
1) Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapat memengaruhi terjadinya isolasi sosial, meliputi :
a. Faktor biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter dimana
ada riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Adanya risiko
bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
NAPZA. Selain itu ditemukan adanya kondisi patologis otak, yang dapat
diketahui dari hasil pemeriksaan struktur otak melali pemeriksaan CT Scan dan
hasil pemeriksaan MRI untuk melihat gangguan struktur dan fungsi otak (Thomb,
2000 dalam Nurhalimah, 2016).
b. Faktor Psikologis
Pasien dengan masalah isolasi sosial, seringkali mengalami kegagalan yang
berulang dalam mencapai keinginan/harapan, hal ini mengakibatkan terganggunya
konsep diri, yang pada akhirnya akan berdampak dalam membina hubungan
dengan orang lain. Koping individual yang digunakan pada pasien dengan isolasi
sosial dalam mengatasi masalahnya, biasanya maladaptive. Koping yang biasa
digunakan meliputi: represi, supresi, sublimasi dan proyeksi. Perilaku isolasi
sosial timbul akibat adanya perasaan bersalah atau menyalahkan lingkungan,
sehingga pasien merasa tidak pantas berada diantara orang lain dilingkungannya.
Pembelajaran moral yang tidak adekuat dari keluarga merupakan faktor lain
yang dapat menyebabkan pasien tidak mampu menyesuaikan perilakunya
dimasyarakat, akibatnya pasien merasa tersisih ataupun disisihkan dari
lingkungannya. Faktor psikologis lain yang dapat menyebabkan isolasi sosial
adalah kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan. Kegagalan dalam
melaksanakan tugas perkembangan akan mengakibatan inidividu tidak percaya
diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap
hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Kondisi diatas, dapat menyebabkan
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain,
lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari terabaikan (Stuart &
Laraia, 2005 dalam Nurhalimah, 2016).
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor predisposisi sosial budaya pada pasien dengan isolasi sosial, sering ali
diakibatkan karena pasien berasal dari golongan sosial ekonomi rendah hal ini
mengakibatkan ketidakmampuan pasien dalam memenuhi kebutuhan. Kondisi
tersebut memicu timbulnya stres yang terus menerus, sehingga fokus pasienhanya
pada pemenuhan kebutuhannya dan mengabaikan hubungan sosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya.
Stuart & Laraia (2005) dan Townsend (2005) mengatakan bahwa faktor usia
merupakan salah satu penyebab isolasi sosial hal ini dikarenakan rendahnya
kemampuan pasiendalam memecahkan masalah dan kurangnya kematangan pola
berfikir. Pasiendengan masalah isolasi sosial umumnya memiliki riwayat
penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak, sehingga tidak mampu
menyelesaikan masalah tugas perkembangannya yaitu berhubungan dengan orang
lain. Pengalaman tersebut menimbulkan rasa kurang percaya diri dalam memulai
hubungan, akibat rasa takut terhadap penolakan dari lingkungan (Nurhalimah,
2016).
Lebih lanjut Stuart & Laraia (2005) mengatakan bahwa, tingkat pendidikan
merupakan salah satu tolok ukur kemampuan pasien berinteraksi secara efektif.
Karena faktor pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pasiendengan masalah isolasi sosial
biasanya memiliki riwayat kurang mampu melakukan interaksi dan
menyelesaikan masalah, hal ini dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan pasien
(Nurhalimah, 2016).
2) Faktor Presipitasi
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga. Penerapan aturan
atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien
dan konflik antar masyarakat.Selain itu Pada pasienyang mengalami isolasi sosial,
dapat ditemukan adanya pengalaman negatif pasienyang tidak menyenangkan
terhadap gambaran dirinya, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki
serta mengalami krisis identitas.Pengalaman kegagalan yang berulang dalam
mencapai harapan atau cita-cita, serta kurangnya penghargaan baik dari diri
sendiri maupun lingkungan. Faktor-faktor diatas, menyebabkan gangguan dalam
berinteraksi sosial dengan orang lain, yang pada akhirnya menjadi masalah isolasi
sosial (Nurhalimah, 2016).
8. Manifestasi Klinis
Menurut Nurhalimah (2016) tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari
ungkapan pasien yang menunjukkan penilaian negative tentang hubungan sosial
dan didukung dengan data hasil observasi.
4. Data Subyektif :
Pasien mengungkapkan tentang
a. Perasaan sepi
b. Perasaan tidak aman
c. Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
d. Ketidakmampuan berkonsentrasi
e. Perasaan ditolak
5. Data Obyektif:
a. Banyak diam
b. Tidak mau bicara
c. Menyendiri
d. Tidak mau berinteraksi
e. Tampak sedih
f. Ekspresi datar dan dangkal
g. Kontak mata kurang
6. Rentang Respon

Respon maladaptif
Respon adaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik Diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narsisme
Saling
ketergantungan

Sumber : Stuart (2007) dalam Sumarno (2019)


a. Respon adaptif
Respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan secara umum
serta masih dalam batas normal dalam menyelesaikan masalah. Menurut Riyardi
(2013) dalam Sumarno (2019) respon ini meliputi :
1) Menyendiri
Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi
di lingungan sosialnya.
2) Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, dan
perasaan dalam hubungan sosial.
3) Bekerja sama
Kemampuan individu yang saling membutuhkan orang lain.
4) Interdependen
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan ineterpersonal.
b. Respon maladaptive
Respon yang diberikan individu yang menyimpang dari norma sosial. Yang
termasuk respon maladaptive menurut Riyardi (2013) dalam Sumarno (2019)
adalah :
1) Menarik diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain.
2) Ketergantungan
Seseorang yang gagal dalam mengembangkan rasa peraya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
3) Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga
tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
4) Curiga
Seseorang gagal mengembangakn rasa percaya terhadap orang lain.
7. Perkembangan Hubungan Sosial
a. Bayi (0-18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling
sederhana yaitu menangis. Respons lingungan terhadap tangisan bayi mempunyai
pengarh yang sangat penting untuk kehidupan bayi dimasa datang. Menurut
Ericson, respons lingkungan yang sesuai akan mengembangkan rasa percaya diri
bayi akan perilakunya dan rasa percaya bayi pada orang lain. Kegagalan
pemenuhan kebutuhan pada masa ini akan mengakibatkan rasa tidak percaya pada
diri sendiri dan orang lain serta perilaku menarik diri (Yusuf, 2015).
b. Prasekolah (18 Bulan-5 Tahun)
Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan lingkungan di luar
keluarganya. Anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga dalam hal
pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif sehingga
anak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan yang dimilikinya. Hal
tersbeut merupakan dasar rasa otonomi anak yang nantinya akan berkembang
menjadi kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam
berhubungan dengan lingkungan dan disertai respons keluarga yang negative akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri, ragu,
menarik diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut perilakunya salah (Yusuf,
2015).
c. Anak Sekolah (6-12 Tahun)
Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada lingkungan sekolah. Di
usia ana akan mengenal kerja sama, kompetisi, dan kompromi. Pergaulan dengan
orang dewasa di luar keluarga mempunyai arti penting karena dapat menjadi
sumber pendukung bagi anak. Hal itu dibtuhkan karena konflik sering kali terjadi
akibat adanya pembatasan dan dukungan yang kurang konsisten dari keluarga.
Kegagalan membina hubungan dengan teman sekolah, dukungan luar yang tidak
adekuat, serta inkontinensi dari orang tua akan menimbulkan rasa frustasi
terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa, dan menarik diri dari
lingkungannya (Yusuf, 2015).
d. Remaja (12-20 Tahun)
Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim dengan teman
sejenis atau lawan jenis dan teman seusia, sehingga anak remaja biasanya
mempunyai teman karib. Hubungan dengan teman akan sangat dependen
sedangkan hubungan dengan orang tua mulai independen. Kegagalan membina
hubungan dengan teman sebaya dan kurangnya dukungan orang tua akan
mengakibatkan keraguan identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karie
dimasa mendatang, serta tumbuhnya ras akurang percaya diri (Yusuf, 2015).
e. Dewasa Muda (18-25 Tahun)
Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan interdependen dengan
orang tua dan teman sebaya. Individu akan belajar mengambil keputusan dengan
tetap memperhatikan saran dan pendapat orang lain (pekerjaan, karier, pasangan
hidup). Selain itu, individu mampu mengekspresikan perasaannya, menerima
perasaan orang lain, dan meningkatnya kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.
Oleh karenanya, akan berkembang suatu hubungan mutualisme. Kegagalan
individu pada fase ini akan mengakibatkan suatu sikap menghindari hubungan
intim dan menjauhi orang lain (Yusuf, 2015).
f. Dewasa Tengah (25-65 Tahun)
Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat tinggal dengan
orang tua. Individu akan mengembangkan kemampuan hubungan interdependen
yang dimilikinya. Bila berhasil aan diperoleh hubungan dan dukungan ang baru.
Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan individu hanya memperhatikan diri
sendiri, produktivitas dan kreativitas berkurang, serta perhatian pada orang lain
berkurang (Yusuf, 2015).
g. Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)
Dimasa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan, misalnya fungsi
fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, dan anggota keluarga, sehingga akan
timbul perasaan tidak berguna. Selain itu, kemandirian akan menurun dan
individu menjadi sangat bergantung kepada orang lain. Individu yang berkembang
baik akan dapat menerima kehilangan yang teradi dalam kehidupannya dan
mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangan yang dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini kana
mengakibatkan individu berperilaku menilak dukungan yang ada dan akan
berkembang menjadi perilaku menarik diri (Yusuf, 2015).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial


1. Pengkajian
Menurut Kusumawati dan Hartono (2012) dalam Asyfarina (2018),
pengkajian asuhan keperawatan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
a. Identitas. Sering ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada
masa pubertas.
b. Keluhan utama. Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah
sakit biasanya akibat adanya kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi.
c. Faktor predisposisi. Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor
etiologi yakni keturunan, endokrin, metabolisme, susunan saraf pusat, dan
kelemahan ego.
d. Psikososial
1) Genogram
2) Konsep diri. Emunduruan kemauan dan kedangkalan emosi yang mengenai
pasien akan memengaruhi konsep diri pasien.
3) Hubungan sosial. Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan,
suka melamun, dan berdiam diri.
4) Spiritual. Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran kemauan.
e. Status mental
1) Penampilan diri. Pasien tampak lesu, tak bergairah, rambut acak-acakan,
kancing baju tidak tepat, resleting tak terkunci, baju tak diganti, baju terbalik
sebagai manifestasi kemunduruan kemauan pasien.
2) Pembicaraan. Nada suara rendah, lambat, kurang bicara, apatis.
3) Aktivitas kelompok. Kegiatan yang dilakukan tidak bervariatif,
kecenderungan mempertahankan pada satu posisi yang dibuatnya sendiri
(katalepsia).
4) Emosi. Emosi dangkal.
5) Afek. Dangkal, tidak ada ekspresi roman muka.
6) Interaksi selama wawancara. Cenderung tidak kooperatif, kontak mata urang,
tidak mau menatap lawan bicara, diam.
7) Persepsi. Tidak terdapat halusinasi atau waham.
8) Proses berpikir. Gangguan proses berpikir jarang ditemukan.
9) Kesadaran. Kesadaran berubah, kemampuan mengadakan hubungan serta
pembatasan dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf
tidak sesuai dengan kenyataan (secara kualitatif).
10) Memori. Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu, dan
orang.
11) Kemampuan penilaian. Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat
bertindak dalam suatu keadaan, selalu memberikan alasan meskipun alasan
tidak elas atau tidak tepat.
12) Tilik diri. Tak ada yang khas.
13) Kebutuhan sehar-hari. Pada permulaan, penderita kurang memperhatikan diri
dan keluarganya, makin mundur dalam pekerjaan akibat kemunduran
kemauan. Minat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sangat menurun
dalam hal makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur.
2. Pohon Masalah

Gangguan sensori persepsi Efek


Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa


Sumber : Nurhalimah (2016)
3. Diagnosa
Setelah pengkajian dilakukan dan didokumentasikan, masalah keperawatan
dirumuskan dan diagnosis keperawatan ditegakkan. Berdasarkan pengkajian
tersebut, masalah keperawatan yang dirumuskan adalah isolasi sosial (Keliat dan
Akemat, 2010 dalam Asyfarina, 2018).
4. Intervensi dan Implementasi
Menurut Nurhalimah (2016) setelah dibuat perumusan masalah dan diagnosis
ditegakkan perawat dapat melakukan tindakan keperawatan pada pasien dan
keluarga.
a. Tindakan keperawatan pada pasien
1) Tujuan Keperawatan
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya
b) Pasien dapat menyadari penyebab isolasi sosial
c) Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2) Tindakan keperawatan
a) Membina hubungan saling percaya dengan cara :
1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
2) Berkenalan dengna klien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan yang disukai pasien
3) Menanyakan perasan dan keluhan pasien saat ini
4) Buat kontrak asuhan: apa yang perawat akan lakukan bersama klien, berapa
lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana
5) Jelaskan bahwa perawatt akan merahasiakan informasi yang diperolah untuk
kepentingan terapi.
6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b) Membantu pasien menyadari perilau isolasi sosial
1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
2) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
3) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab
dengan mereka
4) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain
5) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien.
c) Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
1) Elaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain
2) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
3) Beri kesempatan pasien mempaktekkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan di hadapan perawat
4) Bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota keluarga
5) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.
6) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilaukan oleh klien
7) Latih pasien bercakap-cakap dengan anggota keluarga saat melakukan
kegiatan harian dan kegiatan rumah tangga
8) Latih pasien bercakap-cakap saat melakukan kegiatan sosial misalnya:
berbelana, ke kantor pos, ke bank dan lain-lain.
9) Siap mendengarkan ekspresi perasaan setelah berinteraksi dengan orang lain.
Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya.
3) SP pasien dengan isolasi sosial adalah :
a) SP 1 : membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isoalsi sosial, membantu pasien mengenal manfaat berhubungan
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan
berkenalan.
(1) Menggunakan komunikasi nonverbal
Saat pasien focus dengan dirinya ia hanya akan terus berdiam diri. Oleh
karena itu, ia perlu untuk disadarkan dengan cara disentuh, diajak untuk
memandang lawan bicara saat berkomunikasi, dan menggunakan intonasi yang
agak tinggi agar pasien sepenuhnya sadar bahwa ada seseorang yang sedang
memperhatikannya.
(2) Menjalin kepercayaan dengan pasien
(a) Membuka diri. Perawat harus membuka diri terhadap pasien, seperti
memperkenalkan diri sebelum memulai interaksi
(b) Hilangkan kecurigaan pasien. Pasien isolasi sosial merupakan pasien yang
memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi dibanding dengan pasien lain maka
lakukanlah interaksi dengan keadaan yang terlihat senatural dan senyaman
mungkin, dan hindari hal-hal yang membuat ia curiga, misalnya berinteraksi
dengan membawa kertas dan media lainnya membuat proses interaksi tidak
terkesan natural.
(c) Melaksanakan proses komunikasi dengan frekuensi yang tinggi. Bertujuan
agar pasien semakin sadar dan percaya bahwa orang yang sering kali
mengajaknya berinteraksi memiliki maksud yang baik terhadap dirinya.
(d) Memberikan pengertian tentang manfaat-manfaat berinteraksi dengan sesama.
(e) Jangan memaksakan kehendak
(3) Mengikuti semua aktivitas pasien dan menjawab sendiri pertanyaan perawat
yang hendak diajukan kepada pasien.
b) SP 2 : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap dengan satu orang
(perawat)
c) SP 3 : melatih klien berinteraksi dengan dua orang atau lebih
b. Tindakan Keperawatan pada Keluarga
1) Tujuan keperawatan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga dapat merawat pasien isolasi sosial.
2) Tindakan keperawatan
a) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b) Jelaskan tentang :
(1) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien
(2) Penyebab isolasi sosial
(3) Cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial yaitu:
(a) Bina hubungan saling percaya dengan pasien dengan cara bersikap peduli
dengan tidak ingkar janji
(b) Berikan semangat dan dorongan kepada pasien untuk dapat melakukan
kegiatan bersama-sama dengan orang lain, yaitu dengan tidak mencela
kondisi pasien dan memberika pujian yang wajar.
(c) Tidak membiarkan pasien sendiri di rumah.
(d) Buat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan pasien.
(4) Peragakan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
(5) Bantu keluarga mempraktikkan cara merawt yang telah dipelajari,
mendiskusikan masalah yang dihadapi.
(6) Susun perencanaan pulang bersama keluarga.
3) Untuk SP keluarga dengan isolasi sosial adalah
a) SP 1 : memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga mengenai masalah
isolasi sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien isolasi sosial.
b) SP 2 : Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien isolasi sosial
langsung dihadapan pasien.
c) SP 3 : membuat perencanaan pulang bersama pasien.
5. Evaluasi
a. Evaluasi kemampuan pasien isolasi sosial berhasil apabila pasien dapat :
1) Menjelaskan kebiasaan keluarga berinteraksi dengan klien.
2) Menelaskan penyebab pasien tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
3) Menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain
4) Menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain
5) Memperagakan cara berkenalan dengn orang lain, dengan perawat, keluarga,
dan tetangga
6) Berkomunikasi dengan keluarga saat melakukan kegiatan sehari-hari.
7) Berkomunikasi saat melakukan kegiatan sosial
8) Menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang tua
9) Mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain.
10) Merasakan manfaat latihan berinteraksi dalam mengatasi isolasi sosial.
b. Evaluasi kemampuan keluarga dengan pasien isolasi sosial berhasil apabila
keluarga dapat :
1) Mengenal isolasi sosial (pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadi
isolasi sosial) dan mengambil keputusan untuk merawat klien.
2) Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain
3) Mendampingi pasien saat melakukan aktivitas rumah tangga dan kegiatan
sosial sambil berkomunikasi.
4) Melibatkan pasien melakukan kegiatan harian di rumah dan kegiatan
sosialisasi lingkungan.
5) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien untuk
meningkatkan interaksi sosial
6) Memantau peningkatan kemampuan pasien dalam mengatasi isolasi sosial.
7) Melakukan follow up ke Puskesmas, mengenal tanda kambuh dan melakukan
rujukan.
LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH PERILAKU KEKERASAN

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan definisi tersebut maka
perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk
yaitu sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman ( Kartika
Sari, 2015:137).
2. Penyebab
b. Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klen dengan perilaku kekerasan
adalah :
1) Teori Biologis
a. Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat
rangsangan dan pesan-pesan yang mempunyai sifat agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012:hal 100). Lobus frontalis
memegang peranan penting sebagai penegah antara perilaku yang berarti dan
pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi
antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan
tidakan agresifa yang berlebihan (Nuraenah 2012:29)
b. Genetik faktor

Adanya faktor gen faktor yang orang tua, menjadipotensi perialaku


menurut riset kaju murakam (70.000dalam gen manusia terjadi potensi
agresifyang sedang tidur akan terbangung jika terminsi oleh faktrol faktrol
ekstral. Menurut penelitian genetik tipe karyootype . Pada umumnya dimiliki
oleh pennghuni perilaku tifdak kriminal serta orang –orang yang
tersanggkuthukum akibat perilaku agresif
c. Cycardian Rhytm
Irama Srikandian memegang peranan individu menurut penelitian pada
jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja
ataupun pada jam terentu akan menstimulasi orng untuk lebih mudah
bersikap Agresif (Mukripah Damaiyanti,12:20)
d. Faktor Biokimia

Faktor biokimmiah tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya


epineprin, norepeneprin , dopamin dan serotomin sangat berperan dalam
penyampaian informasi dalam tubuh.
e. Brain Area Disorder

Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor
otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100).
2) Teori Psikogis

a. Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase
oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan
sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya.
Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap ras ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku
tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012 : hal 100-101).
c. Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan
yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru
dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menontn
tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin keras
pukulannya akan diberi coklat). (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
d. Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101).
3. Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif


PK

a. Respon adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal
jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut,
respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial.
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

4. Proses Terjadinya Masalah

a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan faktor
predisposis, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1) Psikologis
Menurut Townsend (1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi perilaku
kekerasan meliputi:
a) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012: 30).
b) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajarai, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh peran eksternal
(Nuraenah, 2012: 31).
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek
ini menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo,
2014: hal 142).
3) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi
informasi memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada
masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang
sama untuk mnyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola
konflik dan stress (Nuraenah, 2012: 31).
4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 143).

b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lungkungan.
3) Lingkungan: panas, padat dan bising

5. Tanda dan Gejala


Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot atau pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Wajah memerah dan tegang
6) Postur tubuh kaku
7) Pandangan tajam
8) Jalan mondar mandiri
Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya :
1) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
2) Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
3) Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4) Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar debar,
rasa tercekik dan bingung
5) Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
6) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

Akibat
Data Subyektif :
a) Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
b) Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
Data Obyektif :
a) Wajah tegang merah
b) Mondar mandir
c) Mata melotot, rahang mengatup
d) Tangan mengepal
e) Keluar banyak keringat
f) Mata merah
g) Tatapan mata tajam

6. Mekanisme Koping
1) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain
seperti meremas-remas adonan kue, meninju tembok, dsb. Tujuannya adalah
untuk mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damayanti,
2012:hal 103)

2) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan sexual terhadap rekan kerjanya berbalik bahwa menuduh rekannya
mencoba merayu, mencumbunya (Mukhripah Daamayanti, 2012:hal 103)
3) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahaya akan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci terhadap orangtuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orangtua adalah hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya (Mukhripah Daamayanti, 2012:hal 103)
4) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahayaa bila di ekspresikan. Dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Daamayanti, 2012:hal
103)
5) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan dengan objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu, misalnya timi berusia 4th marah karena ia beru saja mendapatkan hukuman
daari ibunya karenan menggambar dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan teman-temannya (Mukhripah Daamayanti, 2012:hal
104)

7. Penatalaksanaan
1) Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai
dosis efek tinggi contohnya clorprommazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif
rendah. Contohnya triflueoperasinstelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakan transuilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroptika, tetapi
meskipun demikian keduannya mempunyai efek aktif anti tegang, anti cemas dan
anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
2) Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemakan dengan terapi kerja ini dibuka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebegai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan berkomunikasi,karna itu dalam terapi ini merupakan langkah
awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannya seleksi dan dilakukan program kegiatan (Eko Prabowo, 2014 hal
145)
3) Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan sehat sakit pasien. Perawat membantu keluarga
agar dapat memenuhui tugas kesehatan yaitu mengenali tugas kesehatan,
membuat keputusan tindakan, memberi perawatan anggota keluarga,
menciptakan lingkungan yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. (Eko Prabowo, 2014 hal 145).

4) Terapi somatik
Menurut DepKes hal 230 menerangkan bahwa terapi somatik terapi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tidnadakan yang
ditujukan pada kondisi fisik pasien, terapi adalah perilaku pasien. (Eko Prabowo,
2014 hal 146)
5) Terapi kejang listrik
Confulsivetheraphy ( ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan
menimbulkan kejang gemoll dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda
menangani skisofrenia membutuhkan 20-30 terapi biasanya dilaksanakan adalah
2-3 hari sekali (seminggu 2x) (Eko Prabowo,2014 hal 146)

8. Pohon Masalah
Resiko Mencederai diri sendiri dan orang lain effect

Perilaku Kekerasan Cor Problem

Halusinasi Causa
Harga diri rendah

Koping Individu Tidak Efektif

Faktor Predisposisi dan Prespitasi

9. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan dari pohn masalah pada gambar adalah sebagai


berikut (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 106).
1. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
2. Harga diri rendah kronik

10. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
2. Tujuan Khusus
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien mau membalas salam
b) Kien mau berjabat tangan
c) Klien mau menyebutkan nama
d) Klien mau kontak mata
e) Klien mau mengetahui nama perawat
f) Klien mau menyediakan waktu untuk kontak

2) Intervensi
a) beri salam dan panggil nama klien
b) Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
c) Jelaskan maksud hubungan interaksi
d) Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e) Beri rasa aman dan sikap empati
f) Lakukan kontak singkat tapi sering
TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku
kekerasan
1) Kriteria Evauasi
a)Klien dapat mengungkapkan perasaannya
b)Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/jengkel (dari
diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
2) Intervensi
a) Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
b) Bantu klien mengungkap perasaannya

TUK III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku


1) Kriteria Evaluasi
a) Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau
jengkel
b) Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal
yang dialami
2) Intervensi
a)Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengkel
b)Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien
c)Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah
yang dialami
TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilakuk kekerasan yang biasa
dilakukan
1) Kriteria Evaluasi

a)Klien dapatmengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan


b) Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang
dilakukan
c)Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan
masalah atau tidak
2) Intervensi
a) Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan klien
b)Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan
c) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai
TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien dapat mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien
2) Intervensi
a) Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien
b) Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh
klien
c) Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang
sehat
TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
berespon terhadap kemarahan secara konstruktif
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien dapat melakukan cara berespn terhadap kemarahan
secara konstruktif
2) Intervensi

a) Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari car baru


b) Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat

c) Diskusikan dengan klien mengenai cara laiN


TUK VII : Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
1) Kriteria Evaluasi
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
 Fisik : olahraga dan menyiram tanaman
 Verbal : mengatakan secra langsung dan tidak menyakiti
 Spiritual : sembahyang, berdoa/ibdah yang lain
2) Intervensi
a) Bantu klien memilih cara yang tepat untuk klien
b) Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
c) Bantu klien menstimulasi cara tersebut
d) Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien
menstimulasi cara tersebut

e) Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipilihnya


jiak ia sedang kesal/jengkel
h. TUK VIII : Klien mendapat dukungan keluarga dalam
mengontrol perilaku kekerasan
1) Kriteria Evaluasi
a) Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang
berperikalu kekerasan
b) Keluarga klien meras puas dalam merawat klien
2) Intervensi
a) Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap
apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selam ini
b) Jelaskan peran serta keluarga dalam perawatan klien
c) Jelaskan cara merawat klien
d) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat kien
e)Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah
melakukan demonstrasi

TUK IX : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai


program pengobatan)
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien dapat meyebutkan obat-batan yang diminum dan
kegunaannya
b) Klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan
2) Intervensi
a) Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien

b) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti


minum obat tanpa izin dokter
LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH HALUSINASI

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana


pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren :
persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129)
Halusinasi adaah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal
(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan
tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
(Kusumawati & Hartono, 2012:102)
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalamai perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2012: 53)
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan


kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
b. Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan


merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

c. Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress


yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
d. Faktor Psikologi

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus


pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
e. Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua


skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini. (Prabowo, 2014: 132-133)
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis

Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur


proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
b. Stress Lingkungan

Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor


lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress.
(Prabowo, 2014 : 133)
d. Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,


perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan nyata dan tidak.
1) Dimensi fisik

Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti


kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu
yang lama.
2) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi
dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan


halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
4) Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan


comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh
individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman,
dirinya atau orang lain individu cenderung keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interkasi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak
menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya
dan halusinasi tidak berlangsung.
5) Dimensi spiritual

Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,


rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya
terganggu. (Damaiyanti, 2012 : 57-58)
C. Jenis

Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu,


diantaranya:
1. Halusinasi Pendengaran (akustik, audiotorik)

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-


suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Pengihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,


gambaraan geometrik, gambar kartun dan atau panorama yang luas dan
komplesk. Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)

Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk,
amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang
kadang terhidu bau harum. Biasnya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan dementia.
4. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,


amis, dan menjijikkan.
6. Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti


darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine. (Yosep Iyus, 2007: 130)
7. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.


a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis. Misalnya sering
merasa diringa terpecah dua.
b. Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang dialaminya
seperti dalam mimpi. (Damaiyanti, 2012 : 55-56)
D. Rentang Respon

Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari


suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra.
Respon neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif
pikiran logis, persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai
dengan respon maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi
sosial. Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut:
Rentang Respon
1. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
d. Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e. Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan

2. Respon psikosossial

Meliputi :
a. Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra
c. Emosi berlebih atau berkurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
3. Respon maladapttif

Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah


yang menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun
respon maladaptive antara lain :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan sesuatu yang tidak teratur
e. Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negative mengancam. (Damaiyanti,2012: 54)

E. Proses Terjadinya Masalah

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase


memiliki karakteristik yang berdeda yaitu:
1. Fase I

Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah


dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik
sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumberdipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tandatanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital ( denyut jantung, pernapasan, dan
tekanan darah), asyik dengna pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan reaita.
3. Fase III

Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah


pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan orang ain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutamajika akan
berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah


halusinasi. Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangan membahayakan. ( Prabowo, 2014:
130-131)
F. Tanda dan Gejala

Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah


sebagai berikut:
1. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
2. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba
lambat
3. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari orang
lain
4. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata
5. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
6. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
7. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya) dan
takut
8. Sulit berhubungan dengan orang lain
9. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
10. Tidak mampu mengikuti perintah
11. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.
(Prabowo, 2014: 133-134)
G. Akibat

Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya
yang meminta dia untuk melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya.
( Prabowo, 2014: 134)

H. Mekanisme Koping
1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus internal.
(Prabowo, 2014 :134)
I. Penatalaksanaan

Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran


keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ
pasien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan
yang sangat penting didalam hal merawat pasien, menciptakan lingkungan
keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat.
1. Farmakoterapi
Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizofrenia yang
menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun penyakit.
Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat pada penderita
psikomotorik yang meningkat.
NAMA GENERIK
KELAS KIMIA DOSIS HARIAN
(DAGANG)
Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klopromazin (Thorazine) 30-800 mg
Flufenazine (Prolixine, Permit) 1-40 mg
Mesoridazin (Serentil) 30-400 mg
Perfenazin (Trialon) 12-64 mg
Prokloperazin (Compazine) 15-150 mg
Promazine (Sparine) 40-1200 mg
Tiodazin (Mellani) 150-800 mg
Trifluopromazine (Stelazine) 2-40 mg
Trifluopromazine (Vesprin) 60-150 mg
Toksanten Kloproktisen (Tarctan) 75-600 mg
Tioktiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Didraindolon Molindone (Moban) 225-225
2. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grand


mall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi,
dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3. Psikoterapi dan rehabilitasi

Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena


berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien kembali
kemasyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong pasien
bergaul dengan orang lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien
tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang
baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti
therapy modalitas yang terdiri dari :
a. Terapi aktivitas
1) Terapi music

Focus ; mendengar ; memainkan alat musik ; bernyanyi. Yaitu


menikmati dengan relaksasi music yang disukai pasien.
2) Terapi seni
Focus: untuk mengekspresikan perasaan melalui beberapa pekerjaan
seni.
3) Terapi menari

Focus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh


4) Terapi relaksasi

Belajar dan praktik relaksasi dalam kelompok


Rasional : untuk koping/perilaku mal adaptif/deskriptif meningkatkan
partisipasi dan kesenangan pasien dalam kehidupan.
5) Terapi social

Pasien belajar bersosialisai dengan pasien lain


6) Terapi kelompok
a) Terapi group (kelompok terapeutik)
b) Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity therapy)
c) TAK Stimulus Persepsi; Halusinasi

Sesi 1 : Mengenal halusinasi


Sesi 2 ; Mengontrol halusinasi dengan menghardik
Sesi 3 ; Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
Sesi 4 ; Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
Sesi 5 : mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
d) Terapi lingkungan

Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana didalam keluarga


(Home Like Atmosphere). (Prabowo,2014: 134-136)
J. Pohon Masalah
K. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan sensori persepsi: halusinasi b/d menarik diri
2. Isolasi sosial : menarik diri
3. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
L. Rencana Asuhan Keperawatan
1. SP1
a. Pasien
1) Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien
2) Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
3) Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien
4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
6) Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi
7) Mengajarkan pasien menghardik halusinasi
8) Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi dan jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasi

2. SP2
a. Pasien
1) Mengevaluasika jadwal kegiatan harian pasien
2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara
teratur
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
halusinasi

2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien


halusinasi
3. SP3
a. Pasien
1) Mengevaluasikan jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengendalikan halusinasi
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH HARGA DIRI RENDAH

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. MASALAH UTAMA
Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri. ( Yosep,2009)
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri
atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan. ( Towsend,2008)
Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. ( Keliat BA,2006)
2. Penyebab
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Dalam tinjuan life span history klien. Penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal
sering gagal di sekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat
lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya.
( Yosep,2009)
Menurut Stuart & Sundeen (2006), faktor-faktor yang mengakibatkan
harga diri rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai
berikut :
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orangtua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. (Stuart &
Sundeen, 2006)
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau produktivitas
yang menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat
terjadi secara emosional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang
muncul secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau
dipenjara, termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah
disebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien
sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
meningkat saat dirawat.( Yosep,2009)
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang
tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang
negatif, disfungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal.
(Townsend,2008)
2. Jenis
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai
dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan,
dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seseorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya
disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri
sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara :
a. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan,dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang
dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan.
Pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan
akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai. (Makhripah D &
Iskandar, 2012)
b. Kronik
Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada
pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D
& Iskandar, 2012)
3. Rentang Respon

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya.(Eko P, 2014)
b. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak
mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai
kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain
secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik
dengan orang lain.(Eko P,2014)
4. Proses terjadinya masalah
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis menurut Herman
(2011) adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
ideal diri yang tidak realistis. Faktor predisposisi citra tubuh adalah :
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh
2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit
3) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh
4) Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi. Faktor predisposisi harga
diri rendah adalah :
a) Penolakan
b) Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif, otoriter,tidak konsisten,terlalu
dituruti,terlalu dituntut
c) Persaingan antar saudara
d) Kesalahan dan kegagalan berulang
e) Tidak mampu mencapai standar. Faktor predisposisi gangguan peran adalah :
(1) Stereotipik peran seks
(2) Tuntutan peran kerja
(3) Harapan peran kultural. Faktor predisposisi gangguan identitas adalah :
(a) Ketidakpercayaan orang tua
(b) Tekanan dari peer gruup
(c) Perubahan struktur sosial
( Herman,2011)
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Harga diri kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.
1) Trauma adalah masalah spesifik dengan konsep diri dimana situasi yang
membuat individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti
penganiayaan seksual dan phisikologis pada masa anak-anak atau merasa
terancam atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.
2) Ketegangan peran adalah rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu
melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai
dalam melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat terjadi
konflik peran, keraguan peran dan terlalu banyak peran. Konflik peran terjadi saat
individu menghadapi dua harapan peran yang bertentangan dan tidak dapat
dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila individu tidak mengetahui harapan peran
yang spesifik atau bingung tentang peran yang sesui
(a) Trauma peran perkembangan
(b) Perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan
(c) Transisi peran situasi
(d) Perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah atau berkurang
(e) Transisi peran sehat-sakit
(f) Pergeseran konsidi pasien yang menyebabkan kehilangan bagian tubuh,
perubahan bentuk , penampilana dan fungsi tubuh, prosedur medis dan
keperawatan. ( Herman,2011)
3) Perilaku
(a) Citra tubuh
Yaitu menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu, menolak
bercermin, tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh, menolak
usaha rehabilitasi, usaha pengobatan ,mandiri yang tidak tepat dan menyangkal
cacat tubuh.
(b) Harga diri rendah diantaranya mengkritrik diri atau orang lain, produkstivitas
menurun, gangguan berhubungan ketengangan peran, pesimis menghadapi hidup,
keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup bertentangan,
distruktif kepada diri, menarik diri secara sosial, khawatir, merasa diri paling
penting, distruksi pada orang lain, merasa tidak mampu, merasa bersalah, mudah
tersinggung/marah, perasaan negatif terhadap tubuh.
(c) Keracunan identitasdiantaranya tidak ada kode moral, kepribadian yang
bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaan hampa, perasaan
mengambang tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas tinggi, tidak
mampu empati pada orang lain, masalah estimasi
(d) Depersonalisasi meliputi afektif, kehidupan identitas, perasaan terpisah dari
diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa
berkesinambungan, tidak mampu mencari kesenangan. Perseptual halusinasi
dengar dan lihat, bingung tentang seksualitas diri,sulit membedakan diri dari
orang lain, gangguan citra tubuh, dunia seperti dalam mimpi, kognitif bingung,
disorientasi waktu, gangguan berfikir, gangguan daya ingat, gangguan penilaian,
kepribadian ganda. ( Herman,2011)
5. Tanda dan gejala
Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang berhubungan dengan
harga diri rendah antara lain :
a. Mengkritik diri sendiri
b. Menarik diri dari hubungan sosial
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Perasaan lemah dan takut
e. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
f. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri
g. Hidup yang berpolarisasi
h. Ketidakmampuan menentukan tujuan
i. Merasionalisasi penolakan
j. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
k. Menunjukkan tanda depresi ( sukar tidur dan sukar makan )
Sedangkan menurut Stuart (2006) tanda- tanda klien dengan harga diri
rendah yaitu :
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
c. Merendahkan martabat
d. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
e. Percaya diri kurang
f. Menciderai diri
6. Akibat
Harga diri rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan.
Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selajutnya hal ini
menyebutkan penampilan seseorang yang tidak optimal. Harga diri rendah muncul
saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya.
Ketika seseorang mengalami harga diri rendah,maka akan berdampak pada orang
tersebut mengisolasi diri dari kelompoknya. Dia akan cenderung menyendiri dan
menarik diri.( Eko P,2014)
Harga diri rendah dapat berisiko terjadi isolasi sosial yaitu menarik diri.
Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosial.
7. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka panjang pendek
atau jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanann ego untuk
melindungi diri sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan.
Pertaahanan tersebut mencakup berikut ini :
Jangka pendek :
1) Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas diri
( misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton tv secara obsesif)
2) Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara ( misalnya, ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)
3) Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang
tidak menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes
untuk mendapatkan popularitas)
Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini :
1) Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang
terdekat tanpa memerhatikan keinginan,aspirasi,atau potensi diri individu
2) Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan
yang diterima masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi, disosiasi,isolasi,
proyeksi, pengalihan ( displacement, berbalik marah terhadap diri sendiri, dan
amuk ).
8. Penatalaksanaan
Terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembnagkan
sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi dari pada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya
diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk
golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL (psikotropik untuk
menstabilkan senyawa otak), dan Haloperidol (mengobati kondisi gugup). Obat
yang termasuk generasi kedua misalnya, Risperidone (untuk ansietas),
Aripiprazole (untuk antipsikotik).
b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter, maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan
yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas/ perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrenia yang ditunjukan pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik
perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Terapi kelompok bagi skizofrenia biasnya memusatkan
pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.( Eko P,2014)
d. Terapi Kejang Listrik (Electro Confulsive Terapi)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmal secara
artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu
atau dua temples. Terapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4
– 5 joule/detik.
9. Pohon Masalah

10. Diagnosa Keperawatan


a. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah
b. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
inefektif
11. Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan Intervensi
Tujuan umum : Bina hubungan saling percaya dengan
Pasien memiliki konsep diri yang mengungkapkan prinsip komumikasi
positif terapeutik:
Tujuan khusus :
TUK 1 : 1. Sapa pasien dengan ramah baik
Pasian dapat membina hubungan verbal maupun non verbal
saling percaya dengan perawat 2. Perkenalkan diri dengan sopan
kriteria hasil: 3. Tanyakan nama lengkap pasien dan
setelah…..x interaksi,pasien nama panggilan yang disukai pasien
menunjukkan ekspresi wajah 4. Jelaskan tujuan pertemuan
bersahabat ,menunjukkan rasa 5. Jujur dan menepati janji
senang,ada kontak mata,mau 6. Tunjukkan sikap empati dan
berjabat tangan,mau menyebut menerima pasien apa adanya
nama,mau menjawab salam,pasien 7. Beri perhatian kepada pasien dan
mau duduk,berdampingan dengan perhatikan kebutuhan dasar pasien
perawat,mau mengutarakan masa-
lah yang dihadapi
TUK 2 :
Pasien dapat mengidentifikasi 1. Diskusikan kemampuan aspek
kemampuan dan aspek positif yang positif , keluarga dan lingkungan yang
dimiliki dimiliki pasien
Kriteria hasil: 2. Bersama pasien membuat daftar
Setelah.….x interaksi pasien dapat tentang :
menyebutkan: a. Aspek positif pasien, keluarga, dan
a. Kemampuan yang dimiliki pasien lingkungan
b. Aspek positif keluarga b. Kemampuan yang dimiliki pasien
c. Aspek positif lingkungan 3. Utamakan memberi pujian yang
realistik dan hindarkan penilaian
negatif

TUK 3 :
Pasien dapat menilai kemampuan yang 1. Diskusikan dengan pasien
dimiiki untuk digunakan kemampuan yang masih dapat
Kriteria hasil: dilaksanakan dan digunakan selama
Setelah…..x interaksi pasien dapat sakit
menyebutkan kemampuan yang dapat 2. Diskusikan kemampuan yang dapat
digunakan dilanjutkan penggunaannya
TUK 4 :
Pasien dapat (menetapkan) 1. Rencanakan bersama pasien
merencanakan kegiatan sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan setiap
kemampuan yang dimiliki hari sesuai kemampuan
Kriteria hasil: a. Kegiatan mandiri
Setelah…..x interaksi, pasien mampu b. Kegiatan dengan bantuan
membuat rencana kegiatan harian c. Kegiatan yang membutuhkan
bantuan total
2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi kondisi pasien
3. Beri contoh cara pelaksanaan
kegiatan yang boleh pasien lakukan

TUK 5 :
Pasien dapat melakukan kegiatan 1. Beri kesempatan pada pasien untuk
sesuai dengan rencana yang telah mencoba kegiatan yang telah
dibuat direncanakan
Kriteria hasil: 2. Pantau kegiatan yang dilaksanakan
Setelah…..x pertemuan,pasien dapat pasien
melakukan kegiatan jadwal yang telah 3. Beri pujian atas keberhasilan pasien
dibuat 4. Diskusikan kemungkinan
pelaksanaan kegiatan setelah pasien
pulang

TUK 6 :
Pasien dapat memanfaatkan system 1. Beri pendidikan kesehatan pada
pendukung yang ada keluarga tentang cara merawat pasien
Kriteria hasil: dengan harga diri rendah
Setela…..x pertemuan,pasien 2. Bantu keluarga memberikan
memanfaatkan system pendukung dukungan selama pasien dirawat
yang ada di keluarga 3. Bantu keluaga menyiapkan
lingkungan rumah

TUK 7 : Diskusikan dengan pasien dan


Pasien dapat memanfaatkan obat keluarga tentang dosis ,frekuensi dan
dengan baik manfaat obat
Kriteria hasil: 1. Anjurkan pasien meminta sendiri
Setelah….. pertemuan obat pada perawat, dan merasakan
1. Pasien dan keluarga dapat manfaatnya
menyebutkan manfaat,dosis dan efek 2. Anjurkan pasien dengan bertanya
samping obat kepada dokter tentang efek dan efek
2. Pasien dapat mendemonstrasikan samping obat yang dirasakan.
penggunaan obat 3. Diskusikan akibat berhentinya
3. Pasien termotivasi untuk berbicara tanpa konsultasi
dengan perawat apabila dirasakan ada 4. Bantu pasien menggunakan obat
efek samping obat dengan prinsip 5 benar
4. Pasien memahami akibat
berhentinya obat
5. Pasien dapat menyebutkan prinip 5
benar penggunaan obat
LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH DEFISIT PERAWATAN DIRI

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Menurut perry & poter (2009), hygine adalah ilmu kesehatan untuk
memelihara kesehatan manusia karena kondisi fisik atau keadaan emosi klien, di
sebut hygine perorangan. Personal hygine berasal dari bahasa Yunani yang berarti
Personal yang artinya perorangan dan Hygine berarti sehat kebersihan perorangan
adalah suatu tindakan unuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis sesuai kondisi kesehatannya.
Kurangnya perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir, sehingga kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri menurun. Defisit perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan
eliminasi/toileting (BAK/BAB) secara mandiri. (Keliat,2011)
Defisit Pearawatan Diri adalah gangguan kemampan melakukan aktifitas
yang terdiri dari mandi, berpakaian, makan, toileting, pengabaian diri,atau
kebersihan diri secara mandiri. Keadaan individu mengalami suatu kerusakan
fungsi motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan
untuk melakukan masin-masing dari kelima aktifitas perawatan diri. (Nanda,
2012)
B. Klasifikasi

1. Kurang perawatan diri : Mandi/kebersihan


Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri: Mengenakan pakaian/berhias
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri: Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri: Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri.
C. Etiologi
Menurut Maslim (2001), penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai
berikut:
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran

Menurut (Depkes. 2000), penyebab kurang perawatan diri adalah:


1. Faktor predisposisi
a. Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis : penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas umum : Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial : kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya, situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kogniti atau perseptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2009) faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
a. Body Image: Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Status Sosial Ekonomi: Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
c. Pengetahuan: Pengetahuan persoanal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya, pada
pasien penderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
d. Budaya: Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
e. Kebiasaan Seseorang: Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampo dan lain-
lain.
f. Kondisi fisik atau psikis: Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene:
a. Dampak fisik: Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena
tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik
yang sering terjadi adalah: Gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial: Masalah sosial yang berhubungan dengan personal
hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan mencintai
dan dicintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi
sosial.
D. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala defisit perawatn diri menurut (Fitria, 2009)
adalah sebagai berikut :
1. Mandi/Hygine
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh
atau mendapatkan sumber air mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan
keluar kamar mandi. Ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan bau, kuku panjang dan kotor.
2. Berpakaian/berdandan
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar palaian.
Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk menggunakan pakaian dalam,
memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik,
melepaskan pakaian, mempertahanakan penampilan pada tingkat yang
memuaskan. Ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak
rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada wanita
tidak berdandan.
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, mengunyah makanan, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukkannya ke mulut, mencerna makanan menurut cara yang di terima
masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan
yang aman.
4. Toileting (BAK/BAB)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, dudu atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAK/BAB dengan tepat,
dan menyiram kamar kecil.
Menurut depkes (2000) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah :
1. Fisik
a. Badan bau,pakaian kotor.
b. Rambut dan kulit kotor.
c. Kuku panjang dan kotor.
d. Gigi kotor disertai mulut kotor.
e. Penampilan tidak rapi
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif.
b. Menarik diri, isolasi diri.
c. Merasa tak berdaya,rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
a. Interaksi kurang.
b. Kegiatan kurang.
c. Tidak mampu berpilaku sesuai norma.
d. Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi
dan mandi tidak mampu mandiri.
E. Mekanisme Koping Defisit Perawatan Diri
1. Regresi
Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas dari
suatu taraf perkembangan yg lebih dini.
2. Penyangkalan (Denial)
Menyatakan ketidaksetujan terhadap realitas dengan mengingikari realitas
tersebut.
Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan pranitif
3. Isolasi diri, menarik diri
Sikap mengelompokan orang/keadaan hanya sebagai semuanya baik atau
semuanya buruk, kegagalan untuk memandukan nilai-nilai positif dan
negatif didalam diri sendiri
4. Intelektualisasi
Pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari
pengalaman yg menggangguperasaanya.
F. Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat
diri sendiri:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri:
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri:
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung:
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien.
G. Penatalaksanaan
Perawatan dini hari. Merupakan perawatan yang dilakukan pada waktu
bangun tidur untuk melakukan tindakan seperti perapian dalam pengambilan
bahan pemeriksaan (urine/feses), memberikan pertolongan, mempersiapkan
pasien dalam melakukan makan pagi dengan melakukan tindakan perawatan diri,
seperti mencuci muka, tangan, dan menjaga kebersihan mulut.
Perawatan pagi hari. Perawatan yang dilakukan setelah makan pagi dengan
melakukan perawatan diri seperti melakukan pertolongan dalam pemenuhan
kebutuhan eliminasi, mandi atau mencuci rambut, melakukan pijatan punggung,
membersihkan mulut, kuku dan rambut, serta merapikan tempat tidur.
Perawatan siang hari. Perawatan yang dilakukan setelah melakukan
berbagai tindakan pengobatan atau pemeriksaan dan setelah makan siang.
Berbagai tindakan perawatan diri yang dapat dilakukan antara lain mencuci muka
dan tangan, membersihkan mulut, merapikan tempat tidur dan melakukan
pemeliharaan kebersihan lingkungan kesehatan klien.
Perawatan menjelang tidur. Perawatan diri yang dilakukan pada saat
menjelang tidur agar klien beristirahat dengan tenang. Berbagai kegiatan yang
dapat dilakukan antara lain pemenuhan kebutuhan eliminasi, mencuci tangan dan
muka, membersihkan mulut sebelum tidur.
H. Pohon Masalah

Resiko Tinggi
Perilaku Kekerasan

Gangguan Proses Pikir

Gangguan Alam
Perasaan: Sedih

Isolasi Sosial: Menarik


Diri (efek)

Defisit Perawatan Diri


(core problem)

Gangguan Konsep
Diri: Harga Diri
Rendah
(etiologi)
Koping Individu Tidak
Efektif

I. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit perawatan diri (mandi, makan, berpakaian, BAB/BAK)
2. Resiko perubahan sensori persepsi: halusinasi
3. Isolasi sosial : menarik diri
4. Intoleransi aktifitas
5. Harga diri rendah kronis

J. Rencana Tindakan Keperawatan

1. SP1

a. Pasien

1) Menjelaskan pentingnya kebersihan diri


2) Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri

3) Membantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Keluarga

1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat


pasien

2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri dan


jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses
terjadinya

3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri

2. SP2

a. Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Menjelaskan cara makan yang baik

3) Membantu pasien mempraktekkan cara makan yang baik

4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Keluarga

1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit


perawatan diri

2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien


defisit perawatan diri

3. SP3

a. Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Menjelaskan cara eliminasi yang baik


3) Membantu pasien mempraktekkan cara eliminasi yang baik dan
memasukkan dalam jadwal

4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Keluarga

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk


minum obat

2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

4. SP4

a. Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Menjelaskan cara berdandan

3) Membantu pasien mempraktekkan cara berdandan

4) Meganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.


LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH RISIKO BUNUH DIRI

WAHYU AGUNG SATRIA


NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tidakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (wilson dan knesial. 1988). Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi
dan menggunakan koping yang meladaftif.situasi gawat pada bunuh diri saat
ide bunuh diri timbul secara berulah tanpa rencana yang spesifik atau
percobaan bunuh diri atau rencana spesifik untuk bunuh diri .oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat
pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan
bunuh diri.
Menurut stuart dan sundeen (1995) faktor penyebab bunuh diri adalah
perceraian pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishiler
(1981)(dikutip oleh leashey san wright, 1987) melalui penelitiannya menyebut
bahwa motivasi remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah
dengan orang tua, 30% masalah dengan lawan jenis, 30% masalah sekolah,
dan 16% masalah dean saudara.
RENTANG RESPONS PROTEKTIF DIRI
Adaftif Maladaptif

Peningkatan diri Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh


peningkatan destruktif diri diri
perilaku beresiko diri tak
pencederaan bunuh langsung
diri

Gambar 1.1 Rentang Respons Propektif Diri

Keterangan
1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan
yakin dan kesadaran diri meningkat
2. Pertumbuhan - peningkatan beresiko yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan
perilaku

3. Perilaku destruktif diri tak langsung yaitu setiap aktifitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian seperti
perilaku merusak ,mengebut ,berjudi ,tindakan kriminal ,terlibat dalam
reakreasi yang beresiko tinggi ,penyalahgunaan zat perilaku yang
menyimpang secara social dan perilaku yang menimbulkan stres.

4. Pencederaan diri yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri


yang dilakukan dengan sengaja pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri tanpa bantuan orang lain dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai
dan membakar kulit membenturkan kepala atau anggota tubuh melukai
tubuhnya sedikit demi sedikit dan menggigit jari.

5. bunuh diri yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.

B. Etiologi Perilaku Bunuh Diri

Etiologi bunuh diri yang digolongkan berdasarkan tingkat pertumbuhan


dan perkembangan. Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya umur,
kurvanya merupakan garis lurus yang mendaki. Pada wanita, kurva ini naik
sampai umur 60 tahun kemudian turun lagi. Anak-anak dibawah umur 15
tahun jarang kali melakukan bunuh diri. Jadi angka bunuh diri berbanding
lurus dengan peningkatan umur, tetapi beberapa peneliti menemukan angka
yang meningkat pada usia muda yaitu antara usia 15-30 tahun.
1. Penyebab bunuh diri pada anak: pelarian dan penganiayaan atau
pemerkosaan, situasi keluarga yang kacau, perasaan tidak disayang atau
selalu dikritik, gagal sekolah, takut/dihina di sekolah, kehilangan orang
yang dicintai, dihukum orang lain.

2. Penyebab bunuh diri pada remaja: hubungan interpersonal yang tidak


bermakna, sulit mempertahankan hubungan interpersonal, pelarian dan
penganiayaan fisik atau pemekorsaan, perasaan tidak dimengerti orang
lain, kehilangan orang yang dicintai, keadaan fisik, masalah dengan orang
tua, masalah seksual, depresi.

3. Penyebab bunuh diri pada dewasa awal: self ideal yang terlalu tinggi,
cemas akan tugas akademik yang banyak, kegagalan akademi yang berarti
kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua, kompetisi untuk
sukses.

4. Penyebab bunuh diri pada lanjut usia: perubahan status dari mandiri
ketergantungan, penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi,
perasaan tidak berarti di masyarakat, kesepian dan isolasi sosial,
kehilangan ganda (seperti pekerjaan kesehatan pasangan), dan sumber
hidup yang berkurang.

a) Faktor determinan
1) Kebudayaan
Kebudayaan mempengaruhi niat dan tekat seseorang individu
untuk mempengaruhi hidupnya dan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi hal bunuh diri disamping kedudukan sosial ekonomi dan
situasi ekstrim yang merugikan.
2) Jenis kelamin
Angka bunuh diri pada wanita lebih besar dari pada pria, disemua
negara dan disepanjang masa. Perbandingan tertinggi didapatkan di
Rhode Island dan New York yaitu 3:1, angka perbandingan terendah di
dapati di Austria 1,3:1.

3) Status sosial

Di inggris, amerika, denmark dan italia, angka bunuh diri tertinggi


terdapat status sosial tinggi, misalnya dokter, dokter gigi dan ahli
hukum. Menurut Henderson, 1 dari 50 dokterb di inggris melakukan
bunuh diri dengan overdosis, pada umumnya mereka berumur kurang
dari 50 tahun dan banyak yang menderita ketergantungan obat dan
alkohol.
4) Status perkawinan

Frekuensi bunuh diri lebih kecil pada mereka yang sudah menikah,
terutama mereka yang sudah punya anak, dibandingkan dengan mereka
yang belum berkeluarga, janda atau yang cerai.
5) Gangguan jiwa

Dibagian psikiatri Dr. Soetomo surabaya dalam periode 1965-1968


ditemukan kasus bunuh diri terbagi dalam 6 ancaman bunuh diri, dan
32 percobaan bunuh diri.

C. Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri

Motivasi Niat Penjabaran Krisis bunuh Tindakan


gagasan diri bunuh dri

Konsep bunuh 1. Jeritan minta tolong


diri
Hidup atau mati 2. Catatan bunuh diri

Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya


motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan berniat
melaksanakan bunuh diri , mengembangkan gagasan sampai akhirnya
melakukan bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus
mendapatkan perhatian serius.sekali pasien berhasil mencoba bunuh
diri maka selesai riwayat pasien untuk itu perlu diperhatikan beberapa
mitos (pendapatan yang salah) tentang bunuh diri.

D. Mitos Tentang Bunuh Diri

1. Mitos: Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik perhatian
dan tidak perlu dianggap serius . Fakta : Semua perilaku bunuh diri harus
dianggap serius.

2. Mitos: Bunuh diri tidak memberi tanda.Fakta:Delapam dari 10 individu


memberi tanda secara verbal atau perilaku sebelum melakukan percobaan
bunuh diri.
3. Mitos : Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada pasien.Fakta :
Hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan adalah
pengkajian akurat tentang rencana bunuh diri pasien.

4. Mitos:Kencenderungan bunuh diri adalah keturunan.Fakta : Tidak ada data


hasil riset yang menyokong pendapat ini karena pola perilaku bunuh diri
bersifat individual.

E. Klasifikasi Bunuh Diri

1. Jenis Bunuh Diri

a) Bunuh diri egostik

Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.


b) Bunuh diri altruistik

Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan


c) Bunuh diri anomik

Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi


individual
a) Pengelompokan Bunuh Diri

a) Isyarat bunuh diri

Isyarat bunuh diri ditunjukan dengan berperilaku secara tidak langsung


ingin bunuh diri misalnya dengan mengatakan tolong jaga anak – anak
karena saya akan pergi jauh atau segala suatu akan lebih baik tanpa
saya pada saat ini pasien sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh
diri pasien umumnya mengukapkan perasaan seperti rasa
bersalah,sedih,marah, Putus asa,tidak berdaya pasien juga
mengukapkan hal-hal negatif. Tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b) Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien yang berisi
keingininan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengahkiri dan
persiapan alat untuk melakukan rencana tersebut secara aktif pasien
memikirkan rencana bunuh diri tetapi tidak disertai percobaan bunuh
diri walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba nunuh
diri.pengawasan ketat harus dilakukan kesempatansedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.

c) Percobaan bunuh diri

Percobaan bunuh diri ini adalah tindakan pasien mencederai atau


melukai diri untuk mengakhiri kehudupannya pada kondisi lain pasien
aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri minum racun ,
memotong urat nadi , atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.

F. Respons Protektif-Diri Dan Perilaku Bunuh Diri

Perilaku destruktif –diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah
dapat mengarah kepada kematian perilaku ini dapat diklasifikasi sebagai
langsung atau tidak langsung. Perilaku destruktif – diri tidak langsung
meliputi setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan fisik individual dan
dapat mengarah kepada kematian individual tersebut tidak menyadari tentang
pontesial terjadi kematianakibat perilakunya ini biasanya lebih lama daripada
perilaku bunuh diri. perilaku destruktif –diri langsung meliputi perilaku
berikut :
1. Merokok
2. Mengebut
3. Berjudi
4. Tindakan kriminal
5. Terlibat dalam aktifitas rekreasi beresiko tinggi
6. Penyalagunaan zat
7. Perilaku yang menyimpang secara sosial
8. Perilaku yang menimbulkan stres
9. Gangguan makan
10. Ketidakpatuhan pada pengobatan medis
Rentang respons proktektif – diri mempunyai peningkatan diri sebagai
respons paling adaptif sedangkan perilaku destruktif – diri tidak langsung
pencederaan diri dan bunuh diri merupakan respons maladaptive
1. Perilaku Ketidakpatuhan
Telah diperkirakan bahwa setengah dari pasien tidak patuh terhadap
rencana pengobatan kesehatan mereka orang yang tidak patuh dengan
aktifitas perawat kesehatan yang dianjurkan umumnya menyadari bahwa
mereka telah memilih untuk tidak memerhatikan diri mereka. Perilaku
paling menonjol yang berhubungan dengan ketidakpatuhan terdapat pada
kotak 13-1
2. Pencederaan diri

Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan perilaku mencederai


diri: aniaya- diri agresi terhadap diri sendiri membahayakan diri cedera yang
membebani diri , dan mutilasi diri. Pencederaan diri dapat didefinisikan
sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri yang dilakukan dengan
sengaja pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri tanpa bantuan orang lain
dan cedera tersebut meliputi kerusakan jaringan yang cukup parah bentuk
umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit
membenturkan kepala dan ekstreminitas, melukai tubuh sedikit demi sedikit,
dan menggit jari.
3. Perilaku bunuh diri
Semua perilaku bunuh diri adalah serius apa pun tujuannya Dalam
pengkajian perilaku bunuh diri lebih ditekankan pada letalitas dari metode
yang mengacam atau digunakan walaupun semua ancaman dan percobaan
bunuh diri harus ditanggapi secara serius perhatian yang lebih waspada
dan saksama ditunjukkan ketikan seseorang merencanakan atau mencoba
bunuh diri dengan cara yang paling mematikan seperti dengan pistol.
Resiko bunuh diri dapat mengakibatkan sebagai berikut:
1. Keputusasaan
2. Menyalahkan diri sendiri
3. Perasaan gagal dan tidak berharga
4. Perasaan tertekan
5. Imsomnia yang menetap
6. Penurunan berat badan
7. Berbicara lamban dan keletihan
8. Menarik diri dari lingkungan sosial
9. Pikiran dan rencana bunuh diri
10. Percobaan atau ancaman verbal

G. Tanda dan Gejala


1. Sedih
2. Marah
3. Putus asa
4. Tidak berdaya
5. Memeberikan isyarat verbal dan non verbal

Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai
berikut
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal dan non verbal bahwa orang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri orang tersebut mungkin
menunjukan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih
lama atau mungkin juga mengomunukasikan secara non verbal melalui
pemberian hadiah merevisi wasiat nya dan sebagainya
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri sendiri
yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada kematian
jika tidak dicegah.

H. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau


terabaikan orang yang melakukan upaya bunuh diridan yang tidak benar –
benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda tersebut tidak di ketahui tepat
pada waktunya.

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Koreksi penunjang dari kejadian tentamen suicide akan menentukan


terapi resisitesi dan terapi lanjutan yang akan dilakukan pada klien
dengan tentamen suicide.
2. Pemeriksaan darah lenkap dengan elektrolit akan menunjukkan seberapa
berat shock yang di alami klien
3. Pemeriksaan EKG dan CT Scan bila perlu bila bisa dilakukan, jika di
curigai adanya perubahan jantung dan pendarahan cerebral.
J. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau di kamar
pertolongan darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah.
Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan, kesadaran
penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis. Penentuan
perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan
kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan
keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi
psikiatri. Tidak adanya hubngan beratnya ganguan badaniah dengan
gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani
juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan
terapi elektro-konvulsi, obat-obat terutama anti depresan dan psikoterapi.

K. Komplikasi
a. Komplikasi yang mungkin muncul pada klien dengan tentamen suicide
tergantung pada jenis dan cara yang dilakukan klien untuk bunuh diri,
namun resiko paling besar dari klien dengan tentamen suicide adalah
berhasilnya klien dalam melakukan tindakan bunuh diri, serta jika gagal
akan meningkatkan kemungkinan klien untuk mengulangi perbuatan
tentamen suicide.
b. Pada klien dengan percobaan bunuh diri dengan cara meminum zat kimia
atau intoksikasi zat komplikasi yang mungkin muncul adalah diare, pupil
pi-poin, reaksi cahaya negatif, sesak anfas, sianosis, edema paru,
inkontenesia urine dan feses, kovulsi, koma, blokade jantung akhirnya
meninggal.
c. Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia akan
menyebabkan shock yang diakibatkan penurunan perfusi di jaringan
terutama jaringan otak.
d. Pada klien dengan pendarahan akan mengalami shock hipovolemik yang
jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada
penyebab hemoragik shock, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi
kegagalan multiple organ.

Asuhan Keperawatan Teori

A. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor
presipitasi, penilaian stressor, suber koping yang dimiliki pasien. Setiap
melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat da tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi :
a) Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
perkerjaan, alamat, status perkawinan,diagnosa medis
b) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
alamat dan hubungan dengan pasien
c) Keluhan utama
Keluhan gelisah, komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri
dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan
sehari – hari, mengucapkan celaan terhadap diri sendiri, Perasaan gagal
dan tidak berguna, Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian,
menanyakan tentang obat dosis mematikan).
d) Faktor predisposisi
1. Kegagalan atau adaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres
2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan Bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
5. Tangisan minta tolong
e) Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tanda tanda vital (TD , Nadi , suhu pernafasan TB,
BB)dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.

1. Konsep Diri
a. Gambaran diri
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau
tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan
terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif
tentangbtubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan
b. Identitas diri
Sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
c. Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses
menua dan kehilangan
d. Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena kondisinya mengungkapan
keinginan yang terlalu tinggi
e. Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,
mencederai diri, dan kurang percaya diri.
2. Status mental
Kontak mata pasien kurang atau tidak dapat mempertahankan kontak
mata, kurang dapat memulai bicara, pasien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain adanya perasaan keputusasaan
dan kurang berharga dalam hidup.
3. Mekanisme koping
Pasien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya
pada orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons baik
aktual maupun potensial .Masalah keperawatan yang sering muncul yang
dapat disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut.
1. Resiko bunuh diri berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga
2. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental.
3. Resiko harga diri rendah situasional berhubungan dengan riwayat
kehilangan.
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Kriteria Hasil
1 Resiko bunuh diri Setelah dilakukan a. Bina hubungan saling percaya
berhubungan tindakan keperawatan dengan klien
dengan gangguan selama 2x24 jam b. Jauhkan klien dari benda yang
diharapkan resiko bunuh dapat membahayakan
kehidupan diri berkurang dengan (pisau,silet,tali,kaca dll)
keluarga kriteria hasil: c. Awasi klien dengan ketat setiap
a. Pasien mampu saat
mengendalikan diri
terhadap bunuh diri
b. Pasien
mengungkapkan
keinginan untuk
hidup

2 Isolasisosial b/d Setelah dilakukan Socialization enchacement


perubahan status tindakan keperawatan a. Dorong klien untuk melakukan
mental selama 2x24 jam aktivitas social dan komunitas
masalah gangguan b. Fasilitasi dukungan kepada
identitas pribadi dapat pasien oleh keluarga, teman dan
teratasi dengan kreteria komunitas
hasil : c. Dukung pasien untuk
1. Klien dapat mengubah lingkungan seperti
berinteraksi dengan :pergi jalan –jalan bioskop
orang lain d. Fasilitasi pasien untuk
2. Klien dapat membina berpartisipasi
hubungan saling dalam diskusi dengan grup
percaya kecil
3. Klien mampu e. Gali kekuatan pasien dalam
menyebutkan berintraksi sosial
penyebab menarik
diri
4. Klien dapat
Resiko harga diri melaksanakan
rendah situasional hubungan sosial
3. berhubungan dengan secara bertahap
riwayat kehilangan 5. Klien mampu
menjelaskan
perasaannya setelah Manejemen perilaku :
berhubungan sosial. membahayakan diri sendiri
a. Penumbuhan harapan
b. Menejemen alam perasaan
Setelah dilakukan c. Dukungan spritual
tindakan keperawatan d. Pencegahan bunuh diri
selama 2x24 jam
masalah gangguan
identitas pribadi dapat
teratasi dengan kriteria
hasil:
a. Pasien mampu
mengendalikan diri
terhadap bunuh diri
b. Pasien mampu
menahan diri dari
upaya bunuh diri

LAPORAN PENDAHULUAN
MASALAH RISIKO WAHAM
WAHYU AGUNG SATRIA
NIM. 1120021047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi

Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang
tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara
logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus
internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu
keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas.
Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu
keyakinan tersebut diucapkan berulang kali (Kusumawati, 2010).
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan menilai dan
berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan
sehingga muncul perilaku yang sukar untuk dimengerti dan menakutkan.
Gangguan ini biasanya ditemukan pada pasien skizofrenia dan psikotik lain.
Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada isi pikir
dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi kebutuhan
psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam hidupnya. Misalnya :
harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan perasaan bersalah atau
perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan alasan atau logika
(Kusumawati, 2010).

B. Klasifikasi Waham

Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja


(2011) yaitu :
Jenis Waham Pengertian Perilaku klien
Waham kebesaran Keyakinan secara “Saya ini pejabat di
berlebihan bahawa dirinya kementrian semarang!”
memiliki kekuatan khusus
atau kelebihan yang berbeda
dengan orang lain, “Saya punya perusahaan
diucapkan berulang-ulang paling besar lho “.
tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan
Keyakinan terhadap suatu
“ Saya adalah tuhan yang
agama secara berlebihan,
bisa menguasai dan
Waham agama diucapkan berulang-ulang
mengendalikan semua
tetapi tidak sesuai dengan
makhluk”.
kenyataan.
Keyakinan seseorang atau
sekelompok orang yang
“ Saya tahu mereka mau
mau merugikan atau
menghancurkan saya,
Waham curiga mencederai dirinya,
karena iri dengan
diucapkan berulang-ulang
kesuksesan saya”.
tetapai tidak sesuai dengan
kenyataan.
Keyakinan seseorang bahwa
tubuh atau sebagian “ Saya menderita kanker”.
tubuhnya terserang Padahal hasil pemeriksaan
Waham somatik
penyakit, diucapkan lab tidak ada sel kanker
berulang-ulang tetapi tidak pada tubuhnya.
sesuai dengan kenyataan.
Keyakinan seseorang bahwa
dirinya sudah meninggal “ ini saya berada di alam
Waham nihlistik dunia, diucapkan berulang kubur ya, semua yang ada
ulang tetapi tidak sesuai disini adalah roh-roh nya”
dengan kenyataan.

C. Etiologi

Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi


otak Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan menilai dan
menilik terganggu.
2. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespons terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi dan gerakan
tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).

3. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.

4. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi, efek,


ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas.

5. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.

D. Rentang Respon

E. Tanda dan Gejala

Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :


1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)

Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial).
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
3. Fungsi emosi

Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen.
4. Fungsi motorik.

Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik gerakan yang


diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas,
katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian.

Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.


6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.

Tanda dan Gejala Menurut Direja, (2011) pada klien dengan Waham yaitu
terbiasa menolak makan, tidak ada perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah
sedih dan ketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung, isi pembicaraan
tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan, menghindar dari orang lain,
mendominasi pembicaraan, berbicara kasar, menjalankan kegiatan keagamaan
secara berlebihan.

F. Mekanisme Koping

Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi


diri sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal
untuk aktivitas hidup sehari-hari

2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.

3. Menarik diri

G. Pohon Masalah
Resiko tinggi
Perilaku kekerasan mencedarai diri, orang Kerusakan Akib
lain, dan lingkungan komunikasi verbal at

CP Gangguan proses
pikir : Waham

Gangguan konsep diri :


Harga diri rendah

Gangguan interaksi sosial:


Etiolo
Menarik diri gi

Koping individu
inefektif

H. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan proses pikir: Waham

2. Perilaku kekerasan

3. Gangguan interaksi sosial: menarik diri

4. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

5. Resiko tinggi mencederai diri dan orang lain serta lingkungan

I. Rencana Tindakan Keperawatan

1. SP1
a. Pasien

1) Membantu orientasi realita

2) Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi

3) Membantu pasien memenuhi kebutuhannya

4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Keluarga
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien

2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham dan jenis waham


yang dialami pasien beserta proses terjadinya
2. SP2
a. Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara


teratur

3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Keluarga

1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan waham

2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien


waham

3. SP3
a. Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki

3) Melatih kemampuan yang dimiliki

b. Keluarga

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk


minum obat

2) Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijngkau keluarga

Anda mungkin juga menyukai