Anda di halaman 1dari 5

ANALISA KASUS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP PERBUATAN MENIMBUN MASKER DI MASA PANDEMI

COVID-19

I. LATAR BELAKANG

Merebaknya virus Corona ke sejumlah negara hingga jatuhnya ribuan korban jiwa

membuat masyarakat harus waspada terhadap virus tersebut. Termasuk masyarakat

Indonesia. Kewaspadaan tersebut pun berubah menjadi langkanya masker N95. Bahkan

apotek dan toko-toko alat kesehatan banyak yang kehabisan stok masker.

Jika pun ada yang masih menjual, harganya naik gila-gilaan. Dari semula seharga

Rp20 ribu per buah, kini melonjak drastis menjadi Rp3 juta per 10 buah. Selain

meningkatnya kebutuhan atas masker, kelangkaan stok menjadi penyebab tingginya harga

masker N95. Masker N95 ini dikenal sebagai repirator udara yang dapat menyaring

partikel berbahaya. Terdapat tulisan N95 di masker tesebut dan biasanya masker berwarna

putih.

Hal ini pun direspon oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) Tulus Abadi. Ia mengingatkan, bahwa terdapat sanksi bagi pihak-pihak yang

terbukti sengaja menimbun masker. Bahkan, sanksi tersebut bisa berujung pidana.

Sebelumnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) merespons

kelangkaan masker N95 di Indonesia. Wakil Ketua BPKN Rolas B Sitinjak mengingatkan

pelaku usaha untuk tidak memanfaatkan kekhawatiran atau kepanikan warga atas

ancaman penyebaran virus corona. Jangan sampai peritiswa di beberapa negara terjadi di

Indonesia, yakni sulitnya mendapatkan masker di pusat-pusat perdagangan.

Dalam konteks tersebut, lanjut Rolas, pelaku usaha wajib memperhatikan Pasal 107

UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini berisi ancaman sanksi pidana

penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal Rp50 miliar bagi pelaku
1
usaha yang melanggar larangan menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting

dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau

hambatan lalu lintas perdagangan barang.

Meskipun demikian BPKN memaklumi kemungkinan terjadinya kelangkaan ini akibat

di satu sisi ada kepanikan massa yang khawatir dampak dan penyebaran virus corona, dan

di sisi lain produsen belum siap menambah produksinya.

Kondisi ini secara natural dapat menopang kenaikan harga. Tetapi BPKN tidak

menutup mata atas penyebab lain: perilaku menimbun barang untuk mendapatkan

keuntungan yang lebih tinggi.

Secara normatif, Pemerintah punya kewajiban mencegah masuknya wabah penyakit

yang berpotensi menimbulkan kedaruratan medis di masyarakat. Salah satu yang dapat

dilakukan Pemerintah adalah karantina kesehatan.

Kekarantinaan kesehatan dilakukan antara lain melalui isolasi dan pembatasan sosial.

Inilah yang antara lain diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan

Kesehatan.

UU ini mengatur bagaimana pengawasan yang harus dilakukan terhadap kedatangan

manusia baik melalui pesawat udara dari wilayah negara asing, maupun melalui alat

transportasi darat.

Pasal 39 UU Kekarantinaan Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang yang datang

dari negara atau wilayah kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia atau

bersifat endemis, Pejabat Karantina Kesehatan melakukan beberapa tindakan: penapisan,

pemberian kartu kewaspadaan kesehatan; pemberian informasi tentang tata cara

pencegahan, pengobatan, dan pelaporan suatu kejadian darurat; dan pengambilan

spesimen.

Jika sudah menemukan gejala klinis sesuai jenis penyakit kedaruratan kesehatan

masyarakat, Pejabat Karantina melakukan rujukan dan isolasi. Di sisi lain, kelangkaan

2
masker N95 harus segera disikapi pemerintah sehingga masyarakat tidak perlu khawatir

atas virus mematikan ini.

II. ANALISA

Bahwa pelaku perbuatan penimbunan masker dapat dikenakan Pasal yang ada di

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahwa dalam Pasal 4 huruf b

menyebutkan hak konsumen untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar.

Sehingga terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sektor

usaha khususnya kejahatan penimbunan barang diharapkan akan menimbulkan efek jera

terhadap pelaku kejahatan penimbunan.

Dalam Pasal 7 juga menyebutkan kewajiban daripada pelaku usaha yaitu beritikad

baik dalam melakukan kegiatan usahanya hal tersebut bertolak belakang dengan perbuatan

penimbunan masker yang dilakukan pada saat pandemi terjadi karena bukan hanya

merugikan konsumen tetapi mengancam nyawa atau keselamatan dari konsumen tersebut

karena masker sudah jadi kebutuhan sehari-hari dalam rangka pencegahan penyebaran dan

penularan infeksi virus Covid-19.

Namun, sangat disayangkan bahwa Pasal 4 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur sanksi atas perbuatan

melanggar Pasal 7 dan Pasal 4. Dan di dalam UUPK, hanya ada sanksi terhadap pelaku

usaha yang termuat pada Pasal 60-63 yang dimana tidak termasuk menyangkut perbuatan

penimbunan.

Di dalam UU Perlindungan Konsumen, Pasal 4 dan Pasal 7 tidak ada pada bagian

BAB XIII tentang SANKSI termuat pada Pasal 60-63 UUPK.

Pasal 60:

3
1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi

administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat

(3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.

2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan

Pasal 61:

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62:

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,

huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,

Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan

huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap

atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63:

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan

hukuman tambahan, berupa:

a. perampasan barang tertentu;

b. pengumuman keputusan hakim;

4
c. pembayaran ganti rugi;

d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian

e. konsumen;

f. kewajiban penarikan barang dari peredaran;atau

g. pencabutan izin usaha.

Tindakan aparat penegak hukum dalam menyisir praktik penimbunan masker tersebut

harus erat dengan upaya non-penal, seperti sosialisasi penanganan virus dan penggunaan

masker yang tidak berlebihan dan melaporkan bila ada pelaku usaha yang ada di toko

ataupun online (ecommerce) menjual masker di atas harga wajar . Tentu hal tersebut

membutuhkan dukungan dari semua pihak, khususnya edukasi dari media dan pers guna

meminimalisasi informasi hoaks yang juga dengan mudah menyebar, melebihi

penyebaran virus corona itu sendiri.

Keterlibatan semua elemen masyarakat menjadi kunci penting dalam kondisi dan

situasi seperti sekarang. Semua pihak diharapkan ikut andil dan berpartisipasi aktif dalam

melawan wabah virus corona, sebab hal tersebut bukan hanya tugas pemerintah, dokter,

maupun aparat penegak hukum, tapi tugas kita semua untuk kepentingan kita bersama.

Harapannya, masyarakat lebih sensitif untuk tidak memanfaatkan peluang untuk

kepentingan pribadi dan golongannya sesuai dengan etika kemasyarakatan, etika

berbisnis, dan etika berhukum, yang peduli akan nilai-nilai kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai