Perspektif Marxisme
ABSTRAK
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran deskriptif yang berfokus pada
kudeta dan revolusi yang riskan terjadi di Sudan dalam perspektif Marxsisme.
Tujuan penelitian ini yakni untuk menganalisis dan mengkaji bagaimana
kudeta dan revolusi menjadi hal yang lumrah terjadi di Sudan hingga mencapai
15 kali percobaan. Tujuan lainnya bagaimana rakyat Sudan mendambakan
negara yang demokratis. Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan
landasan teori Marxisme. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi
litelatur yang bersumber pada buku-buku, artikel, jurnal ilmiah, kabar berita
dan situs web. Hasil Penelitian menyatakan bahwa sudah saatnya negara
Sudan melakukan revolusi secara politik, ekonomi, dan berbagai sektor lain.
Harapan yang sangat besar menjadi negara demokrasi dengan segala nilai
efektivitas menjadikan masyarakat sipil tergerak untuk memperjuangkan cita-
cita dan janji.
Kata kunci: Revolusi Sudan, Kudeta, Demokrasi
ABSTRACT
This paper intends to provide a descriptive picture that focuses on the coup and
the risky revolution in Sudan in the perspective of Marxism. The purpose of this
study is to analyze and examine how coups and revolutions have become
commonplace in Sudan, up to 15 attempts. Another goal is how the Sudanese
people want a democratic country. The research method is a qualitative method
based on the theory of Marxism. The method of data collection is done by
studying literature sourced from books, articles, scientific journals, news articles
and websites. The results of the study stated that it was time for the Sudanese
state to carry out a political, economic, and various other sector revolution. The
very big hope of becoming a democratic country with all the values of
effectiveness makes civil society move to fight for the ideals and promises.
Keywords: Sudan Revolution, Coup, Democracy
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara konflik akan selalu hadir
dan menjadi permalasahan yang serius. Konflik dapat terjadi karena tidak
adanya kecocokan antara individu dan kelompok. Konflik yang terjadi dekat-
dekat terdapat di Negara Sudan Afrika Utara, konflik yang terjadi yakni
kelompok militer yang melakukan gerakan kudeta terhadap pemerintahan
transisi. Kudeta ini dipimpin oleh Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel
Fattah Al-Burhan, Konflik ini terjadi karena dilatarbelakangi perselisihan
antara kelompok militer dan masyarakat pro-demokrasi yang semakin
memanas dalam memperebutkan kursi pemerintahan, dimana tahun 2019
mereka sepakat dan melakukan deklarasi kontitusi pada Agustus 2019 untuk
membagi kekuasaan pemerintahan. Pada saat ini Sudan dipimpin
pemerintahan sementara yang terdiri dari militer dan dewan sipil. Maka,
dewasa ini kudeta masih terus berlangsung dan semakin memuncak tatkala
perdana menteri dijadikan sebagai tahanan rumah dan beberapa politisi sipil
lainnya. Warga melakukan aksi turun kejalan dengan melakukan aksi
membakar ban selagi melakukan orasi, mereka menggugat bahwa demokrasi
harus terus berjalan. Dengan ini Jenderal Abdel Fattah berjanji “demokrasi
akan terus hadir dan dilakukan secara demokrasi langsung”.
Sebelum terjadi kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah
bahkan ada kelompok tentara pada bulan September yang berupaya
melakukan kudeta tetapi usahanya itu gagal. Dikutip dari Kompas menurut
Istitute for Security Studies (15) telah terjadi berbagai gerakan untuk
melakukan kudeta tercatat Sudan telah melalui 15 kali kudeta selama negara
ini merdeka hingga 2020. Sudan merdeka pada tahun 1956, dua tahun
kemudian pada 1958 sudah timbul gerakan kudeta namun usahanya gagal.
Terjadi pula suatu gerakan revolusioner di Sudan. Ketika Sudan
dipimpin oleh seorang diktaktor Kolonel Omar Al-Bashir yang mendapatkan
jabatan dari jerih payah kudeta. Omar menujuk dirinya sebagai presiden Sudan
pada 1993 karena merasa percaya diri atas kekuasaannya. Pada saat
kepemimpinan Omar pun Masyarakat dan militer melakukan percobaan 2004
dan 2012, namun percobaan tersebut mengalami kegagalan. Tetapi, baru saat
2019 rezim otoriter dari seorang diktator Omar bisa runtuh setelah berkuasa
selama tiga dekade lamanya. Rezim ini goyah pada 2018 setelah digugat oleh
demonstrasi yang berskala besar. Massa yang sangat membludak dan majemuk
menjadikan kekuasaan Omar mulai terlihat akan diambang kehancuran. Tepat
pada 2019 pasukan militer menggulingkan presiden Omar setelah tiga dekade
lamanya memimpin rezim yang totaliter.
Sekian banyaknya percobaan kudeta yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat sipil dan militer di negara Sudan menjadikan negara ini yang
asalnya majemuk menjadi terpecah. Perang sipil antara utara dan selatan yang
menelah sekiranya 1.5 juta orang menjadikan negara baru yakni sudan selatan.
Kudeta yang terus terjadi menjadi bahasan menarik menurut penulis dalam
perspektif Marxisme. Tentu saja ketika kepemimpinan Omar terjadi revolusi
pada negara itu dalam yang mengubah beberapa aspek didalamnya. Kajian dari
pemerintahan rezim Omar patut dikaji sehingga terjadinya suatu gerakan
revolusioner.
METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dimana penelitian
ini dilakukan menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang digunakan
untuk mendeskripsikan analisa. Suatu kejadian dan kronologi revolusi, kudeta,
dan konflik yang terjadi di Sudan dikumpulkan dari berbagai studi literatur
yang secara esensi mulai dari kata-kata dan teori mengacu pada buku-buku,
artikel, jurnal ilmiah, kabar berita dan situs web yang berhubungan dengan
realitas di negara Sudan. Studi kepustakaan lalu dikumpulkan dan
diklasifikasikan dengan penelitian dan analisis.
Ketegangan golongan
Perlu kita ketahui bahwa negara Sudan merupakan negara yang kental
akan sengketa pemerintahan dimana negara ini sangat rentan dalam suatu
gerakan kudeta. Tercatat dalam sejarah sudah sebanyak 15 kali kudeta terjadi
di negara ini. Tentu gerakan seperti ini sangat menyeramkan apabila terjadi di
negara Indonesia maka akan terjadi ketegangan antara masyarakat dan
pemerintah. Situasi negara akan sangat terguncang terlebih keadaan dijalanan
akan banyak aktivitas yang terhenti.
Sudan terletak di Afrika Utara negara ini terdiri dari masyarakat Arab dan
Afrika. Tentu kita mengetahui bahwa bangsa Arab terkenal akan peperangan
antar suku bangsa Arab disebut juga kaum barbarian karena maraknya perang
yang terjadi baik dari zaman jahiliyah dan zaman kontemporer. Terjadinya
konflik antara masyarakat sipil menimbulkan perpecahan di Sudan sehingga
terbentuk negara baru yakni Sudan Selatan pada tahun 2011.
Terjadi suatu gerakan revolusi pada masa kepemimpinan Omar Al-Bashir
sehingga beliau harus digulingkan oleh masyarakat setelah menjadi diktator
selama 30 tahun. Gerakan Kudeta layaknya sudah menjadi budaya di negara
Sudan yang mana Omar Al-bashir mendapatkan jabatan sebagai presiden
merupakan buah hasil dari gerakan Kudeta dengan menggulingkan pemerintah
Perdana Menteri Sadiq Al-Mahdi. Sebelumnya Omar telah menjalin konsolidasi
dengan Hassan Al-Turabi yang merupakan pemimpin Front Nasional Islam
Sudan.
Merasa bahwa dirinya semakin kuat dalam menguasai Sudan dia dengan
percaya diri menunjuk dirinya sebagai Presiden Sudan pada 1993. Disini bisa
kita lihat bahwa Omar Memiliki sifat seorang diktator, dia berlaku sangat
otoriter tidak mementingkan warga masyarakat Sudan. Masyarakat Sudan
sudah menginkan agar dapat memilih pemimpinnya dengan sistem demokrasi,
itulah kenyataannya mereka masih terbelenggu orang pemimpin yang otoriter
bahkan upaya untuk menjadi negara yang demokrasi masih menjadi cita cita
yang semu terlebih masih terjadi gerakan kudeta saat ini.
Pada saat kemimpinannya terjadi banyak sekali warga yang terbunuh,
terjadi banyak sekali konflik Masyarakat sipil di Sudan, muncul pula kelompok
opisisi terhadap pemerintah di Darfur yang dinamai Sudan People’s Liberation
Movement/Army (SPLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM).
Kelompok ini menginginkan sumber daya dan perlakuan yang adil dari
pemerintah. Seakan tak mau kalah Omar membuat sebuah pasukan untuk
mengatasi dan menghadapi gerakan SPLM/A dan JEM kelompok ini bernama
Janjaweed yang terbentuk antara beberapa suku nonmaden Arab, Rizeigat,
Misseriya dan Abbal yang dijanjikan beberapa keuntungan apabila dapat
menumpas gerakan oposisi. Warga sudan mendeskripsikan bahwa Omar
merupakan pemimpin yang bertipikal keras kepala, pragmatis, dan memiliki
ego bahwa martabatnya sangat tinggi.
Pergolakan yang terjadi antara suku Utara dan Selatan dikarenakan adanya
kecemburuan sosial karena di sebelah utara mayoritas penduduknya yakni
bangsa Arab yang mempunyai tanah yang subur sedangkan disebelah selatan
ditapaki oleh bangsa Afrika. Ada pula konflik yakni di daerah Darpur,
keturunan Afrika merupakan Mayoritas di Sudan tetapi Omar lebih
menganakemaskan penduduk keturunan Arab sehingga terjadi kecemburuan
sosial. Kenyataannya keturunan Arab mengeksploitasi kekayaan minyak yang
terletak di Sudan Barat.
Adanya rasa ketidakpuasan terlebih ketika adanya perbedaan peran antara
keturunan Arab dan keturunan Afrika dalam struktur sosial dan keturunan
Arab dianggap derajatnya lebih tinggi, banyak dari mereka menjadi orang-
orang yang membuat kebijakan. Dalam pandangan teori Marxisme dimana dia
menginginkan masyarakat tanpa kelas dan dia menentang keras dalam
merendahkan manusia. Dari peristiwa yang terjadi antara Sudan Utara dan
Sudan Selatan ditambah Sudan bagian Barat. Permasalahan dari mereka sama
yaitu terjadi ketidakpuasan, ketidakadilan sehingga menimbulkan
kecemburuan sosial. Dalam pandangan Marx Keturunan Arab dianalogikan
sebagai kaum borjuis dan keturunan Afrika sebagai kaum proletar. Terjadi
banyak sekali sengketa antara dua golongan ini yang menimbulkan
kenikmatan hanya dirasakan oleh bangsa Arab dan penindasan terjadi
terhadap bangsa Afrika. Oleh sebab itu, mulai terjadi gerakan revolusi yang
menginginkan pemisahan diri dari Negara Sudan. Pada pemikiran Marx bahwa
ketika terjadi suatu gerakan revolusi yang menyebabkan kebalikan yang
sebelumnya terjadi. Dimana kaum ploletar (Afrika) ketika berhasil menjadi
pemegang kekuasaan maka akan terbentuk kekuasaan yang baru.
Analisis
Sedari dulu warga Negara Sudan ingin sekali merubah sistem
pemerintahan menjadi demokrasi. Tercontoh saat perselisihan antara Sudan
selatan dan Sudan Utara mereka telah murka akibat ketimpangan sosial dan
kepemimpinan yang otoriter. Karena dengan sistem demokrasi layak menjadi
suatu sistem agar terpilihnya suatu pemimpin berdasarkan pilihan masyarakat
sendiri, bukan berdasarkan kudeta sehingga pada 2011 mereka
mendeklarasikan menjadi negara baru. Dewasa ini Sudan mendambakan
negara yang demokratis, namun dalam mewujudkannya tidak mudah
membalikan telapak tangan karena Omar Al-Bashir selaku presiden yang
otoriter tidak menginkan sistem demokrasi di Sudan, bisa dilihat Omar dalam
mempertahankan kursi kepresidenan selama 30 tahun. Demokrasi menjadi
ancaman karena pada hakikatnya harus dilakukan secara luber jurdil,
kesewenang-wenangan ini menimbulkan rasa geram dari warga negara
ditambah terjadi krisis pada saat itu. Ekonomi yang lemah dan tidak
tercukupinya kebutuhan sehari-hari masyarakat, biaya hidup semakin naik
menjadikan amarah masyarakat terhadap rezim mulai memuncak. Pemerintah
yang sehari-hari melakukan suap dan korupsi, sudah diketahui bahwa Sudan
memiliki kekayaan minyak dan gas menjadi sasaran empuk bagi koruptor.
Karena konsep negara dalam perspektif Marx adalah negara pada dasarnya
adalah alat pemaksa yang digunakan oleh seseorang yang berkuasa untuk
memeandamkan semua bentuk perlawanan dan mengekploitasi yang ada (Nur
Sayyid, 2011). Terlihat dari tindakan yang semena-mena oleh presiden Omar
terhadap warga negaranya yang lantas menimbulkan percikan revolusi.
Dengan eksistensinya Sudan merupakan negara yang kaya sebab memiliki SDA
seperti minyak dan gas. Pemberdayaan SDA tidak dialokasikan kepada
masyarakat dan untuk memajukan negara Sudan sendiri.
Pada saat kudeta April 2019 yang menjatuhkan presiden Omar yang
dilakukan oleh masyakat dan militer. Naiknya Letjen Ahmad tetapi tidak
berlangsung lama digantikan Jendral Abdel Fattah. Abdel Fattah menjajikan
bahwa Sudan akan mengunakan sistem demokrasi yang dibuktikan
pemerintah militer berbagi kekuasaan dengan pihak sipil. Perdana Menteri
Abdalla Hamdok dan beberapa tenokrat diberi kepercayaan untuk memimpin
negara sudan sementara. Pemerintah militer sudah berjanji akan
terselenggaranya pemilihan umum secara demokratis pada tiga tahun
mendatang yang di deklarasikan kontitusi pada Agustus 2019 pasca 4 bulan
lengsernya preside Omar.
Janji yang sudah terucap dan termaktub malah diciderai oleh pihak
pemerintaha militer pada pertengahan tahun 2021. Militer yang sebelumnya
membagi kekuasaan pada saat ini ingin menguasai secara absolut
pemerintahan Sudan. Tentu saja tindakan seperti ini menuai kemarahan dari
seluruh elemen masyarakat, janji-janji akan terselenggaranya pemilihan umum
seakan sirna layaknya diterpa badai. Demokrasi dinilai sebuah sistem yang
paling ideal digunakan oleh setiap negara di dunia dewasa ini. Harapan yang
besar membuat masyarakat ini percaya akan pemerintah militer selama 3
tahun lamanya. Demokrasi menjadi pintu gerbang menuju Sudan yang
mengingkan kebebasan berekpresi, berpendapat, dan berkumpul secara damai
dan keterbukaan yang lebih besar kepada dunia.
Menurut Tatkala PD Abdalla Hamdok dan pejabat ditahan sebagai tahanan
rumah. Tindakan yang dilakukan pemerintahan militer membuat semua warga
negara reaksioner hingga melakukan demontrasi berskala besar. Masyarakat
sipil teguh dalam mencita-citakan suatu revolusi politik sebab pemerintahan
yang otoriter dan totaliter yang padaa beberapa lalu menghantui selama 30
tahun selama masa pemerintaha rezim Omar. Menurut perspektif Marxisme
revolusi politik merubah dan merebut dominasi dengan revolusioner yang
dilakukan oleh kaum proletariat terhadap kaum borjuis (Nur Sayyid, 2011).
Konteks disini jelas berbeda karena kaum proletariat digambarkan sebagai
warga negara Sudan dan kaum borjuis adalah pihak militer yang sekarang
mendominasi pemerintahan seta menindas masyarakat sipil. Harapan yang
sebelumnya sudah dijanjikan yang semestinya harus terealisasi melainkan
dikhianati dan dirubah dengan sepihak. Dampaknya semua masyarakat
berbondong-bondong untuk menggugat keputusan yang tidak seharunya
terjadinya.
Perlakuan yang ekstrem dilakukan oleh pihak militer agar dapat
memandamkan aksi dari masyarakat dengan cara, menahan Perdana Menteri
dan pejabat tinggi. Namun, realita yang terjadi sebaliknya massa aksi
bertambah denga signifikan. Pada 18 November 2021 kekecawaan tampak
tidak bisa dihentikan oleh para demonstran karena rakyat merasa percaya
akan pemerintaham sipil akan terciptanya equilibirium. Masyarakat, aktivis,
dan jurnalis diringkus dan megalami kekerasan. Dari aksi besar itu terdapat 15
orang meregang nyawa disebabkan oleh tembak mati. Semakin hari semakin
menjadi pihak militer pada akhirnya melepaskannya dan Abdalla Hamdok
kembali memimpin pemerintahan transisi Sudan. Abdallah tetap berpegang
teguh agar pemilihan umum harus tersenggara walaupun nyawanya sebagai
gantinya. Karena pemerintahan yang dipimpin oleh teknokratis dapat
membantu meningkatkan ekonomi Sudan, yang telah mengalami krisis yang
berkepanjangan.
Pada akhirnya, Jendral Abdel Fattah dan Abdalla Hamdok membuat
kesepakatan untuk segera membentuk pemerintahan baru. Namun realita
berkata lain terdapat kabar yang menyebutkan pada Rabu, 22 Desember
bahwa Abdalla Hamdok akan mengundurkan diri karena dirasa masih belum
terjalin kepercayaan yang sepenuhnya terhadap militer dan untuk
menghentikan pertumpahan darah.
Simpulan
Baru baru ini telah terjadi kudeta di Sudan yang mana gerakan ini sudah masif
sampai perdana menteri dijadikan dan pejabat penting dijadikan tahanan
rumah. Sudan merupakan negara yang rentan mengalami gerakan kudeta,
tercatat sudah 15 kali percobaan kudeta. Terlebih terjadi dinamika sosial
antara Sudan Utara dan Sudan Selatan pada akhirnya 2011 terjadi konferensi
referendum yang menyatakan bahwa Sudan Selatan merdeka dan terpisah dari
Sudan.
Pada masa kepemimpinan Omar Al-Bashir sesosok presiden yang diktaktor,
dia merupakan presiden yang mendapat jabatan melalui kudeta dan
digulingkan pula dengan revolusi-kudeta. Omar membangun dinastinya selama
30 tahun dari 1989-2019. Adanya ketidakpuasan masyarakat dan militer
terhadap kepemimpinanya, ditambah ekonomi yang anjlok drastis, biaya hidup
naik, cita cita akan demokrasi, mengeruk kekayaan minyak demi kekayaan
pribadi, rezim yang korup, dan tidak adilnya dalam memandang ras
menjadikan warga negara muak dan melakukan gerakan demonstrasi yang
menuntut revolusi. Hingga pada akhirnya 2019 Omar Al-Bashir dapat
dilengserkan.
Warga negara sudan mengharapkan sekali Sudan menganut sistem demokrasi
dikarenakan berpeluang menjadi pintu gerbang menuju Sudan yang
mengingkan kebebasan berekpresi, berpendapat, dan berkumpul secara damai
dan keterbukaan yang lebih besar kepada dunia. Dipimpin oleh Perdana
Menteri Abdalla dan tenokrat terlihat perubahan secara gradual kearah yang
lebih baik. Maka dari itu, demi demokrasi dan dipimpin oleh pemimpin yang
tepat mereka rela mengorbankan nyawa demi kebaikan bersama negara
Sudan.
Daftar Pustaka
Santoso, Nur Sayyid. 2015. Sejarah Ideologi Dunia. Yogyakarta. Kreasindo.
Santoso, Nur Sayyid. 2011. Glosarium Marxisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Chairul, M. 2019. Pemikiran-Pemikiran Karl Marx. ResearchGate.
Wahiduddin. 2020. Konflik Sudan dan Jatuhnya Rezim Presiden Omar Bashir.
Depok. Universitas Hasanudin
Daniel, Yandri. 2019. Presiden Omar Al-Bashir Dilengserkan Usai Berkuasa 30
Tahun. Yogyakarta. Tirto.id.
Abdul, Ikhsan. 2021. Sejarah Kudeta Militer Sudan: Konflik tak berkesudahan
dan Puluhan Tahun Kediktraktoran Militer. Jakarta. Kompas.
Yudha, Eka . 2019. Dewan Militer Sudan Dibentuk, Massa tetap Teriak Revolusi.
Jakarta, Tempo.co.
Erina, Reni. 2021. PM Sudan Abdalla Hamdok Segera Mengundurkan Diri.
Jakarta. Republik Merdeka.