Anda di halaman 1dari 42

LABORATORIUM ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

RENAL REPLACEMENT THERAPY

Oleh :
Zulfikri Saleh Islami, S.Ked
K1A1 15 049

Pembimbing :
dr. Muhammad Jabir, Sp. U

KEPANITERAAN KLINIK LABORATORIUM ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Zulfikri Saleh Islami, S.Ked

NIM : K1A1 15 049

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul : Renal Replacement Therapy

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Muhammad Jabir, Sp. U


RENAL REPLACEMENT THERAPY
Zulfikri Saleh Islami, Muhammad Jabir

A. PENDAHULUAN
Saat ini, fungsi ginjal dapat didukung dengan beragam metode dan skenario
klinis, baik pada pasien rawat jalan maupun sakit kritis. Terapi penggantian
ginjal (TPG) dapat dilakukan secara intermitten maupun secara continous
menggunakan metode extracorporeal (hemodialisis) atau paracorporeal
(dialisis peritoneal). Umumnya pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK)
stadium 4-5 (perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) <30 ml / menit / 1,73
m2) atau dengan stadium 3 dan fungsi ginjalnya memburuk dengan cepat harus
dirujuk untuk penilaian oleh nephrologis.1
Idealnya pasien harus dirujuk setidaknya satu tahun sebelum mereka dapat
diantisipasi untuk memerlukan terapi pengganti ginjal. Tiga pilihan untuk
terapi penggantian ginjal yang tersedia untuk pasien dengan stadium akhir
penyakit ginjal: perawatan konservatif dan kontrol gejala, dialisis (dialysis
peritoneal atau hemodialisis), transplantasi ginjal (donor hidup atau donor
kadaver).1
Indikasi utama untuk TPG adalah gagal ginjal akut atau kronis. Namun, saat
ini banyak perdebatan mengenai definisi optimal gagal ginjal, terutama dengan
penyakit ginjal akut.1 Cedera ginjal akut / acute kidney injury (AKI) terjadi
(selama rawat inap) pada 39-57% pasien bedah dewasa. Di antara pasien sakit
kritis dengan AKI, 6-7% memerlukan beberapa bentuk terapi penggantian
ginjal (TPG) dengan tingkat kematian terkait 50-88%. Di antara pasien yang
sakit kritis, bahkan tahap paling ringan dari AKI dapat mengakibatkan keluaran
klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak pernah
memiliki AKI. Selama 2 dekade terakhir, kejadian AKI yang membutuhkan
RRT telah meningkat hingga 10% per tahun.2,3
B. DEFINISI
Menurut Bellomo dan Ronco (1999) yang dimaksud dengan terapi
pengganti ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT) adalah usaha
untuk mengambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan menggunakan
ginjal buatan (dialyzer) dengan teknik dialisis atau filtrasi. Pada TPG seperti
dialisis atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi ekskresi yaitu fungsi
pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein.
Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah,
pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun integritas tulang tidak dapat
digantikan oleh terapi jenis ini.4
C. TUJUAN TERAPI
Tujuan TPG pada pasien AKI adalah untuk memberi bantuan kepada ginjal
(renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya supaya kembali
berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan, obat-obatan,
maupun nutrisi dalam jumlah besar. Dengan melakukan TPG dapat dilakukan
ultrafiltrasi, sehingga dapat diberikan cairan sesuai kebutuhan pasien. Jadi
diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh untuk pulih
dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya.4
Bila dibandingkan dengan pasien gagal ginjal terminal (GGT) tujuan
utamanya adalah mengambil alih fungsi ginjal (renal replacement) untuk
memperbaiki keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan
adalah survival dan kualitas hidup.4
D. INDIKASI TERAPI
Kriteria modern untuk inisiasi TPG pada AKI di ICU meliputi5:
1. Oliguria (keluaran urin <200 ml/12 jam)
2. Anuria (haluaran urin: 0–50 ml/12 jam)
3. [Urea darah] > 35 mmol/L (>98 mg/dL)
4. [Kreatinin serum] > 400 mmol/L (>4,5 mg/dL)
5. Asidosis metabolik tak terkompensasi (pH < 7,1)
6. [Serum K+] > 6,5 mmol/L atau nilai yang meningkat pesat
7. [Serum Na+] < 110 dan >160 mmol/L
8. Edema paru yang tidak responsif terhadap diuretik
9. Suhu >40 °C
10. Komplikasi uremik (ensefalopati / miopati / neuropati / perikarditis)
11. Overdosis dengan toksin yang dapat didialisis (misalnya litium)
Indikasi terbaru untuk RRT termasuk:
o Gagal jantung
- Pasien yang membutuhkan banyak cairan, nutrisi parenteral, atau produk
darah, tetapi berisiko mengalami edema paru atau ARDS
- Hipertermia (suhu inti >39,5°C) atau hipotermia (suhu inti <37°C)
Indikasi untuk RRT pada pasien insufisiensi ginjal kronis dengan
dekompensasi akut di ICU meliputi:
1. Adanya gejala uremik
2. Adanya hiperkalemia yang tidak responsif terhadap tindakan konservatif
3. Ekspansi volume ekstraseluler yang persisten, meskipun telah diberikan
terapi diuretik
4. Asidosis yang refrakter terhadap terapi medis
5. Diatesis berdarah
E. PRINSIP TERAPI PENGGANTI GINJAL
Apapun teknik RRT, prinsip dasarnya adalah menghilangkan zat terlarut
dan air yang tidak diinginkan melalui membran semipermeabel. Penghilangan
air terjadi melalui proses yang disebut ultrafiltrasi. Hal ini dicapai, 1) dengan
menghasilkan tekanan transmembran, yang lebih besar dari tekanan onkotik
plasma seperti yang terjadi pada hemofiltrasi (HF) atau hemodialisis intermiten
(IHD), atau 2) dengan meningkatkan osmolaritas dialisat seperti pada dialisis
peritoneal (DP).5
Penghilangan zat terlarut terjadi baik dengan difusi atau konveksi. Dalam
difusi, gradien elektrokimia dibuat melintasi membran menggunakan sistem
flow-past dengan larutan dialisat bebas toksin misalnya pada IHD dan PD.
Dalam konveksi, 'seret pelarut' yang digerakkan oleh tekanan transmembran
dibuat di mana zat terlarut bergerak bersama dengan pelarut melintasi
membran berpori. Ultrafiltrat dibuang dan kemudian diganti dengan cairan
pengganti bebas toksin, seperti pada gagal jantung. Baik difusi dan konveksi
terdapat pada hemodiafiltrasi.5
Laju ultrafiltrasi tergantung pada koefisien permeabilitas membran dan
tekanan transmembran. Transpor zat terlarut oleh difusi diatur oleh koefisien
difusi, suhu larutan, luas permukaan membran, gradien konsentrasi antara 2
kompartemen, dan ketebalan membran. Laju difusi suatu zat terlarut juga
bergantung pada berat molekul zat terlarut, porositas membran, kecepatan
aliran darah, kecepatan aliran dialisat, derajat ikatan protein, dan gradien
konsentrasi melintasi membran. Clearance oleh konveksi diatur oleh tingkat
ultrafiltrasi dan Koefisien Pengayakan. Koefisien Pengayakan adalah rasio
konsentrasi zat terlarut dalam ultrafiltrat dengan konsentrasi zat terlarut dalam
air plasma.5
Hemodialisis menghilangkan zat terlarut dengan proses yang disebut
"difusi." Ketika seorang pasien menerima hemodialisis, darah yang bersirkulasi
melalui serat berongga dikelilingi oleh larutan dialisat. Zat terlarut berdifusi
menuruni gradien konsentrasi (yaitu, tinggi ke rendah) baik dari darah melalui
dinding filter semipermeabel dan ke dialisat atau sebaliknya. Dialisat segar
terus-menerus disirkulasikan melalui ruang interstisial di dalam filter sehingga
gradien konsentrasi dapat dipertahankan. Larutan dialisis yang mengandung
sisa metabolisme yang tersebar dari darah pasien dikeluarkan dari sistem dan
disebut efluen. Larutan dialisis biasanya tidak bersentuhan langsung dengan
darah pasien. Solut ini dapat diproduksi secara real time atau premix.
Pembersihan melalui "difusi" seperti yang terjadi selama dialisis dapat secara
efisien menghilangkan molekul yang lebih kecil dari darah yang ukurannya
berkisar dari 10 hingga 100 kDa.2
Hemofiltrasi, di sisi lain, menghilangkan zat terlarut melalui proses yang
dikenal sebagai "konveksi." Selama hemofiltrasi, tekanan negatif dibuat di
ruang interstisial hemofilter, dan zat terlarut dan air ditarik melintasi serat
berongga semipermeabel secara konveksi. Secara bersamaan, cairan pengganti
yang seimbang elektrolit ditambahkan langsung ke dalam sirkuit
ekstrakorporeal atau aliran darah pasien. Mengingat bahwa larutan pengganti
diinfuskan langsung ke dalam aliran darah pasien (intra- atau ekstrakorporeal),
larutan itu harus steril. Karena sifatnya yang aktif, pembersihan konvektif
dapat digunakan untuk membersihkan molekul yang lebih besar (10 hingga
>10.000 kDa) dari darah yang dapat memengaruhi pembersihan berbagai obat.
Tabel 28.1 berisi daftar molekul dengan berbagai ukuran dan deskripsi bentuk
terapi pengganti ginjal yang dapat digunakan untuk membersihkannya dari
sirkulasi.2
Gambar 1. Difusi dan konveksi pada alat dialisis2
1. PENGHILANGAN AIR6
Penghilangan pelarut yang tidak diinginkan (air) secara terapeutik
mungkin sama pentingnya dengan penghilangan zat terlarut yang tidak
diinginkan (asam, racun uremik, kalium, dan sejenisnya). Selama RRT, air
dikeluarkan melalui proses yang disebut ultrafiltrasi. Proses ini pada
dasarnya sama dengan yang dilakukan oleh glomerulus. Ini membutuhkan
tekanan pendorong untuk memindahkan air melintasi membran
semipermeabel karena cairan tersebut biasanya akan disimpan dalam
sirkulasi karena tekanan onkotik. Tekanan ini dicapai dengan:
a. Menghasilkan tekanan transmembran melalui pemompaan darah (seperti
pada gagal jantung atau selama IHD) melalui membran semipermeabel.
Tekanan positif ini lebih besar dari tekanan onkotik yang akan menahan
air dalam sirkulasi, dan menghasilkan ultrafiltrasi.
b. Meningkatkan osmolaritas dialisat (seperti pada PD), yang kemudian
menarik air melintasi membran semipermeabel (peritoneum).
2. PENGHAPUSAN SOLUT6
Penghapusan zat terlarut yang tidak diinginkan (toksin, uremik, produk
limbah nitrogen, dan asam organik) dapat dicapai dengan:
a. Membuat gradien elektrokimia melintasi membran menggunakan sistem
flow-past dengan dialisat bebas toksin (difusi) seperti pada IHD dan PD.
b. Menciptakan 'seret pelarut' yang digerakkan oleh tekanan transmembran,
di mana zat terlarut bergerak bersama dengan pelarut (konveksi)
melintasi membran, dibuang bersama dengan pelarut, dan kemudian
diganti dengan cairan pengganti bebas toksin seperti pada HF.
F. JENIS-JENIS TPG
Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu7:
 Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialisis peritoneal dan hemofiltrasi.
 Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah
(cadaver).
Dialisis menurut kebutuhan pemakaian dibagi menjadi 2 jenis yaitu7:
 Dialisis temporer yang bersifat akut dan atau perioperatif.
 Dialisis kronik
TPG juga dapat dibedakan berdasarkan prinsip dasar translokasi ion pada
ginjal buatan melalui membran semipermeabel. Menurut Daugardias dan Van
Store (2001), ada 2 jenis TPG yaitu4:
 Osmosis/dialisis, contohnya adalah Dialisis (Hemodialisis, Hybrid dialysis,
Dialisis peritoneal
 Filtrasi/konveksi, contohnya adalah CRRT (Continous Renal Replacement
Therapy)
Sedangkan Kellum dkk (2002) membedakan TPG berdasarkan lamanya
waktu pelaksanaannya. Berdasarkan cara dan lamanya waktu pengobatann,
TPG dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
 Dilakukan dalam jangka waktu terbatas, biasanya antara 6-12 jam
(intermitten)
 Dilakukan secara berkesinambungan selama 24 jam (continous)
1. Dialisis
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul di dalam larutan yang
melewati membran semipermeabel di sepanjang gradien konsentrasi
elektrokimia.8
 Saat Memulai Dialisis (Inisiasi)7
Secara ideal semua pasien dengan LFG < 15 mL/menit dapat mulai
menjalani dialisis. Namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat
dipakai adalah sbb :
1) TKK/LFG < 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi.
2) TKK/LFG < 5 mL/menit walaupun tanpa gejala.
3) Indikasi khusus :
 Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang)
 Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.
 Kontraindikasi Dialisis7
Terdapat kendala (indikasi kontra) dari tindakan dialisis :
1) Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada HD atau terdapat
gangguan di rongga peritoneum pada CAPD.
2) Dialisis tidak dapat dilakukan pada keadaan :
 akses vaskular sulit
 instabilitas hemodinamik
 koagulopati
 penyakit Alzheimer
 demensia multi infark
 sindrom hepatorenal
 sirosis hati lanjut dengan ensefalopati
 keganasan lanjut
a. Hemodialisis
1) Definisi
Hemodialisis didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan
komposisi solut dalam darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui
membran semipermeabel (membran dialisis). Pada prinsipnya
hemodialisis adalah proses pemisahan atau penyaringan atau
pembersihan darah melalui suatu membran yang semipermeabel yang
dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang
kronik maupun yang akut.9
2) Prinsip Hemodialisis9
Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan
ultrafiltrasi. Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi
molekul terbesar. Laju difusi sebanding dengan suhu larutan
(meningkatkan gerakan molekul scara acak) dan berbanding terbalik
dengan viskositas dan ukuran molekul yang dibuang (molekul besar
akan terdifusi dengan lambat). Dengan meningkatkan aliran darah
yang melalui dialiser, akan meningkatkan klirens dari zat terlarut
dengan berat molekul rendah dengan tetap mempertahankan gradien
konsentrasi yang tinggi. Zat terlarut yang terikat protein tidak dapat
dibuang melalui difusi karena protein yang terikat tidak dapat melalui
membran. Hanya zat terlarut yang tidak terikat protein yang dapat
melalui membran atau terdialisis.
Ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi
akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.
Ultrafiltrasi terjadi akibat perbedaan tekanan positif pada
kompartemen darah dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam
kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau
transmembran pressure (TMP). Nilai ultrafiltrasi tergantung pada
perbedaan/gradien tekanan per satuan waktu. Karakteristik membran
menentukan tingkat filtrasi, membran high flux mempunyai
permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori-pori yang besar
sehingga mempunyai tahanan yang rendah untuk filtrasi.

Gambar 2. Skema Hemodialisa


3) Komponen Hemodialisa
a) Dialyzer
Terdapat tiga komponen esensial pada hemodialisis: dialyzer,
komposisi dan penyalur dialisat, dan sistem penyaluran darah.
Dialyzer terdiri dari suatu alat plastik dengan fasilitas untuk
mengalirkan darah dan mendialisis kompartemen dengan kecepatan
aliran yang sangat tinggi. Luas permukaan membran dialisis
modern pada pasien dewasa biasanya berkisar 1,5-2,0 m 2. Dialyzer
serat berongga (hollow fiber dialyzer) adalah jenis yang tersering
digunakan. Dialyzer ini terdiri dari berkas-berkas saluran kapiler
yang dilewati oleh darah sementara dialisat mengalir di sebelah
luar dari berkas serat.10
b) Dialisat10
Konsentrasi kalium dialisat dapat bervariasi dari 0 sampai 4
mmol/L tergantung pada konsentrasi kalium serum pradialisis.
Konsentrasi kalsium dialisat yang biasa di pusat hemodialisis
adalah 1,25 mmol/L (2,5 meq/L), meskipun modifikasi mungkin
diperlukan dalam pengaturan tertentu (misalnya, konsentrasi
kalsium dialisat yang lebih tinggi dapat digunakan pada pasien
dengan hipokalsemia akibat hiperparatiroidisme sekunder atau
setelah paratiroidektomi).
Konsentrasi natrium dialisat umumnya adalah 140 mmol/L.
Konsentrasi natrium dialisat yang lebih rendah dikaitkan dengan
frekuensi hipotensi, kram, mual, muntah, kelelahan, dan pusing
yang lebih tinggi pada beberapa pasien, meskipun dapat
mengurangi rasa haus. Karena pasien terpapar sekitar 120 L air
selama setiap perawatan dialisis, air yang digunakan untuk dialisat
mengalami penyaringan, pelunakan, deionisasi, dan, akhirnya,
reverse osmosis. Selama proses reverse osmosis, air dipaksa
menembus membran semipermeabel pada tekanan yang sangat
tinggi untuk menghilangkan kontaminan mikrobiologis dan >90%
ion terlarut.
c) Sistem Penyaluran Darah10
Sistem penyaluran darah terdiri dari sirkuit ekstrakorporeal di
mesin dialisis dan akses dialisis. Mesin dialisis terdiri dari pompa
darah, sistem penyaluran larutan dialisis, dan berbagai monitor
pengaman. Pompa darah memindahkan darah dari tempat akses,
melewati dialyzer, dan kembali ke sirkulasi pasien. Laju aliran
darah dapat berkisar antara 250-500 mL/menit, sebagian besar
tergantung pada jenis dan integritas akses vaskular. Tekanan
hidrostatik negatif pada sisi dialisat dapat dimanipulasi untuk
mencapai penegeluaran cairan yang diinginkan atau ultrafiltrasi.
Membran dialisis memiliki koefisien ultrafiltrasi yang berbeda
(yaitu, mL yang dikeluarkan/menit per mmHg) sehingga seiring
dengan perubahan hidrostatik, pembuangan cairan dapat bervariasi.
Sistem penyaluran larutan dialisis mengencerkan dialisat pekat
dengan air dan memantau suhu, konduktivitas, dan aliran dialisat.
d) Akses Dialisis10
Fistula, tandur (graft), atau kateter yang dilalui darah untuk
hemodialisis sering disebut sebagai akses dialisis. Fistula alami
yang dibuat oleh anastomosis arteri ke vena (misalnya, fistula
Brescia-Cimino, di mana vena cephalic dianastomosis ujung ke sisi
ke arteri radial) menghasilkan arterialisasi vena. Hal ini
memungkinkan pemasangan jarum besar (biasanya 15 gauge)
untuk mengakses sirkulasi sehingga dapat mengalirkan darah
sampai lebih dari 300 ml/menit. Fistula memiliki tingkat patensi
jangka panjang tertinggi dari semua pilihan akses dialisis. Banyak
pasien menjalani pemasangan graft arteriovenosa (yaitu, interposisi
bahan prostetik, biasanya polytetrafluoroethylene, antara arteri dan
vena) atau kateter dialisis dalam terowongan. Pendekatan bedah
baru (misalnya, pembuatan fistula brakiobasilika dengan
transposisi fistula vena basilika ke permukaan lengan) telah
meningkatkan pilihan untuk akses vaskular "alami".

Gambar 3. Akses AV fistula.


Tandur dan kateter cenderung digunakan pada orang-orang
dengan diameter pembuluh darah yang lebih kecil atau orang-orang
yang pembuluh darahnya telah rusak oleh pungsi vena berulang,
atau setelah rawat inap yang lama. Komplikasi yang paling penting
dari cangkok arteriovenosa adalah trombosis cangkok dan
kegagalan cangkok, terutama karena hiperplasia intima pada
anastomosis antara cangkok dan vena resipien. Ketika cangkok
(atau fistula) gagal, angioplasti yang dipandu kateter dapat
digunakan untuk melebarkan stenosis; pemantauan tekanan vena
pada dialisis dan aliran akses, meskipun tidak dilakukan secara
rutin, dapat membantu dalam deteksi awal kegagalan akses
vaskular yang akan datang. Selain peningkatan tingkat kegagalan
akses, cangkok dan (khususnya) kateter dikaitkan dengan tingkat
infeksi yang jauh lebih tinggi daripada fistula.

Gambar 4. Akses AV Graft.


Kateter intravena berdiameter besar sering digunakan pada
pasien dengan penyakit ginjal akut dan kronis. Untuk orang yang
menjalani hemodialisis rumatan, kateter terowongan (baik dua
kateter terpisah atau kateter tunggal dengan dua lumen) sering
digunakan ketika fistula arteriovenosa dan cangkok telah gagal atau
tidak layak karena pertimbangan anatomis. Kateter ini dibuat
terowongan di bawah kulit; terowongan mengurangi translokasi
bakteri dari kulit, menghasilkan tingkat infeksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan kateter sementara non-tunneled. Kebanyakan
kateter terowongan ditempatkan di vena jugularis internal; vena
jugularis eksternal, femoralis, dan subklavia juga dapat digunakan.
Gambar 5. Akses CVC.
Ahli nefrologi, ahli radiologi intervensi, dan ahli bedah vaskular
umumnya lebih memilih untuk menghindari penempatan kateter ke
dalam vena subklavia; meskipun laju aliran biasanya sangat baik,
stenosis subklavia merupakan komplikasi yang sering terjadi dan,
jika ada, kemungkinan akan menghalangi akses vaskular permanen
(yaitu, fistula atau cangkok) di ekstremitas ipsilateral. Tingkat
infeksi mungkin lebih tinggi dengan kateter femoralis. Untuk
pasien dengan komplikasi akses vaskular multipel dan tidak ada
pilihan lain untuk akses vaskular permanen, kateter terowongan
mungkin menjadi "lifeline" terakhir untuk hemodialisis.
Pendekatan translumbar atau transhepatik ke dalam vena cava
inferior mungkin diperlukan jika vena cava superior atau vena
sentral lain yang mengalirkan ekstremitas atas mengalami stenosis
atau trombosis.
4) Proses Hemodialisis Konvensional dan Hemofiltrasi9
Dalam proses hemodialisis, proses difusi dan filtrasi berjalan secara
bersamaan serta dapat diprogram sesuai dengan keadaaan klinis
pasien. Proses dialisis memerlukan cairan dialisat yang mengalir
dengan arah berlawanan terhadap darah (countercurrent) sehingga
tetap mempertahankan difusi yang optimal. Hemofiltrasi (HF) sangat
berbeda dari HD dalam mekanisme perubahan komposisi darah. Pada
teknik hemofiltrasi, dipakai prinsip konveksi dengan tekanan
hidrostatik dan membran high flux, sehingga ultrafiltrat yang berupa
larutan (air dan zat terlarut) dapat banyak keluar melalui membran
dialiser. Plasma ultrafiltrat digantikan dengan larutan elektrolit, atau
cairan yang diproduksi oleh mesin dialisis sendiri secara on-line.
Pembuangan zat terlarut dicapai dengan proses konveksi dan kontrol
volume berdasarkan selisih antara volume cairan yang dikeluarkan
dan cairan penggantinya.
Selama HF, filtrat akan dibuang dan pasien menerima cairan
pengganti baik itu sebelum (predilusi) atau setelah (pascadilusi)
dialiser. Kecepatan pembuangan cairan dan substitusi cairan infus
disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Terdapat berbagai teknik
hemofiltrasi antara lain slow continuous hemofiltration (SCHF) yang
digunakan pada keadaan gangguan ginjal akut sehingga dapat
mempertahankan keseimbangan cairan yang optimal. Proses
hemofiltrasi ini tidak memerlukan cairan dialisat. Apabila dilakukan
dengan mesin khusus cara ini disebut sebagai CRRT (continuous
renal replacement therapy) yang sering dipakai pada perawatan
intensif. Apabila menggunakan mesin HD yang konvensional, tanpa
dialisat, proses ini juga disebut continuous venovenous hemofiltration
(CVVH).
5) Dosis Hemodialisis
Efisiensi dialisis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat
melalui dialiser. Dosis dialisis yang didefinisikan sebagai jumlah
bersihan fraksi urea dalam satu sesi dialisis, dipengaruhi oleh ukuran
tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan protein dalam makanan,
derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya komorbid.9
Kecukupan (adequacy) dialisis menjadi target dosis dialisis. Pada
awalnya kecukupan dialisis ditentukan atas kriteria klinis, kemudian
atas dasar formula Kt/V, suatu formula yang didapatkan atas analisis
penelitian NCDS (national cooperative dialysis study), seperti yang
direkomendasikan KDOQI. Pengertian K adalah klirens urea dari
dialiser, t lama dialisis, dan V adalah volume distribusi urea. Untuk
HD yang dilaksanakan 3 kali 4 jam dalam seminggu dianjurkan
minimal mencapai nail Kt/V yang dilaksanakan (delivered Kt/V)
adalah 1,2 dengan target 1,4. Kt/V yang lebih tinggi tidak menurunkan
survival lebih lanjut. Guna keperluan praktis saat ini dipakai juga
URR ( % urea reduction rate ), atau besarnya penurunan ureum dalam
persen, URR = 100% x (1-(ureum sebelum/ureum sesudah dialisis)).
Dalam panduan dianjurkan hemodialisis 3 x seminggu target URR
setiap kali HD adalah diatas 65%.. panduan hemodialisis dari inggris
menyatakan bahwa HD minimal adalah 3 x seminggu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dialisis yang semakin sering, setiap
hari, lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.9
6) Air dan Pengolahan Air9
Sesi HD standar selama 4-5 jam akan membuat pasien terpapar
oleh 120 sampai 160 liter air, sehingga kualitas air menjadi sangat
penting untuk kesehatan pasien. Air untuk dialisat harus diolah,
mengalami proses filtrasi, pelunakan dan deionisasi, terakhir
dimurnikan dengan proses reverse osmosis. Reverse osmosis
merupakan proses yang mendorong air melewati membran
semipermeabel pada tekanan sangat yang sangat tinggi untuk
membuang kontaminan mikrobiologis dan lebih dari 90% ion terlarut.
Standar organisasi internasional untuk kualitas kimia air pada
hemodialisis telah dipakai secara luas. Dengan penggunaan dialiser
yang kemmapuan filtrasinya tinggi, diperlukan air dialisat ultra pure.
Air yang berasal dari perusahaan air minum dapat mengandung
berbagai kontaminan yang toksik terhadap pasien HD. Zat yang
ditambahkan ke dalam air PAM seperti aluminium dan kloramin
menyebabkan morbiditas yang bermakna. Akumulasi aluminium
dapat menyebabkan gangguan neurologis berat (gangguan bicara,
spasme otot, kejang, dan demensia), penyakit tulang, dan anemia yang
resisten eritropoietin.
Bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida
pirogenik dari dinding sel terluar bakteri), dan fragmen dari
endotoksin tersebut bertanggung jawab atas sebagian gejala yang
timbul berhubungan dengan dialisis (dialysis-related symptoms).
Paparan terhadap bakteri dan endotoksin dihubungkan dengan gejala
rigor, hipotensi, dan demam. Meskipun kadar kontaminan
mikrobiologis rendah, namun dapat berperan pada kejadian inflamasi
kronik pada pasien HD.
7) Antikoagulan
Untuk mencegah pembekuan darah di dalam sistem
ekstrakorporeal, selama proses hemodialisis diperlukan zat
antikoagulan, yang dapat berupa unfractionated heparin (UFH), atau
low-molecular weight heparin (LMWH). Umumnya antikoagulan ini
diberikan secara infus kontinyu, atau bolus heparin berulang (pada
UFH), atau bolus LMWH tunggal. Sejumlah modalitas lain tersedia
bagi pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau bagi mereka
yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian heparin, misalnya
pembilasan dengan larutan NaCl, antikoagulan regional dengan sitrat,
prostasiklin, danaparoid, argatroban (direct thrombin inhibitor), dan
lepirudin (recombinant hirudin). Aktivasi neutrofil menurun pada
pemakaian antikoagulan regional dengan sitrat dibandingkan dengan
heparin.9
8) Komplikasi7,9
a) Akut
 Hipotensi / Hipertensi
 Keram otot
 Reaksi anafilaktoid
 Mual-muntah, sakit kepala
 Demam disertai menggigil
 Nyeri dada
 Kejang
b) Jangka panjang
 Penyakit kardiovaskular
b. Dialisis Peritoneal
1) Definisi
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk
membantu penanganan pasien GGA maupun GGK, menggunakan
membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran
tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan dialisis peritoneal (DP)
bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana,
cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas
khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini
pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani
kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modern.9
2) Prinsip Dasar Dialisis Peritoneal
 Anatomi Rongga Peritoneum11
Peritoneum merupakan membran serosa yang meliputi rongga
abdomen dan terdiri dari peritoneum parietal dan peritoneum
visceral. Membran peritoneum memiliki luas permukaan yang
sama dengan luas permukaan tubuh yaitu sekitar 1-2 m 2 pada
dewasa. Peritoneum parietal merupakan bagian dari peritoneum
yang meliputi 40% dari total permukaan peritoneum, bagian ini
meliputi bagian depan dinding abdomen dan bagian bawah
diafragma.
Total aliran darah peritoneum berkisar 50-100 ml/menit, atau
1% dari total cardiac output. Diantara peritoneum parietal dan
visera didapatkan adanya rongga peritoneum, yang pada orang
normal didapatkan cairan kurang dari 100 mL dan pada proses
CAPD dapat dimasukkan hingga 3 liter dialisat tanpa menimbulkan
rasa tidak nyaman pada pasien.
Membran peritoneum terdiri dari tiga lapisan, lapisan endotel
kapiler, lapisan interstitium peritoneum, dan lapisan mesotelium
yang banyak mengandung mikrovili. Pada lapisan mikrovili
didapatkan lapisan tipis cairan yang dinamakan
phosphotidylcholine yang berfungsi sebagai surfaktan, lapisan ini
juga berfungsi untuk melindungi lapisan mesotelium pada saat
proses ultrafiltrasi dialisis.

Gambar 6. Peritoneum
 Fisiologi Peritoneum12
Kanal air aquaporin-1 (AQP1) secara konstitutif diekspresikan
dalam sel-sel endotel yang melapisi kapiler peritoneum. Merupakan
suatu homotetramer, dengan masing-masing monomer
mengandung pori sentral yang memfasilitasi pergerakan air
melintasi membran lipid. Pengurangan AQP1 pada tikus
menyebabkan 50% penurunan ultrafiltrasi kumulatif bersih, dan
hilangnya filtrasi natrium. Memang, glukosa efektif sebagai agen
osmotik karena adanya pori ultra kecil yang diwujudkan oleh
AQP1 dalam sel endotel peritoneal. Peneliti saat ini sedang
memeriksa AQP1 sebagai target terapi untuk meningkatkan
ultrafiltrasi dengan PD. Deksametason dosis tinggi meningkatkan
ekspresi AQP1 dalam kapiler peritoneum hewan pengerat yang
menghasilkan peningkatan transpor air bebas dan ultrafiltrasi.
Steroid mungkin berkhasiat pada manusia seperti yang
digambarkan dengan membandingkan ultrafiltrasi pada pasien
sebelum dan sesudah transplantasi ginjal. Agen potensial lainnya
adalah arilsulfonamida, AqF026, agonis farmakologis pertama
AQP1 yang berinteraksi dengan loop intraseluler yang terlibat
dalam gerbang saluran. Hal Ini meningkatkan transportasi air yang
dimediasi AQP1 dan ultrafiltrasi bersih pada hewan pengerat.
Kedua contoh ini memberikan harapan untuk kemungkinan
mengembangkan terapi farmakologis yang menargetkan AQP1
untuk meningkatkan ultrafiltrasi dengan PD.
 Fisiologi Peritoneal Dialisis11
Pada CAPD terdapat tiga proses yang terjadi secara bersamaan,
yaitu difusi, ultrafiltrasi, dan absorpsi cairan.
 Difusi
Partikel terlarut yang mengandung toksin uremik (ureum,
kreatinin, kalium, dll.) berdifusi dari pembuluh kapiler
peritoneum menuju cairan peritoneal (dialisat). Sedangkan,
glukosa atau bikarbonat pada cairan dialisat berdifusi dari arah
sebaliknya. Proses keberhasilan difusi pada CAPD bergantung
pada beberapa faktor, seperti gradien konsentrasi antara dua
cairan, luas permukaan peritoneum, resistensi membran
peritoneum, berat molekul partikel terlarut yang berdifusi, mass
transfer area coefficient (KoA), dan aliran darah peritoneal.
 Ultrafiltrasi
Pada dialisis, pembuangan kelebihan cairan pada tubuh
(ultrafiltrasi) merupakan faktor penting. Pada CAPD, proses ini
tercapai dengan menambahkan agen osmotik pada cairan dialisis
seperti halnya dextrose, asam amino, dextran, sehingga dijumpai
perbedaan gradien osmotik antara kapiler peritoneal dan cairan
peritoneum. Pada CAPD, proses ultrafiltrasi akan terus
berlangsung hingga cairan dialisis berubah menjadi isotonik.
 Absorpsi Cairan
Absorpsi cairan dari rongga peritoneal terjadi melalui
drainase aliran limfatik dengan laju absorpsi yang konstan. Laju
absorpsi peritoneal sekitar 1-2 ml/min. Faktor yang
memengaruhi laju absorpsi cairan pada peritoneal antara lain
tekanan hidrostatik intraperitoneal dan efektivitas saluran
limfatik.

Gambar 7. Skema Peritoneal Dialysis


3) Bentuk-bentuk Dialisis Peritoneal10
Dialisis peritoneal dapat dilakukan sebagai continuous ambulatory
peritoneal dialysisi (CAPD, dialisis peritoneal rawat jalan kontinu),
continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD, dialisis peritoneal siklik
kontinu), atau kombinasi keduanya. Pada CAPD, larutan dialisis
secara manual diinfuskan ke dalam rongga peritoneum pada siang hari
dan ditukar 3 sampai 5 kali sehari. Pada malam hari larutan dialisis
dibiarkan di rongga peritoneum sepanjang malam. Drainase dialisat
yang telah terpakai dilakukan secara manual dengan bantuan gravitasi
untuk mengeluarkan cairan dari abdomen.
Pada CCPD, pertukaran dilakukan secara otomatis, biasanya pada
malam hari; pasien terhubung ke suatu pendaur (cycler) otomatis yang
melakukan serangkaian siklus pertukaran selagi pasien tidur. Jumlah
siklus pertukaran yang diperlukan untuk mengoptimalkan klirens zat
terlarut peritoneum berbeda-beda sesuai karakteristik membran
peritoneum; seperti hemodialisis, para pakar menganjurkan
pemantauan yang cermat terhadap klirens zat terlarut untuk
memastikan “kecukupan” dialisis.
Larutan dialisis peritoneal tersedia dalam volume yang biasanya
berkisar 1,5 – 3,0 L. laktat merupakan penyangga yang lebih disukai
dalam larutan dialisis peritoneal. Zat tambahan yang paling sering
ditambahkan ke dalam larutan dialisis peritoneal adalah heparin untuk
mencegah obstruksi lumen kateter dialisis oleh fibrin dan antibiotik
selama episode peritonitis akut. Pada pasien dengan diabetes melitus
dapat juga ditambahkan insulin.
4) Peritoneal Equilibration Test (PET)11
Pemeriksaan PET ditujukan untuk menilai jenis membran
peritoneal pada masing-masing pasien untuk memandu pemeberian
resep CAPD. Efektivitas transpor peritoneal dihitung menggunakan
rasio equilibrasi antara dialisat dan urea plasma (D/P urea), kreatinin
(D/P Cr) dan Natrium (D/P Na). Rasio equilibrasi mengukur efek
kombinasi dari difusi dan ultrafiltrasi. Nilai PET dipengaruhi berat
molekul solut dan permeabilitas membran peritoneal pasien serta luas
permukaannya. Berdasarkan Core Curriculum tahun 2003 oleh
Teitelbaum, dkk. protokol standar untuk melakukan PET adalah :
1. Dilakukan pagi hari setelah proses penggantian cairan dialisat
CAPD (biasanya >8 jam jika menggunakan CAPD).
2. Masukkan dialisat dengan 2,5% dextrose.
3. Segera ambil sampel dialisat, pada jam ke-2, dan jam ke-4 untuk
menentukan kreatinin, urea, dan konsentrasi glukosa.
4. Ambil sampel darah 2 jam setelah infus dialisat untuk menentukan
kreatinin, urea, dan kadar glukosa.
5. Keluarkan dialisat pada jam ke-4 dan catat volume pengeluaran.
6. Kalkulasi dialisat/plasma rasio (D/P ratio) untuk urea dan kreatinin
pada jam ke-2 dan ke-4. Kalkulasi dialisat/glukosa dan bandingkan
dengan konsentrasi inisial (D/Do) pada jam ke-2 dan ke-4.
7. Plot hasil tersebut pada grafik standar PET untuk menentukan tipe
membran peritoneal pasien.
Hasil dari nilai PET dapat mengetahui tipe membran peritoneal
pasien yang kemudian bersama data klinis dapat memandu dokter
dalam membuat resep CAPD dan memilih jenis konsentrasi cairan
dialisat yang sesuai untuk pasien. Klasifikasi transpor membran
peritoneal berdasarkan tes PET adalah sebagai berikut:
1. High transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi kreatinin
dan urea yang paling cepat karena memiliki luas permukaan
peritoneal yang besar dan/atau memiliki permeabilitas membran
yang tinggi. Namun, pada high transporters cepat terjadi
kehilangan gradien osmotik untuk proses ultrafiltrasi karena
dialisat glukosa berdifusi melalui membran permeabilitas yang
tinggi. Sehingga, membran jenis high transporter memiliki D/P Cr,
D/P Ur, dan D/P Na yang tinggi, tetapi ultrafiltrasi yang rendah.
Disamping itu, membran high transporter juga mengakibatkan
protein loss yang tinggi sehingga kadar albumin cenderung lebih
rendah. Pergantian cairan dialisat dengan dwell volume jangka
pendek seperti APD lebih menguntungkan untuk jenis membran
ini. Bila tidak ada APD seperti di Indonesia, dapat juga dilakukan
dengan meningkatkan frekuensi pergantian cairan dialisat.
2. Low transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi urea dan
kreatinin lebih lambat dari high transporters, menunjukkan
permeabilitas membran dan/atau luas permukaan peritoneal yang
lebih kecil. Sehingga, low transporters menunjukkan D/P Ur, D/P
Cr, dan D/P Na yang rendah, dengan D/Do G dan net ultrafiltrasi
yang tinggi. Hilangnya protein lebih rendah, serum albumin lebih
tinggi. Low transporters membutuhkan waktu pergantian lebih
lama, dan volume pergantian yang lebih besar. Ultrafiltasi terjadi
lebih baik pada tipe membran ini.
3. High-average dan low-average transporters, memiliki nilai
diantara high dan low transporters.
5) Cairan Dialisat11
Pelaksanaan CAPD sangat fleksibel mengikuti gaya hidup dan
preferensi pasien. Cairan dialisat yang digunakan selalu berada di
rongga peritoneum, dan diganti hingga 3-4 kali sehari. Drainase
dialisat yang terpakai dan dialisat baru menggunakan gravitasi dari
dalam dan keluar rongga peritoneal.
Komposisi cairan CAPD dibedakan berdasarkan agen osmotik,
buffer, dan elektrolit. Konsentrasi cairan dialisat CAPD berbasis
dextrose tersedia dalam 1,5%, 2,5%, dan 4,25%. Pada CAPD
konvensional, digunakan laktat sebagai buffer dan memiliki pH ~5.5.
Pada keadaan pH cairan dialisat yang rendah memiliki efek pada
leukosit dan mengganggu fungsi fagosit. Sehingga, untuk mengurangi
produksi glucose degradation product (GDP), dibuat dua
kompartemen cairan dialisat yang bertujuan menghasilkan GDP yang
rendah pada cairan CAPD dengan pH normal.
Glukosa sebagai agen osmotik walaupun aman, murah, dan sumber
kalori, dapat menyebabkan hiperglikemia, hiperinsulinemia,
hiperlipidemia, peningkatan berat badan dan akhirnya meningkatkan
risiko mortalitas kardiovaskular. Saat ini, telah dikembangkan cairan
dialisat CAPD untuk mengurangi risiko toksisitas yang disebut
glucose-sparing solutions dengan pH netral dan rendah GDP. Tersedia
dua macam cairan CAPD dengan komposisi tersebut, yaitu icodextrin
dan amino-acid base.
1. Icodextrin
Merupakan cairan poliglukosa dan bersifat iso-osmolar.
Absorpsi poligukosa melalui sistem limfatik lebih lambat
dibanding glukosa. Icodextrin digunakan terutama pada malam hari
menggunakan CAPD dan dapat sepanjang hari menggunakan APD,
dan indikasi utama digunakan pada pasien dengan kegagalan
ultrafiltrasi. Penggunaan icodextrin meningkatkan ultrafiltrasi dan
status volume pasien, memperbaiki kontrol glikemik, menurunkan
berat badan, dan menjaga fungsi membran peritoneal jangka
panjang.
2. Amino-acid base
Digunakan sebagai suplemen nutrisi pada pasien dengan
gangguan nutrisi karena diserap pada akhir 4-6 jam proses dialisis.
Namun pada penggunaan cairan ini, ada risiko meningkatkan
asidosis.
6) Target Kt/V dan Pemantauan
Target Kt/V mingguan pada CAPD (Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis) dan dialisis peritoneal otomatis (Automated
Peritoneal Dialysis atau APD) adalah 2,0 dengan nilai minimum
1,7/minggu. Nilai target minimum klirens kreatinin mingguan adalah
60 L/minggu pada PET high dan high average, sedangkan pada PET
low dan low average, nilai target minimum adalah 50 L/minggu.7
7) Komplikasi DP11
 Peritonitis
Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan bila ditemukan
manifestasi seperti nyeri abdomen, demam, cairan dialisat yang
keruh, hitung leukosit pada cairan dialisat lebih dari 100
leukosit/mm3 dan hasil kultur cairan dialisat yang positif.
Peritonitis pada umumnya disebabkan oleh bakteri, baik gram
positif maupun gram negatif. Namun, dapat juga disebabkan oleh
jamur dan bakteri tahan asam. Sumber infeksi dapat disebabkan
oleh kontaminasi akibat sentuhan (touch contamination), infeksi
yang berhubungan dengan kateter (exite site/ tunnel infection),
enteric, dan iatrogenic (bakteremia dan ginekologis).
Jalur invasi bakteri yang paling sering adalah infeksi yang
berhubungan dengan kateter yaitu melalui lumen kateter dan
melalui rute perikateter. Penyebab bakteri terbanyak pada
peritonitis adalah gram positif: S. epidermidis > S. aureus >
Enterococcus. Kuman S. aureus pada mukosa nasal dan kulit juga
berperan pada exit-site dan catheter-related infections pada
peritonitis. Pemeriksaan kultur cairan peritoneal dapat dilakukan
dengan mengambil 5-10 ml cairan peritoneal dan dikirim ke
laboratorium dalam waktu sesegera mungkin. Terapi antibiotik
empiris harus segera dimulai setelah terdiagnosis peritonitis. Rute
pemberian antibiotik yang dianjurkan adalah melalui
intraperitoneal. Bila didapati tanda-tanda sepsis, maka diperlukan
pemberian antibiotik intravena.
Terapi inisial antibiotik empiris harus meliputi bakteri gram-
negatif dan gram-positif. Nyeri perut biasanya berkurang dalam 48-
72 jam setelah pemberian antibiotik. Pada keadaan berat, apabila
infeksi tidak teratasi, diperlukan pencabutan kateter CAPD dan
pasien sementara dipindahkan untuk menjalani hemodialisis.
Pencegahan Peritonitis
Upaya pencegahan peritonitis dapat dimulai dengan: 1) menjaga
kedisiplinan dan kebersihan tangan pada tahap penggantian cairan
dialisat, 2) pemberian antibiotik profilaksis seperti sefalosporin
pada saat pemasangan kateter, 3) pemberian krim Mupirocin pada
exit-site yang dapat mencegah infeksi S. Aureus atau penggunaan
salep gentamicin yang terbukti mengurangi infeksi Pseudomonas
dan gram negatif pada exit-site.
 Komplikasi Non Infeksi CAPD
Komplikasi Mekanik
Adanya cairan dialisat pada rongga peritoneum meningkatkan
tekanan intra abdomen. Peningkatan tekanan intraperitoneal
berisiko menimbulkan hernia, kebocoran perikateter, kebocoran
diafragma, dan nyeri.
Komplikasi Metabolik
Absorpsi glukosa dari cairan dialisat CAPD sebanyak 500-800
kkal/hari, menyebabkan risiko hiperglikemia pada pasien CAPD
tanpa riwayat diabetes sebelumnya. Komplikasi metabolik lain,
seperti hiperlipidemia, hiponatremia, hipokalemia, hiperkalsemia,
hipermagnesemia, dan hipoalbuminemia juga dapat timbul pada
pasien yang menjalani CAPD.
Encapsulating Peritoneal Sclerosis
Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah komplikasi
yang jarang namun berbahaya, dengan insiden kumulatif dari 0,5-
4,4% yang meningkat seiring dengan lamanya menggunakan
CAPD. Insiden EPS antara 2,1-4,4% pada 5 tahun pertama, dan
5,9-19,4% pada 8 tahun CAPD. Pada kondisi ini, terjadi sklerosis
masif pada membran peritoneal, sehingga terjadi enkapsulasi
jaringan intestinal. Hal ini mengganggu fungsi saluran cerna,
gangguan motilitas, gangguan absorpsi nutrisi, ileus obstruktif,
anoreksia, dan perburukkan klinis secara progresif. Kondisi ini
dapat dilihat melalui gambaran CT scan. Belum ada terapi definitif
pada EPS. Tindakan pembedahan dapat melepas adhesi pada
intestinal, namun dibutuhkan kehati-hatian karena berisiko
menimbulkan fistula enterokutan.
2) Transplantasi Ginjal10
Transplantasi ginjal manusia adalah pengobatan pilihan untuk gagal
ginjal kronis lanjut. Di seluruh dunia, puluhan ribu prosedur ini telah
dilakukan. Ketika azatioporin dan prednison awalnya digunakan sebagai
obat imunosupresif pada 1960-an, hasil dengan donor keluarga yang cocok
lebih unggul daripada organ dari donor yang telah meninggal: 75-90%
dibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup cangkok 50-60% pada 1
tahun. Selama tahun 1970-an dan 1980-an, tingkat keberhasilan pada tanda
1 tahun untuk transplantasi donor yang telah meninggal meningkat secara
progresif. Saat ini, cangkok donor yang telah meninggal memiliki
kelangsungan hidup 1 tahun 89% dan cangkok donor hidup memiliki
kelangsungan hidup 1 tahun 95%. Meskipun telah ada peningkatan dalam
kelangsungan hidup jangka panjang, itu belum mengesankan seperti
kelangsungan hidup jangka pendek, dan saat ini harapan hidup "rata-rata"
(t1/2) dari cangkok donor hidup adalah sekitar 20 tahun dan itu cangkok
donor yang sudah meninggal hampir 14 tahun.
a) Indikasi Transplantasi Ginjal13
1) Resepien
 Indikasi:
Semua pasien penyakit ginjal kronik stadium 5, kecuali ada
kontraindikasi.
 Kontraindikasi:
 Penyakit kardiovaskular yang berat (EF <35%, penyakit jantung
katup, aritmia ventrikular).
 Keganasan, diabetes melitus dengan kegagalan organ multipel.
 Psikosis, ketidakpatuhan berobat, ketergantungan obat.
 Hepatitis kronik aktif dan sirosis hati.
 Menderita penyakit dengan harapan hidup yang
 kurang dari 5 tahun atau kualitas hidup yang rendah.
 Penyakit ginjal tertentu, antara lain glomerulosklerosis fokal
segmental, oksalosis primer, nefrolitiasis sistemik.
 Kontraindikasi Imunologik “ Antibodi ABO dan / HLA”
2) Donor
 Indikasi:
Semua individu yang berumur diatas 18 tahun atau yang sudah
menikah dapat menjadi donor ginjal kecuali terdapat
kontraindikasi.
 Kontraindikasi:
 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 75 ml/menit/1,73 m2
 Proteinuria lebih dari 300 mg/24 jam
 Hematuria mikroskopik patologis
 Batu ginjal multipel atau berulang, kista ginjal multipel
 Riwayat penyakit ginjal polikistik dalam keluarga
 Hipertensi tidak terkontrol atau dengan kerusakan target organ
 Diabetes melitus, penyakit kardiovaskular, insufisiensi paru
 Penyalahgunaan alkohol serta narkotika, psikotropika dan zat
adiktif (NAPZA)
 HIV positif, HbsAg positif kepada resipien yang negatif atau
tidak terproteksi (anti HBs negatif), hepatitis C positif kepada
resipien negatif
 Keganasan, psikosis, retardasi mental, hamil
 Kelainan neurologis berat
 Penyakit lain yang jarang, adanya Antibodi ABO dan / HLA.
b) Imunologi Penolakan10
Mekanisme efektor seluler dan humoral (diperantarai antibodi) dapat
berperan dalam penolakan transplantasi ginjal. Antibodi juga dapat
memulai suatu bentuk sitotoksisitas yang bergantung pada antibodi tetapi
diperantarai sel oleh sel penerima yang membawa reseptor untuk bagian
Fc dari imunoglobulin.
Penolakan seluler dimediasi oleh limfosit yang merespon antigen
HLA yang diekspresikan di dalam organ. Limfosit CD4+ merespon
inkompatibilitas kelas II (HLA-DR) dengan berproliferasi dan
melepaskan sitokin proinflamasi yang meningkatkan respon proliferatif
sel CD4+ dan CD8+. Prekursor limfosit sitotoksik CD8+ terutama
merespon antigen kelas I (HLA-A, -B) dan menjadi sel efektor sitotoksik.
Sel T efektor sitotoksik (“pembunuh”) menyebabkan kerusakan organ
melalui kontak langsung dan lisis sel target donor. Peran alami molekul
antigen HLA adalah menyajikan fragmen peptida antigen yang diproses
ke limfosit T, fragmen yang berada di "alur" molekul HLA distal ke
permukaan sel. Sel T dapat langsung dirangsang oleh molekul HLA
nonself utuh yang diekspresikan pada sel parenkim donor dan leukosit
donor residual yang berada di interstitium ginjal.
Selain itu, molekul HLA donor dapat diproses oleh berbagai sel donor
atau penerima yang mampu menyajikan antigen peptida dan kemudian
dipresentasikan ke sel T dengan cara yang sama seperti kebanyakan
antigen lainnya. Cara stimulasi yang pertama kadang-kadang disebut
presentasi langsung, dan mode yang terakhir presentasi tidak langsung.
Ada bukti bahwa antigen non-HLA juga dapat berperan dalam episode
penolakan transplantasi ginjal. Penerima yang menerima ginjal dari
saudara kandung yang identik dengan HLA dapat mengalami episode
penolakan dan memerlukan imunosupresi rumatan, sedangkan
transplantasi kembar identik tidak memerlukan imunosupresi. Ada
antigen non-HLA yang terdokumentasi, seperti sistem antigen spesifik
endotel dengan polimorfisme terbatas dan antigen tubular, yang masing-
masing dapat menjadi target respons penolakan humoral atau seluler.
Gambar 8. Jalur pengenalan Antigen-MHC
c) Terapi Imunosupresif13
Obat imunosupresan yang digunakan pada transplantasi ginjal terdiri
dari terapi induksi dan terapi pemeliharaan .
1) Terapi Induksi
Terapi dengan agen biologis, baik lymphocyte depleting agent atau
IL2-RA, dimulai sebelum, pada saat atau segera setelah transplantasi.
Tujuan terapi induksi: deplesi atau modulasi respon sel T pada saat
presentasi antigen, sehingga akan meningkatkan efikasi obat
imunosupresan. Dianjurkan pemakaian interleukin 2 receptor
antagonist/IL2-RA (basiliximab) sebagai terapi induksi lini pertama.
Basiliximab diberikan 20 mg (berat badan >35 kg) intravena 2 jam
sebelum operasi dan dosis kedua diberikan 20 mg intravena pada hari
ke-4 pasca operasi. Pada resipien dengan risiko imunologis yang
tinggi dianjurkan pemberian lymphocyte-depleting agent (anti-
thymocyte globulin/ATG) atau ditambahkan rituximab dan IVIG.
2) Terapi Pemeliharaan Awal
Terapi pemeliharaan imunosupresan adalah terapi jangka panjang
untuk mencegah rejeksi akut dan hilangnya fungsi graft. Terapi
dimulai sebelum atau pada saat transplantasi. Risiko rejeksi akut
paling tinggi pada 3 bulan pertama setelah transplantasi, dosis lebih
tinggi dapat digunakan selama periode ini dan diturunkan setelah
pasien stabil guna meminimalkan toksisitas.
Dianjurkan pemberian kombinasi imunosupresan sebagai terapi
pemeliharaan termasuk calcineurin inhibitor/CNI dan obat
antiproliferatif, dengan atau tanpa kortikosteroid. Obat CNI lini
pertama yang digunakan sebaiknya tacrolimus.
 Dianjurkan pemberian tacrolimus atau cyclosporin A/CsA sudah
dimulai sebelum atau saat transplantasi.
 Tacrolimus diberikan mulai dengan dosis 0,15-0,3 mg/kgbb/hari,
selanjutnya dosis pemeliharaan disesuaikan dengan kadar
tacrolimus darah dan fungsi ginjal transplan.
 Target awal kadar tacrolimus darah: 6-8 ng/ml.
 Cyclosporin diberikan dengan dosis 4-10 mg/kgbb/hari, dosis
pemeliharaan disesuaikan dengan kadar cyclosporin darah.
Metilprednisolon 500 mg intravena selama 3 hari berturut-turut
dimulai saat intraoperasi sebelum klem dilepas, kemudian dalam
waktu 24 jam dan 48 jam berikutnya diberikan dengan dosis yang
sama. Dosis steroid diturunkan mulai hari keempat menjadi 20
mg/hari setara prednison (metilprednisolon 16 mg/hari).
Dianjurkan pemakaian mycophenolate sebagai obat antiproliferatif
lini pertama.
 Mycophenolate mofetil (MMF): 1000 mg diberikan dua kali sehari.
 Mycophenolic acid (MPA): 720 mg diberikan dua kali sehari.
3) Terapi pemeliharaan jangka panjang
 Dalam 2-4 bulan pasca transplantasi sebaiknya diberikan
imunosupresan dengan dosis terendah yang tidak menimbulkan
rejeksi akut.
 Sebaiknya CNI tetap dilanjutkan pemberiannya.
 Jika menggunakan prednison dalam satu minggu pasca
transplantasi, maka pemakaiannya sebaiknya diteruskan.
4) Monitoring obat imunosupresan
Dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar CNI darah, dengan
pengukuran dilakukan setidaknya:
 Selang sehari selama periode segera pasca operasi sampai kadar
target tercapai.
 Setiap ada perubahan terapi atau kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi kadar obat dalam darah.
 Setiap ada penurunan fungsi ginjal yang menunjukkan adanya
nefrotoksisitas ataupun rejeksi.
d) Persiapan Donor14
Donor ginjal dapat diperoleh melalui donasi kadaver, dalam hal ini
ginjal diambil dari donor kadaver mati batang otak maupun yang sudah
henti jantung. Ginjal donor juga dapat diperoleh melalui donasi hidup.
Donasi hidup dari kembar identik merupakan tonggak sejarah pertama
keberhasilan transplantasi ginjal pada manusia karena tidak memerlukan
obat-obatan imunosupresan. Donasi hidup dapat diperoleh dari donor
familial seperti dari orang tua, anak atau saudara kandung, maupun donor
non familial seperti pasangan hidup atau teman.
Donasi hidup diharapkan memberikan hasil yang baik karena periode
cold ischemic yang lebih pendek dan persiapan tissue typing yang baik.
Tetapi tidak selalu seorang resepien dapat memperoleh donasi hidup.
Waktu tunggu untuk mendapatkan donasi kadaver di berbagai negara
dapat mencapai 5-6 tahun, sedangkan semakin lama seseorang menjalani
terapi dialisis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitasnya. Ginjal
donor mayat dapat berfungis sampai maksimal 30 tahun, sedangkan
ginjal donor hidup dapat mencapai 40 tahun. Kebanyakan penderita
cangkok ginjal akan membutuhkan cangkok kedua dan ketiga, atau
terpaksa kembali pada dialisis seperti sebelumnya.
Prinsip utama dalam donasi hidup adalah primum non nocere
sehingga seorang calon donor hidup perlu menjalani sejumlah evaluasi
praoperasi nefrektomi donor, berbagai aspek yang perlu dievaluasi
adalah:
1) Kemungkinan timbulnya morbiditas dan mortalitas pada donor selama
menjalani operasi
2) Kemungkinan seorang donor menularkan penyakit yang berada dalam
tubuhnya kepada resepien (malignansi dan infeksi). Ginjal yang
didonorkan mempunyai risiko tinggi kegagalan karena rekurensi sisi
resepien
3) Evaluasi praoperasi harus memastikan bahwa calon donor
transplantasi ginjal akan hidup dengan fungsi ginjal normal pasca
nefrektomi donor unilateral. Apabila ditemukan salah satu ginjal lebih
baik daripada sisi lainnya, ginjal yang lebih buruk yang akan
dinefrektomi untuk transplantasi.
4) Calon donor ginjal harus merupakan seseorang yang kompeten
memberikan informed consent. Calon donor dapat mengundurkan diri
dari partisipasinya.
5) Evaluasi yang berhubungan dengan prosedur operasi transplantasi
seperti tissue typing, BNO-IVP dan arteriografi untuk mengetahui
struktur anatomi dan jumlah arteri yang memperdarahi ginjal yang
akan dinefrektomi.
e) Persiapan Resepien
Tujuan evaluasi calon resepien pratransplantasi ginjal adalah untuk
mendiagnosis etiologi penyakit gagal ginjalnya dan risiko terjadinya
rekurensi pada ginjal transplantasi. Evaluasi ini juga dilakukan untuk
menyingkirkan terdapatnya infeksi aktif, toleransi operasi, kemungkinan
non-compliance, terdapatnya malignansi, dan penyulit teknik operasi.
Pemeriksaan sistem vaskuler diperlukan untuk memastikan
revaskularisasi yang baik bagi ginjal transplantasi, dilakukan dengan
mengguunakan angiografi atau doppler flow study.
Evaluasi urologi dilakukan untuk memastikan kandung kemih atau
reservoir lain sebagai penggantinya adekuat untuk menampung produksi
urin ginjal transplantasi dan kemungkinan diperlukannya nefrektomi
native kidney (ginjal resepien) sebelum operasi transplantasi ginjal.
Indikasi nefrektomi native kidney pasca transplantasi adalah batu
ginjal yang tidak dapat diterapi dengan teknik invasif minimal atau
litotripsi, ginjal polikistik simtomatik yang mencapai ke bawah krista
iliaka atau terinfeksi, kadar antibodi antimembran basal glomerular tetap
tinggi, proteinuria signifikan yang tidak terkontrol dengan
medikamentosa, pielonefritis rekuren, hidronefrosis grade 4-5, hipertensi
yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa.
f) Preservasi ginjal14
Tujuan preservasi organ adalah untuk memungkinkan proteksi
fungsional terhadap organ selama periode antara perfusi fisiologis oleh
sirkulasi pada donor dengan revaskularisasi pada resepien, sehingga
resepien dapat menerima organ yang viabel. Berbagai faktor yang
mempengaruhi viabilitas organ transplantasi yaitu kerusakan yang
disebabkan oleh hipoperfusi dan warm ischemia donor, cedera jaringan
yang terjadi selama periode iskemia, dan reperfusion injury yang terjadi
saat revaskularisasi pada resepien.
Warm ischemic injury terjadi akibat kegagalan fosforilasi oksidatif
dan kematian seluler akibat menurunnya ATP. Untuk menurunkan
kebutuhan metabolik ginjal selama periode pascanefrektomi dan sebelum
implantasi, ginjal donor dibuat dalam suasana hipotermia (0-4oC). suhu
dibawah 0 dihindari karena dapat menyebabkan pembentukan kristal es
intraseluler. Hipotermia akan menurunkan aktivitas enzim Na/K ATPase.
Flushing ginjal dan preservasi hipotermia merupakan teknik
sederhana preservasi ginjal. Teknik perfusi menggunakan mesin pulsatil
efektif mempreservasi melebihi 24 jam. Walaupun demikian, jenis dan
jumlah volume cairan perfusi bervariasi dan cairan perfusi/preservasi
mempunyai mekanisme proteksi yang berbeda.
g) Teknik Operasi14
1) Nefrektomi donor
Nefrektomi donor hidup dapat dilakukan dengan pembedahan
terbuka melalui insisi lumbotomi interkosta XI-XII maupun
laparoskopi. Operasi nefrektomi donor melalui laparoskopi
memberikan keuntungan bagi donor berupa kurangnya nyeri
pascaoperasi, lama waktu rawat lebih pendek, dan lebih cepat kembali
bekerja (kualitas hidup pasca operasi lebih baik). Beberapa pusat
transplantasi juga melaporkan peningkatan jumlah donor transplantasi
ginjal setelah dipergunakannya teknik nefrektomi melalui laparoskopi.
2) Teknik Klasik
Ginjal donor kiri ditransplantasikan ke fosa iliaka kanan dan ginjal
donor kanan ditransplantasikan ke fosa iliaka kiri. Anastomosis a.
renalis terhadap a. iliakan interna (a. hipogastrika) dilakukan secara
end to end dan v. renalis dianastomosiskan kepada v. iliaka eksterna
secara end to side. Setelah anastomosis vaskular dan ginjal
ditransplantasi kembali mendapatkan vaskularisasi, dilakukan
implantasi ureter ke buli-buli (ureteroneosistostomi) dengan teknik
transvesika Pollitano-Leadbetter. Komplikasi perdarahan 30%,
stenosis a. renalis pascaanastomosis 5%, stenosis ureter pasca
ureteroneosistostomi 5%, dan nekrosis ureter distal akibat tertekan
oleh salir 10%.
3) Implantasi Ginjal pada Fosa Iliaka Kanan
Keuntungan melakukan transplantasi pada fosa iliaka kanan karena
letak v. iliaka eksterna kanan lebih superfisial dibandingkan kiri
sehingga mempermudah anastomosis v. renalis kanan yang pendek ke
v. iliaka eksterna kanan. Penyulit yang mungkin timbul dengan
pemilihan fosa iliaka kanan adalah apabila terjadi kebocoran atau
nekrosis pelvis ginjal yang berasal dari sisi kanan donor, maka pada
saat eksplorasi letak pelvis ginjal tersebut tertutup oleh ginjal sendiri,
hal ini dapat terjadi pada donor kadaver.
Gambar 9. Implantasi ginjal donor ke fosa iliaka kanan
4) Anastomosis Vena
Anastomosis vena dilakukan terlebih dahulu sebelum anastomosis
arteri. Anastomosis vena terutama dilakukan pada ginjal kanan yang
vena renalisnya lebih pendek sebelum anastomosis arteri akan
mempermudah anastomosis vena karena tidak terganggu oleh a.
renalis yang telah dianastomosiskan.
Anastomosis antara v. renalis dengan v. iliaka eksterna secara end
to side tidak menimbulkan komplikasi. Apabila ditemukan dua buah
v. renalis, dapat dilakukan uji sebelum nefrektomi dengan mengklem
vena yang lebih kecil. Apabila tidak terjadi bendungan ginjal,
anastomosis cukup dilakukan pada vena yang lebih besar saja dan
melakukan ligasi pada vena yang lebih kecil tersebut. Hal ini dapat
dilakukan karena terdapat hubungan anastomosis yang luas pada vena.
5) Anastomosis Arteri
Pada hampir semua kasus dijumpai diameter a. iliaka interna lebih
besar dan lebih kaku dibandingkan a. renalis sehingga menyulitkan
pada saat dilakukan anastomosis end to end sedangkan dengan
menggunakan teknik anastomosis secara end to side antara a. renalis
dengan a. iliaka eskterna tidak dapat ditemukan kesulitan mengenai
perbedaan diameter maupun kekakuan pembuluh darah. Keuntungan
lainnya adalah waktu mengerjakannya lebih singkat dengan
perdarahan lebih sedikit karena tidak perlu mempreparasi a. iliaka
interna dan letak a. iliaka eksterna berdampingan dengan v. iliaka
eksterna. Menggunakan teknik anastomosis end to side ini tidak
ditemukan komplikasi. Apabila terdapat 2 arteri renalis dapat
dilakukan 2 buah anastomosis end to side atau menggunakan cara
double barrel yaitu kedua ujung a. renalis dianastomosiskan secara
side to side pascanefrektomi pada saat ginjal dalam cairan preservasi,
kemudian dilakukan anastomosis end to side ke a. iliaka eksterna.
Teknik Carrel’s patch hanya dapat dilakukan pada donor kadaver.

Gambar 10. Anastomosis end to side a. renalis ke a. iliaka eksterna

Gambar 11. Anastomosis a. renalis end to end ke a. iliaka interna


6) Ureteroneosistostomi
Teknik ureteroneosistostomi dengan mekanisme tunneling
antirefluksnya (teknik Pollitano-Leadbetter) sudah sangat terkenal,
tetapi teknik ini menyulitkan karena buli-buli perlu dibuka sehingga
memperbesar kemungkinan kebocoran, memerlukan waktu operasi
yang lebih lama dan lama waktu pemakaian kateter uretra
pascaoperasi lebih panjang sehingga memperbesar kemungkinan
infeksi. Teknik ureteroneosistostomi ekstravesika menurut teknik
Lich-Gregoir lebih mudah dikerjakan, juga mempunyai meknisme
antirefluks dan tidak menimbulkan kebocoran pada buli-buli.

Gambar 12. Tahapan teknik ureteroneosistostomi menurut Lich-


Gregoir
DAFTAR PUSTAKA

1. Syukri, M. Terapi Pengganti Ginjal. Dalam: Bakhtiar., Liansyah, T.M.,


Marisa., Wahyuniati, N. 2015. Proceding Temu Ilmiah: Konsep Mutakhir
Tatalaksana Berbagai Persoalan Medis. Fakultas Kedokteran Unsyiah.
Banda Aceh.
2. Ainsworth, C.R., Chung, K.K. Renal Replacement Therapy: A Practical
Approach. Dalam: Salim, E., et al. 2018. Surgical Critical Care Therapy.
Springer International Publishing. USA.
3. Tandukar, S., Palevsky, P.M. 2018. Continuous Renal Replacement
Therapy Who, When, Why, and How. Chest Journal, 18: 1-13.
4. Rully, M.A., Roesli. Terapi Pengganti Ginjal Akut (Acute Renal
Replacement Therapy). Dalam: Setiati, S., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 2015. Edisi 6. Jilid 2. Interna Publishing. Jakarta.
5. Deepa, C., Muralidhar, K. 2012. Renal replacement therapy in ICU.
Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 28(Issue 3): 386-97.
6. Bellomo, R. Renal replacement therapy. Dalam: Bernsten, A.D., Handy,
J.M. 2019. Oh’s Intensive Care Manual. Edisi 8. Elsevier. Australia.
7. Anonim. 2013. Konsensus Dialisis PERNEFRI. Edisi 1. Cetakan 1.
PERNEFRI. Jakarta.
8. Himmelfarb, J., Ikizler, A. 2010. Hemodialysis. N Engl J Med, 363:1833-
45.
9. Suhardjono. Hemodialisis; Prinsip Dasar dan Pemakaian Kliniknya.
Dalam: Setiati, S., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2015. Edisi 6.
Jilid 2. Interna Publishing. Jakarta.
10. Liu, K.D., Chertow, G.M. 2013. Dialysis in The Treatment of Renal
Failure. Dalam: Harrison’s Nephrology and Acid-Base Disorders. Edisi 2.
McGraw Hill Education.USA.
11. Lydia, A. 2020. The Role of Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis in
Equity of Kidney Replacement Therapy in Indonesia. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 7(3): 186-92.
12. Mehrotra, R., Devuyst, O., Davies, S.J., Johnson, D.W. 2016. The Current
State of Peritoneal Dialysis. J Am Soc Nephrol, 27: 1-15.
13. Anonim. 2003. Konsensus Transplantasi Ginjal Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) 2013. Edisi 1. Cetakan 1. PERNEFRI. Jakarta.
14. Umbas, R. et al. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Dalam:
Sjamsuhidajat, R. et al. de Jong Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai