Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

UNSUR – UNSUR GUGATAN


&
KOMULASI, PERUBAHAN dan PENCABUTAN
GUGATAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata Hukum Acara Perdata

Dosen:

Drs. H. Rusli R, S.H.,M.H

oleh:
KELOMPOK 4

RAHMA YULIANA

ROJANAH

Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Daar Al Ulum
Tahun Ajaran 2021 / 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang maha penagsih
lagi maha penyayang. Yang mana berkat rahmat dan karunia-Nya serta kasih
sayang yang melimpah kepada saya sehingga masih dapat diberikan kesempatan
untuk dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang diberikan kepada saya. Tak
lupa salawat beriringkan salam saya haturkan kepada nabi besar Muhammad
SAW yang mana berkat beliau lah yang telah membawa kita umat manusia dari
alam kebodohan yang tidak tahu apa-apa menuju alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Dalam hal ini ,saya bermaksud membuat makalah tentang unsur-unsur
gugatan dan komulasi, perubahan dan pencabutan gugatan yang mana dalam hal
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen ,dalam
cakupan kajian perkuliahan. Saya berharap makalah ini dapat sesuai dengan apa
yang di inginkan dan menjadi manfaat bagi yang lain baik dalam pembelajaran
perkuliahan ataupun yang lainnya.Walaupun masih banyak kekurangan
didalamnya. Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada keluarga dan sahabat-
sahabat saya yang telah banyak membantu walaupun tidak asecara lanagsung tapi
pengertian dan perhatian nya kepada saya.Sehingga makalah ini dapat selesai
tepat waktu.
Kisaran, 10 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN UNSUR UNSUR GUGATAN


A. Pengertian Gugatan ........................................................................ 5
B. Pihak-pihak dalam gugatan ............................................................ 6
C. Macam-macam gugatan.................................................................. 9
D. Teori dalam mengajukan gugatan perdata ...................................... 14
E. Formulasi dalam gugatan................................................................ 16

BAB II PEMBAHASAN UNSUR UNSUR GUGATAN


A. Bentuk- bentuk gugatan ................................................................. 17
B. Cara mengajukan perubahan gugatan............................................. 21
C. Syarat perubahan gugatan .............................................................. 23
D. Akibat hukum perubahan gugatan................................................... 25
E. Tata cara pencabutan gugatan......................................................... 26

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..................................................................................... 29
B. Saran ............................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam masarakat sering terjadi perkara-perkara perdata yang melibatkan
dua pihak atau lebih.Yang dimaksud dengan perdata, yaitu perkara sipil atau
segala perkara selain perkara kriminal atau pidana. Ketika menghadapi masalah
perdata, kita dapat mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat
(Pengadilan Negeri).
Surat gugatan perdata dibuat oleh pengacara atau kantor advokat yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Surat ini merupakan
permohonan dari pihak penggugat kepada pengadilan untuk menyelenggarakan
persidangan antar pihak penggugat dan tergugat terkait kasus yang menimpa
pihak penggugat.
Surat gugatan perdata memuat pihak penggugat dan tergugat, pihak yang
dituju (ketua pengadilan negeri), rincian permasalahan, perihal yang digugat, dan
informasi lain yang penting untuk disampaikan berkenaan dengan kasus perdata
yang dihadapi. Rincian permasalahan hendaknya dipaparkan seakurat mungkin
agar tidak terjadi kesalahpahaman.

B. Rumusan Masalah
Berawal dari latar belakang diatas,maka kami merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian gugatan ?
2. Bentuk – bentuk komulasi ?
3. Cara mengajukan gugatan ?

4
BAB II
PEMBAHASAN UNSUR – UNSUR GUGATAN
A. Pengertian Gugatan
Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua
Pengadilan yang berwenang, yang menurut tuntutan hak yang di dalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara
dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Dalam gugatan ada istilah penggugat dan tergugat. Penggugat ialah orang
yang menuntut hak perdatanya kemuka pengadilan perdata penggugat bias satu
orang/badan hukumatau lebih sehinng ada istilah penggugat I, penggugatII,
penggugat IIIdan seterusnya. Lawandari penggugat disebut tergugat.Dalam hal
tergugat ini pun bisa ada kemungkinan lebih dari satu orang/badan, sehingga ada
istilah tergugat I, tergugat II, tergugat II, dan seterusnya.Gabungan penggugat atau
gabungan tergugat disebut dengan kumulasi subjektif.Dan idealnya dalam perkara
di pengadilan ada penggugat dan tergugat. Inilah peradilan yang sesungguhnya (
jurisdiction contentiosa). Dan produk hukum dari gugatan adalah putusan
pengadilan.1
Dan dalam gugatn harus ada dasar hokum, mwnurut pasal 118 HIR dan 142
RBG, siapa saja yangmerasa hak peribadinya dilanggar oleh orang lain sehinnga
mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesekan sendiri persoalan
trsebut, maka ia dapat meminta kepada pengadlan untuk menyelesaikan masalah
itu sesuai denganhukum yang berlaku. Apabila ia menghendakicampur tangan
pengadilan, maka ia harus mengajukan surat permohonan yang ditandatangani
olehnya atau oleh kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan yang
menguasai wilayah hokum tempat tinggal lawannya atau tergugat. Jika surat
permohonan tersebut sudahditerima oleh pengadilan, maka pengadilan harus
memanggilpihakpihak yang bersengketa itu untuk diperiksa hal halyang menjadi
pokok sengketa atas dasar gugatan yang mempunyai alasan hukum.

1
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah (Jakarta:Sinar
Grafika, 2010), hlm. 3

5
Dasar hukum dalam mengajukan gugatan diperlukan untuk meyakinkan
para pihak yang terkait dengan gugatan itu bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa
hukum betul-betul terjadi tiandak hanya diada-adakan atau direkayasa.
Disamping itu, disebutnya dasar hukum dalam gugatan yang diajukan
kepada pengadilan adalah untuk mencegah agar stiap orang tidak dengan
mudahnya mengajukan gugatan kepada pengdilan, padahal kalao diteliti dengan
saksama, gugatan itu diajukan tanpa dasar hukum samasekali, sehingga apabila
dibiarkan akan menyulitkan pengadilan agama dalam pemeriksaangugatan
tersebut.
Oleh karna itu, sebelum gugatn disusun dan diajukan kepada pengadilan,
Pengggugat harus meneliti dengan saksama apakah kerugian yang diderita itu
sehingga ia menuntut hak kepengadilanmempunyai dasar hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak, apabila dasar hukum sebagai dalil gugat yang
sudah diketahui maka dengan mudahnya mengklasifikasikan, gugatan yang
disusun itu termasuk sebagaigugatan yang kategori apa,misalnya kategori
perbuatan melawan hukum sebagaimana tersebut dalam pasal 1365 B.W,,
Wanprestasi, kewarisan atau gugatan perdata lainnya.Masalahnya ini sangat
penting untuk diperhatikan di dalam menyusun gugatan perdata yang akan
diajukan kepada pengadilan.banyak gugatan yang tidak diterima karena ada
kesalahan dalam membuatnya.2

B. Pihak-pihak dalam Gugatan


Dalam Gugatan Contentiosa ataulebih dikenal dengan Gugatan Perdata,
yang berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang
berperkara. Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan
Perdata yaitu :

2
.Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 18.

6
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut
sebagai penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak penggugat maka
disebut dalam gugatannya dengan ”Para Penggugat”.

2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka pengadilan karena dirasa telah
melanggar hak penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang
digugat, maka pihak-pihk disebut : Tergugat 1, Tergugat ll, Tergugat III dan
seterusnya.

3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-
orang yang tidak menguasai barang sengketa dan tidak berkewajiban untuk
melakukan sesuatu.Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus
disertakan.
Dalam pelaksanaan putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut
menjalankan hukum yang diputus untuk Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk
terhadap isi putusan tersebut.

4. Penggugat / Tergugat Intervensi


Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata
yang ada, dalam mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses
pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.
Intervensi adalah suatu perbuatan yang hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan dalam gugatan tersebut
Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata
yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses
pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamaknan sebagai Intervensi.
Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan
oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung.Pihak

7
Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi ataupun sebagai
Tergugat Intervensi.
Menurut, pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata
Umum dan Perkara Khusus yang ddikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses
perkara yaitu voegingIntervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam
HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga Hukum ini dapat
dipergunakan dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat digunakan dengan
berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkan pasal 279 Rv dst dan pasal 70 Rv serta
sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam
hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 macam intervensi
yang dimaksud, yaitu :
a. Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk
bergabung kepada pengguagat dan tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging,
Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian
dijatuhkan putusan sela, dan apbila dikabulkan, maka dalam putusan harus
disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
b. Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak
ketiga untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada
kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang
merasa bahwa barang miliknya disengketakan /diperebutkan oleh penggugat dan
Penggugat.
Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan
sela.Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang
diperiksa bersama-sama yaitu gugata asal dan gugatan intervensi.
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak
ketiga untuk (untuk membebaskan Tergugat dan tanggung jawab kepada
penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses
pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.

8
Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberikan kesempatan para
pihak untukmenanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan
yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.

Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai penggugatharus


orang yang memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum.Begitu juga dengan
menentukan pihak Tergugat, harus mempunyai hubungan hukum dengan pihak
penggugat dalam perkara gugatan perdata yang diajukan.Kekeliruan bertindak
sebagai Penggugat maupun Tergugat dapat mengakibatkan gugatan tersebut
mengandung cacat formil.Cacat formil dalam menentukan pihak Penggugat
maupun Tergugat dinamakan Error in Personal.3

C. Macam-macam Gugatan
1. Gugatan Sederhana
Mengingat pasal 8 rv secara prinsip, gugatan wajib memuat hal-hal
sebagai berikut.
a. Identitas para pihak yang berperkara
Dalam hal ini menyangkut nama, tempat, tanggal lahir, alamat, pekerjaan,
serta kapasitasnya dalam perkara tersebut untuk dan atas nama diri sendiri, atau
untuk atas nama lembaga atau subjek hukum lain.
b. Dalil-dalil yang berisi permasalahan atau peristiwa sebagai dasar gugatan
Bagian ini memuat rumusa-rumusan permasalahan atau peristiwa hukum
yang telah terjadi. Pada pokoknya terdiri atas peristiwa nyata yang benar-benar
terjadi di antara para pihak. Misalnya mengenai dua badan hukum yang
mengadakan perjanjian pembiayaan untuk membeli mesin pabrik. Berdasarkan
uraian fakta yang terjadi diungkapkan dalil-dalil sebagai uraian yuridis.dari
peristiwa tersebut dirumuskan adanya pelanggaran hukum. Uruaian semacam ini
dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita. Menurut pasal 163 hir
sebagai mana pasal 285 rbg atau 1865 kuh perdata secara tegas menyatakan,
’’orang yang mendalilkan bahwa dirinya mempunyai hak atau guna meneguhkan

3
http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/istilah pihak-pihak dalamgugatan perdata/ss

9
haknya sendiri atau membantah suatu hak orang lain menunjuk pasa suatu
peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut’’.
c. tuntutan atau permintaandalam putusan hakim
Tuntutan adalah segala sesuatu tentang apa yang diminta atau diharapkan
penggugat kepada hakim yang berkenaan dengan gugatannya atau yang dikenal
dengan petitum. Berdasarkan dalil-dalil yang telah dipaparkan dalam posita
menuntut hakim untuk memiriksa perkara agar memberikan keputusan sesuai
dengan hak-haknya yang dilindungi undang-undang. Karena sebagai subjek
hukum pihak penggugat dalam hal ini menuntut akan hukum ditegakkan untuk
melindungi hak dan kepentingannya.

2. Gugatan Rekonpensi
Bertitik tolak kontruksi guagatan sederhana seperti sebelumnya, dalam
proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonpensi. Pengertian gugatan
utamanya disebut sebagai gugatan konpensi, sedangakan pihak tergugat dalam
kerangka mempertahankan haknya oleh karena itu undang-undang
memperkenankan untuk melakukan gugatan balik yakni gugatan
rekonpensi.Sebagaimana dalam pasal 132 a hir/pasal 157 rbg dipersilahkan
terhadap segala hal kecuali hal-hal sebagai berikut.
a. perubahan dari pihak, yakni semula pihak yang bersanggutan
bertindak untuk dan atas nama orang lain, kemudian sebagai penggugat
rekonpensi bertindak untuk dan atas nama diri sendiri.
b. perubahan kewenangan pengadilan yang mengadili perkaranya,
misalnya dalam perkara konpensinya adalah kewenangan pangadilan negeri a,
sedangkan pada perkara rekonpensinya adalah kewenangan pengadilan negeri b.
c. bertentangan dengan pokok perkara utamanaya, yang menyangkut
perselisihan pelaksanaan putusan hakim. Contohnya, dalam gugatan konpensi si a
menggugat b dalam perkara perjanjian utang piutang, kemudian b mengajukan
gugatan rekonpensi terhadap a tentang perbuatannya yang tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara lain yang telah memiliki
kekuatan eksekusi.

10
Dalam praktek kepengacaraan, materi gugatan rekonpensi pada umumnya
memilii titik kait dengan materi gugatan konpensi. Dalam proses gugatan
semacam itu terdapat penggugat asal yang juga menjadi terguat rekonpensi di satu
pihak, serta teargugat asal yang sekaligus penggugat rekonpensi di pihak lain.
Kedua perkara, yakni gugatan konpensi dan gugatan rekonpensi diperiksa
bersama-sama dan diputuskan dalam satu keputusan.Oleh karena itu, gugatan
rekonpensi hannya dapat diajukan bersamaan dengan menyerahkan jawaban
pertama atas gugatan konpensi. Gugatan rekonpensi yang diajukan bersamaan
dengan jawaban tertulis kedua (duplik), menurut pendapat mahakamah agung ri
sebagai mana tertuang dalam putusannya nomor. Reg. 346 K/Sip/1975, tanggal 26
april 1979 adalah sudah terlambat

3. Gugatan Provesionil
Biasanya, ketika gugatan diajukan ke pengadilan, pihak penggugat merasa
perlu melakukan tindakan sementara selama proses pemeriksaan pokok
perkaranya masih sedang berlangsung. Tuntutan tindakan sementara yang
dimintakan kepada hakim pemeriksa semacam itu disebut dengan gugatan
provionil.Syaratnya, materi gugatannya tidak mengenai pokok perkaranya.
Sehubungan dengan hal itu, mahkamah agung RI nomor reg. 1070 K/Sip/1975,
tanggal 7 mei 1973 menetapkan bahwa tuntutan provisionil yang menyangkut
pokok perkaranya tidak dapat diterima.
Pengajuan gugatan provisionil bersamaan dengan gugatan pokoknya, namun
hakim setelah memerhatikan dalil-dalilnya segera akan memberikan keputusan
sela tentang diterima atau tidak diterimanya gugatan provisionil itu. Gugatan
semacam itu biasanya diajuakan oleh pihak penggugat sehubungan
adanya.Misalnya, tergugat mengusai objek sengketa yang masih belum jelas
setatus hukumnya.Untuk itu, melai gugatan provisionil dimohonkan agar hakim
pemeriksa memutuskan dalam putusan selanya bahwa objek sengketa dimaksud
ditetapkan dalam setatus quo.Atas keputusan sela tersebut pihak tergugat dapat
mengajukan banding.Namun memori banding maupun kontra memori bandingnya
menjadi suatu berkas dengan berkas banding atas putusan akhir.

11
4. Gugatan Insidentil
Sesuai dengan istilahnya, gugatan insidentil dapat diajukan oleh pihak-
pihak yang berperkara dalam kerangka untuk mempertahankan haknya, yaitu
dengan cara memasukkan pihak ketiga kedalam perkara yang tengah diperiksa.
Prosedurnya, pihak tergugat mengajukan permohonan itu kepada hakim
pemeriksa, baik secara lisan atau tertulis pada saat menyerahkan jawaban
pertamanya.Atas permohonan tersebut pihak tergugat dapat mengajukan banding,
namun memori banding maupun kontra memori bandingnya menjadi satu berkas
dengan berkas banding atas putusan akhir.Yang termasuk dalam pengertian
gugatan insidentil adalah sebagai berikut.
a. Gugatan Jaminan (Vrijwaring)
Gugatan jaminan adalah tindakan hukum yang dilakukan tergugat dengan
menarik pihak ketiga pada saat proses pemeriksaan pokok perkaranya sedang
berlsngsung. Pihak tergugat bersamaan dengan penyerahan jawaban pertamanya,
baik secara tulisan atau tertulis mengajukan permohonan kepada majelis hakim
pemeriksa untuk dikenakan menarik pihak ketiga demi melindungi
kepentingannya.Bila hakim pemeriksa dapat menerima alasan-alasan tergugat,
selanjutnya pihak ketiga yang bersangkutan dipersilakan mengajukan berkas
tertulis tentang jaminan (vrijwaring) sesuai dengan permohonan tergugat. Seperti
halnya susunan surat gugatan, redaksional tentang jaminan ini pun harus memuat
dalil-dalil yang memiliki kaitan dengan pokok perkaranya serta apa tuntutannya.
Gugatan jaminan dapat terjadi, misalnya seseorang bernama A menjual
barang kepada B. Menurut pasal 1492 KUH Perdata, wajib bagi B untuk
menjamin terhadap A atas segala sesuatu berkenaan dengan barang yang dijualnya
tersebut dari gangguan pihak ketiga. Bila ternyata kemudian ada gugatan dari
pihak ketiga terhadap B, tentu saja B dapat menarik A dalam perkara itu untuk
memberikan jaminan. Dalam gugatan semacam ini posisi tergugat menjadi
penggugat dalam jaminan (vrijwaring), sedangkan pihak ketiga berkedudukan
sebagai tergugat dalam jaminan (vrijwaring).

12
b. Gugatan Intervensi
Gugatan intervensi adalah tindsksn pihak ketiga yang masuk kedalam
perkara yang tengah dalam proses pemeriksaan. ada dua macam gugatan
intervensi yakni sebagai berikut.
b. Tussemkomst
Pengertian tussemkomst adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan pihak
ke tiga dalam proses pemeriksaan perkara yang tengah berlangsung. Tindakan
hukum pihak ketiga dimaksud adalah atas kehenddak dan kemauan sendiri dalam
upaya membela kepentingannya yang terancam dengan adanya sengketa kedua
pihak di pengadilan. Untuk itu,yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan gugatan tussemkomst,yang model dan struktur paparannya seperti
mengajukan gugatan sederhana. Untuk permohonan ini hakim pemeriksa perkara
akan memeriksa lebih dahulu perkaranya, sebelum memeriksa pokok perkara.
Oleh karna itu, hakim akan memeberikan putusan sela.
Seperti halnya pengajuan gugatan sederhana, penggugat tussemkomst
memiliki beban kewajiban membuktikan dalil-dalil tersebut berkaitan dengan
tindakan hukumnya.Oleh karena itu, harus disiapkan pula bukti-bukti tertulis
maupun bukti keterangan saksi untuk meneguhkan dalil gugatan tussemkomst-
nya. Selanjutnya hakim pemeriksa perkara memutuskan dalam putusan selanya,
apakah dapat menerima ataumenolak permohonan gugatan semacam itu.atas
putusan sela tersebut, baik penggugat asli, tergugat asli, maupun penggugat
tussemkomst dapat mengajukan banding. Namun, pemeriksaan berkas perkara
banding tersebut akan diperiksa bersamaan dengan berkas putusan akhir atas
pokok perkaranya. Dengan kata lain, agar pemeriksaan pokok perkaranya tidak
terhenti karena adanya permohonan banding atas putusan sela gugatan
tussemkomst dimaksud , maka berkas banding tidak serta merta dikirimkan ke
pengadilanbanding seketika setelah pihak yang mengajukan menandatangani
risalah banding di kepaniteraan pengadilan negari.
c. voeging atau partijen
Berbeda dengan pengertian sebelumnya, intervensi model voeging atau
partijen terjadi manakala permohonan keterlibatan pihak ketiga ke dalam perkara

13
yang masih dalam proses pemeriksaan. Tindakan hukum seperti itu dilakukan
demi kepentingan pihak ketiga sendiridan atau sekaligus menyelamatkan
kepentingan salah satu dari para pihak yang tengah berperkara. Oleh karena itu,
surat gugatan voeging atau partijen pihak ketiga meminta kepada hakim
pemeriksa perkara agar diperkenankan berada secara bersama-sama dalam suatu
pihak, baik di pihak penggugat atau tergugat, untuk melawan pihak lainnya.
Seperti halnya pada intervensi tussemkomst, hakim pemeriksa perkara dalam
hal ini juga akan memberikan putusan sela yang isinya apakah dapat menerima
atau menolak permohonan gugatan semacam itu. Atas putusan sela tersebut, baik
penggugta asli, tergugat asli, maupun penggugat voeging atau partijen dapat
mengajukan banding. Namun, pemeriksaan berkas perkara seperti itu akan
diperiksa bersamaan dengan berkas putusan akhir pokok perkaranya di tingkat
banding. Dalam kalimat lain, dengan maksud agar pemeriksaan pokok perkaranya
tidak terhenti oleh upaya banding atas putusan sela gugatan voeging atau partijen
dimaksud, maka berkas banding tidak semerta-merta dikiramkan ke pengadilan
banding seketika setelah pihak yang mengajukannya menandatangani risalah
banding di kepaniteraan pengadilan negeri.4

D. Teori Prosedur Mengajukan Gugatan Perdata


1. Teori-teori dalam membuat gugatan
Dalam HIR dan R.Bi tidak disebutkan secara tegas dan rinci tentang
bagaimana seharusnya syarat gugat disusun. Oleh karena itu orang bebas
menyusun dan merumuskan surat gugatannya asal cukup memberikan keterangan
tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan. Bagaimana surat gugatan
itu akan disusun, hal ini sangat tergantung dari selera masing-masing pembuatnya
dan tergantung pula dari duduknya perkara yang dialami oleh orang yang
membuat surat gugat itu. Dalam praktik peradilan dewasa ini, orang (advokat atau
pengacara) cenderung menuruti syatar-syarat yang ditentukan dalam pasal 8 ayat
(3) RV yaitu surat gugat harus dibuat secara sistematis dengan unsur-unsur
identitas para pihak, dalil dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang

4
Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang: Bayumedia, 2010). 30

14
merupakan dasar dari gugatan serta petitum atau apa yang diminta/dituntut.
Dalam hukum acara perdata dikenal 2 teori tentang cara menyusun gugatan
kepada pengadilan yaitu:
a. Substaniering theorie
Teori ini menyatakan bahwa gugatan sw lain harus menyebutkan peristiwa
hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata
yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut.
b. Individualiserings theorie
Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-
peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukan adanya hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang
mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. Sejarah
terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak milik atas benda itu tidak perlu
dimasukkan dalam gugatan, karena hati itu dapat dikemukakan dalam persidangan
dengan disertai bukti-bukti seperlunya (Sudikno Mertokusumo,1979:31-32 dan
Ridwansyahrani, SH.,1988: 22).5
Sehubung dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia sekarang
adalah sis HIR dan R.Bg, maka penggugat bebas merumuskan surat gugatannya,
asalkan saja surat gugatan tersebut mencakup segala hal yang berhubungan
drngan kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Apabila surat gugat
kurang jelas maka berdasarkan pasa l119 HIR dan pasal 143 R.Bg, ketua
pengadilan dapat memberikan petunjuk kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatamnya. Mahkamah Agung RI dalam sebuah putusan tanggal 15 maret 1972
no.547k/sip/1972 menyatakan bahwa oleh karena HIR dan R.Bg tidak mentukan
syarat-syarat tertentu dalam isi surat gugat, maka para pihak bebas menyusun dan
merumuskan gugatan tersebut asalkan cukup memberikan gambaran tentang
kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.

5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm.25

15
E. Formulasi Gugatan
Menurut pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan secara tertulis oleh
penggugat atau kuasanya. Bagi yang buta huruf dapat mengajukan gugatan secara
lisan. Surat gugatan harus memuat 3 hal:
1. Identitas para pihak (persona standi inyudicio), seperti nama lengka
gelar, julukan, bin/binti, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya
sebagai pengguagat atau tergugat.
2. Posita/positium (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi
antara kedua belah pihak). Dari posita inilah penggugat mengajulan gugatan,
tanpa posita yang jelas dapat berakibat gugatannya dinyatakan gugatan tidak dapat
diterima karena termasuk kabur (obscuurlibel). Karena itu, dalam membuat posita
dalam surat gugatan hendaknya jelas, singkat, kronologis, tepat, dan terarah.
3. Petita/petitum (isituntutan). Petita dapat bersifat alternatif, dalam
arti hanya 1 gugatan yang diajukan dan ada pula yang bersifat kumulatif, yaitu
penggugat mengajukan lebih dari 1 gugatan, misalnya seorang istri mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan agama, secara bersamaan ia juga mengajukan gugatan
tentang hadhanah (hak asuh anak), biaya nafkah anak, dan harta gono gini.6

6
Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang: Anggota IKAPI Jatim, 2007).

16
BAB II
PEMBAHASAN KOMULASI, PERUBAHAN dan PENCABUTAN
GUGATAN
A. Bentuk – Bentuk Kumulasi

Kumulasi Gugatan Perceraian Dengan Harta Bersama Kumulasi gugatan


atau samenvoeging van vordering merupakan penggabungan beberapa tuntutan
hukum ke dalam satu gugatan atau penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum
ke dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu.7

Adapun bentuk-bentuk kumulasi baku dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kumulasi Subyektif

Kumulasi subyektif merupakan penggabungan beberapa subyek hukum,


bisa terjadi seorang penggugat mengajukan gugatan kepada beberapa orang
tergugat atau sebaliknya beberapa orang penggugat mengajukan gugatan kepada
seorang tergugat, dengan syarat antara subjek hukum yang digabungkan itu ada
koneksitas.8 Keikutsertaan atau campur tangan pihak lain dalam suatu perkara
dapat terjadi dalam bentuk lain yang disebut dengan interventie dan vrijwaring.
Ada dua bentuk interventie yakni menyertai (voeging) dan menengahi
(tussenkomst).

b. Kumulasi Obyektif.

Yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam suatu perkara sekaligus.


Penggugat dalam mengajukan gugatan ke pengadilan tidak hanya mengajukan
satu tuntutan saja tetapi disertai dengan tuntutan lain yang sebenarnya dapat
diajukan secara tersendiri terpisah dari gugatan yang diajukan. 9 Penggabungan
gugatan cerai dan harta bersama dibolehkan dengan syarat harus ada koneksitas
satu sama lain. Untuk mengetahui apakah ada koneksitas atau tidak dapat dilihat

7
M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 102.
8
Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada
Media, Jakarta, h 27.
9
Sudikno Mertokusumo, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h 42.

17
dari sudut kenyataan atau fakta. Apabila ada koneksitas, penggabungan itu akan
mempermudah jalannya acara persidangan, hal ini dapat menghindarkan
keputusan yang saling bertentangan dan dapat menghemat biaya dan tenaga serta
waktu.

Tujuan diterapkannya komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan


proses dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan. 10 Penyederhanaan
proses ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan.11 Ketentuan yang mendasari gugatan kumulasi diatur
dalam Pasal 66 ayat (5) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur gugatan
percerian oleh isteri. Pasal tersebut menyatakan bahwa Permohonan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat
diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.12 Sedangkan ketentuan dalam sub bab cerai talak juga mengatur
kumulasi gugatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat (1) yang
menyatakan bahwa Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan
harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.13

Penjelasan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan


bahwa hal tersebut demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Sederhana yaitu pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Biaya ringan maksudnya biaya
perkara dapat terpikul oleh rakyat. Cepat dalam artian dapat dilakukan
penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangan serta
diputus dalam satu putusan, namun tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan.

10
Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, h
29
11
Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h 104.
12
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
13
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

18
Ada beberapa pertimbangan pengajuan gugatan kumulasi selain persoalan
efisiensi pemeriksaan perkara yaitu adanya kekhawatiran dari pihak isteri ketika
terdapat pengajuan permohonan talak dari suami di mana suami terlihat lebih
dominan dalam penguasaan harta bersama, sementara isteri pada saat terjadinya
konflik rumah tangga kadangkala tidak berada dalam satu rumah melainkan
berada di rumah lain atau berada di rumah orang tuanya karena sudah terjadi pisah
ranjang antara keduanya. Pengajuan kumulasi gugatan yang walaupun tidak
diajukan oleh suami dalam permohonan talak juga dapat dilakukan isteri selaku
termohon dalam bentuk gugatan rekonpensi dimana posisi isteri adalah sebagai
penggugat rekonpensi. Segi madaratnya maka dapat terhindar dari penguasaan
harta yang lebih dominan pada lakilaki ketika terjadi perceraian.

Beberapa alasan kumulasi gugatan ini justru dianggap terlalu lama dan
menimbulkan banyak permasalahan dalam praktik acaranya (hukum acara) antara
lain karena:

1. Gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 68 ayat (2)/80


ayat (2) UU No, 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006),
sedangkan perkara kebendaan (harta bersama) dilakukan dengan sidang yang
terbuka untuk umum.

2. Pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan


syiqaq memerlukan kesaksian keluarga atau orang dekat dengan kedua pihak
(Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3
tahun 2006), sementara kesaksian yang demikian untuk pembuktian harta bersama
bertentangan dengan Pasal 145 HIR/172 RBg.

3. Jika dalam proses perkara diputus dengan verstek (tergugat tidak pernah
hadir, dan telah dipanggil dengan cara sah dan patut), lalu diberitahukan bukan
kepada pribadi/ in person tetapi melalui Lurah/Kepala desa, maka perhitungan
kesempatan untuk mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukun
tetap (BHT) berbeda antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama.
Sedangkan perceraian terhitung sejak Pengadilan memperoleh kekuatan hukum

19
tetap (Pasal 81 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No.
3 thn 2006), yaitu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan verzet (perlawanan)
masih terbuka ketika akan melakukan eksekusi yaitu sampai hari ke-8 (delapan)
setelah anmaning/peneguran.

4. Kemungkinan terjadi penggunaan hukum banding, kasasi ataupun


peninjauan kembali dalam perkara gugatan perceraian oleh pihak lainnya, hanya
karena ketidakpuasan atas putusan tentang harta bersama sehingga persoalan
utama yaitu perceraian akan ikut berlarut pula penyelesainnya.

5. Meskipun persoalan harta bersama tidak menjadi soal, namun kadangkala


ditemukan ketidakpuasan salah satu pihak untuk tidak mau menerima putusan
perceraiannya karena adanya itikad tidak baik untuk menunda-nunda perceraian
demi menghalangi kepentingan pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan
menikah lagi dan lain sebagainya.

6. Berdasarkan praktik selama ini pandangan para hakim terbelah menjadi


dua, satu sisi mengabulkan dan satu menolak kumulasi gugatan. Pasal 86 ayat 1
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditafsirkan secara ekstensif. Penafsiran
eksensif adalah metode interpretasi yang membuat penafsiran melampaui batas
yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.14 Pertama dapat berarti “boleh” dan
kedua, dapat berarti “tidak boleh”. Berdasarkan pengertian yang pertama, hakim
kadangkala untuk mencegah berlarut-larutnya perkara dan berdasarkan
pemeriksaan dipandang bahwa perkawinan kedua pihak tidak da pat
dipertahankan, hakim menempuh ijtihad berdasarkan kepentingan mudlarat salah
satu pihak yang akan segera melangsungkan perkawinan (memenuhi hajat. Dalam
hal ini hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah atau kepentingan mendesak
salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya. Berdasarkan
pengertian yang kedua, alasan majelis hakim tidak menerima kumulasi gugatan,
sebab justru penyelesaianya akan memakan waktu lama dan berlarut-larut

14
Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media,
Jakarta, h. 281

20
sehingga bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya
ringan.

7. Penyelesaian kumulasi yang berakibat berlarut-larutnya perkara,


menimbulkan dampak sosial antara lain terjadinya nikah di bawah tangan. Hal ini
terjadi karena para pihak tidak dapat segera melangsungkan perkawinan secara
sah akibat harus menunggu putusan gugatan harta bersama yang dibarengkan
dengan gugatan perceraiannya. Perkawinan di bawah tangan sebelum adanya
putusan cerai ini mengakibatkan terjadinya poligami liar yang memunculkan
problem sosial baru, atau lebih buruk adalah apabila perkawinan di bawah tangan
ini dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang berarti telah terjadi poliandri
sebab secara hukum masih terikat oleh perkawian dengan suaminya yang lama.
Banyaknya dampak sosial negatif yang terjadi akibat lamanya penyelesaian
perkara cerai yang diputus bersamaan dengan gugatan lain, maka penyelesaian
kumulasi gugatan justru tidak sejalan dengan filosofi diadakannya asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan

B. Cara Mengajukan Perubahan Surat Gugatan

Perubahan gugatan dapat dilakukan dengan renvoi (pembetulan/perbaikan


tambahan) yang dilakukan di hadapan hakim di muka persidangan. Hal ini
sesuai ketentuan Pasal 127 Rv yang menyebutkan: Penggugat berhak untuk
mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa
boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.15 Selain itu, terkait dengan
perubahan gugatan, dapat merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No.
209K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 dalam Kompilasi Kaidah Hukum Putusan
Mahkamah Agung yang disusun oleh M. Ali Boediarto, hal. 25, yang mana
menyebutkan: Perubahan surat gugatan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan
dengan asas hukum acara perdata yaitu sepanjang tidak bertentangan atau

15
Hukum Online.Com, Bisakah Mengubah Gugatan Jika Salah Nama Tergugat,
16
H Yahya. Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan) Jakarta, Sinar Grafika, Hal 95

21
tidak menyimpang dari kejadian materiil yang diuraikan dalam surat gugatan
penggugat tersebut.

Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Agung No. 454K/Sip/1970, tanggal 11


Maret 1971 dalam Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung yang
disusun oleh M. Ali Boediarto, hal. 26, menyebutkan: Perubahan surat gugatan
perdata yang isinya tidak melampaui batas-batas materi pokok gugatan dan
tidak akan merugikan tergugat dalam pembelaan atas gugatan penggugat
tersebut, maka hakim boleh mengabulkan perubahan tersebut.

Terkait perubahan gugatan, Yahya Harahap menyebutkan mengenai batas


waktu pengajuan perubahan gugatan: 16

1. Sampai saat perkara diputus

Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv
yang menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai
saat perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung, penggugat berhak
melakukan dan mengajukan perubahan gugatan.
2. Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama

Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari
sidang pertama, ditegaskan dalam buku pedoman yang diterbitkan Mahkamah
Agung (Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan, hal. 123). Selain
harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir.

Ditinjau dari segi hukum, perubahan gugatan bermaksud untuk


memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak
realistis membatasinya hanya pada sidang hari pertama. Terkadang perbaikan
atau perubahan itu, baru disadari setelah tergugat menyampaikan jawaban. Oleh
karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA itu, dianggap terlampau
restriktif. Sangat menghambat hal penggugat melakukan perubahan gugatan.

16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hal 94

22
3. Sampai pada tahap Replik-Duplik

Barangkali batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak


dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai
tahap replik-duplik berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya,
misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 546 K/Sip/1970.

Pada prinsipnya, perubahan gugatan hanya dapat dilakukan sepanjang


memenuhi ketentuan formil yaitu batas waktu pengajuan tagihan (di
antaranya: sampai batas tahap Replik-Duplik); Selain itu, perubahan gugatan
juga harus memenuhi ketentuan materil yaitu:

1. Tidak bertentangan dengan pokok gugatan;

2. Tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari kejadian materiil yang


diuraikan dalam surat gugatan penggugat.

C. Syarat Perubahan Gugatan

Walaupun penyusunan surat gugatan sudah dilakukan secara cermat dan


teliti, namun kadang kala dapat dirasakan adanya kekeliruan dan kekurangan,
sehingga bagi Penggugat perubahan gugatan sangat diperlukan untuk
menghindari putusan hakim yang menolak gugatannya atau gugatanya
dinyatakan tidak dapat diterima.

Disatu sisi perubahan gugatan mengguntungkan bagi Penggugat, dilain sisi


dapat merugikan pihak Tergugat. Oleh karena itu, dalam hal terjadi perubahan
gugatan sudah sewajarnya apabila kepentingan Tergugat harus diperhatikan,
sehingga Tergugat tidak dirugikan.17

HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang mengatur


adalah Rv. Pasal 127 Rv ditentukan bahwa perubahan gugatan sepanjang
pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah dan menambah petitum. Pasal

17
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan ), Jakarta, Sinar
Grafika, 2011, Hal 122

23
127 Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan. Meskipun
demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan
pengajuan perubahan. MA dalam buku pedoman yang diterbitkannya, memuat
persyaratan formil.18

1. Pengajuan Perubahan pada Sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat

Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang


menyatakan:

a. Diajukan pada hari sidang pertama, dan

b. Para pihak hadir

Memperhatikan ketentuan tersebut, penggugat tidak dibenarkan


mengajukan perubahan gugatan:

a. Di luar hari sidang, dan

b. Juga pada sidang yang tidak dihadiri tergugat : Syarat ini


beralasan, demi melindungi kepentingan tergugat membela diri. Jika
perubahan dibenarkn di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat; dianggap
sangat merugikan kepentingan tergugat.

2. Memberi Hak kepada Tergugat Menanggapi

Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan :

a. Menanyakan kepada tergugat tentang peubahan itu,

b. Serta memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi dan


membela kepentingannya.

18
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hal 94

24
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Subekti, yang
menyatakan, bahwa pemberian kesempatan kepada tergugat membela diri bukan
menjadi syarat formil.

3. Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan

Syarat ini dikemukakan Asikin dalam cacatan perkara No. 943


K/Pdt/1984. Ditegaskan, kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara
pemeriksaan perkara. Syarat ini dapat disetujui, meskipun agak sulit
mengontruksikannya secara konkrit. Akan tetapi secara umum dapat
dikemukakan, apabila perubahan itu sedemikian rupa, sehingga hakim
memperkirakan, secara objektif perubahan mengakibatkan proses tahap replik-
duplik yang sudah berlangsung terpaksa diperpanjang, perubahan dikategorikan
mempersulit dan menghambat jalannya pemeriksaan. Akan tetapi perlu diingat,
syarat ini harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.

D. Akibat Hukum Perubahan Surat Gugatan

Gugatan dalam perkara perdata merupakan hal yang utama dan menjadi
titik tolak dalam pemeriksaan sebuah perkara. Sebagai sebuah dokumen hukum
tentulah sebuah gugatan tidak bisa dibuat dan disusun dengan sembarangan.
Meskipun demikian tidak jarang terjadi, sebuah gugatan didaftarkan belum
disusun dengan sempurna meskipun secara formal sudah memenuhi syarat.
Sehingga setelah gugatan didaftarkan diawal persidangan perkara perdata bisa
terjadi penggugat melakukan perubahan atas gugatan yang sudah didaftarkan
sebelumnya sidang pertama digelar.

Bahwa HIR dan RBG tidak mengatur mengenai perubahan gugutan dan
dalam praktek selama ini hanya didasarkan pada Pasal 127 Rv dan Jurisprudensi.
Menurut ketentuan Pasal 127 RV perubahan gugatan tidak boleh mengubah
atau menambah pokok gugatan.Berdasarkan ketentuan Pasal 127 Rv, tersebut
ternyata para Pengugat telah melakukan perubahan dan menambah pokok

25
gugatan (kejadian formil), sehingga menyebabkan perubahan kejadian materil
dari gugatan sebelum perubahan.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1973 menyatakan: perubahan


gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan tentang pokok
gugatan, oleh karena itu harus ditolak. Dalam hubungan ini dari perubahan
gugatan yang misalnya sampai 80% telah dilakukan perubahan pokok
gugatan,sebenarnya boleh disebut bukan lagi termasuk dalam kategori
perubahan gugatan, apalagi perubahan yang dilakukan termasuk apa yang
dituntut penggugat. Dalam konteks ini perubahan gugatan yang diperkenankan
hanyalah terhadap hal-hal yang tidak prinsipil seperti perubahan nomor surat,
salah ketik dan lain sejenisnya. Karena itu jika terjadi perubahan gugatan
secara signifikan dan apalagi sudah menyentuh perubahan atas substansi
gugatan dan apa yang dituntut, perubahan gugatan seperti itu seharusnya gugatan
penggugat di tolak atau dinyatakan tidak diterima oleh hakim karena perubahan
gugatan tidak boleh merugikan kepentingan tergugat. Sekaligus perubahan
gugatan yang hampir menyeluruh bisa dipandang sebagai bertentangan dengan
hukum acara yang berlaku. Persoalannya kemudian adalah sejauh mana penilaian
hakim atas perubahan gugatan itu sebagai perubahan yang sudah menyangkut
materi pokok perkara.

E. Tata Cara Pencabutan Gugatan


Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses
berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Alasan pencabutan
gugatan sangat bervariasi, alasan pencabutan gugatan disebabkan gugatan yang
diajukan tidak sempurna atau dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan
bertentangan dengan hukum dan sebagainya.

Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten


Govesten (“RBg”) tidak mengatur ketentuan mengenai pencabutan gugatan.
Landasan hukum untuk pencabutan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 271 dan
Pasal 272 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Pasal 271 Rv mengatur bahwa

26
penggugat dapat mencabut perkaranya tanpa persetujuan tergugat dengan syarat
pencabutan tersebut dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawabannya.

Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv.
Pasal 272 Rv mengatur beberapa hal mengenai pencabutan gugatan, yaitu :

a. Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan

Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan adalah penggugat sendiri


secara pribadi, hal ini dikarenakan penggugat sendiri yang paling mengetahui hak
dan kepentingannya dalam kasus yang bersangkutan. Selain penggugat sendiri,
pihak lain yang berhak adalah kuasa yang ditunjuk oleh penggugat. Penggugat
memberikan kuasa kepada pihak lain dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 123
HIR dan di dalam surat kuasa tersebut dengan tegas diberi penugasan untuk
mencabut gugatan.

b. Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa dilakukan dengan


surat

Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa mutlak menjadi hak
penggugat dan tidak memerlukan persetujuan dari tergugat. Pencabutan gugatan
dilakukan dengan surat pencabutan gugatan yang ditujukan dan disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”). Setelah menerima surat pencabutan
gugatan, Ketua PN menyelesaikan administrasi yustisial atas pencabutan.

c. Pencabutan gugatan atas perkara yang sudah diperiksa dilakukan dalam


sidang

Apabila pencabutan gugatan dilakukan pada saat pemeriksaan perkara sudah


berlangsung, maka pencabutan gugatan harus mendapatkan persetujuan dari
tergugat. Majelis Hakim akan menanyakan pendapat tergugat mengenai
pencabutan gugatan tersebut. Apabila tergugat menolak pencabutan gugatan,
maka Majelis Hakim akan menyampaikan pernyataan dalam sidang untuk
melanjutkan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan

27
memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan dalam berita acara sidang,
sebagai bukti otentik atas penolakan tersebut. Apabila tergugat menyetujui
pencabutan, maka Majelis Hakim akan menerbitkan penetapan atas pencabutan
tersebut. Dengan demikian, sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai
dan Majelis Hakim memerintahkan pencoretan perkara dari register atas alasan
pencabutan.

Pasal 272 Rv juga mengatur mengenai akibat hukum pencabutan gugatan,


antara lain:

a. Pencabutan mengakhiri perkara

Pencabutan gugatan bersifat final, artinya sengketa diantara penggugat dan


tergugat telah selesai.

b. Para pihak kembali kepada keadaan semula

Pencabutan gugatan menimbulkan akibat bagi para pihak yaitu demi hukum
para pihak kembali pada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum gugatan
diajukan, seolah-oleh diantara para pihak tidak pernah terjadi sengketa.
Pengembalian kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk penetapan
apabila pencabutan terjadi sebelum perkara diperiksa. Selain itu pengembalian
kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk amar putusan apabila
pencabutan terjadi atas persetujuan tergugat di persidangan.

c. Biaya perkara dibebankan kepada penggugat

Pihak yang mencabut gugatan berkewajiban membayar biaya perkara.


Ketentuan ini dianggap wajar dan adil karena penggugat yang mengajukan
gugatan dan sebelum PN menjatuhkan putusan tentang kebenaran dalil gugatan,
penggugat sendiri mencabut gugatan yang diajukannya.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, makakami dapat menyimpulkan bahwa sesuai
dengan makalah “Gugatan” kami menyimpulkan bahwa ada beberapa macam
gugatan dan dalam membuat suatu gugatanterdapat syarat-syarat yang harus
terpenuhi di dalamnya.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan makalah ini,tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya.karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Kami berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna
bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Manan Abdul, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata, Jakarta : Kencana

Soeroso, 2010, Yurisprudensi Hukum Acara perdata, Jakarta : Sinar Grapik

Mono Henny, 2010, Peraktik Peperkara Perdata, Malang : Bayumedia

Subekti, Tjitrosudibio, 2013, Hukum Perdata, Jakarta : persero

Mardani, 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah
: Jakarta : Sinar Grafika

30

Anda mungkin juga menyukai