Anda di halaman 1dari 3

TUGAS KEPEMIMPINAN DAN BERFIKIR SISTEM

Pembimbing :

Dr. Wayan Aryawati, SKM., M.Kes

Kelompok E1

Feti Sugiarti (21420032)

Novita Putri (21420055)

Elsa Rizki L (21420025)

Farah Ulya S (21420029)

Alwa Ayu A (21420011)

Govindha Putri (21420091)


Krisis Ekonomi Indonesia

Maju menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada 20 Mei 1998,


Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden
menghadapi pekerjaan rumah yang besar: Salah satunya adalah keadaan ekonomi
yang porak poranda yang berdampak pada hilangnya kepercayaan publik pada
pemerintah. Krisis keuangan global 1997 1998. Popular disebut “krismon” atau krisis
moneter. Bermula dari Thailand, kemudian menyebar cepat ke negara-negara
tetangga. Dari Indonesia, Korea Selatan, dan hingga Malaysia, krisis keuangan Asia
ini menjadi krisis global ketika fenonena yang sama kemudian juga menghantam
Rusia dan Brasil pada 1999, serta disusul Argentina dan Turki pada 2001.

Di Indonesia sendiri diawali jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Bank-
bank kehabisan modal karena banyak kredit macet. Sesuai resep IMF, situasi ini
berbuntut lahirnya kebijakan penutupan 16 bank swasta nasional. Namun sialnya
kebijakan ini ternyata malah berdampak pada kondisi ekonomi yang kian memburuk.
Merujuk artikel Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1997-1999yang diterbitkan
Bank Indonesia, kala itu depresiasi rupiah bahkan mencapai hingga 600% dalam
kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari Rp2.350 menjadi Rp16.650 per 1 USD.
Depresiasi terhadap nilai tukar rupiah ini bukan saja berakibat pada terjadinya
kelangkaan likuiditas, laju inflasi impor karena kenaikan tajam kurs dolar, dan, lebih
dari itu, akhirnya juga berdampak pada kemacetan sektor riil berupa penutupan
pabrik-pabrik yang bahan bakunya impor.

Tentu saja, situasi ini memiliki dampak sangat buruk terhadap roda
perekonomian, dan sedikit banyak membawa trauma tersendiri. Dan yang terjadi di
Indonesia ialah yang paling buruk dibandingkan negara lain. Untuk mengatasi krisis
ekonomi, pemerintahan BJ Habibie mengambil beberapa kebijakan penting. Di
bidang moneter, dimulai dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar,
menaikkan suku bunga Sertifikat BI menjadi 70% dan menerapkan bank sentral
independen. Di bidang perbankan, diterbitkan obligasi senilai Rp. 650 triliun untuk
menalangi perbankan, menutup 38 bank dan mengambil alih tujuh bank. Di bidang
fiskal, sejumlah proyek infrastruktur dibatalkan, juga perlakuan khusus bagi mobil
nasional, dan membiayai program Jaring Pengaman Sosial. Sedangkan di bidang
korporasi, utang swasta direstrukturisasi melalui skema Indonesian Debt
Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta, serta menghentikan praktek
monopoli yang selama ini dilakukan Bulog dan Pertamina.

Namun bersama itu tentu saja juga ada banyak pelajaran penting bisa disimak.
Antara lain, kini pengawasan terhadap likuiditas sektor perbankan telah diatur secara
ketat dan transparan. Ada regulasi yang mengatur kewajiban rasio ketercukupan
likuiditas bagi perbankan.

Anda mungkin juga menyukai