Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

SYOK HIPOVOLEMIK EC DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh:

dr. …….

Pendamping:

dr. ……..

dr.......

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT ………

2020-2021
LAPORAN KASUS

Identifikasi
Nama : Nn. WDW
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
MRS : 7 Oktober 2021
No RM : 00253807

Autoanamnesis
• Keluhan Utama : demam sejak 3 hari SMRS
Seorang perempuan masuk rumah sakit dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Os
mengeluh demam langsung tinggi dengan suhu 40. Keluhan tambahan batuk (-) pilek (-)
sakit kepala (-), mual (+), muntah (+) dengan frekuensi 4 kali.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat kontak dengan pasien COVID (-)
 Riwayat Vaksin Covid 1x

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan
Tidak ada riwayat pengobatan
Riwayat Alergi
Os tidak memiliki alergi terhadap makanan, cuaca lingkungan maupun obat-obatan

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Pernafasan : 22 x/menit
Nadi : 115 x/menit
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Suhu : 36.5 ºC

Keadaan Spesifik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), skar (-), ikterus pada kulit (-), pucat pada telapak tangan
dan kaki (-), eritema palmar (-), Ptekie (-)
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak
ada nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformasi (-).
Mata
Eksoftalmus dan endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera
ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Edema
subkonjungtiva (-).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak
ditemukan penyumbatan maupun perdarahan.
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus(-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), hipertofi ginggiva (-), gusi
berdarah(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau napas khas (-), faring tidak ada kelainan.
Leher
Pembesaran tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-)

Toraks
Bentuk dada normal, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-), Spider nevi (-).
Paru-paru
I : Statis, dinamis simetris kanan sama dengan kiri
P : Stem fremitus kanan dan kiri sama
P : Sonor pada kedua lapangan paru kanan dan kiri
A: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas atas jantung ICS II, batas kanan sukar dinilai, batas kiri jantung linea
midklavikularis sinistra
A : HR = 70x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : Simetris, datar, supel
P : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
P : Timpani, Shifting dullness (-)
A : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas
Edema pretibial (-/-), ptekie (-)
Alat kelamin : tidak diperiksa
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Darah Lengkap (7/10/21)
Hb : 15.5 [14 – 18] g%
Leukosit : 2400 [4500 – 10.700] ribu/ul
Eritrosit : 5.17 [4,6 – 6,2] ribu/ul
Trombosit : 85000 [159 - 400] ribu/ul
HMT : 45 [50 - 54] vol%
MCV : 87 [80-100]
MCH : 30 [25-34]
MCHC : 35 [32-36]
Eosinofil :1 [0 - 3] %
Basofil :0 [0 - 1] %
Batang :6 [2 - 6] %
Segmen : 61 [50 - 70] %
Limfosit : 28 [20 - 40] %
Monosit :4 [2 - 8] %
GDS : 102 [70-140]

Widal Test
Anti S.Typhi O : 1/80
Anti S.Paratyphi AO : 1/80
Anti S.Paratyphi BO : Negatif
Anti S.Paratyphi CO : 1/80
Anti S.Typhi H : 1/80
Anti S.Paratyphi AH : 1/80
Anti S.Paratyphi BH : 1/80
Anti S.Paratyphi CH : 1/80

2. Hematologi (8/10/21)
Hb : 17.3 [14 – 18] g%
Leukosit : 2.900 [4500 – 10.700] ribu/ul
Eritrosit : 5.75 [4,6 – 6,2] ribu/ul
Trombosit : 50.000 [159 - 400] ribu/ul
HMT : 50 [50 - 54] vol%
MCV : 87 [80-100]
MCH : 30 [25-34]
MCHC : 35 [32-36]
3. Hematologi (9/10/21)
Hb : 16.4 [14 – 18] g%
Leukosit : 4.500 [4500 – 10.700] ribu/ul
Eritrosit : 5.41 [4,6 – 6,2] ribu/ul
Trombosit : 38.000 [159 - 400] ribu/ul
HMT : 47 [50 - 54] vol%
MCV : 86 [80-100]
MCH : 30 [25-34]
MCHC : 35 [32-36]
4. Hematologi (10/10/21)
Hb : 14.5 [14 – 18] g%
Leukosit : 4.500 [4500 – 10.700] ribu/ul
Eritrosit : 4.84 [4,6 – 6,2] ribu/ul
Trombosit : 80.000 [159 - 400] ribu/ul
HMT : 41 [50 - 54] vol%
MCV : 86 [80-100]
MCH : 30 [25-34]
MCHC : 35 [32-36]

Anti Dengue IgG : Positif


Anti Dengue IgM : Negatif

5. Hematologi (11/10/21)
Hb : 14.6 [14 – 18] g%
Leukosit : 3.900 [4500 – 10.700] ribu/ul
Eritrosit : 4.91 [4,6 – 6,2] ribu/ul
Trombosit : 92.000 [159 - 400] ribu/ul
HMT : 42 [50 - 54] vol%
MCV : 86 [80-100]
MCH : 30 [25-34]
MCHC : 35 [32-36]

Rontgen Thorax
Jantung tidak membesar : CTR <50%
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Trakea di tengah
Kedua hilus tidak menebal
Corakan bronkovaskuler kedua paru baik
Saat ini tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapang paru
Kedua hemidiafragma licin
Sudut kostofrenicus kanan kiri lancip
Kesan :
Tidak tampak kardiomegali
Saat ini tidak tampak infilra di kedua lapang paru

Diagnosis
Dengue Fever

Penatalaksanaan
 Cek DPL, Diff. Count, Widal
 Loading RL 1000
Advice dr. Dina, Sp.PD
 IVFD Ringer Laktat 2500cc/24 jam
 Lansoprazole 2x30mg PO
 Ondansetron 3x8mg IV
 Sanmol Forte 3x1 tab PO
 Becom C 1x1 tab PO
 Serial sysmex / 24 jam
 Observasi TTV serta tanda perdarahan

FOLLOW UP
Tanggal Follow Up Assessment Terapi
S : demam turun, DHF
lemas (+), perdarahan  Rehidrasi Futralit
(-) 3000 cc/24jam
8/10/21 O : KU : Lemah, CM  Cernevit 1 vial
Nadi : 88 dalam Nacl 0.9%
kali/menit 100 cc drip dalam
RR : 20 kali/menit 1 jam
Suhu : 36,60C  Pumpisel 1x40mg
/ IV
 Invomit
3x4mg/IV
 Sanmol
3x500mg /PO
 Starmuno 1x1
/PO
 Epison 3x1C /PO

S : demam(-), mual DHF


(+), muntah (-), pusing  Terapi Lanjut
(+), lemas (+).

9/10/21 O : KU : sedang, CM
Nadi : 76 x/menit
RR : 20kali/menit
Suhu : 36,10C
S : demam (-) Lemas DHF
(+), mual (-)  Terapi Lanjut

O:
KU : sedang, CM
10/10/21 Nadi : 88 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,30C, TD
90/60

S : bintik merah di DHF


kulit, sakit kaki dan Reactive Artritis  Lameson 2x4mg
sendi  Lapraz 2x30mg
 Becom C 1x1
O:  Starmuno 1x1
KU : CM  Episan syrup
11/10/21 Nadi : 76 kali/menit 3x1C
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,90C
TD : 100/70
TINJAUAN PUSTAKA

Syok Hipovolemik

Definisi

Syok secara tradisional sering diartikan sebagai hipoksia pada jaringan karena
kurangnya perfusi. Syok umumnya dikatakan sebagai hipoksia, namun kata disoksia
lebih tepat digunakan. Hipoksia merujuk kepada kurangnya oksigenasi, sedangkan
disoksia adalah kondisi dimana metabolism sel dibatasi oleh penyebaran oksigen
yang kurang atau abnormal. Pada tingkat seluler, kondisi hipoksia akan menyebabkan
kegagaln fungsi mitokondria, perubahan pada membran sel, pelepasan radikal bebas,
produksi sitokin, dan mengakibatkan beberapa reaksi inflamasi.2

Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan sebagai


berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas pembuluh darah
total. Hypovolemic shock merupakan syok yang disebabkan oleh kehilangan cairan
intravascular yang umumnya berupa darah atau plasma. Kehilangan darah oleh luka
yang terbuka merupakan salah satu penyebab yang umum, namun kehilangan darah
yang tidak terlihat dapat ditemukan di abdominal, jaringan retroperitoneal, atau
jaringan di sekitar retakan tulang. Sedangkan kehilangan plasma protein dapat
diasosiasikan dengan penyakit seperti pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan
anafilaksis.2

Epidemiologi

Menurut WHO cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan


terjadinya 5 juta kematian di seluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang
mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap
mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 36%.1

Dalam sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Yamaguchi dan Hopper


(1964), dari 10 kasus ada 3 kasus dimana pasien mengalami syok yang disebabkan
oleh komplikasi dari sindrom nefrotik. Di Indonesia sendiri, angka kematian
penderita hypovolemic shock akibat Demam Berdarah dengan ranjatan (dengue shock
syndrome) yang disertai dengan perdarahan yaitu berkisar 56 sampai 66 jiwa ditahun
2014.3

Etiologi

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume


plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik),
trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non
fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat.
Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan disebabkan oleh
perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik.
Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ
tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada
pembuluh arteri utama.2

Patofisiologi

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan


menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan
curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan
beberapa kejadian pada beberapa organ: 4-5
1. Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi
tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean

arterial pressure/MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.4-5
2. Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan


kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain. 4-5

3. Kardiovaskular

Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)


ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung. 4-5

4. Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi


peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati
di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung. 4-5

5. Ginjal

Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi.
Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan
vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin. 4-5

Manifestasi Klinis

Klasifikasi perdarahan berdasarkan persentase volume darah yang hilang:

a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

• Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.


• Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
• Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah
sekitar 10%

b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)

• Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea,


penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan
anxietas ringan .
• Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah diastolik.

c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)

• Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah


sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan
atau agitasi.
• Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik.
• Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan
untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)

• Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan


nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine
yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan
pucat.
• Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
Diagnosis

Hypovolemic shock diakibatkan umumnya karena kehilangan darahb ataupun


cairan tubuh pada tubuh manusia yang mengakibatkan jantung kekurangan darah
untuk disirkulasi sehingga dapat mengakibatkan kegagalan organ. Kehilangan darah
ini dapat diakibatkan karena trauma akut dan perdarahan, baik secara eksternal
ataupun internal. Gejala-gejala yang dimiliki bergantung pada persentase darah yang
hilang dari seluruh darah yang dimiliki pasien, namun ada beberapa gejala umum
yang dimiliki oleh seluruh penderita hypovolemic shock. Pada umumnya, pasien yang
menderita hypovolemic shock memiliki tekanan darah yang rendah (dibawah
100mmHg) dan suhu tubuh yang rendah pada bagian-bagian tubuh perifer.
Tachycardia (diatas 100 bpm), brachycardia (dibawah 60 bpm), dan tachypnea juga
umumnya terjadi pada pasien-pasien yang menderita hypovolemic shock. Kandungan
haemoglobin yang relatif kurang (<=6g/l) pada darah juga dapat menjadi pertanda
adanya perdarahan dan dapat membantu dalam mendeteksi hypovolemic shock.
Pasien juga umumnya memiliki kegangguan kesadaran dan mengalami
kebingungan/kemarahan yang diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf akibat
kurangnya darah.6
Pasien yang menderita hypovolemic shock dibagi menjadi tiga kategori
berdasarkan persentase volume darah yang hilang dari seluruh tubuh pasien, dan
gejala yang dialami oleh tiap kategori pasien disajikan dalam tabel berikut:7

Persentase darah yang hilang dari Gejala yang dimiliki


seluruh pasien
volume darah pasien
<15% Respons tachycardia minim
Perubahan TD umumnya tidak
Signifikan
Tachycardi
15-40% a
Hypotensi
Periferal
Hypofusion
Kesadaran pasien terganggu
Kemampua
>40% n tubuh menkompensasi
Kehilangan darah sudah pada
Batasnya (Haemodynamic
compensation pada ambang batas)
Kesadaran pasien terganggu
Tachycardi
a
Hypotensi

Prevensi dan Manajemen

1. Manajemen dan Terapi


Ketika mendapati seseorang yang menunjukan gejala gejela hipovolemia
maka yang pertama harus dilakukan adalah mencari bantuan medis,sembari
menunggu bantuan medis datang Berikan pertolongan pertama pada penderita
hipovolemia, perlu digaris bawahi bahwa penangan pertama yang tepat pada
penderita hipovolemia sangat dibutuhkan karena dapat menghindari kematian pada
penderita. Berikut hal hal atau langkah langkah untuk memberi pertolongan pertama
pada penderita:8

1. Jangan memberi cairan apapun pada mulut penderita contoh memberi minum
2. Periksa ABC (airway, breathing, circulation)
3. Buat pasien merasa nyaman dan hangat, hal ini dilakulan agar mencegah
hipotermia pada pasien
4. Bila ditemukan adanya cedera pada kepala, leher atau punggung jangan
memindahkan posisinya
5. Apabila tampak adanya perdarahan eksternal maka segera lakukan penekanan
pada lokasi perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk, hal ini dilakukan
untuk meminimalisir volume darah yang terbuang. Jika dirasa perlu kain atau handuk
dapat diikatkan
6. Jika ditemukan benda tajam masih menancap pada tubuh penderita jangan
dicabut hal ini ditakutkan akan menyebabkan perdarahan hebat
7. Beri sanggaan pada kaki 45° atau setinggi 30 cm untuk meningkatkan
peredaran darah. Saat akan dipindahkan ke dalam ambulans usahakan posisi kaki
tetap sama
8. Jika adanya cedera pada kepala atau leher saat akana dinaikan menuju
ambulan berulah penyangga khusus terlebih dahulu.
2. Field Care

Saat bantuan medis datang dan penderita dibawa menggunakn ambulan,


berikan oxygen pada pasien untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan. Terapi
cairan intravena biasanya dilakukan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang, nmun
cairan intravena tidak dapat mengangkut darah sehingga tetap disarankan untuk segera
mendapatkan transfusi darah. Selain oemberian cairan intravena sering pula dilakukan
metode permissive hypotension metode ini diutamakan bagi penderita trauma atau
yang lebih dikenal sebagai terapi cairan restriktif, metode ini digunakan agar tekanan
darah sistolik meningkattanpa mencapai tekanan darah normal dengan tujuan
pencegahan terlarutnya faktor pembekuan secara berlebih.9

Prognosis

Pada umumnya, Hypovolemic shock dapat menyebabkan kematian meskipun


sudah diberikan penanganan medis. Faktor usia juga merupakan faktor yang
mempengaruhi Hypovolemic shock, biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia jika
mengalami Hypovolemic shock akan sulit ditangani dan disembuhkan. Hypovolumic
shock dapat disembuhkan jika segera diberikan penanganan atau tindakan meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian terhadap orang tersebut.
Hypovolemi shock biasanya tergantung dari hal-hal berikut:10

1. Banyaknya darah yang hilang


2. Kecepatan penggantian cairan tubuh
3. Kondisi kesehatannya
4. Penyakit atau luka yang menyebabkan perdarahan
Demam Berdarah Dengue
1. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue
(DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai
leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik
(Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

2. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar
di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di
daerah endemik (Gubler, 2002).
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang
mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas
epidemiknya (WHO, 2000).
Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat
14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu
diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.

3. Faktor Risiko
Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan spektrum
luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang serius. Pada
area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak spesifik, terutama
pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi virus pada umumnya.
Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien yang
mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya strain dan
serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap individu, usia
penderita, faktor genetik dari pasien (WHO, 1997; Gubler, 1998).

4. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk genus flavivirus dari family
Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe
DEN- 3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah.
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur
hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak
4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari.
Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita
seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit
DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes albopictus
(didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
• Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
• Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti
kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.
• Jarak terbang ± 100 meter
• Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
• Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi

5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006).
Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada
monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme aferen
(penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit
yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan
terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang
telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai system humoral,
seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi,
pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler
dan mengaktifasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun
melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini
komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat
memalui monnosa-binding protein, maupun melaui antibody. Komponen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis
virus dengue.
Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon α dan interferon
β berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi lain limfosit
B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan antibodi. Limfosit T
mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul yang berperan sebagai
regulator dan efektor.
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan
yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B,
makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L
merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T helper,
termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi makrofag untuk
menghancurkan virus dengue.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon
gamma akn mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang
seperti TNF-
, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan
C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.

6. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue, atau
syndrome syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik perdarahan di kulit
sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan
konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu
hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
• demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
• manifestasi perdarahan
• hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi
perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik
perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota
gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, perdarahan
gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.

7. Langkah Diagnostik
Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes laboratorium
dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-spesifik virus dengue
dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan mendeteksi antibody pada serum
pasien (Guzman, 2004).
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
• Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari
hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
• Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
• Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
• Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
• Serologi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke
3, menghilang setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2
(infeksi sekunder).
• NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.

8. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table
berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab

DD Demam disertasi • Leukopenia • Serologi


2 atau lebih • Trombositopenia, dengue
tanda : sakit tdk ada kebocoran (+)
kepala, nyeri plasma
retro-orbital,
mialgia,
Artralgia
DBD I Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn uji (<100.000), bukti
bendung (+) ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn (<100.000), bukti
Perdarahan ada kebocoran
Spontan plasma
III Gejala diatas Trombositopenia
Ditambah (<100.000), bukti
Dengan ada kebocoran
Kegagalan plasma
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab, serta
gelisah)
IV Syok berat Trombositopenia
disertai dengan (<100.000), bukti
tekanan darah ada kebocoran
dan nadi tidak plasma
Terukur

Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah


ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab
serta gelisah.

9. Tata Laksana
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat
Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke Unit Gawat Darurat.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
• Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat

2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang


Rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih
dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid
dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )

Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap


24 jam:
• Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
• Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht >20%.

3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan
adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun,
frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka
jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila
dalam pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48
jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi
bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse
dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien
ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan

4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria,
perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD,
nadi,
pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID).
Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan
massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID

5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa
renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD
mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7
ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48
jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta
dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan. Pengawan dini
tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi renjatan. Oleh
karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital,
pembesaran hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium
serta jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila fase awal
pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan cairan
kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit.

Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.


• Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
-Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi
setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-
18cmH2O
-Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi
terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia,
KID, infeksi sekunder.
-Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.
• Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.
10. Prognosis
Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi

11. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi :
1. Pembersihan jentik
- Program pemberantasan serang nyamuk (PSN)
- Menggunakan ikan (cupang, sepat)
2. Pencegahan gigitan nyamuk
- Menggunakan kelambu
- Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
- Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
- Penyemprotan
DAFTAR PUSTAKA

Kakunsi, Yane D., Killing, Maykel, and Deetje, Supit. Hubungan pengetahuan
perawat dengan penanganan pasien syokhipovolemik di ugd rsud pohuwato.
Buletin Sariputra. 2015;5(3):90-96.

Lamm, Ruth L., and Coopersmith, Craig M. 2012. Comprehensive


Critical Care:Adult. Chapter 10. Illinois: Society of Critical Care
Medicine.

Yamauchi, Hiroshi, and Hopper, James. Hypovolemic shock and


hypotension as a complication in the nephrotic syndrome. Annals of Internal
Medicine. 1996;60:242-254.

Wijaya, IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. Interna
Publishing. Jakarta.

Worthley. IG, Shock: A Review of pathophysiology and management.


Department of critical care medicine. Flinders medical centre. Adelaide.
2000;2:55-65.

Queensland Ambulance Service. 2016. Clinical Practice Guidelines:


Trauma/Hypovolaemic Shock. Queensland;. Diakses pada [13 Oktober 2016].
Tersedia pada
[https://ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Hypovolaemic%20shoc
k.pdf]

Pascoe S, Lynch J. 2016. Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma


Patient. Diakses pada [13 Oktober 2016]. Tersedia pada
[http://www.aci.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/195171/Hypov
olaemicShock_FullReport.pdf]

First Aid Guide and Emergency Treatment Instructions. Saporo fire bureau.
Available at [https://www.city.sapporo.jp]. Diakses pada [10 oktober 2016].
Fitria, Cemy Nur. 2012. Syok dan Penangannya.

Jun Wang, Teresa Liang, Luck Louis, Savvas Nicolaou, Patrick D. Mc


Laughlin. Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial
Review. Canadian Association of Radiologists. 2013;64:156-163. Tersedia
pada [http://sciencedirect.com].

Epstein, Judith E. dan Stephen Hoffman. 2006. Tropical Infection Disease


Principles, Pathogens, and Practice: Typhoid Fever. Elsevier Inc.

Widodo, Djoko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Sinha A, Sazawal S, Kumar R, et al: 1999. Typhoid fever in children aged


less than 5 years. Lancet 354:734–737.18.
Lin FY, Vo AH, Phan VB, et al: The epidemiology of typhoid fever inthe
Dong Thap Province, Mekong Delta region of Vietnam. Am J Trop
Med Hyg 62:644–648, 2000.
Crump JA, Luby SP, Mintz ED: The global burden of typhoid fever. Bull
World Health Org 82:346–353, 2004.
Departemen Kesehatan RI. Data Surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995 p43. Data
Surveialns tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan
Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2996. P. 37.
Gubler, DJ: Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health,
social and economic problem in the 21st century. Trends Micriobiol
10:100, 2002.
Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

World Health Organization: Strengthening implementation of the global strategy


for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and control.
Report of the Informal Consultation, World Health Organization,
October 18–20, 1999, Geneva, 2000.
World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment
and Control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 1997.
Gubler DJ: Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 11:480,
1998.
Guzman MG, Kouri G: Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
8:69, 2004

Anda mungkin juga menyukai