Anda di halaman 1dari 84

Analisis Muatan Higher Order Thinking (HOT) pada Buku Teks Kurikulum 2013

Pegangan Guru dan Pegangan Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Tema 9 Menjelajah
Angkasa Luar

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

SASMITA DIEN FRATIWI SYAMSU


Nomor Induk Mahasiswa : 1050611 039 20

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga proposal ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga proposal penelitian ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi proposal
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Proposal penelitian ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan proposal
penelitian ini.

Makassar, Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………. 1


B. Identifikasi Masalah…………………………………………………... 11
C. Fokus dan Rumusan Masalah…………………………………………. 12
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………… 12
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………….. 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………

A. Landasan Teori………………………………………………………… 14
B. Penelitian yang Relevan………………………………………………. 66
C. Kerangka Berpikir…………………………………………………….. 67

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………..

A. Pendekatan Penelitian………………………………………………… 71
B. Tempat Penelitian…………………………………………………….. 71
C. Data dan Sumber Data Penelitian……………………………………... 72
D. Fokus Penelitian……………………………………………………….. 72
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data…………………………….. 73
F. Uji Validitas Data……………………………………………………… 74
G. Unit Analisis…………………………………………………………… 75
H. Teknis Analisis Data………………………………………………….... 76
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berpikir merupakan hal yang biasa dilakukan oleh manusia karena manusia

adalah makhluk yang berpikir. Namun, kemampuan berpikir setiap manusia

tidaklah sama. Ada manusia yang kemampuan berpikirnya masih rendah, namun

juga ada manusia yang mampu berpikir tingkat tinggi. Untuk dapat berpikir

tingkat tinggi, manusia perlu belajar berpikir.

Belajar berpikir, tidak hanya dilakukan oleh manusia zaman sekarang. Sejak

zaman Yunani kuno, para putra dan putri bangsawan abad pertengahan memiliki

pembimbing yang mengajari mereka filsafat dan cara berpikir kritis (Tynan, 2005:

52). Bertahun-tahun setelahnya, belajar berpikir mulai berkurang dikarenakan

adanya penerapan sistem pendidikan masal yang menekankan pengumpulan

pengetahuan dan ujian. Kemudian saat ini menjelang abad ke-21, Menurut Tynan

(2005: 53) tuntutan perkembangan global semakin meningkat dan tidak hanya

mementingkan pengetahuan melainkan juga proses berpikir mandiri.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan pada

aspek kehidupan manusia. Berbagai permasalahan yang ditimbulkan hanya dapat

dipecahkan dengan upaya penuguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan

teknologi (Wangid, Ali, Vera, & Slamet, 2014: 176). Ada beberapa tantangan

masa depan yang perlu dihadapi Indonesia. Berdasarkan paparan Wakil Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan RI Bidang Pendidikan (2014:3) tantangan masa

1
depan yang dihadapi seperti: globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan

teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis

pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan

ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, mutu, investasi dan transformasi

sektor pendidikan, dan materi TIMSS dan PISA. Untuk dapat memenuhi

tantangan masa depan tersebut maka diperlukan generasi yang memiliki

kompetensi masa depan pula. Beberapa kompetensi masa depan yang perlu

dimiliki, seperti: kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis,

kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan

mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam

masyarakat global, kesiapan untuk bekerja, kecerdasan sesuai bakat, dan memiliki

rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, keterampilan berpikir khususnya berpikir

tingkat tinggi (Higher Order Thinking) menjadi salah satu kompetensi yang harus

dimiliki oleh generasi masa depan. Menurut Budsankom (2015: 2640), para siswa

dengan HOTS mampu menciptakan pengetahuan baru dan membuat keputusan

yang tepat dan logis sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini yang sangat

dipengaruhi oleh kemajuan informasi dan teknologi. Siswa dengan kemampuan

HOT akan dapat menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang

umumnya membutuhkan proses berpikir advance. Hal ini akan membantu anak

menyiapkan diri menghadapi tantangan masa depan.

Kurikulum 2013 dikembangkan sebagai solusi mengahadapi tantangan masa

depan. Pengembangan kurikulum ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan

2
di Indonesia. Hal ini diperlukan karena kualitas pendidikan berpengaruh besar

dalam kesiapan negara menghadapi tantangan masa depan. Pengembangan

kurikulum 2013 ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan hingga

memenuhi standar rata-rata kualitas pendidikan Internasional.

Beberapa organisasi rutin melakukan studi mengenai pencapaian pendidikan

di beberapa Negara di dunia. Organisasi IEA (the International Association for

the Evaluation of Educational Achievement), sebuah organisasi independen yang

bekerjasama dengan institusi penelitian nasional dan agensi pemerintahan telah

menyelenggarakan studi pencapaian antar Negara sejak tahun 1959. TIMSS

(Trends in International Mathematics and Science Study) merupakan sebuah studi

yang diinisiasi oleh IEA yang dilakukan dalam rangka membandingkan prestasi

Matematika dan IPA siswa kelas 8 dan kelas 4 di beberapa Negara di dunia.

Selain TIMSS, ada juga PISA (Program for International Student Assessment)

yang melakukan tes kompetensi membaca, matematika, dan sains siswa. Tes

tersebut mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat mereka lakukan

(aplikasi) dengan pengetahuannya.

Hasil studi TIMSS dan PISA memberikan gambaran pencapaian pendidikan di

beberapa negara dan pencapaian rata-rata internasional. Hasil studi TIMSS pada

tahun 2011 menunjukkan bahwa lebih dari 95% siswa Indonesia kelas 8 maupun

kelas 4 hanya mampu sampai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa

Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hasil PISA pada tahun 2011

menunjukkan kurang dari 5% siswa di Indonesia yang mampu mencapai level

3
tinggi pada tes kompeteni membaca, matematika, dan sains. Pada saat itu,

Indonesia berada di peringkat 70 dari 72 negara.

Hasil TIMSS dan PISA di atas menjadi salah satu pertimbangan

dikembangkannya kurikulum 2013. Menurut Paparan Wamendikbud RI Bidang

Pendidikan (2014: 6) dengan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama,

kesimpulan dari hasil tersebut adalah yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan

yan diujikan (yang distandarkan) internasional. Ada beberapa topik yang belum

diajarkan pada peserta TIMSS dari Indonesia dan ada beberapa topik yang tidak

tercantum pada kurikulum. Kurikulum 2013 dikembangkan salah satunya dengan

menyesuaikan dengan standar internasional dengan harapan pencapaian

pendidikan Indonesia akan meningkat.

Hasil TIMSS dan PISA pada tahun 2015 menunjukkan pencapaian Indonesia

meningkat dari tahun sebelumnya namun masih di bawah rata-rata inernasional.

Hasil studi TIMSS pada tahun 2015 terhadap siswa kelas IV di beberapa negara.

menunjukkan bahwa prestasi Indonesia masih berada di bawah rata-rata

internasional. Indonesia mendapatkan skor 397 poin untuk IPA dan matematika.

Skor tersebut mengantarkan Indonesia menduduki peringkat 45 dari 48 negara

untuk IPA, dan peringkat 45 dari 50 negara untuk matematika (TIMMS & PIRLS,

2015). Hasil studi juga menunjukkan bahwa kemampuan bernalar siswa Indonesia

masih sangat minim. Indonesia hanya mendapatkan skor 20 dalam bernalar

sedangkan skor rata-rata internasional adalah 44. Pada tingkat aplikasi, Indonesia

mendapatkan skor 24 sedangkan skor internasional adalah 48. Padahal, 74% siswa

di Indonesia mengaku telah diajarkan semua topik IPA yang diuji dalam TIMSS,

4
sedangkan Jepang yang menduduki peringkat ke 3, hanya 39% persen siswanya

yang mengaku telah diajarkan. Sedangkan survey PISA pada tahun 2015

menunjukkan bahwa Indonesia mendapatkan peringkat ke 64 dari 72 negara

peserta PISA (OECD, 2015: 5). Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan tahun

sebelumnya meskipun ada peningkatan di setiap tahun.

Berdasarkan hasil studi-studi tersebut, dapat dilihat bahwa sejak tahun 2011

kemampuan siswa di Indonesia dalam berpikir tinggi masih kurang. Siswa

Indonesia seperti belum terbiasa dengan masalah-masalah yang membutuhkan

analisis kritis, penalaran maupun proses berpikir tingkat tinggi lainnya.

Kemampuan siswa Indonesia dalam berpikir tingkat tinggi masih tergolong

kurang. Menurut Balitbang (2015), Indonesia termasuk negara yang paling lama

pembelajaran siswa SD dan jam pelajaran matematikanya. Namun, pencapaian

pendidikan Indonesia masih di bawah negara lain yang jam belajarnya lebih

rendah dari Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran di

Indonesia perlu ditingkatkan.

Pengembangan kurikulum 2013 menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki

kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan Lampiran Permendikbud Nomor 67

tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (Mendikbud, 2013: 4), kurikulum 2013 bertujuan

untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup

sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan

afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia. Kurikulum 2013 diharapkan mampu

5
mengembangkan potensi siswa secara optimal sebagai insan berbudaya dan

mampu bersaing secara global.

Pencapaian tujuan kurikulum di atas bergantung pada setiap komponen yang

mempengaruhi keoptimalan implementasi kurikulum 2013. Konsep kurikulum

2013 yang berbeda dari kurikulum sebelumnya membuat para guru tidak dapat

langsung memahami apa sebenarnya kurikulum 2013 dan bagaimana

implementasinya. Berdasarkan studi di SD Kabupaten Magelang (Noviatmi,

2015), pemahaman guru terhadap kurikulum 2013 baru mencapai 62,2%. Hal

yang mengejutkan adalah meskipun pemahaman guru 62,2%, namun pelaksanaan

pembelajaran tematik integratifnya sudah mencapai 90%. Hal ini menandakan

bahwa guru dapat melaksanakan pembelajaran sesuai kurikulum 2013 meskipun

pemahaman tentang kurikulum 2013 kurang. Buku guru dan siswa membantu

guru dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 dengan memberikan contoh

penerapan kurikulum dalam pembelajaran. Hal ini sangat membantu guru

memahami bagaimana melaksanakan pembelajaran yang berbasis kurikulum 2013

sesuai standar.

Buku teks merupakan komponen penting dalam kurikulum 2013. Hal ini

sejalan dengan Hsuan & Ying (2011: 93) yang menyatakan bahwa buku teks

dalah kunci perkembangan kurikulum dan implementasinya melalui diseminasi

guru dan siswa. Buku teks seharusnya dipilih untuk menunjang tujuan pendidikan,

sesuai dengan kebutuhan siswa dan mendukung keberlangsungan kurikulum.

Buku teks menjadi kunci implementasi kurikulum secara praktis di sekolah. Buku

6
teks yang baik harus sesuai dengan kebutuhan penggunanya dan konsep dari

kurikulum yang berlaku.

Buku teks merupakan salah satu jenis buku yang paling banyak digunakan

sebagai sumber belajar. Buku teks menurut Loveridge (Masnur Muslich, 2016:

50) adalah buku sekolah yang memuat bahan yang telah diseleksi mengenai

bidang studi tertentu. Buku teks mengandung materi dan kegitan pembelajaran

yang dapat membantu guru mengelola proses pembelajaran dengan lebih efektif

dan efisien. Buku teks juga membantu siswa dalam mengikuti proses

pembelajaran, baik di sekolah maupun di rumah secara mandiri atau dengan

bimbingan orang tua.

Buku teks Kurikulum 2013 berbeda dari buku teks pada kurikulum-kurikulum

sebelumnya. Buku teks yang diwajibkan oleh Kementerian Pendidikan untuk

dimiliki sekolah-sekolah pelaksana Kurikulum 2013 adalah Buku Teks Pelajaran

sebagai buku siswa dan Buku Panduan Guru sebagai buku guru. Hal ini tercantum

dalam Permendikbud nomor 71 tahun 2013 tentang Buku Teks Pelajaran dan

Buku Panduan Guru untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Sejalan dengan itu,

PP Nomor 13 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas PP nomor 19 tahun 2005

tentang standar nasional pendidikan pasal 1 ayat 23 (Presiden RI: 2015: 5)

menjelaskan bahwa buku teks pelajaran adalah sumber pembelajarn utama untuk

mencapai Kompetensi Dasar dan Kompetensi Inti. Dengan adanya peraturan ini,

maka guru-guru di sekolah pelaksana kurikulum 2013 menggunakan buku siswa

dan buku guru ini dalam pembelajaran mereka.

7
Buku teks kurikulum 2013 memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan

dengan buku teks yang digunakan pada kurikulum sebelumnya. Mengingat

kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis tematik integratif, maka buku yang

digunakan berupa buku tematik integratif. Pada sekolah menengah, mata pelajaran

yang serumpun dijadikan satu, seperti fisika, biologi, dan kimia disatukan menjadi

Ilmu Pengetahuan Alam, begitu pula untuk mata pelajaran lainnya. Khusus untuk

jenjang Sekolah Dasar, buku ditulis secara terpadu dengan menyatukan beberapa

materi pelajaran ke dalam sebuah tema. Kelas 1, 2, dan 3 memiliki masing-masing

8 tema, sedangkan kelas 4, 5, dan 6 memiliki 9 tema yang dibagi dalam 2

semester. Namun demikian, untuk mapel tertentu seperti agama berdiri sendiri

tanpa terikat tema dengan mata pelajaran lain.

Pemerintah membuat buku siswa dan guru sebagai standar pembelajaran bagi

sekolah di seluruh Indonesia. Buku siswa kurikulum 2013 lebih ditekankan pada

activity base bukan berbasis buku bacaan yang ada pada buku teks pada

umumnya. Pada setiap buku, terdapat model pembelajaran dan proyek yang akan

dilakukan siswa selama pembelajaran. Sedangkan buku guru kurikulum 2013

memuat panduan bagi guru dalam mengajarkan materi kepada siswa. Selain itu,

buku tersebut juga mencantumkan contoh kegiatan evaluasi pembelajaran yang

terstandar. Berdasarkan PP Nomor 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional

Pendidikan pasal 1 ayat 22 (Presiden RI, 2015: 5) Buku Panduan Guru adalah

pedoman yang memuat strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik

pembelajaran, dan penilaian untuk setiap mata pelajaran dan/atau tema

pembelajaran. Model maupun aktifitas yang tercantum dalam buku siswa maupun

8
guru merupakan standar minimal yang ditetapkan pemerintah dalam

pembelajaran. Guru boleh berinovasi dalam pembelajaran sesuai kreativitasnya

asalkan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Buku teks siswa dan buku pegangan guru menjadi buku inti yang digunakan

pada pembelajaran di Sekolah Dasar. Budsankom (2015: 2640), menyebutkan

bahwa manajemen pembelajaran harus disesuaikan dengan situasi/masyarakat saat

ini dan fokus pada peningkatan HOT siswa. Buku teks kurikulum 2013

merupakan gambaran praktis dari kurikulum 2013 dan menjadi standar minimal

contoh implementasi kurikulum 2013 di pembelajaran. Oleh karena itu, buku teks

kurikulum 2013 seharusnya mengadung muatan HOT di dalamnya.

Buku teks kurikulum 2013 seharusnya dapat melatih berpikir tingkat tinggi

siswa karena kurikulum 2013 menggunakan Scientific Approach. Scientific

Approach merupakan salah satu ciri khas kurikulum 2013 yang merupakan sebuah

pendekatan yang melatih berpikir tingkat tinggi. Sejalan dengan itu, Mendikbud

(2016) melalui Lampiran Permendikbud nomor 8 tahun 2016 menyebutkan salah

satu kriteria standar buku teks yang dapat digunakan adalah penyajian materi pada

buku teks dapat merangsang untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Berpikir

kritis dan kreatif menurut Yen, Halili (2015: 41) merupakan bagian dari berpikir

tingkat tinggi (HOT). Standar buku yang telah diterapkan seharusnya menjadi

standar minimal sebuah buku yang diciptakan untuk menjaga kualitas buku.

Pengggunaan buku teks mempengaruhi hasil belajar siswa. Hal ini sesuai

dengan Husain (2012: 430) dan Elfika, Tandi, & Firmansyah (2014: 72) yang

telah membuat penenelitian tentang pengaruh buku teks terhadap hasil belajar

9
siswa. Pada tahun 2013, Indonesia sudah mulai menerapkan kurikulum 2013

dengan buku guru dan teks siswa menjadi buku teks utama yang digunakan dalam

pembelajaran. Meskipun sudah menggunakan buku teks kurikulum 2013 tersebut,

berdasarkan TIMSS dan PISA yang telah dijelaskan sebelumnya, siswa Indonesia

masih rendah dalam berpikir tingkat tinggi

Selain dari hasil TIMSS dan PISA, tingkat keterampilan berpikir siswa yang

rendah masih ditemui pada siswa kelas VI di sekolah dasar. Berdasarkan hasil

pengamatan di SD Negeri Poncol 2 Pekalongan dan SD Krapyak Wetan, siswa

kesulitan dalam melakukan tugas maupun mengerjakan soal yang mengandung

HOT padahal pembelajaran sudah dilakukan menggunakan buku tematik

kurikulum 2013. Pada aspek analisis, siswa masih kesulitan dalam analisis isi dan

pesan yang terkandung dalam teks yang mereka baca. Pada aspek evaluasi,

mereka belum terbiasa menilai hasil karya maupun peristiwa yang dijumpai. Pada

aspek mencipta, kreatifitas mereka dalam meembuat produk masih berpaku pada

contoh yang diberikan. Selain itu juga ditemukan banyak studi mengenai

peningkatan berpikir tingkat tinggi maupun aspek HOT pada siswa di tingkat

sekolah dasar.

Berdasarkan penjelasan di atas, analisis muatan HOT pada buku teks

kurikulum 2013 perlu dilakukan. Buku teks yang dipilih untuk di analisis pada

penelitian ini adalah buku teks tematik integratif kurikulum 2013 kelas VI tema

“Menjelajah Angkasa Luar”. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Tema

“Menjelajah Angkasa Luar” adalah tema ke 9 atau tema terakhir dalam jenjang

Sekolah Dasar. Selain itu, Tema “Menjelajah Angkasa Luar” adalah tema yang

10
mengandung materi abstrak yang tidak dapat ditemui langsung oleh siswa. Materi

tentang benda-benda luar angkasa hanya dapat ditemui siswa di buku. Siswa

hanya dapat melihat gambar luar angkasa tanpa siswa bisa berkunjung dan melihat

benda aslinya. Materi seperti ini membutuhkan penalaran dan imajinasi siswa

yang tinggi agar siswa dapat memahami materi pelajaran dengan tepat.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Masih terdapat guru yang belum memahami konsep kurkulum 2013 dengan

baik dan belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran yang sesuai standar

kurikulum 2013 sehingga menyebabkan implementasi kurikulum 2013 belum

dapat tercapai dengan optimal.

2. Pemahaman guru tentang kurikulum 2013 masih rendah meskipun

pelaksanaan pembelajaran temtik integratif di sekolah tinggi. Hal ini

menunjukkan ketidakselarasan antara pemahaman guru dengan pelaksanaan

pembelajaran.

3. Siswa Indonesia belum terbiasa dengan masalah-masalah yang membutuhkan

analisis kritis, penalaran maupun proses berpikir tingkat tinggi lainnya

menyebabkan kemampuan siswa Indonesia dalam berpikir tingkat tinggi

masih tergolong kurang.

4. Penggunaan buku teks kurikulum 2013 belum mampu menaikkan kemampuan

berpikir siswa secara optimal. Hal ini berdasarkan hasil PISA yang

11
menunjukkan kemampuan berpikir tinggi siswa pada tahun 2011 hingga tahun

2015 mengalami kenaikan namun masih di bawah rata-rata internasional.

5. Jumlah jam belajar siswa Indonesia tinggi namun kualitas pembelajaran masih

rendah dibandingkan negara lain yang memiliki jam belajar lebih sedikit.

6. Belum diketahuinya muatan HOT dalam buku teks kurikulum 2013 kelas VI

SD/MI.

C. Fokus dan Rumusan Masalah

Melihat luasnya permasalahan yang diuraikan di atas, maka penelitian ini

difokuskan pada muatan Higher Order Thinking (HOT) pada buku teks

Kurikulum 2013 Kelas VI SD/MI. Berdasarkan fokus penelitian tersebut, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek analisis pada buku guru dan siswa

Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

2. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek evaluasi pada buku guru dan siswa

Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

3. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek berkreasi/mencipta pada buku guru

dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan adanya penelitian ini ada sebagai

berikut:

12
1. Mendeskripsikan muatan HOT pada aspek analisis pada buku guru dan siswa

Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar.

2. Mendeskripsikan muatan HOT pada aspek evaluasi pada buku guru dan siswa

Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar.

3. Mendeskripsikan muatan HOT pada aspek berkreasi/mencipta pada buku guru

dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai

berikut:

1. bagi sekolah, memberikan informasi tentang sumber belajar yang memuat

HOT sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan sekolah dalam memilih

buku yang bermuatan HOT.

2. bagi guru, memberikan referensi kegiatan HOT yang ada pada buku teks

Kurikulum 2013 terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sehingga dapat lebih tepat dalam merancang pembelajaran yang

mengandung HOT dan lebih selektif dalam memilih buku teks yang baik.

3. bagi pemerintah, memberikan informasi tentang kandungan HOT pada

buku teks kurikulum 2013 sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan

pemerintah dalam membuat buku yang bermuatan HOT.

13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Higher Order Thinking (HOT)

a. Hakikat HOT

Berpikir merupakan sebuah aktivitas yang setiap orang pernah

melakukannya. Secara sederhana, Jujun Suriasumantri (2006: 52)

mendefinisikan berpikir sebagai perkembangan ide dan konsep. Ide dan

konsep merupakan hal yang abstrak. Maka dari itu, berpikir bukanlah

sebuah aktifitas fisik meskipun kegiatan berpikir berhubungan dengan

kerja organ manusia berupa otak. Seberapa jauh ide dan konsep

berkembang bergantung pada bagaimana seseorang berpikir. Berpikir

keilmuan berbeda dengan berpikir biasa. Bagi pemikir keilmuan, berpikir

menjadi lebih dari sekedar mengembangkan ide dan konsep. Mereka

berpikir secara disiplin dan tidak membiarkan ide dan konsep yang sedang

dikembangkan berjalan tanpa arah.

Berpikir setiap kali dilakukan oleh manusia untuk memperoleh suatu

tujuan berupa kebenaran tentang suatu hal. Hal ini sesuai dengan pendapat

Maran (2007: 16) yang menjelaskan bahwa manusia mengolah dan

mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk memperoleh

kebenaran melalui berpikir. Manusia mengolah pengetahuannya dengan

cara mempertimbangkan serta menghubungkan pengertian yang satu

14
dengan pengertian yang lainnya hingga memperoleh kebeanara.

Kebenaran-kebenaran tersebut biasanya dibutuhkan untuk memecahkan

suatu masalah. Oleh karena itu, De Bono (1976) dalam Adun (2014)

menyatakan bahwa berpikir memungkinkan manusia melihat berbagai

perspektif untuk memecahkan masalah dalam situasi tertentu. Jika

mempertimbangkan pengertian-pengertian berpikir di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa berpikir adalah aktifitas mengolah pengetahuan yang

dimiliki untuk memperoleh kebenaran yang mengakibatkan adanya

perkembangan ide dan konsep.

Berpikir merupakan hal yang biasa dilakukan oleh manusia karena

manusia adalah makhluk yang berpikir. Namun, kemampuan berpikir

setiap manusia tidaklah sama. Ada manusia yang kemampuan berpikirnya

masih rendah, namun juga ada manusia yang mampu berpikir tingkat

tinggi. Heong, Othman, Yunos, Kiong, Hassan, & Mohamad (2011:121)

menyatakan bahwa semua siswa memiliki kemampuan untuk berpikir,

namun sebagian besar dari mereka perlu didukung, diajarkan dan dibantu

untuk dapat melakukan proses berpikir tingkat tinggi. Pada dunia

pendidikan, proses-proses berpikir tingkat tinggi dapat membantu siswa

memecahkan masalah, mendapat pemahaman dan menemukan makna

baru.

Berpikir tingkat tinggi atau yang juga biasa dikenal dengan istilah

High Order Thinking (HOT) membutuhkan aktivitas berpikir yang lebih

kompleks. Seperti yang dikatakan oleh Budsankom, Sawangboon, &

15
Damrongpanit (2015: 2640) bahwa definisi HOT adalah kemampuan dan

keahlian untuk mnemukan jawaban atau mencapai sasaran-sasaran melalui

berbagai bentuk proses berpikir. Proses berpikir HOT melibatkan

transformasi informasi dan gagasan. Transformasi ini dilakukan dengan

menggabungkan fakta dan ide, mensintesis, menggeneralisasi,

menjelaskan, berhipotesis atau sampai pada beberapa kesimpulan atau

interpretasi.

HOT sering dihubungkan dengan proses berpikir lainnya seperti

berpikir kritis, berpikir kreatif maupun taksonomi Bloom. Seperti yang

dijelaskan oleh Brookhart (2010: 3) yang mendefinisikan HOT menjadi

tiga kategori, yaitu: (1) transfer, (2) berpikir kritis, dan (3) pemecahan

masalah

Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai HOT sebagai

transfer, berpikir kritis, dan pemecahan masalah:

1) HOT sebagai transfer

Menurut Anderson & Krathwohl (2001: 63), dua tujuan paling

penting pendidikan adalah untuk meningkatkan retensi dan transfer.

Pembelajaran dikatakan berarti jika retensi dan transfer dapat dicapai.

Retensi tercapai ketika siswa dapat mengingat apa yang telah mereka

pelajari, sedangkan transfer dikatakan tercapai ketika siswa tidak hanya

mengingat namun juga dapat memahami dan menggunakan apa yang

telah mereka pelajari (Anderson & Krathwohl, 2001: 63). Hal ini

16
menunjukkan bahwa transfer memiliki tingkatan berpikir lebih tinggi

dari retensi.

Berpikir tingkat tinggi dibutuhkan untuk melakukan transfer. Hal

ini merujuk pada “top end” taksonomi Bloom yang terdiri dari analisis,

evaluasi, dan mencipta. Pada konteks ini, siswa dituntut untuk “being

able to think” yang berarti siswa dapat menerapkan pengetahuan dan

keterampilan yang mereka kembangkan selama pembelajaran terhadap

konteks baru (Brookhart: 2010: 5). Konteks baru yang dimaksud adalah

mengaplikasikan pada hal yang belum dipikirkan siswa sebelumnya.

Tidak harus berupa sesuatu yang benar-benar baru.

Siswa yang memiliki kemampuan transfer, tidak lagi bergantung

pada guru layaknya siswa yang baru memiliki kemampuan retensi.

Mereka tahu apa yang akan mereka lakukan ketika guru tidak hadir

dalam pembelajaran tanpa bergantung pada tugas yang diberikan guru.

Dengan begitu, HOT berdasarkan kategori transfer ini dapat dipahami

sebagai kemampuan siswa menghubungkan apa yang mereka pelajari

dengan hal baru di luar yang mereka pikirkan untuk dihubungkan

dengannya.

2) HOT sebagai berpikir kritis

Siswa yang berpikiri kritis mampu menilai sesuatu dengan bijak

dan mencari alasan atas apa yang mereka percaya dan mereka lakukan.

Brookfield (2012: 11) menyatakan bahwa berpikir kritis terjadi ketika

seseorang melakukan 4 hal, yaitu:

17
a) Hunting assumption (mencari asumsi), pemikiran kritis terjadi ketika

seseorang mencoba untuk menemukan asumsi-asumsi yang

mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak.

b) Checking asuumption (memeriksa asumsi), pemikiran kritis terjadi

ketika seseorang mencoba untuk mengidentifikasi dan menilai apa

yang kita anggap sebagai bukti yang meyakinkan untuk asumsi kita

c) Seeing things from different viewpoints (melihat dari sudut pandang

berbeda), melihat asumsi dari sudut pandang berbeda dapat

membantu memutuskan keakuratan asumsi.

d) Taking informed action (melakukan aksi), inti pemikiran kritis adalh

mengambil tindakan berdasarkan pemikiran dan analisis.

Siswa yang berpikir kritis tidak hanya sekedar langsung percaya apa

yang dikatakan gurunya ataupun meniru apa yang dilakukan orang lain,

tapi mereka terlebih dahulu menganalisis dan mengevaluasi hal tersebut

sampai mereka menemukan alasan yang pasti. Brookhart (2010: 6)

mengatakan bahwa salah satu karakteristik manusia berpendidikan

adakah bahwa mereka membuat alasan, merefleksi, dan membuat

keputusan berdasarkan keputusan mereka tanpa paksaan dari orang lain.

Siswa merupakan orang yang terdidik, maka seharusnyalah berpikir

kritis menjadi salah satu karakteristik siswa.

Berpikir kritis menjadi salah satu kompetensi lulusan Sekolah

Dasar. Dalam lampiran Permendikbud nomor 20 tahun 2016 tentang

standar proses, berpikir kritis tercantum menjadi salah satu kompetensi

18
lulusan untuk dimensi keterampilan. Hal ini juga tercantum dalam

Permendikbud nomor 23 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi

Lulusan bahwa salah satu standar kompetensi lulusan satuan pendidikan

tingkat SD/MI/SDLB/Paket A adalah menunjukkan kemampuan

berpikir logis, kritis, dan kreatif dengan bimbingan guru/penyidik.

Seiring dengan semakin beragamnya sekolah dan masyarakat saat ini,

semakin kecil pula kemungkinan asumsi semua orang akan sama.

Siswa dapat memiliki keterampilan mengidentifikasi suatu hal

dari berbagai sudut pandang melalui berpikir tingkat tinggi ini.

Brookhart (2010: 6) menyebutnya sebagai “seeing where you’re coming

from.” Berdasarkan penjelasan tersebut, siswa yang mampu berpikir

tingkat tinggi adalah siswa yang mampu memberikan alasan,

merenungkan dari berbagai sudut pandang, dan membuat keputusan

yang tepat tanpa bergantung pada guru maupun tugas yang diberikan

kepadanya.

3) HOT sebagai pemecahan masalah (problem solving)

Masalah bukanlah sesuatu yang bisa dipecahkan hanya dengan

hafalan. Mungkin masalah satu dapat dipecahkan dengan solusi A,

namun tidak berarti masalah yang lainnya dapat dipecahkan dengan

solusi A pula. Masing-masing masalah memiliki strategi pemecahan

masalahnya sendiri.

Masalah yang diangkat sebaiknya berkaitan dengan kehidupan

nyata. Hal ini sesuai dengan Lawson (2012: 2) bahwa aktivitas

19
memecahkan masalah harus bermanfaat dan berhubungan dengan

kehidupan nyata. Masalah yang terjadi bisa saja berupa masalah

tertutup yang memiliki satu solusi maupun masalah terbuka yang dapat

memiliki banyak solusi. Masalah tertutup dapat kita lihat pada masalah

matematika yang dirancang untuk latihan berulang dengan algoritma

tertentu. Sedangkan masalah terbuka banyak terjadi di kehidupan.

Masalah ini cenderung lebih kompleks dari masalah tertutup dan dapat

memiliki beberapa solusi yang benar maupun beberapa jalur untuk

solusi yang sama tergantung pada nilai dan asumsi orang yang

memecahkannya.

HOT cenderung digunakan pada pemecahan masalah terbuka.

Seperti yang dijelaskan oleh Barak, David & Uri (2007) bahwa HOT

dapat dikonseptualisasikan sebagai cara berpikir non algoritmik dan

kompleks yang sering menghasilkan lebih dari satu solusi. Pemikiran

seperti ini melibatkan ketidakpastian. HOT sebagai pemecahan masalah

adalah ketika siswa dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah

dalam kehidupan akademiknya maupun dalam kehidupan sehari-hari

(Brookhart, 2010: 8). Masalah yang dipecahkan bisa berasal dari

masalah yang ditugaskan di sekolah maupun masalah yang mereka

tentukan sendiri dan menciptakan sesuatu yang baru sebagai solusinya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa HOT atau berpikir tingkat tinggi adalah cara berpikir

non algoritmik yang melibatkan transformasi informasi (pengetahuan) dan

20
gagasan yang melibatkan proses berpikir kompleks untuk mencapai tujuan

berupa pengertian, implikasi baru maupun pemecahan masalah. Berpikir

kompleks yang dimaksud adalah melibatkan proses berpikir lain tidak

hanya sekedar mengingat, namun juga melibatkan proses berpikir tingkat

tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi/mencipta.

b. HOT dan Taksonomi Kognitif

HOT merupakan hal yang erat kaitannya dengan taksonomi berpikir.

Taksonomi membantu mengingat berbagai target pembelajaran dan

keterampilan berpikir yang akan dicapai.

Salah satu taksonomi yang paling terkenal di dunia pendidikan dan

banyak digunakan sebagai panduan di Indonesia adalah taksonomi Bloom.

Taksonomi ini menawarkan model dasar keterampilan berpikir yang biasanya

dijadikan panduan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan penilaian.

Taksonomi Bloom berfokus pada pengelompokan tingkat pemikiran siswa

sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat

Brookhart (2010: 41) yang menyatakan bahwa taksonomi kognitif adalah

skema terorganisir untuk mengklasifikasikan target pembelajaran instruksional

ke dalam berbagai tingkat kompleksitas. Bloom mengklasifikasikan domain

kognitif menjadi enam bagian yang disusun dari yang sederhana sampai

kompleks, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan

evaluasi.

21
Taksonomi kognitif Bloom telah direvisi oleh Anderson dan Anderson

serta beberapa rekannya yang dipublikasikan pada tahun 2001. Perbedaan

mendasar antara edisi asli dengan edisi revisi adalah pada taksonomi Bloom

edisi revisi terdapat dua dimensi yaitu dimensi pengetahuan dan proses

kognitif (knowledge and cognitive process) (Brookhart: 2010: 40). Dimensi

pengetahuan mengklasifikasikan jenis pengetahuan yang berhubungan dengan

siswa, seperti: fakta, konsep, prosedur, atau metakognisi. Sedangkan dimensi

kognitifnya hampir sama dengan taksonomi Bloom sebelumnya, Pada dimensi

pengetahuan terdiri dari empat kategori utama, yaitu:

1) Pengetahuan faktual, yaitu unsur dasar yang harus diketahui oleh siswa

untuk mengenal suatu disiplin atau memecahkan masalah di dalamnya.

Pengetahuan ini meliputi: pengetahuan terminologi dan pengetahuan

tentang detail dan elemen spesifik.

2) Pengetahuan konseptual, yaitu keterkaitan antar elemen dasar dalam

struktur yang lebih besar yang memungkinkan mereka berfungsi

bersama. Pengetahuan ini meliputi: pengetahuan tentang klasifikasi

dan kategori; pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi; serta

pengetahuan tentang teori, model, dan stuktur.

3) Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana

melakukan sesuatu. pengetahuan ini meliputi: pengetahuan tentang

keahlian dan algoritma; pengetahuan tentang teknik dan metode; dan

pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan menggunakan

prosedur yang tepat.

22
4) Pengetahuan metakognitif, yaitu pengetahuan tentang kognisi pada

umumnya serta kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi seseorang.

Pengetahuan ini meliputi: pengetahuan strategis, pengetahuan tentang

tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisi yang

sesuai, serta pengetahuan diri.

Sedangkan pada dimensi kognitif, terjadi perubahan kata kunci dari

kata benda menjadi kata kerja untuk setia level taksonomi Selain itu, juga

terjadi perubahan nama dan hierarkis pada level 5 dan 6. Untuk lebih

jelasnya, berikut adalah struktur dimensi kognitif taksonomi Bloom hasil

revisi (Anderson: 2002, Brookhart: 2010):

1) Remember, yaitu mendapatkan kembali pengetahuan dari memori

jangka panjang. Proses ini meliputi mengingat dan mengenali fakta

dan konsep.

2) Understand, yaitu menentukan makna pesan instruksional melalui

lisan, tulisan, dan grafis. Dimensi ini melibatkan pemahaman dasar

yang menekankan siswa untuk membangun makna mereka sendiri.

Proses yang masuk dalam dimensi ini meliputi menafsirkan,

mencontohkan, mengklarifikasi, meringkas, menyimpulkan,

membandingkan, dan menjelaskan.

3) Apply, yaitu melaksanakan atau menggunakan prosedur dalam situasi

tertentu. Proses ini meliputi eksekusi dan implementasi.

4) Analyze, yaitu memecah informasi menjadi bagian-bagian tertentu dan

mendeteksi bagaimana masing-masing bagian berhubungan satu sama

23
lain dan dengan keseluruhan struktur atau tujuannya. Prosesnya

meliputi membedakan, mengorganisasi, dan mengaitkan.

5) Evaluate, yaitu membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar.

Proses yang terjadi meliputi memeriksa dan mengkritik.

6) Create, yang berarti menempatkan elemen berbeda menjadi satu utnuk

membentuk suatu keseluruhan yang baru atau mengorganisasi kembali

elemen yang ada untuk membentuk struktur baru. Proses yang terjadi

meliputi membangkitkan (generating), merencanakan, dan

memproduksi.

Taksonomi Bloom disusun dari yang sederhana ke yang kompleks.

Hal ini sesuai dengan Scheg (2014: 127) dan Hansen (2012: 13) yang

menyatakan bahwa taksonomi bloom disusun dari keterampilan berpikir

tingkat rendah dan bertahap menuju keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Tiga level pertama termasuk dalam lower order thinking sedangkan 3 level

berikutnya termasuk dalam higher order thinking. Terdapat perbedaan

interpretasi susunan taksonomi. Ada yang beranggapan bahwa semua

kegiatan harus melewati tahap yang berurutan, namun juga ada yang

beranggapan bahwa proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana

saja tergantung kreasi tiap orang.

c. Aspek HOT

HOT merupakan proses berpikir yang tidak hanya memiliki satu

aspek. Brookhart (2010: 14) mengkategorikan HOT menjadi 5 aspek,

yaitu:

24
1) Analysis (analisis), evaluation (evaluasi), dan creation (mencipta)

a) Analisis

Analisis adalah memecah informasi menjadi bagian-bagian

tertentu dan mendeteksi bagaimana hubungan masing-masing

bagian satu sama lain dan dengan keseluruhan struktur atau

tujuannya. Menurut Hansen (2012: 14), ada beberapa istilah yang

merujuk pada proses analisis saat di kelas, yaitu: examine,

compare, contrast, explain, investigate, identify.

Keterampilan menganalisis siswa dapat dilatih dengan

meminta mereka melakukan investigasi. Menurut Hansen (2012:

13), siswa seharusnya diberi kesempatan untuk mengembangkan

keterampilannya dengan membuat investigasi menjadi tujuan

pembelajaran.

Berdasarkan Anderson (2001: 79-83) analisis terdiri dari 3

kategori, yaitu:

(1) Differentiating (Membedakan), membedakan bagian-bagian

dari keseluruhan struktur dalam hal relevansi atau

kepentingannya. Differentiating dilakukan dengan

mendiskriminasi informasi yang relevan dari yang tidak

relevan. Istilah alternatif untuk differentiating adalah

discriminating, selecting, distinguishing, dan focusing. Contoh

differentiating adalah ketika siswa diminta untuk membaca

25
tentang proses terjadinya petir dan mereka diberi tugas untuk

membagi proses tersebut ke dalam langkah-langkah utama.

(2) Organizing (Mengorganisasi), menentukan bagaimana

merangkai potongan-potongn informasi penting yang

didapatkan. Proses ini terjadi ketika siswa dapat membangun

hubungan yang sistematis dan koheren antar potongan

informasi. Istilah alternatif untuk organizing adalah finding,

coherence, intergrating, outlining, parsing, dan structuring.

Contoh organizing adalah siswa diminta untuk membaca

laporan penelitian dan mereka diberi tugas untuk membuat

diagram yang berisi pokok penting dari laporan tersebut.

(3) Attributing (Mengatribusikan), terjadi ketika siswa dapat

menentukan sudut pandang, pedapat, nilai atau tujuan di balik

komunikasi. Attributing berisi proses dekonstruksi, yaitu siswa

menentukan tujuan di balik informasi yang didapat.

Salah satu contoh kegiatan analisis dalam pembelajaran

adalah mencari gagasan utama pada teks yang tidak menyantumkan

gagasan utamanya secara eksplisit. Sebuah teks yang demikian

mengharuskan siswa untuk mengingat dan memahaminya

kemudian menyimpulkan gagasan utama secara keseluruhan dari

beberapa poin yang dibuatnya. Pada saat mengidentifikasi gagasan

utama, siswa harus memecah teks menjadi beberapa bagian

kemudian melihat bagian yang sama dan pesan yang diberikan.

26
b) Mengevaluasi

Evaluasi didefinisikan sebagai penilaian berdasarkan kriteria

dan standar. Evaluasi yang termasuk dalam kategori HOT adalah

evaluasi yang berdasarkan kriteria atau standar yang masuk akal

bukan berupa pendapat pribadi. Seseorang yang menilai kopi lebih

enak daripada susu karena yang bersangkutan lebih menyukai kopi

bukanlah contoh HOT.

Tidak seluruh penilaian (judgement) bersifat evaluatif. Ciri

khas yang membedakan judgement dalam kategori evaluasi dengan

judgement pada kategori lain adalah penggunaan standar atau

performance yang memiliki kriteria yang jelas. Evaluasi dapat

diterima ketika didukung oleh alasan dan bukti yang kuat dan

masuk akal. Salah satu contoh kegiatan evaluasi yang dapat

dilakukan dalam pembelajaran adalah siswa diminta untuk menilai

seberapa kuat bukti yang mendukung kebenaran teori-teori

pembentukan alam semesta. Siswa akan memeriksa bukti-bukti apa

saja yang mendukung teori tersebut, selanjutnya siswa akan

menilai bukti tersebut apakah cukup kuat untuk dipercaya.

Berdasarkan Anderson (2001: 83-84) evaluasi terdiri dari 2

aspek, yaitu:

(1) Checking (memeriksa), mendeteksi ketidakkonsistenan atau

kesalahan dalam suatu proses atau produk. Proses memeriksa

terjadi ketika siswa menguji apakah suatu kesimpulan sesuai

27
dengan premis premisnya atau tidak, apakah data-data yang

diperoleh mendukung atau menolak hipoteis atau apakah

masing-masing materi pelajaran berisikan bagian -bagian yang

saling bertentangan. Contoh checking adalah meminta siswa

untuk menentukan apakah simpulan yang ditarik sesuai dengan

data yang ada atau tidak.

(2) Critiquing (mengkritik), melibatkan penilaian suatu produk

atau proses berdasarkan kriteria eksternal. Siswa mencari ciri-

ciri positif atau negatif dari suatu produk dan membuat

keputusan berdasarkan ciri-ciri yang sudah ditentukan. Proses

ini dikenal sebagai berpikir kritis. Contoh critiquing adalah

siswa diminta untuk memberikan penilaian terkait

kebermanfaatan solusi yang ditawarkan untuk mengurangi

pemanasan global.

c) Mencipta

Create (mencipta) berarti menempatkan elemen berbeda

menjadi satu untuk membentuk suatu keseluruhan yang baru atau

mengorganisasi kembali elemen yang ada untuk membentuk

struktur baru. Proses creating membutuhkan keterampilan berpikir

kreatif. Namun, mencipta bukan berarti harus membuat sesuatu

yang benar-benar baru. Dalam taksonomi Bloom, mencipta bisa

saja berarti menempatkan hal-hal yang berbeda dengan cara baru

atau mengatur ulang hal-hal yang sudah ada untuk membuat

28
sesuatu yang baru. Contoh kegiatan mencipta adalah siswa

menuliskan contoh masalah sehari-hari yang berhubungan dengan

masalah matematika. Berdasarkan Anderson (2001: 84-88) proses

ini terdiri dari:

(1) Generating (merumuskan), merupakan tahap di mana siswa

menentukan hipotesis alternatif berdasarkan kriteria tertentu.

Saat proses ini melampaui pengetahuan awal siswa, maka akan

melibatkan proses berpikir divergen dan membentuk sebuah

proses berpikir kreatif (creative thinking). Kategori

understanding pada taksonomi Bloom juga melibatkan proses

yang bersifat generative. Namun, sebagian besar tujuan

kategori understanding adalah untuk menghasilkan proses

konvergen (makna tunggal). Istilah aterntif untuk generating ini

adalah hypothesizing. Contoh generating adalah meminta siswa

untuk merumuskan alternatif solusi dari permasalahan yang

dipaparkan.

(2) Planning (merencanakan), yaitu tahap di mana siswa

merencanakan berbagai metode dan solusi dan mengubahnya

menjadi suatu rencana aksi untuk menyelesaikan beberapa

tugas. Misalnya,siswa diminta untuk merencanakan cara untuk

menentukan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Istilah aterntif untuk proses ini adalah designing.

29
(3) Producing (memproduksi), yaitu tahap ketika siswa mulai

melaksanakan rencana untuk memecahkan masalah tertentu

menurut kriteria tertentu. Misalnya siswa diminta untuk

membuat sebuah tempat hidup untuk spesies tertentu dengan

tujuan tertentu. Istilah aterntif untuk proses ini adalah

constructing.

2) Logical reasoning (Penalaran yang logis)

Penalaran digunakan di semua tingkatan berpikir tingkat tinggi.

Seperti yang dikatakan oleh Brookhart (2010: 62) bahwa penalaran

yang baik digunakan pada saat melakukan tugas yang bersifat analitis,

evaluatif, dan kreatif). Keterampilan penalaran secara umum

mencakup menilai kebenaran suatu klaim dan relevan dengan arguman

atau masalah yang dihadapai, dan menilai kekonsistenan suatu hal.

Keterampilan ini dibutuhkan untuk semua jenis penalaran. Penalaran

terdiri dari dua jenis, yaitu penalaran deduktif dan induktif. Schraw

(2011: 22-23) menyatakan bahwa penalaran deduktif menggunakan

fakta atau bukti untuk mendukung sebuah kesimpulan yang lebih

umum sedangkan kesimpulan pada penalaran induktif dapat

digeneralisasikan untuk kasus baru. Penalaran deduktif bergerak dari

khusus ke umum sedangkan penalaran induktif berjalan dari umum ke

khusus.

3) Judgement and critical thinking (penilaian dan berpikir kritis)

30
Berpikir kritis adalah keterampilan berpikiri yang berkaitan

dengan proses analisis dan evaluasi. Hal ini sesuai dengan Conklin

(2011: 10) yang menyatakan bahwa karakteristik berpikir kritis adalah

berhati-hati dalam menganalisis dan membuat keputusan. Mampu

menilai dan berpikir kritis adalah ciri orang terpelajar. Kemampuan

seperti ini diharapkan dimiliki oleh para siswa. Heong (2011)

menyatakan bahwa ketika siswa sudah dapat berpikir kreatif dan

berikir kritis maka siswa tersebut telah menggunakan kemampuan

berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis tidak terlepas dari kemampuan

menilai yang berkualitas. Menurut Brookhart (2010: 85), menilai

kredibilitas sumber informasi merupakan aspek penting dari penilaian

yang baik. Penilaian yang berkualitas, kehati-hatian dan kebijaksanaan

yang baik penting untuk para akademisi. Misalnya, untuk membedakan

antara catatan sejarah yang kredibel dan kurang kredibel. Berpikir

kritis juga dapat dikatakan sebagai berpikir reflektif. Keterampilan ini

secara terus menerus dan sadar menanyakan mengapa atas suatu hal.

4) Problem solving (pemecahan masalah)

Seorang pemecah masalah yang baik adalah orang yang dapat

mengutamakan dan mengevaluasi hal-hal yang kurang efektif dengan

strategi solusi yang berbeda-beda (Brookhart, 2010: 99). Ada lima

tahapan yang dilakukan untuk memecahkan masalah, yaitu: (1)

mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan; (2) mengidentifikasi

yang tidak relevan; (3) menggambarkan dan mengevaluasi beragam

31
strategi solusi; (4) mengidentifikasi hambatan atau informasi tambahan

untuk memecahkan suatu masalah atau skenario; dan (5)

pengungkapan alasan disertai data.

5) Creativity and creative thinking (kreativitas dan berpikir kreatif)

Kreativitas di sini berarti menggabungkan suatu hal bersama

dengan cara yang baru baik secara artistic maupun konseptual,

mengamati hal-hal yang mungkin terlewatkan, membangun sesuatu

yang baru, menggunakan citra yang tidak biasa untuk membuat hal

yang menarik, dan sejenisnya. Kreatif tidak hanya sebatas pada

kreativitas artistik saja. Kreatifitas terbentuk dari proses berpikir yang

tidak mudah. Menurut Conklin (2011: 21), melakukan penemuan dan

sintesis adalah karakteristik berpikir kreatif. Dalam berpikir kreatif,

seseorang melakukan penemuan dan sintesis. Kreatifitas tidak serta

merta ada maupun tercipta secara genetik, namun karena ada

intensifitas dalam melakukan strategi berpikir kritis.

Selain pendapat Brookhart di atas, masih ada pendapat lain

mengenai aspek HOT. Schraw (2011: 22-24) menyatakan ada empat

komponen HOT, yaitu: 1) Keterampilan penalaran, 2) keterampilan

berargumen, 3) keterampilan pemecahan masalah dan berpikir kritis, 4)

metakognisi. Metakognisi terdiri dua subkomponen, yaitu pengetahuan

tentang kognisi dan regulasi kognisi. Pengetahuan tentang kognisi

mengacu pada apa yang kita ketahui tentang kognisi kita. Hal ini

mencakup 3 aspek, yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural,

32
dan pengetahuan kondisional. Sedangkan regulasi kognisi terdiri dari tiga

komponen, yaitu perencanaan, pengawasan, dan evaluasi.

HOT juga meliputi aspek berpikir kreatif. Berpikir kreatif yang

dimaksud adalah mampu menggunakan struktur berpikir yang rumit untuk

menghasilkan ide yang baru dan orisinal. Sejalan dengan itu, Conklin

(2012: 14) juga berpendapat bahwa HOT terdiri dari berpikir kritis dan

berpikir kreatif. Conklin menyebutkan bahwa berpikir kritis memiliki inti

sari yang sama dengan berpikir reflektif yaitu berpikir tentang berpikir

yang biasa disebut dengan metakognisi. Sedangkan berpikir kreatif adalah

proses mengeluarkan ide baru.

Berdasarkan penjelasan di atas, aspek HOT yang akan diambil dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Analisis

Analisis adalah memecah informasi menjadi bagian-bagian

tertentu dan mendeteksi bagaimana hubungan masing-masing bagian

satu sama lain dan dengan keseluruhan struktur atau tujuannya.

Analisis melibatkan proses membedakan, mengorganisasi, dan

mengatribusi.

2) Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian berdasarkan kriteria dan standar.

Evaluasi melibatkan proses memeriksa dan mengkritik.

3) Berkreasi/ mencipta

33
Berpikir kreatif adalah proses mengeluarkan ide baru. Berpikir

kreatif dibutuhkan dalam mencipta. Mencipta adalah menempatkan

elemen berbeda menjadi satu untuk membentuk suatu keseluruhan

yang baru atau mengorganisasi kembali elemen yang ada untuk

membentuk struktur baru. Mencipta melibatkan proses merumuskan,

merencanakan, dan memproduksi.

d. Cara Meningkatkan Keterampilan HOT

Berpikir merupakan keterampilan yang dapat dipelajari dan

diajarkan. Ada beberapa cara untuk meningkatkan keterampilan berpikir

seseorang. Limbach (2010) menjelaskan lima langkah yang dapat

diimplementasikan pada pembelajaran untuk menciptakan lingkungan

yang lebih aktif dan merangsang siswa mengembangkan HOT. Kelima

langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Menentukan tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran berisi standar yang harus dicapai siswa

dalam pembelajaran. Guru harus berhati-hati dalam mengidentifikasi

dan menentukan tujuan pembelajaran yang baik. Tujuan pembelajaran

yang ditulis dengan baik akan mempercepat siswa meningkatkan

kemampuan berpikirnya ke tingkat yang lebih tinggi (Ball, 2005).

Tujuan pembelajaran yang ditentukan harus mengandung HOT

sehinggadapat menuntut siswa untuk berpikir tingkat tinggi. Menurut

Mainali (2010) rencana pelajaran yang ditulis dengan baik harus

34
menargetkan perilaku tertentu, memperkenalkan dan mempraktikkan

perilaku yang diinginkan dan diakhiri dengan pameran respon perilaku

siswa. Penentuan tujuan pembelajaran dapat mempertimbangkan

Taksonomi Bloom untuk mengidentifikasi sejauh mana tingkat berpikir

akan digunakan dalam pembelajaran.

2) Belajar melalui bertanya

Bertanya merupakan teknik pembelajaran yang berpengaruh

terhadap keterampilan berpikir siswa. Pertanyaan yang dilontarkan

guru mengarahkan siswa berpikir sesuai dengan tingkat pertanyaan

yang diberikan (Limbach, 2010). Jika pertanyaan yang diberikan

mengandung HOT, dengan otomatis siswa akan berpikir lebih tinggi

untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Mainali (2010) semua

siswa membutuhkan pengalaman menghadapi pertanyaan dengan level

lebih tinggi setelah mereka tebiasa dengan konsep. Pertanyaan dapat

dibedakan menjadi pertanyaan konvergen dan pertanyaan divergen.

Pertanyaan konvergen adalah pertanyaan yang mencari satu atau lebih

jawaban benar yang sangat spesifik, sedangkan pertanyaan divergen

mencari berbagai jawaban yang benar. Pertanyaan konvergen biasanya

digunakan untuk menanyakan level berpikir yang rendah, sedangkan

pertanyaan divergen dapat mengukur level berpikir yang lebih tinggi.

3) Memperbanyak latihan sebelum melakukan penilaian

Praktik merupakan hal yang penting dilakukan untuk menguasai

keterampilan apapun. Siswa perlu diberi kesempatan untuk

35
mempraktikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yan g akan

dievaluasi. Menurut Mainali (2010:9), agar siswa dapat berpikir tingkat

tinggi, mereka harus mengajukan argumen, menyatakan pendapat,

mencari bukti, mengkritik bukti, dan berpikir dengan adil. Siswa dapat

berlatih mengemukakan maupun mengkritik argumen menggunakan

berbagai sumber pengetahuan mereka. Oleh karena itu, perlu memilih

kegiatan belajar yang memungkinkan mereka untuk berlatih maupun

mempraktikan ilmu yang mereka dapatkan.

4) Meninjau, memperbaiki, dan meningkatkan pembelajaran

Guru harus terus berusaha memperbaiki pembelajaran mereka

sehingga teknik maupun metode yang digunakan benar-benar membuat

siswa berpikir tingkat tinggi. Guru juga perlu memantau kegiatan di

kelas dan partisipasi siswa. Hal ini akan membuat siswa lebih

bertanggungjawab terhadap pembelajaran. Guru dapat mengumpulkan

umpan balik dari siswa tentang materi yang sudah mereka pahami dan

belum dipahami. Selanjutnya, guru dapat melakukan perbaikan terhadap

materi yang belum dipahami maupun membuat pengayaan.

5) Memberikan umpan balik & melakukan penilaian terhadap

pembelajaran

Guru perlu memberitahukan kepada siswa standar penilaian

pembelajaran yang digunakan. Selanjutnya, guru dapat memberikan

umpan balik kepada siswa mengenai proses pembelajaran. Menurut

Mainali (2012), umpan balik dan penilaian siswa memberikan sumber

36
informasi langsung dan signifikan untuk proses penilaian berbasis hasil

dalam mengevaluasi teknik mengajar siswa, prestasi, kegiatan belajar

khusus, kursus, program departemen, dll. Umpan balik yang diberikan

dapat mengenai kegiatan pembelajaran secara teknik, prestasi belajar

maupun hal lain mengenai pembelajaran. Melalui umpan balik ini, siswa

diajak untuk menilai kinerjanya sendiri. Umpan balik guru, seperti

penilaian, dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas siswa. Namun,

tujuan umpan balik adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran

dan kinerja siswa, daripada menilai kinerja, dan yang terpenting, ini

berpotensi membantu siswa belajar bagaimana menilai kinerjanya

sendiri di masa depan (Mainali, 2012). Dengan begitu, siwa terlatih

untuk berpikir tingkat tinggi.

Belajar berpikir bagi siswa sekolah dasar berbeda dengan belajar

berpikir siswa sekolah menengah maupun dewasa. Belajar berpikir harus

disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Menurut Simister C. .J.

(2007:12) belajar berpikiri untuk siswa usia 5- 11 tahun dapat dilakukan

melalui hal berikut:

1) Mengajukan pertanyaan

Pertanyaan dapat merangsang siswa untuk berpikir sesuai dengan

arah pertanyaan. Pertanyaan yang merangsang berpikir tingkat tinggi

akan mengarahkan siswa berpikir tinggi pula. Pertanyan dapat berasal

dari guru maupun siswa. Siswa dapat didorong untuk memikirkan

pertanyaan-pertanyaan yang ingin mereka ketahui. Guru juga dapat

37
merangsang siswa dengan memberikan pernyataan yang dapat

menimbulkan pertanyaan baru. Dari sinilah, kemajuan awal proses

berpikir siswa.

2) Keterampilan mengolah informasi

Hal lain yang dapat mendorong berpikir siswa adalah keterampilan

saling memberi informasi dan gagasan. Siswa didorong untuk

mengumpulkan informasi dari jumlah besar yang tersedia. Mereka harus

mencari cara untuk menyortir, mengurutkan, meringkas, dan

memprioritaskan poin-poin kunci. Mereka harus diajari berbagai metode

penyampaian informasi secara jelas dan logis sehingga peluang mereka

untuk mencapai pemahaman yang benar dapat berjalan maksimal.

3) Berpikir kritis

Siswa perlu belajar membedakan apa yang mereka temukan,

mengklarifikasi, menyortir, mengevaluasi, menilai informasi maupun

gagasan. Keterampilan ini membantu siswa lebih berpikir secara logis

dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

4) Berpikir kreatif

Secara umum, gagasan muncul dalam dua bentuk yaitu gagasan

kritis dan gagasan kreatif. Gagasan kritis sudah sering diperhatikan oleh

sekolah namun gagasan kreatif kurang diperhatikan di sekolah. Guru

tidak boleh puas dengan hanya kekritisan siswa. Dunia membutuhkan

anak-anak zaman sekarang untuk menjadi pemecah masalah masa depan

38
dan itu tidak akan terjadi hanya dengan berpkritis atas gagasan orang

lain, namun juga harus berpikir kreatif menciptakan gagasan.

5) Membuat keputusan

Langkah selanjutnya untuk meningkatkan berpikir tingkat tinggi

siswa adalah dengan belajar membuat keputusan. Jadi setelah informasi

didapat dan telah dinilai secara kritis dan ide kreatif telah ditambahkan,

sebuah keputusan perlu dibuat. Proses membuat keputusan

membutuhkan kepercayaan diri dalam menalar. Siswa perlu diberikan

beberapa alternatif keputusan dan mempertimbangkan kelebihan dan

kekurangannya dari berbagai sudut pandang. Keputusan yang diambil

mungkin tidak selalu benar, tapi jika dipertimbangkan dengan benar,

setidaknya peluang keberhasilan meningkat.

6) Keterampilan mengingat

Keterampilan berpikir siswa dapat dikembangkan salah satunya

dengan mengembangkan ingatan siswa. sendekatan pembelajaran yang

lebih aktif dan menyenangkan terbukti lebih efektif dalam

mengembangkan ingatan siswa.

7) Komunikasi

Siswa perlu diajarkan untuk mengenal satu sama lain,

bekerjasama, mencapai keputusan kelompok, bernegosiasi, dan

membangun gagasan yang lebih baik dan menarik dari apa yang mereka

dengar daripada tetap berpegang teguh pada satu sudut pandang.

39
Selain cara yang sudah dijelaskan di atas, Tajularipin S. (2015: 494)

menambahkan bahwa siswa harus menerima tugas yang menantang untuk

mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi. Juano, A. & Pardjono

(2016: 52) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan problem posing

juga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Selain itu,

kerja kelompok juga efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir

tingkat tinggi termasuk diskusi siswa, tutor sebaya, dan pembelajaran

kooperatif.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa strategi yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa

(HOT). Hal pertama yang dilakukan untuk meningkatkan keterampilan

HOT siswa adalah dengan menentukan tujuan pembelajaran yang

mengandung HOT. Setelah itu, melaksanakan pembelajaran dengan

beberapa teknik seperti: mengajukan pertanyaan; memperbanyak latihan

untuk mengolah informasi, berpikir kritis, berpikir kreatif, membuat

keputusan, berkomunikasi; melakukan kerja kelompok; dan melakukan

penilaian dan perbaikan pembelajaran.

e. Cara menilai HOT

Keterampilan HOT seyogyanya harus diajarkan sedari kecil. Sekolah

menjadi salah satu tempat untuk membiasakan siswa menggunakan HOT.

HOT sebaiknya tidak hanya diajarkan dalam pembelajaran, namun perlu

diterapkan dalam penilaian pembelajaran agar dapat mengukur

40
keterampilan HOT siswa sekaligus melakukan pembiasaan pada siswa.

Ada beberapa prinsip yang harus dilaksanakan untuk dapat melakukan

penilaian dengan semestinya. Menurut Brookhart (2010: 17), ada 6 prinsip

dasar yang harus diikuti ketika merencanakan penilaian, yaitu:

1) Tentukan secara jelas dan tepat apa yang akan dinilai

Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan jenis berpikir dan

konten yang akan dinilai. Periksa setiap tujuan pembelajaran yang telah

ditentukan dan pastikan berisi konten yang spesifik dan relevan.

Konten pada tujuan pembelajaran menentukan bagaimana cara

menilainya.

2) Rancang tugas/tes yang dapat membuat siswa mendemonstrasikan

pengetahuan atau keterampilannya.

Ada tiga hal yang perlu dilakukan saat merancang sebuah tugas,

yaitu:

a) Menentukan proporsi konten penilaian dengan membuat blueprint

penilaian. Blueprint penilaian diperlukan untuk memberikan

gambaran keluasan dan kedalaman pengetahuan dan keterampilan

yang akan dinilai. Hal ini memudahkan guru dalam mengatur

keseimbangan setiap level pengetahuan dan keterampilan.

b) Menentukan proporsi setiap unit pembelajaran yang akan dinilai

melalui blueprint penilaian. Selain keseimbangan level penilaian,

keseimbangan setiap konten materi pembelajaran yang akan dinilai

pun perlu diperhatikan. Blueprint penilaian membantu guru

41
menyeimbangkan konten materi penilaian sekaligus keseimbangan

setiap unit pembelajaran terhadap level pengetahuan dan

keterampilan.

c) Merancang rubrik penilaian yang proporsional. Guru perlu

menentukan keseimbangan poin pada setiap kriteria penilaian

dengan mempertimbangkan tingkat kognitif yang dibutuhkan untuk

masing-masing item.

3) Tentukan apa yang menjadi bukti sejauh mana siswa telah

menunjukkan pengetahuan atau keterampilannya

Hasil pekerjaan siswa pada suatu evaluasi perlu ditafsirkan untuk

mengetahui tingkat pencapaian siswa. Guru perlu membuat kriteria

sebagai dasar untuk memberi umpan balik kepada siswa.

4) Hadirkan suatu hal sebagai bahan materi siswa untuk berpikir bisa

dalam bentuk teks pengantar, visual, skenario, bahan sumber, atau

masalah.

Guru dapat menggunakan materi pengantar dan membuat item

penilaian berdasarkan materi tersebut. Guru bisa menggunakan bahan

pengantar dengan berbagai jenis item tes dan tugas penilaian kinerja.

5) Gunakan nove material, materi yang baru untuk siswa.

Nove material adalah materi yang belum pernah digunakan pada

pembelajaran di kelas. Menggunakan bahan baru berarti siswa harus

benar-benar berpikir, tidak hanya mengingat materi yang tercakup

dalam kelas.

42
6) Bedakan antara tingkat kesusahan (mudah vs susah) dan tingkat

berpikir (berpikir tingkat rendah vs berpikir tingkat tinggi), dan

kontrol secara terpisah.

Guru perlu menyadari bahwa tingkat kesulitan (mudah versus

keras) dan tingkat pemikiran (mengingat versus pemikiran tingkat

tinggi) adalah dua hal yang berbeda. Soal pada level C1 (mengingat)

bukan berarti soal yang mudah. Begitu pula soal yang mengandung

HOT bukan berarti soal yang sulit. Hal ini memungkinkan guru untuk

menggunakan pertanyaan dan tugas dengan pemikiran tingkat tinggi

pada semua peserta didik.

Tiga prinsip pertama adalah prinsip dasar untuk melakukan segala

penilaian (assessment) termasuk menilai HOT, sedangkan 3 prinsip

terakhir adalah prinsip tambahan yang harus diikuti jika ingin menilai

HOT siswa.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

menilai HOT harus memenuhi 3 prinsip dasar dan 3 prinsip tambahan.

Prinsip dasar yang harus dipenuhi adalah menentukan secara jelas dan

tepat apa yang akan dinilai, merancang tugas/ tes yang mengharuskan

siswa mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilannya, menentukan

apa yang menjadi bukti sejauh mana siswa telah menunjukkan

pengetahuan atau keterampilannya. Prinsip tambahan yang harus dipenuhi

adalah menghadirkan sesuatu untuk dipikirkan siswa, menggunakan materi

43
yang baru untuk siswa, mengontrol tingkat kesusahan dan tingkat berpikir

secara terpisah.

f. HOT pada Siswa SD

Siswa di setiap jenjang pendidikan secara terus menerus mengalami

perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Kognitif manusia

merupakan salah satu hal yang berkembang dari masa ke masa. Piaget

(Slavin:2011) membuat tahapan perkembangan kognitif berdasarkan usia

seseorang. Berikut adalah tahapan perkembangan kognitif berdasarkan

teori Piaget:

1) Tahap perkembangan sensoris-motoris (usia 0 – 2 tahun)

2) Tahap praoperasional (usia 2 – 7 tahun)

3) Tahap operasional konkret (usia 7 – 11 tahun)

4) Tahap operasional formal (usia di atas 11 tahun)

Berdasarkan teori di atas dan menimbang adanya Kemendikbud

Nomor 14 tahun 2018 yang menyebutkan bahwa persyaratan calon peserta

didik SD berusia 7 tahun atau minimal 6 tahun pada 1 Juli tahun berjalan,

maka siswa usia SD berada pada tahap perkembangan operasional konkret.

Namun, sebagian siswa kelas VI SD memiliki kemungkinan untuk

memasuk tahap operasional formal.

Setiap tahap perkembangan memiliki karakter masing-masing.

Menurut Piaget (Byrne, J.P. (2008: 23) perkembangan membuat pemikiran

menjadi lebih abstrak. Abstrak memiliki makna “removed from immediate

44
perception and action.” Pemikiran seorang anak yang berkembang ke

tingkat selanjutnya bersifat lebih abstrak dari sebelumnya karena setiap

tahap transisi menghasilkan pemikiran yang satu langkah lebih jauh dari

persepsi dan tindakan. Higher Order Thinking dalam konteks berpikir

abstrak adalah berpikir yang kurang terikat pada persepsi dan tindakan.

Anak yang mencapai tahap operasional konkret sudah mampu bernalar

menggunakan simbol yang tidak menyerupai hal nyata di dunia mereka.

Sedangkan pada tahap operaional formal, anak-anak dapat bernalar dengan

menggunakan simbol yang menyimbolkan simbol lain, misalnya x

merupakan simbol dari 4 (x = 4).

Selain itu, menurut Piaget (Byrne, J.P., 2008: 23) perkembangan

juga membuat pemikiran menjadi lebih logis. Berpikir dilakukan sesuai

logika. Anak praoperasi harus memeriksa setiap item yang disebutkan

dalam pernyataan transitif untuk mencapai kesimpulan yang benar.

Misalnya jika A lebih besar dari B, dan B lebih besar dari C, maka A lebih

besar dari C. Anak praoperasional akan benar-benar mengukur A dan

membadingkannya dengan C. Sedangkan anak tahap operasional konkret

tidak perlu membandingkan A dengan C untuk mendapat kesimpulan yang

benar.

Sejalan dengan Piaget, Berk (2012: 403-404) menyatakan bahwa

usia sekolah dasar memiliki kemampuan kekekalan, klasifikasi, seriasi,

dan penalaran spasial. Kekekalan adalah tindakan mental yang mengikuti

kaidah logika. Klasifikasi yaitu kemampuan mengkategorikan dan fokus

45
pada hubungan antar kategori. Seriasi adalah kemampuan mengatur item-

item sesuai dengan dimensi kuantitatif. Sedangkan penalaran spasial

adalah kemampuan menyimpulkan dengan menghubungkan bagian-bagian

yang terpisah. Slavin (2011: 45) juga menyatakan bahwa pada tahap

operasional konkret pencapaiannya berupa peningkatan kemampuan

berpikir logis, kemampuan baru meliputi penggunaan pengoperasian yang

dapat dibalik, pemikiran tidak terpusat, pemecahan masalah kurang

dibatasi oleh egosentrisme, dan belum bisa berpikir abstrak.

Anak operasional konkret sudah dapat berpikir analisis logis. Byrne

J.P. (2008: 24) mengemukakan bahwa beberapa ahli berpendapat anak

operasional konkret berpikir analisis logis melalui 3 cara, yaitu:

1) Mengklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu sehingga kesimpulan

deduktif dan induktif yang valid dapat ditarik.

2) Mendefinisikan dengan menggunakan daftar atribut “yang perlu ada

dan cukup”

3) Membedakan dengan menghubungkan kategori dengan lawannya.

Anak operasional formal memiliki berpikir logis dengan cara yang

berbeda dari operasional konkret. Anak operasional formal dapat

menggunakan cara berpikir induktif, deduktif, dan transitif pada hal yang

nyata maupun yang bersifat hipotesis (abstrak). Misalnya, “Semua katak

adalah mamalia. Mamalia berdarah panas. Sehingga, katak berdarah

panas.” Meskipun konteks semua katak adalah mamalia merupakan hal

46
yang salah, namun operasional formal dapat mengesampingkan fakta

tersebut dan mengasumsikan premis prior adalah hal yang benar.

Teori Piaget memiliki banyak persamaan dengan teori skema.

Namun, teori skema tidak menekankan adanya tahap perkembangan

maupun tingkat pemahaman. Teori ini tidak menjelaskan adanya

perbedaan usia pada kemampuan anak untuk memahami topik tertentu.

Pada prinsipnya, teori ini beranggapan bahwa selama guru menyajikan

beberapa contoh, anak-anak pada usia berapapun harus dapat

mengabstraksikan persamaan dan memahami sifat kategori. Dengan

demikian, berpikir tingkat tinggi dapat dilakukan oleh semua anak selama

guru memberikan contoh.

Berbeda dengan Piaget, Thorndike tidak membuat perbedaan antara

higher order thinking dan lower order thinking (Byrnes, J.P., 2008: 14).

Teori Thorndike tidak membuat ketentuan batas usia kemampuan berpikir

seseorang. Menurut Thorndike, semua pengetahuan terdiri dari ikatan

asosiatif antara situasi dan respon. Siswa tahu apa yang harus dilakukan

atau dikatakan dalam situasi tertentu berdasarkan situasi ataupun masalah

yang ditanyakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa anak

usia SD sudah dapat mengenal Higher Order Thinking (HOT). Hal ini

dapat dilihat dari karakteristik intelektual siswa yang sudah dapat berpikir

logis, analitis, dan memecahkan masalah. Meskipun demikian, pada

umumnya anak usia SD masih belum dapat berpikir secara abstrak

47
sehingga dalam pembelajaran perlu dipadukan dengan sesuatu yang

konkret.

2. Buku Teks Kurikulum 2013

a. Hakikat Buku Teks

Dunia pendidikan tidak dapat lepas dari buku. Sejak jaman dulu,

belajar sudah identik dengan penggunaan buku. Friesen (2017: 7)

mengatakan bahwa buku dan pembelajaran adalah bentuk dasar

pendidikan yang sudak ada sejak jaman dulu. Hingga saat ini, buku masih

menjadi hal pokok yang harus ada dalam pendidikan. Setidaknya ada 7

jenis buku yang menurut Masnur Muslich (2010: 24) dapat dimanfaatkan

dalam dunia pendidikan yaitu: (1) buku acuan, (2) buku pegangan, (3)

buku teks atau buku pelajaran, (4) buku latihan, (5) buku kerja atau buku

kegiatan, (6) buku catatan, dan (7) buku bacaan. Masing-masing buku

memiliki peran dan karakteristik yang berbeda.

Buku teks merupakan jenis buku yang banyak digunakan dalam

praktik pendidikan. Berdasarkan pendapat Masnur Muslich di atas, buku

teks atau yang memiliki istilah asing “textbook” ini dapat disebut dengan

istilah buku pelajaran. Sejalan dengan itu, Tarigan & Tarigan (2009: 13-

14) menyebutkan bahwa buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang

studi tertentu yang merupakan buku standar, disusun oleh para pakar

dalam bidang ilmu tersebut dan tujuan intruksional, yang dilengkapi

dengan sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para

48
pemakainya di sekolah hingga menunjang suatu program pembelajaran.

Buku teks disebut sebagai buku pelajaran karena buku teks pada umumnya

berisi tentang materi suatu mata pelajaran atau bidang studi tertentu.

Misalnya buku teks matematika berisi tentang materi matematika dan buku

teks IPA berisi materi IPA. Masnur Muslich (2010: 50) memperkuat

pendapat tersebut dengan mendefinisikan buku teks sebagai buku sekolah

yang memuat bahan yang telah diseleksi mengenai bidang studi tertentu,

dalam bentuk tertulis yang memenuhi syarat tertentu dalam kegiatan

belajar-mengajar, dan disusun secara sistematis untuk diasimilasikan.

Meskipun buku teks sekolah dasar sebelumnya diseleksi berdasarkan mata

pelajaran atau bidang studi tertentu, namun setelah kurikulum 2013

berlaku, buku teks dibuat berdasarkan tema pelajaran yang telah

ditentukan.

Buku teks dibuat sedemikian rupa agar dapat menjadi sumber

pembelajaran yang ideal dan menjadi standar buku-buku penunjang

pembelajaran lainnya. Pemerintah melalui PP Nomor 13 tahun 2015

tentang standar nasional pendidikan pasal 1 ayat 23 menetapkan buku teks

pelajaran sebagai sumber pembelajaran utama untuk mencapai kompetensi

dasar dan kompetensi inti. Sebagai sumber pembelajaran utama, buku teks

berperan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini diperkuat

oleh pendapat Kraja (2012: 217) yang menjelaskan bahwa buku teks

sekolah telah menjadi dasar kurikulum yang memainkan peran kunci

pendidikan generasi masa depan. Pentingnya peran buku teks dalam dunia

49
pendidikan, maka pemerintah membuat buku standar yang disesuaikan

dengan kurikulum yang berlaku dan menjadikannya sumber pembelajaran

utama.

Buku teks disusun secara sistematis berdasarkan standar tertentu.

Standar materi di dalam buku teks disesuaikan dengan kurikulum yang

berlaku. Andi Prastowo (2012: 168) menyebutkan bahwa buku teks

pelajaran adalah buku yang berisi ilmu pengetahuan yang diturunkan dari

kompetensi dasar yang tertuang dalam kurikulum, di mana buku tersebut

digunakan oleh peserta didik untuk belajar. Isi buku teks harus disesuaikan

dengan kompetensi dasar yang terdapat dalam kurikulum agar dapat

menunjang pembelajaran yang sesuai dengan standar.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditentukan beberapa poin

tentang buku teks, yaitu buku teks:

1) disusun berdasarkan standar/syarat tertentu,

2) disusun secara sistematis,

3) disusun oleh para ahli,

4) mencakup bidang studi tertentu,

5) digunakan sebagai sumber pembelajaran

6) disusun berdasarkan tujuan instruksional tertentu.

Dari beberapa poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa buku teks

adalah buku pelajaran terstandar yang dirancang secara sistematis oleh

para ahli berdasarkan bidang tertentu sebagai sumber pembelajaran yang

50
membantu siswa mempelajari materi atau menguasai kompetensi melalui

materi yang tersedia sesuai dengan tujuan instruksional yang ditentukan.

b. Kriteria Buku Teks Ideal

Buku teks harus dipilah dengan baik agar dapat memberikan

pengaruh yang baik terhadap penggunanya. Pemilahan buku teks harus

mempertimbangakan beberapa kriteria. Geene dan Petty (dalam Masnur

Muslich, 2010: 53-54) mengemukakan sepuluh kriteria buku teks atau

buku ajar yang ideal. Kesepuluh kriteria tersebut meliputi:

1) buku ajar harus dapat menarik minat anak-anak, yaitu siswa yang

memakainya;

2) buku ajar harus dapat memberi motivasi kepada siswa yang

memakainya;

3) buku ajar harus memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang

memanfaatkannya;

4) buku ajar sebaiknya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik

sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya;

5) isi buku ajar haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran

lainnya, lebih baik lagi kalau dapat didukung dengan perencanaan,

sehinga semuanya merupakan kebulatan yang utuh dan terpadu;

6) buku ajar harus dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas

pribadi para siswa yang mempergunakannya;

51
7) buku ajar harus dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep

yang samar-samar dan tidak biasa agar tidak sempat membingungkan

para siswa yang menggunakannya;

8) buku ajar harus mempunyai sudut pandang atau point of view yang

jelas dan tegas sehingga juga pada akhirnya menjadi sudut pandang

para pemakainya yang setia;

9) buku ajar harus mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-

nilai anak dan orang dewasa; dan

10) buku ajar harus dapat menghargai pribadi-pribadi para siswa.

Berdasarkan poin di atas, buku ajar yang baik adalah buku yang

mampu menstimulasi dan merangsang aktivitas pengguna. Buku teks yang

dibutuhkan pada saat ini adalah buku teks yang dapat menstimulasi dan

merangsang siswa untuk berpikir tingkat tinggi (HOT).

Selain itu, buku teks juga harus disesuaikan dengan kurikulum yang

berlaku baik susunannya maupun materi yang ada di dalamnya. Hal ini

dikarenakan masing-masing kurikulum memiliki karaketeristik yang

berbeda. Misalnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

memberlakukan pembelajaran yang berdasarkan mata pelajaran, maka

buku teks yang digunakan pun harus disusun dan terbagi menjadi beberapa

mata pelajaran, beda halnya dengan Kurikulum 2013 yang

pembelajarannya dilaksanakan berdasarkan tema yang ditentukan, maka

buku teks yang digunakan pun disusun dan terbagi menjadi beberapa tema

meskipun dalam satu tema memuat materi dari berbagai mata pelajaran.

52
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dibuat untnuk menghadapi

revolusi industri 4.0 yang di dalamnya memuat tuntutan untuk berpikir

tingkat tinggi. Oleh karena itu, buku yang disediakan juga seharusnya

memuat pendidikan berpikir tingkat tinggi.

Buku teks disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan

kebutuhan pengunanya berdasarkan aturan dan capaian pembelajaran yang

telah ditetapkan. Jika buku teks terlalu rumit terlalu sederhana, maka

penggunanya baik guru maupun siswa akan menghadapi masalah (Fatima,

Shah & Sultan, 2015: 80). Buku teks yang ideal harus sesuai dengan

perkembangan pemakainya. Oleh karena itu, penting untuk melakukan

evaluasi terhadap buku teks untuk memastikan apakah sudah sesuai atau

tidak.

Buku teks yang baik mampu membuat siswa melakukan pesan yang

terdapat di dalamya. Hal ini sejalan dengan Fatima, Shah, & Sultan (2015:

80) yang menyatakan bahwa isi buku teks seharusnya dapat cukup

persuasif untuk meningkatkan keterampilan yang diperlukan dalam

lingkungan siswa. Buku teks yang memiliki sifat persuasif dapat

mendorong siswa mengembangkan keterampilannya dan menjadi sarana

perkembangan segala keterampilan yang dimilikinya.

Buku teks merupakan sumber utama pembelajaran namun bukan

berarti menjadi satu-satunya sumber pembelajaran. Sina (2012: 135)

mengatakan bahwa buku teks bukan satu-satunya sumber belajar atau

model terbaik untuk memberikan pembelajaran. Buku teks yang baik tidak

53
membatasi penggunanya dengan materi yang ada di dalamnya. Namun,

Hsuan & Ying (2011: 93) menyatakan bahwa buku teks yang baik harus

mengarahkan guru dan siswa di keluar dari buku ke berbagai materi lain

dan pengalaman. Interaksi yang di dalam buku teks dengan penggunanya

akan memberikan peluang guru atau siswa untuk mengenal hal yang lebih

luas dan tidak hanya terpaku pada materi yang ada.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku teks

yang ideal adalah buku yang sesuai dengan karakteristik dan

penggunannya dari segi fisik maupun isi. Buku teks yang ideal juga tidak

membatasi penggunanya dengan materi yang ada dalam buku teks;

memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa;

menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang

mempergunakannya, dan ;menghindari konsep-konsep yang samar-samar

dan tidak biasa agar tidak sempat membingungkan para siswa yang

menggunakannya. Buku teks yang ideal digunakan untuk saat ini harus

disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku dan merangsang aktivitass

berpikir tingkat tinggi penggunanya.

c. Manfaat Buku Teks

Buku teks menjadi hal yang penting bagi berbagai kalangan baik

siswa, guru, maupun orang tua. Buku teks mengandung substansi materi

pelajaran dan cara belajarnya. Selain itu, buku teks juga berpengaruh

terhadap kepribadian pembacanya. Buku teks dapat digunakan orang tua

54
untuk membantu dan memberikan arahan kepada anaknya pada saat siswa

kurang memahami materi yang diajarkan. Dengan begitu, orangtua dapat

memahami lebih baik daya serap sang anak dan kemajuan belajarnya.

Buku teks sudah didesain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan

dalam kegiatan belajar mandiri. Menurut Masnur Muslich (2010: 56),

buku teks mengandung substansi materi pelajaran dan cara belajarnya.

Informasi cara belajar ini memudahkan siswa belajar secara mandiri.

Buku teks juga berperan penting dalam proses pembelajaran. Buku

teks membantu guru melatih keterampilan. Buku teks yang baik menurut

Hickman (2012: 22) membantu guru melatih keterampulan bertanya dan

mengetahui materi dominan yang akan meraka ajarkan. Buku teks dapat

menjadi alat yang efektif untuk mencapai kompetensi yang ada dalam

pembelajaran. Pengalaman dan latihan serta informasi yang diperlukan

siswa untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan tersaji di dalam buku

teks. Tidak hanya itu, buku teks yang baik juga mencantumkan tata cara

apa yang harus dilakukan siswa untuk mencapai kompetensi tersebut.

Buku teks biasa digunakan dalam pembelajaran baik oleh guru

maupun oleh siswa. Dari sudut pandang guru, buku teks membantu guru

dalam menyelenggarakan pembelajaran. Buku teks dianggap sebagai hal

yang krusial yang mendasari keputusan guru tentang apa yang harus

diajarkan, bagaimana cara mengajarkannya, dan tujuan apa yang dicapai

oleh peserta didik (Alavinia & Sidayat, 2013: 50). Buku teks menyajikan

55
berbagai informasi terkait materi yang dipelajari yang sudah disesuaikan

dengan kurikulum.

Guru dapat mempertimbangkan segala informasi yang tersaji dalam

buku teks untuk digunakan dalam pembelajaran. Sejalan dengan itu,

Wang, Lin & Lee (2011: 91) menyatakan bahwa buku teks menyediakan

bimbingan bagi guru pemula dalam kursus dan desain. Hal ini akan

menjamin struktur, konsistensi dan perkembangan dalam kelas. Panduan

yang terdapat dalam buku teks membantu guru pemula untuk mendesain

pembelajarannya sehingga tercipta struktur, konsistensi dan perkembangan

yang logis di kelas.

Informasi yang terdapat di dalam buku teks disesuaikan dengan

standar yang sudah ditetapkan. Informasi yang terdapat di dalam buku teks

tidak hanya berupa fakta, data, dan informasi lainnya namun juga terdapat

teks fiksi, fairy tales dan cerita-cerita (Pingel, 2010: 7). Tak jarang

informasi di dalam buku teks memiliki makna eksplisit tentang aturan dan

norma yang perlu diajarkan.

Informasi yang terdapat di dalam buku teks dapat berpengaruh

terhadap peserta didik. Menurut Masnur muslich (2016: 5), buku teks

berpengaruh terhadap kepribadiann siswa meskipun pengaruhnya tidak

sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan membaca buku teks,

siswa akan terdorong untuk berpikir dan berbuat seperti yang ada dalam

buku teks, seperti: memecahkan masalah, melakukan pengamatan maupun

latihan yang ada di dalam buku teks.

56
Buku teks merupakan sumber pengetahuan utama pada saat

pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahour & Ahmadi (2012:

195) yang menyatakan bahwa buku teks adalah sumber utama yang bisa

menyampaikan pengetahuan dan informasi kepada peserta didik dengan

cara yang mudah dan terorganisir. Isi buku teks yang tertata dan

terorganisir memudahkan guru maupun siswa menggunakannya dalam

pembelajaran. Selain itu, Cunningsworth (Roseni, 2014: 417) berpendapat

bahwa Buku teks adalah sumber yang efektif untuk pembelajaran mandiri,

sumber yang efektif untuk menyajikan materi oleh guru, sumber ide dan

kegiatan, sumber referensi untuk siswa, silabus yang mencerminkan tujuan

pembelajaran yang telah ditentukan, dan dukungan untuk guru yang

kurang berpengalaman yang belum mendapatkan dalam keyakinan.

Praktisnya penggunaan buku teks menjadi nilai lebih dalam

membantu guru dalam pembelajaran. Waltermann & Forel (2015: 44)

menyatakan bahwa fakta bahwa buku teks yang hampir digunakan secara

universal bukanlah sebuah kebetulan: sangat membantu dan praktis, dalam

artian mereka membantu guru menjadi praktisi yang efisien. Seiring

dengan pembelajaran guru dan bagaimana menerapkan konten tertentu,

buku teks dan penggunaannya sering menjadi pusat kegiatan kelas dan

membantu menyusun pelajaran.

Buku teks yang baik mampu membantu meningkatkan pendidikan di

sekolah. Hsuan & Ying (2011: 93) menyatakan bahwa buku teks harus

dipilih untuk memajukan tujuan pendidikan di sekolah, sesuai dengan

57
kebutuhan siswa dan berkontribusi terhadap keberlangsungan kurikulum.

Hal ini sejalan dengan Hedgcock & Ferris (2009: 136) yang menyatakan

bahwa buku teks merupakan komponen penting dalam pembelajaran dan

kurikulum. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya meningkatkan

pembelajaran, namun buku teks juga mendorong peningkatan pendidikan

di sekolah dan kurikulum.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

buku teks memiliki manfaat bagi siswa, guru, sekolah. Manfaat bagi siswa

adalah buku teks dapat membantu siswa mempelajari materi baik dalam

kelas maupun mandiri. Manfaat bagi guru adalah memudahkan dalam

mengkonstruksi pembelajaran dan menyampaikan pembelajaran. Manfaat

bagi sekolah adalah buku teks dapat menunjang peningkatan kualitas

pendidikan di sekolah.

d. Buku Teks Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 atau yang biasa disebut K-13 adalah kurikulum

yang berlaku dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini. Kurikulum ini

merupakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pengganti

kurikulum 2006 atau yang disebut KTSP (Kurikulumm Tingkat Satuan

Pendidikan). Konsep kurikulum 2013 menurut Warmendik (2014) adalah

menyeimbangkan antara hardskill dan softskill dari standar kompetensi

lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Kurikulum 2013

mengintegrasikan keterampilan, tema, konsep, dan topik dengan

58
melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk memberikan pengalaman yang

bermakna dan luas kepada peserta didik.

Kurikulum 2013 berbeda dengan kurikulum yang sebelumnya

diterapkan di Indonesia. Pada masa KTSP (Kurikulum Tingkat Satua

Pendidikan), kompetensi dasar diturunkan dari standar kompetensi.

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dibuat sebagai

landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan peserta didik

dan kemampuan menggunakan pengetahuan dari tiap mata pelajaran. Oleh

karena itu, buku teks yang digunakan pada saat KTSP berlaku disusun

berdasarkan mata pelajaran. Sedangkan kompetensi dasar pada kurikulum

2013 diturunkan dari kompetensi inti. Kompetensi Inti (KI) dan

Kompetensi Dasar (KD) berperan sebagai integrator horizontal antar mata

pelajaran. Pembelajaran tematik merupakan terapan dari pembelajaran

terpadu dengan mengintegrasikan beberapa aspek dalam mata pelajaran

maupun antar mata pelajaran (Setyawan, W.W., & Ali M. (2015: 110).

Pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan berdasarkan tema

sebagai bentuk integrasi antar mata pelajaran sehingga buku teks yang

digunakan pada kurikulum 2013 disusun berdasarkan tema yang sudah

ditentukan oleh kurikulum.

Perbedaan yang ada pada kurikulum 2013 dengan kurikulum

sebelumnya membuat buku teks yang digunakan dalam pembelajaran juga

berubah. Perubahan ini berlaku secara nasional untuk sekolah yang sudah

ditetapkan menggunakan kurikulum 2013 dalam pembelajarannya.

59
Fenomena ini sesuai dengan pendapat Williams (2014: 2) yang

mengatakan bahwa buku teks sekolah adalah instrumen negara, sebuah

proyek nasional. Dalam hal ini, pemerintah melalui implementasi

kurikulum 2013 menghadirkan buku teks tematik integrative kurikulum

2013 yang terdiri dari buku pegangan guru dan buku teks siswa. Buku

tersebut disusun berdasarkan aktivitas.

1) Buku Pegangan Guru

Buku guru merupakan panduan guru dalam melaksanakan

pembelajaran di kelas. Buku guru berisi langkah-langkah

pembelajaran yang didesain dengan pendekatan saintifik.

Berdasarkan Novianto A., & Ali M. (2015: 7) buku guru adalah

pedoman penerapan pendekatan pembelajaran, pengintegrasian

materi ajar, teknik penilaia, penggunaan buku soswa, serta panduan

dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Berikut adalah

kedudukan dan fungsi buku guru menurut Kemendikbud (2013):

a) Petunjuk penggunaan buku siswa

Guru harus mempelajari terlebih dahulu buku guru sebelum

menggunakan buku siswa dalam menyelenggarakan proses

pembelajaran. Buku guru mengandung informasi berupa: urutan

acuan materi pelajaran yang dikembangkan berdasarkan Standar

Kompetensi, Kompetensi Inti, dan Kompetensi Dasar dari

masing-masing muatan mata pelajaran; jaringan tema dari

masing-msing tema yang berisi kompetensi dasar dan indikator

60
masing-masing muatan mata pelajaran yang harus dicapai;

pemilah pembelajaran yang dikembangkan dari subtema agar

guru dapat secara bertahap menyelenggarakan proses

pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus

dikuasai siswa.

b) Acuan kegiatan pembelajaran di kelas

Buku guru mengandung tujuan pembelajaran yang harus

dicapai pada setiap pembelajaran sehingga guru dapat segera

mengetahui hasil pembelajaran yang harus dicapai dari proses

pembelajaran yang dilakukannya. Selain itu, buku guru juga

menjelaskan media pembelajaran yang dapat digunakan dalam

menyelenggarakan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran

yang harus dilakukan, teknik dan instrumen serta lembar kerja

yang sesuai. Hal tersebut memudahkan guru menyiapkan hal

yang diperlukan sebelum pembelajaran serta membantu guru

menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran.

c) Penjelasan tentang metode dan pendekatan pembelajaran

yang digunakan dalam proses pembelajaran

Pada setiap pembelajaran di dalam buku guru terdapat

informasi tentang model dan strategi pembelajaran yang

digunakan sebagai acuan penyelenggaraan proses pembelajaran.

Pendekatan yang tercantum dalam kegiatan pembelajaran di

buku guru menekankan pada pendekatan saintifik. Menurut

61
Kemendikbud (2013), pendekatan saintifik yang tercantum

dalam kegiatan pembelajaran ini bertujuan untuk melatih siswa

berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Pendekatan

saintifik dilakukan melalui proses kegiatan mengamati,

menanya, mengumpulkan informasi/ eksperimen, mengasosiasi/

mengolah informasi, dan mengkomunikasikan.

Buku guru memiliki struktur yng berbeda dengan buku siswa.

Buku guru memiliki informasi yang lebih lengkap dari buku siswa.

Berikut ini adalah beberapa hal yang ada di dalam buku guru:

a) Panduan Penilaian

Bagian ini berisi informasi tentang teknik dan instrumen

penilaian contoh-contoh rubrik penilaian yang akan digunakan

oleh guru dalam melakukan evaluasi proses pembelajaran.

b) Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Inti

Buku guru dilengkapi dengan informasi tentang standar

kopetensi ulusan dan kompetensi inti baik ranah sikap,

keterampilan, maupun sikap yang akan dicapai selama proses

pembelajaran.

c) Pemetaan Kompetensi Dasar 1 dan 2

Pemetaan kompetensi dasar ini berasal dari kompetensi inti 1

dan 2. Berdasarkan Kemendikbud (2013) kompetensi 1 dan 2

bukan untuk diajarkan secara eksplisist sebagai materi

pembelajaran namun digunakan untuk memandu guru melakukan

62
pembiasaan-pembiasaan kompetensi tersebut selama proses

pembelajaran berlangsung.

d) Pemetaan Kompetensi Dasar 3 dan 4

Berbeda dengan kompetensi 1 dan 2, kompetensi 3 dan 4 ini

diajarkan secara eksplisit di dalam pembelajaran. Kompetensi

dasar ini berasal dari kompetensi inti 3 dan 4 yang harus dicapai

dalam satu tema pembelajaran.

e) Ruang Lingkup Pembelajaran

Bagian ini berisi gambaran ringkas tentang kegiatan yang

akan dilaksanakan oleh guru dan kemampuan yang akan

dikembangkan selama kegiatan. Ruang lingkup pembelajaran ini

terdiri dari pemetaan indikator pembelajaran, halaman

pembelajaran dan uaraian kegiatan pembelajaran.

2) Buku Teks Siswa

Buku siswa merupakan buku teks yang diperuntukkan bagi

siswa sebagai panduan aktifitas pembelajaran untuk memudahkan

siswa menguasai kompetensi tertentu (Kemendikbud, 2013).

Berbeda dengan buku teks yang dikeluarkan pemerintah pada

kurikulum sebelumnya, buku teks siswa bukan hanya sekedar bahan

bacaan, tetapi juga dapat digunakan dalam melaksanakan kegiatan-

kegiatan dalam proses pembelajaran kerana buku siswa dirancang

dan dilengkapi dengan contoh-contoh lembar kegiatan. Buku siswa

63
disusun untuk memfasilitasi siswa untuk mendapatkan pengalaman

belajar yang bermakna.

Berikut adalah peran dan fungsi buku siswa menurut

kemendikbud (2013):

a) Panduan bagi siswa dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan

pembelajaran

Buku siswa dapat dijadikan panduan siswa dalam

melaksanakan pembelajaran di kelas. Setiap subtema pada

masing-masing buku memiliki beberapa pembelajaran yang terdiri

dari berbagai kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa seperti

mengamati, bercerita, atau melakukan sesuatu hal. Kegiatan-

kegiatan ini ditandai dengan tulisan yang ada didalam buku

seperti “Ayo Mengamati”, “Ayo Ceritakan”, “Ayo lakukan”, dan

masih banyak lagi.

b) Penghubung antar guru, sekolah dan orang tua

Pada setiap pembelajaran di buku siswa, tidak hanya terdapat

kegiatan yang harus dilakukan siswa namun juga terdapat bagian

yang harus dikerjakan oleh orangtua/wali siswa dalam rangka

membimbing anak untuk melakukan aktifitas pembelajaran di

rumah. Bagian ini ditandai dengan tulisan “kerjasama dengan

orang tua”.

c) Lembar kerja siswa

64
Buku siswa dapat digunakan sebagai lembar kerja siswa. Pada

setiap pembelajaran di dalam buku siswa, terdapat bagian buku

siswa yang didesain seperti lembar kerja siswa sehingga siswa

dapat mengerjakan perintah langsung di dalam buku.

d) Skenario dan langkah-langkah pembelajaran

Buku siswa mengandung beberapa ikon perintah seperti “Ayo

lakukan”, “Ayo menyanyi”, “Ayo ceritakan,” dan lain-lain. Ikon

tersebut menandakan kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan

sebagai urutan atau langkah-langkah dalam pembelajaran.

e) Siswa yang dapat dimanfaatkan dalam penilaian

Pada setiap pembelajaran di dalam buku siswa terdapat format

yang dapat digunakan sebagai lembar kerja untuk dihimpun

menjadi portofolio yang dapat dijadikan sumber penilaian hasil

pembelajaran siswa.

f) Media komunikasi antara guru dan siswa

Guru dapat mengamati siswa lebih baik melalui hasil kerja

siswa yang terdapat di dalam buku. Selain itu, guru juga dapat

melihat perkembangan pengetahuan dan keterampilan serta sikap

siswa sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.

g) Kenang-kenangan rekam jejak belajar siswa

Hasil kerja siswa selama mengikuti proses pembelajaran

tercantum dalam buku siswa sehingga guru dan orangtua dapat

65
melihat jejak belajar siswa selama mengikuti pembelajaran di

masing-masing jenjang.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian ini tentang analisis muatan Higher Order Thinking (HOT) pada

buku pegangan guru dan buku teks siswa kurikulum 2013 Tema Menjelajah

Angkasa Luar kelas VI sekolah dasar. Penelitian yang relevan dengan penelitian

ini telah dilakukan oleh beberapa ahli sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Anasy (2016) tentang keterampilan berpikir

tingkat tinggi berdasarkan Taksonomi Bloom edisi revisi dalam pertanyaan esai

latihan membaca “Pathway to English Textbok” untuk siswa SMA kelas XI. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi keterampilan berpikir tingkat tinggi

lebih rendah daripada keterampilan berpikir tingkat rendah. Distribusinya pun

tidak seimbang. Penelitian ini memiliki kesamaan bentuk analisis yaitu analisis

konten. Variable penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang akan dilakukan

yaitu muatan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada buku teks siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Anatri (2015) tentang analisis IPA dan

pembelajaran berpikir tingkat tinggi dalam buku siswa kelas IV SD tema 3 non

Kemendikbud. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada setiap subtema

terdapat pertanyaan untuk menggali pengalaman dan melatih berpikir tingkat

tinggi namun pada soal latihan akhir sub tema hanya terdapat sedikit soal yang

melatih berpikir tingkat tinggi. Selain memiliki kesamaan bentuk analisis

penelitian, variable penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang akan

66
dilakukan yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi pada buku teks siswa

kurikulum 2013. Hanya saja buku yang dipilih adalah terbitan non kemendikbud.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Seif (2012)

tentang High Order Thinking Skills (HOTS) pada reading exercises di buku

English for Palestine Grade 8. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa HOTS

pada latihan reading comprehension di dalam buku tersebut tidak tercakup dan

didistribusikan dengan baik. Penelitian ini memiliki variabel yang relevan dengan

penelitian yang akan dilakukan yaitu berpikir tingkat tinggi. Meskipun analisis

dilakukan pada buku teks, namun penelitian ini berfokus pada bagian reading

exercises sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan berfokus pada kegiatan

yang ada di isi buku.

C. Kerangka Pikir

Masa depan menjadi hal yang selalu dinamis. Keadaan ini membuat setiap

orang untuk selalu menyesuaikan diri untuk menghadapi masa depan. Ada

beberapa tantangan masa depan yang perlu dihadapi Indonesia, seperti:

globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi,

konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan

industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan

imbas teknosains, mutu, investasi dan transformasi sektor pendidikan, dan materi

TIMSS dan PISA. Untuk dapat memenuhi tantangan masa depan tersebut maka

diperlukan generasi yang memiliki kompetensi masa depan pula. Beberapa

kompetensi masa depan yang perlu dimiliki, seperti: kemampuan berkomunikasi,

67
berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu

permasalahan, kemampuan mengerti dan toleran terhadap pandangan yang

berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat global, kesiapan untuk bekerja,

kecerdasan sesuai bakat, dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.

Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadapi

tantangan ini adalah dengan mengembangkan kurikulum 2013. Kurikulum 2013

bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia hingga memenuhi

standar rata-rata kualitas pendidikan Internasional. Pengembangan kurikulum ini

disesuaikan dengan kompetensi-kompetensi yang diperlukan oleh masa depan.

Salah satu kompetensi yang perlu dimiliki generasi masa depan adalah

keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Keterampilan HOT

perlu diajarkan kepada generasi bangsa sejak dini. Oleh karena itu, di jenjang

sekolah dasar seharusnya siswa sudah diajarkan bagaimana berpikir tingkat tinggi.

Siswa dengan kemampuan HOT akan dapat menghadapi masalah-masalah dalam

kehidupan sehari-hari yang umumnya membutuhkan proses berpikir lanjut.

Namun pada kenyataannya, masih ditemukan siswa sekolah dasar yang belum

mampu mengerjakan tugas maupun soal yang mengandung HOT meskipun dalam

pembelajarannya menggunakan kurikulum 2013.

Salah satu yang berperan penting dalam pembelajaran adalah buku teks. Buku

kurikulum 2013 yang terdiri dari buku pegangan guru dan buku teks siswa

memiliki andil dalam pengembangan keterampilan HOT siswa. Adanya muatan

HOT pada buku teks membantu siswa membiasakan diri untuk berpikir tingkat

68
tinggi. Pembiasaan berpikir tingkat tinggi ini akan mendorong tercapainya tujuan

pendidikan nasional yang selama ini masih belum tercapai secara optimal.

Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran pada guru

tentang HOT pada buku pegangan guru dan buku teks siswa kurikulum 2013 yang

nantinya dapat menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran yang mengandung

HOT sehingga mampu merangsang keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

Gambaran kerangka bagan kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat dalam

bagan berikut:

Fakta di Lapangan
Kondisi Ideal
Siswa di sekolah belum memiliki
Tantangan revolusi keterampilan berpikir tinggi yang cukup.
industri 4.0 menuntut Mereka kesusahan dalam menghadapi
adanya kemampuan masa tugas maupun soal yang mengandung
depan yang mampu HOT. Selain itu. Pembelajaran di sekolah
berpikir tingkat tinggi belum mencakup kegaitan yang mampu
merangsang HOT siswa.

Analisis muatan higher order thinking (HOT) pada buku teks


kurikulum 2013 pegangan guru dan pegangan siswa

Pedoman guru dalam pembelajaran yang mampu


merangsang kemampuan HOT siswa

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

69
D. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

4. Bagaimanakah muatan HOT aspek analisis indikator membedakan pada buku

guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

5. Bagaimanakah muatan HOT aspek analisis indikator mengorganisasi pada

buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

6. Bagaimanakah muatan HOT aspek analisis indikator mengatribusi pada buku

guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

7. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek evaluasi indikator memeriksa pada

buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

8. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek evaluasi indikator mengkritik pada

buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar?

9. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek berkreasi/mencipta indikator

merumuskan pada buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah

Angkasa Luar?

10. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek berkreasi/mencipta indikator

merencanakan pada buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah

Angkasa Luar?

11. Bagaimanakah muatan HOT pada aspek berkreasi/mencipta indikator

memproduksi pada buku guru dan siswa Kurikulum 2013 tema Menjelajah

Angkasa Luar?

70
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

(Moleong, 2009: 6). Fenomena atau gejala apapun dapat menjadi topik dalam

penelitian kualitatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Yin yang menyatakan (2015:

3) bahwa hampir setiap kejadian di dunia nyata dapat menjadi topik dalam

penelitian kualitatif. Adapun hal yang diangkat dalam penelitian ini adalah muatan

High Order Thinking dalam buku teks guru dan siswa kurikulum 2013.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian analisis isi (content

analysis). Krippendorff (2013: 24) mengemukakan analisis isi sebagai suatu

teknik penelitian untuk membuat kesimpulan yang dapat ditiru dan valid berdasar

konteks penggunaannya. Penelitian analisis isi akan menghasilkan inferensi yang

sama pada konteks yang sama meskipun penelitian dilakukan oleh orang lain.

B. Setting Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis HOT yang terdapat dalam

dokumen berupa buku pegangan guru dan buku teks siswa tematik integratif

71
kurikulum 2013 tema Menjelajah Angkasa Luar untuk kelas VI SD/MI Semester

II. Buku teks yang dianalisis merupakan buku teks kurikulum 2013 terbitan dari

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan edisi revisi 2018.

C. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah buku teks siswa dan buku pegangan

guru kurikulum 2013 kelas VI SD/MI edisi revisi 2018 yang diterbitkan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian ini mengkaji dua buku, yaitu

buku teks siswa dan buku pegangan guru tema ke 9 (Menjelajah Angkasa Luar)

kelas VI SD/MI Semester II.

D. Definisi Operasional

High Order Thinking (HOT) atau berpikir tingkat tinggi adalah proses mental

yang melibatkan transformasi informasi (pengetahuan) dan gagasan yang

melibatkan proses berpikir kompleks untuk mencapai tujuan berupa pengertian,

implikasi baru maupun pemecahan masalah. Berpikir kompleks yang dimaksud

adalah melibatkan proses berpikir lain tidak hanya sekedar mengingat, namun

juga melibatkan proses berpikir tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi,

dan mencipta.

Buku pegangan guru adalah buku panduan guru dalam melaksanakan

pembelajaran di kelas yang berisi langkah-langkah pembelajaran yang didesain

dengan pendekatan saintifik pedoman penerapan pendekatan pembelajaran,

72
pengintegrasian materi ajar, teknik penilaia, penggunaan buku soswa, serta

panduan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.

Buku siswa kurikulum 2013 adalah buku teks yang diperuntukkan bagi siswa

sebagai panduan aktifitas pembelajaran kurikulum 2013 untuk memudahkan siswa

menguasai kompetensi tertentu.

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dokumentassi. Dokumentasi dilakukan melalui pembacaan dan pencatatan

yang cermat terhadap buku guru dan siswa kurikulum 2013 kelas VI SD/MI

tema Menjelajah Angkasa luar yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan. Pembacaan dan pencatatan yang cermat merupakan bentuk

analisis objektif yang dilakukan. Pembacaan dilakukan berulangkali dan

temuan yang didapatkan ditulis secara cermat selama membaca. Temuan yang

dimaksud berupa muatan (Higher Order Thinking) HOT di dalam buku teks

tersebut.

2. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti itu sendiri sebagai human

insrumen dengan pengetahuan, ketelitian, dan kekritisan peneliti mencari dan

menggali data-data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan penelitian.

Selain itu, instrumen berupa lembar analisis dokumen. Lembar analisis

dokumen digunakan untuk memudahkan peneliti mengkategorikan data yang

73
terkumpul. Lembar analisis yang digunakan dalam penelitian ini disusun

berdasarkan kisi-kisi hasil sintesis teori tentang Higher Order Thinking (HOT)

yang telah dijabarkan dalam landasan teori. Berikut adalah kisi-kisi instrumen

pengumpulan yang digunakan:

Tabel 2.1 Konstruk Analisis

No Aspek Indikator
Membedakan
1. Analisis Mengorganisasi
Mengatribusi
Memeriksa
2. Evaluasi
Mengkritik
Merumuskan
3. Berkreasi/ Mencipta Merencanakan
Memproduksi

F. Keabsahan Dokumen

Keabsahan dokumen penelitian ini didasarkan pada validitas dan

relibilitas. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini dalah validitas

semantik. Kripendorff (2013: 323) menjelaskan bahwa validitas semantik adalah

validitas yang mengetengahkan sejauh mana kategori dari analisis teks sesuai

dengan makna teks-teks dalam konteks yang dipilih. Validitas semantik

digunakan untuk mengetahui kesesuaian analisis kategori teks dengan konsteks

yang dipilih. Analisis kategori teks adalah bentuk proses HOT yang ditemukan

pada buku teks, sedangkan konteks yang dipilih adalah proses HOT yang ada.

Validasi instrumen dilakukan melalui expert judgement. Ahli yang digunakan

dalam pemeriksaan lembar analisis dokumen dalam penelitian ini adalan Dr.

Harun Rasyid, M.Pd.

74
Reliabilitas dalam penelitian ini adalah reliabilitas stabilitas (stability) dan

reliabilitas reproduktabilitas (reproducibility). Kripendorff (2013: 215)

mengemukakan bahwa reliabilitas stabilitas ditempuh dengan mencermati kembali

sumber data yang tersedia secara berulang-ulang untuk mendapatkan pemahaman

yang konsisten terhadap data yang berhubungan dengan aspek yang diteliti.

Pencatatan dan pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan data yang konsisten mengenai muatan HOT yang terdapat dalam

buku.

Reliabilitas replikabilitas ditempuh melalui diskusi dan konfirmasi dengan

teman sejawat. Teman sejawat yang dimaksud adalah orang yang memiliki

banyak pengetahuan yang berhubungan dengan analisis konten. Teman sejawat

pada penelitian ini adalah mahasiswa pascasarjana program studi Pendidikan

Bahasa Indonesia Universitas Indraprasta. Hal ini dilaksanakan untuk mengecek

kebenaran terhadap interpretasi yang dilakukan dalam penelitian pada aspek

bahasa maupun materi.

G. Unit Analisis

Unit analisis adalah apa yang diobservasi dan dianggap sebagai data. Unit

analisis penelitian ini adalah unsur teks dan gambar dalam buku pegangan guru

dan buku teks siswa kurikulum 2013 tema 9 Menjelajah Angkasa Luar edisi revisi

2018 terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

75
H. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proes menegolah data sehingga menjadi kesimpulan.

Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam analisis isi. Tahapan-

tahapan analisis isi dalam penelitian ini berdasarkan langkah-langkah analisis isi

yang dikemukakan oleh Kripendorff (2013: 84-86). Langkah-langkah tersebut

adalah sebagai berikut.

1. Unitizing (Pemilihan Unit)

Unitizing adalah upaya untuk mengambil data yang tepat dengan

kepentingan penelitian yang mencakup teks, gambar, suara, dan data-data lain

yang dapat diobservasi lebih lanjut. Unit adalah objek penelitian yang dapat

diukur dan dinilai dengan jelas, oleh karenanya harus memilah sesuai dengan

pertanyaan penelitian yang telah dibuat. Pada tahap ini, pengumpulan data

dilakukan dengan mengumpulkan Buku Siswa dan guru Kurikulum 2013

Kelas VI SD/MI tema Menjelajah Luar Angkasa. Unit-unit yang dianalisis

kemudian ditentukan yaitu berupa unsur teks dan gambar dalam buku teks

tersebut.

2. Sampling (Penentuan Sampel)

Sampling atau penentuan sampel adalah cara analis untuk

menyederhanakan penelitian dengan membatasi pengamatan yang merangkum

semua jenis unit yang ada untuk mengumpulkan unit-unit yang memiliki tema

atau karakter yang sama. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif, sampel tidak harus digambarkan dengan proyeksi

statistik. Kutipan-kutipan dan contoh-contoh dapat berfungsi sebagai sampel.

76
Sampel digunakan untuk mendukung atas pernyataan inti dari peneliti. Tahap

ini dilakukan dengan memfokuskan pada muatan HOT pada buku teks

Kurikulum 2013 untuk Siswa Kelas VI SD/MI tema Menjelajah Luar

Angkasa.

3. Recording (Perekaman atau Pencatatan)

Pada tahap recording atau pencatatan peneliti mencoba menjembatani

jarak antara unit yang ditemukan dengan pembacanya. Pencatatan bertujuan

agar unit-unit dapat digunakan berulang-ulang tanpa harus mengubah makna.

Oleh karena itu, pencatatan berfungsi untuk menjelaskan kepada pembaca atau

pengguna data untuk dihantarkan kepada situasi yang berkembang pada waktu

unit itu muncul dengan menggunakan penjelasan naratif dan atau gambar

pendukung. Pencatatan dalam penelitian ini dilakukan terhadap HOT yang

terkandung dalam pada buku teks Kurikulum 2013 untuk Siswa Kelas VI

SD/MI tema Menjelajah Luar Angkasa.

4. Reducing (Reduksi)

Tahap reducing atau reduksi data tahap ini dibutuhkan untuk penyediaan

data yang efisien. Secara sederhana unit-unit yang disediakan dapat

disandarkan dari tingkat frekuensinya. Dengan begitu hasil dari pengumpulan

unit dapat tersedia lebih singkat, padat, dan jelas. Reduksi data dalam

penelitian ini dilakukan selama tahap analisis data. Reduksi dilakukan dengan

menghilangkan data-data atau informasi-informasi yang tidak relevan dengan

penelitian yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang tercantum pada

pertanyaan penelitian.

77
5. Inferring (Penarikan Kesimpulan)

Pada tahap inferring atau penarikan kesimpulan, peneliti mencoba

menanalisa data lebih jauh dengan mencari makna data unit-unti yang ada.

Tahap ini akan menjembatanai antara sejumlah data deskriptif dengan

pemaknaan teks. Penarikan kesimpulan mencoba mengungakap konteks yang

ada dengan menggunkan konstruksi analitis. Konstuksi analitis befungsi untuk

memberikan model hubungan antara teks dan kesimpulan yang dituju.

Konstuksi analitis harus menggunakan bantuan teori, yaitu konsepsi yang

sudah memiliki kebasahan dalam dunia akademis. Konstruksi analitis dalam

penelitian ini menggunakan representasi yang disesuaikan dengan analisis

buku teks. Representasi dilakukan dengan memetakan hasil reduksi untuk

memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dapat disimpulkan dari

hasil analisis.

6. Naratting (Narasi)

Naratting atau narasi merupakan tahap yang terakhir. Narasi merupakan

upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian. Narasi berisi informasi-

informasi penting bagi pengguna penelitian agar mereka lebih paham atau

lebih lanjut dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil penelitian yang ada

dengan cara mengkaji hasil analisis dengan sumber-sumber yang relevan.

78
DAFTAR PUSTAKA

Rusyna, A. (2014). Keterampilan berpikir: pedoman praktis para peneliti keterampilan


berpikir. Yogyakarta: Ombak.

Anasy, Z. (2015). HOTS (Higher Order Thinking Skill) in Reading Exercise. Tarbiya:
journal of educatioan in muslim society, 3(1), 51-63.

Anderson, L.W., & Krathwohl, D. R. (Ed.). (2001). A taxonomy for learning, teaching,
and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives (Abridged
ed.). New York: Longman.

Andi Prastowo. (2011). Panduan kreatif membuat bahan ajar inovatif. Yogyakarta: Diva
Press.

Ahour, T., & Ahmadi, E. (2012). Retrospective evaluation of textbook “Summit 2B” for
its suitability for EFL undergraduate students. Journal of Education and Social
Research, 2(5), 195-202.

Alavinia, P., & Sidayat M. (2013). Comparative Study of English Textbooks used in
Iranian Institutes. International Journal of Asian Social Science, 3(1), 150-170.

Badan Penelitian dan Pengembangan RI. (2015). Laporan hasil TIMSS 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Retrieved from
https://kemdikbud.go.id/main/files/download/9899b657b50db1a.

Ball, A.L., & Garton, B.L. (2005). Modelling higher order thinking: The alignment
between objectives, classroom discourse, and assessments. Journal of Agricultural
Education, 46(2), 58-69.

Barak, M., David, C.B., & Uri, Z.. (2007). Purposely teaching for the promotion of
Higher order thinking skills: A case of critical thinking. Research Science
Education, 37(4), 352-369.

Berk, L. E. (2010). Development through the lifespan volume 1. (Terjemahan Daryanto).


Boston: Pearson Education, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2010).

Brookfield, S.D. (2012). Teaching for critical thinking: Tool and techniques to help
students question their assumptions. San Fransisco: Jossey-Bass.

Brookhart, S.M. (2010). How to access high-order thinking skills in your classroom.
Virginia: ASCD.

Budsankom, P., Sawangboon, T., Damrongpanit, S., et al. (2015). Factors affecting
higher order thinking skills of student: a meta-analytic structural equation modeling
study. Academic Journals, 10(19), 2640-2652.
Byrnes, J.P. (2008). Cognitive development and learning in instructional contexts.
Boston: Pearson Education, Inc.

Conklin, W. (2011). High order thinking skills to develop 21st century learners.
Huntington Beach: Shell education.

Desstya, A. (2015). IPA dan pembelajaran berpikir tingkat tinggi (Telaah Buku Siswa SD
Kelas IV Tema 3, Karya Much. Azam, dkk). Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Sains (SNPS), Surakarta, 259-266

Elfika, Tandi H. Y., & Firmansyah, A. (2014). Penggunaan buku paket terhadap prestasi
belajar siswa kelas IV SDN Inpres 1 Tondo. Elementary School of Education E-
Journal, 2(2), 63-72. https://doi.org/10.22487/jd.v2i2.2828

Fatima, G., Shah, S.K., & Sultan, H. (2015). Textbook analysis and evaluation of 7th &
8th grade in Pakistani context. International Journal of English Language
Teaching, 3(4), 79-97.

Friesen, N. (2017). The textbook and the lecture: education in the age of new media.
Maryland: Johns Hopkins University Press.

Hansen, A. (2012). Reflective Learning and Teaching in Primary Schools. California:


SAGE Publications Inc.

Hedgcock, J.S. & Ferris, D. R. (2009). Teaching readers of English:students, text, and
contexts. New York: Routledge.

Heong, Y.M., Othman, W. D., Yunos, J. B. M., Kiong, T.T., Hassan, R.B., & Mohamad,
M.M.B. (2011). The level of Morzano higher order thinking skills among technical
education students. International Journal of Social and Humanity, 1(2), 121-125.

Hickman H. & Porfilio, B.J. (ed.). (2012). The new politics of the textbook:
problematixing the portrayal of marginalized groups in textbooks. Rotterdam:
Sense Publishers.

Hsuan, F. H., & Ying, T. H. (2011). Improving the textbook adoption process in Taiwan.
International Education Studies, 4(4), 92-98.

Husain, R (2012). Students’ views of impact of textbooks on their achievements. In


Search of Relevance and Sustainability of Educational Change: An International
Conference at Aga Khan University Institute for Educational Development,
November 1-3, 2012, 444-452.

Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching & Learning. Bandung: Mizan Learning


Center

Anda mungkin juga menyukai