Anda di halaman 1dari 29

JUMLAH KEANEKARAGAMAN JAMUR RIZOSFER PENGHASIL

HORMON IAA DENGAN PERLAKUAN PEMANGKASAN DI LAHAN


AGROFORESTRI PINUS KOPI HUTAN PENDIDIKAN UB MALANG

Oleh :
MEUTIA ALIFIA

JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJYAA
MALANG
2021
JUMLAH KEANEKARAGAMAN JAMUR RIZOSFER PENGHASIL
HORMON IAA DENGAN PERLAKUAN PEMANGKASAN DI LAHAN
AGROFORESTRI PINUS KOPI HUTAN PENDIDIKAN UB MALANG

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Meutia Alifia
175040207111126

MINAT STUDI PERLINDUNGAN TANAMAN


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
MALANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL PENELITIAN JUDUL:

JUMLAH KEANEKARAGAMAN JAMUR RIZOSFER PENGHASIL


HORMON IAA DENGAN PERLAKUAN PEMANGKASAN DI LAHAN
AGROFORESTRI PINUS KOPI HUTAN PENDIDIKAN UB MALANG

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS.


NIP. 19550522 198103 1 006

Dosen Pembimbing Kedua

Antok Wahyu Sektiono SP., MP.


NIP. 19841014 201903 1 004
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat-Nya sehingga penulisan proposal penelitian yang berjudul
“Jumlah Keanekaragaman Jamur Rizosfer Penghasil Hormon IAA dengan
Perlakuan Pemangkasan di Lahan Agroforestri Pinus Kopi Hutan Pendidikan UB
Malang” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir.
Syamsuddin, MS. selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Antok Wahyu
Sektiono, SP., MP. selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing dan
memberikan arahan selama kegiatan penyusunan proposal dan penelitian. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Center for Ecology & Hidrology (CEH)
selaku pemilik projek yang telah mengizinkan penulis untuk bergabung dengan
projek ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Luqman
Qurata Aini, SP., M.Si., Ph.D selaku Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Proposal Penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Malang, 31 Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i


I. PENDAHULUAN ................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................................3
1.4 Hipotesis Penelitian........................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian .........................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4
2.1 Hormon IAA ..................................................................................................4
2.2 Jamur Rhizosfer .............................................................................................5
2.3 Jamur Rhizosfer Penghasil Hormon IAA ......................................................6
2.4 Pemangkasan ..................................................................................................6
2.5 Pengaruh Kondisi Lingkungan terhadap Jumlah Jamur Rhizosfer ................8
2.6 Hutan Pendidikan UB ....................................................................................8
III. METODOLOGI ...............................................................................................10
3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................................10
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................10
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................10
3.4 Variabel Pengamatan ...................................................................................18
3.5 Analisis Data ................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21

i
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hormon ZPT (zat pengatur tumbuh) adalah salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap proses pertumbuhan tanaman. Peran hormon sangatlah penting dalam
mendukung keberhasilan pertumbuhan tanaman di alam. Salah satu hormon
tumbuhan yang digunakan dalam pembudidayaan tanaman adalah hormon auksin
(Purwanti et al., 2014). Auksin merupakan salah satu hormon tumbuhan yang
mempengaruhi proses pembentukan jaringan tumbuhan yaitu pertumbuhan,
pembelahan, dan diferensiasi sel serta sintesis protein. Zat pengatur tumbuh yang
tergolong Auksin adalah Indole Acetic Acid (IAA), Indole-3-butyric acid (IBA),
αNaphthalene Acetic Acid (NAA) dan 2,4 Dikhlorofenoksiasetat (2,4-D). Jenis dan
konsentrasi Auksin akan memberikan respon berbeda terhadap perakaran (Apriliani
et al., 2015). Salah satu jenis auksin yang memiliki peran cukup besar yaitu Indole
Acetic Acid (IAA). IAA merupakan hormon auksin yang paling aktif secara
fisiologis di alam dan merupakan hormon utama pada hampir semua jenis tanaman
(Astriani et al., 2014). IAA secara alami yang terdapat pada tumbuhan disebut IAA
endogen dan yang dapat diproduksi oleh mikroorganisme jamur yang diperoleh dari
rhizosfer disebut IAA eksogen (Gusmiaty et al., 2019).
Rusli & Hafsan (2015) menyatakan bahwa, jamur rhizosfer merupakan salah
satu kelompok mikroorganisme yang telah dilaporkan dapat menginduksi
ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit. Jamur Rhizosfer membantu
pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme seperti peningkatan
penyerapan nutrisi, sebagai kontrol biologi terhadap serangan patogen, dan juga
menghasilkan hormon pertumbuhan bagi tanaman. Hal ini selaras dengan pendapat
dari Astriani et al. (2014) yang menyatakan bahwa, mikroorganisme tanah mampu
berperan sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman dan mempunyai kemampuan
dalam menghasilkan fitohormon IAA. Mikroorganisme yang dapat menghasilkan
IAA salah satunya adalah jamur. Jamur yang menghasilkan auksin antara lain
Phanerochaete chrysosporium, Colletotrichum gloeosporioides dan
Aeschynomene. Sedangkan menurut Payangan (2018), isolat cendawan rhizosfer
yang mampu menghasilkan hormon IAA adalah Aspergillus, Trichoderma,
Penicillium, Rhizopus dan Fusarium.
2

Perbedaan konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh masing-masing isolat jamur


dapat dipengaruhi oleh kemampuan kecepatan jamur dalam mensintesis triptofan
sebagai prekursor dan kecepatan tumbuh dari isolat, semakin cepat sel membelah
maka produksi IAA semakin tinggi. Konsentrasi IAA juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan atau kondisi masing-masing lokasi pengambilan sampel seperti kondisi
karbon, pH, kondisi oksigen (Payangan, 2018), suhu, tingkat aerasi, kelembaban,
dan bahan organik (Gusmiaty et al., 2019).
Beberapa faktor seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH dan temperatur, dan
umur serta kondisi tanaman mempengaruhi efek rhizosfer yang juga mempengaruhi
keberadaan dan distribusi mikroorganisme didalamnya. Kondisi lingkungan ini
juga dipengaruhi oleh adanya perlakuan pemangkasan. Pemangkasan adalah
kegiatan mengurangi sebagian daun, ranting, dan cabang yang bersifat parasit dan
merugikan tanaman. Dengan pemangkasan dapat menjamin aerasi yang baik,
disamping memudahkan pelaksanaan panen dan pengendalian hama dan penyakit
(Faradilla, 2018). Rochayat (2017) juga menjelaskan bahwa, pemangkasan dapat
memperbaiki pencahayaan dari sinar matahari ke seluruh bagian tanaman agar
proses fotosintesis dapat berlangsung sempurna dan dapat mengurangi kelembaban
sehingga tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit. Namun banyaknya
perlakuan pemangkasan berhubungan terbalik dengan jumlah mikroorganisme di
dalam tanah. Menurut Ramadhani et al. (2017), secara umum mikroorganisme dari
tanaman dengan perlakuan pangkas selalu lebih rendah dari tanaman dengan
perlakuan non-pangkas. Hal ini diduga berhubungan dengan berkurangnya luas
permukaan tanaman untuk melakukan proses fotosintesis sehingga berkurangnya
tingkat respirasi tanaman yang berpengaruh terhadap ketersediaan energi bagi
mikroorganisme didalam rhizosfer tanaman tersebut.
Hutan Pendidikan UB Malang memiliki 4 tipe perlakuan yang berbeda.
Perlakuan yang digunakan yaitu LC= Low Management Coffee atau manajemen
budidaya rendah; MC= Medium Management Coffee atau manajemen budidaya
sedang, HC= High Management Coffee atau manajemen budidaya tinggi; BAU=
Business As Usual atau manajemen budidaya yang dilakukan sesuai rekomendasi
perhutani. Keempat pengelolaan yang berbeda ini akan mempengaruhi kondisi
lingkungan. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pengelolaan pada
3

setiap plot mempengaruhi jumlah mikroorganisme atau jamur rhizosfer yang ada
pada lahan kopi pinus. Hal ini juga akan mempengaruhi jumlah jamur penghasil
IAA yang tersedia. Maka dari itu dilakukan isolasi yang bertujuan untuk
menentukan jumlah keragaman pada setiap plot dengan pengelolaan yang berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana jumlah keanekaragaman jamur penghasil hormon IAA dan
konsentrasinya di setiap pengelolaan tanaman pinus kopi yang berbeda juga dengan
adanya pemangkasan di lahan agroforestri Hutan Pendidikan UB.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan jumlah isolat jamur
penghasil IAA yang diisolasi pada tujuh tipe pengelolaan dan pemangkasan pada
tanaman kopi pinus yang berbeda di lahan agroforestri Hutan Pendidikan UB.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah jumlah jamur penghasil
hormon IAA pada tipe pengelolaan tanaman kopi yang intensif dan tanpa perlakuan
triming, lebih tinggi dibandingkan pada tipe pengelolaan tanaman kopi yang rendah
dan dengan perlakuan triming dan pruning.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat memberikan informasi terkait
jumlah jamur penghasil IAA pada tujuh tipe pengelolaan yang berbeda. Dapat
diketahui pula pengelolaan yang terbaik untuk menghasilkan jumlah jamur
penghasil IAA yang paling tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemacu
pertumbuhan yang baik dan juga dapat digunakan sebagai pupuk hayati bagi
tanaman.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hormon IAA


Hormon IAA adalah auksin endogen yang berperan dalam pembesaran sel,
menghambat pertumbuhan tunas samping, merangsang terjadinya absisi, berperan
dalam pembentukkan jaringan xilem dan floem, dan juga berpengaruh terhadap
perkembangan dan pemanjangan akar (Herlina et al., 2016). Payangan (2018)
menjelaskan bahwa, hormon tumbuhan atau fitohormon IAA termasuk dalam
golongan auksin alami atau enzim yang diproduksi dari bagian dalam tanaman. IAA
merupakan senyawa auksin yang secara ilmiah paling banyak terdapat pada
tanaman. IAA tidak hanya dihasilkan oleh tanaman tetapi dapat pula dihasilkan oleh
mikroorganisme.
Produksi IAA diukur dengan metode kolorimetri yang mengindikasikan adanya
IAA dari tingkatan kepekatan warna merah yang terbentuk karena adanya cincin
indol. Cincin indol terbentuk setelah supernatan isolat direaksikan dengan reagen
Salkowski. Salkowski merupakan reagen pewarna yang dapat digunakan untuk
menguji senyawa indol dan turunannya. Indol ialah senyawa organik golongan
aromatik yang memiliki struktur bisiklik yang terdiri atas cincin benzen. IAA
merupakan salah satu contoh senyawa yang memiliki gugus indol sehingga
reaksinya dengan Salkwoski akan menghasilkan warna merah muda. Reagen
salkowsky telah digunakan untuk mendeteksi adanya IAA pada berbagai filtrate
kultur mikroorganisme antara lain Azotobacter dan Pseudomonas, Phanerochaete
chrysosporium ME466, dan Rhizobium sp. Prinsip karakterisasi dari IAA yaitu
mengontrol proses fisiologis dan menstimulasi kapasitas perpanjangan sel dalam
batang dan bagian koleoptil, mempengaruhi inang pada respon perkembangan
termasuk inisiasi akar, perkembangan bunga maupun buah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi IAA ini adalah sintesis auksin, pemecahan auksin, dan
in-aktifnya IAA sebagai hasil peleburan molekul. Beberapa mikroorganisme
memproduksi auksin karena kehadiran prekursor IAA yaitu L-triptofan. Triptofan
menjadi bahan dasar dalam biosistesis IAA. Media tumbuh untuk pengujian
produksi IAA dilengkapi dengan L-triptofan yang berfungsi sebagai senyawa
prekursor sintesis IAA (Payangan, 2018).
5

2.2 Jamur Rhizosfer


Rizosfer adalah daerah di sekitar perakaran yang memiliki kondisi sifat cepat
berubah, aktivitas mikroorganisme tinggi, dan populasi mikroorganisme yang
tinggi jika dibandingkan dengan daerah non-rizosfer (Adhi & Suganda, 2020).
Menurut Purwantisari & Hastuti (2009), jamur rhizosfer merupakan salah satu
kelompok mikrobia yang telah dilaporkan dapat menginduksi ketahanan tanaman
terhadap berbagai penyakit, baik penyakit terbawa tanah maupun penyakit terbawa
udara. Jenis tanah yang mengandung mineral organik dan anorganik mempengaruhi
jenis jamur yang ada. Jamur yang ada di rhizosfer dapat melindungi tanaman
terhadap patogen dan meningkatkan kesuburan pertumbuhan tanaman sehinggga
digolongkan sebagai jamur pemacu kesuburan tanaman.
Jamur rhizosfer membantu pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme
seperti peningkatan penyerapan nutrisi, sebagai kontrol biologi terhadap serangan
patogen, dan juga menghasilkan hormon pertumbuhan bagi tanaman. Jamur endofit
umumnya bersimbiosis mutualisme dengan tanaman inangnya. Jamur ini memberi
manfaat kepada tanaman inang antara lain berupa peningkatan laju pertumbuhan,
ketahanan terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan (Purwantisari &
Hastuti, 2009). Huda et al. (2015), juga menyatakan bahwa terdapat asosiasi
mutualisme antara mikoriza dengan tanaman yakni mikoriza dapat membantu
tanaman dalam penyerapan unsur hara terutama unsur hara P. Enzim Fosphatase
yang terdapat pada mikoriza mampu merubah unsur P total menjadi P tersedia yang
dapat diserap oleh akar tanaman. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses
asosiasi cendawan mikoriza adalah jumlah karbohidrat yang dapat dikirim oleh
tanaman inangnya kepada cendawan. Asosiasi akan terjadi secara sempurna, jika
karbohidrat yang dapat diterima oleh cendawan dapat dipergunakan secara
maksimal untuk perkembangan cendawan itu sendiri.
Sama halnya dengan penjelasan Payangan (2018) yang menyatakan bahwa,
jamur rhizosfer membantu pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme
seperti peningkatan penyerapan nutrisi dan menghasilkan hormon pertumbuhan
bagi tanaman. Sebanyak 80% mikroorganisme yang diisolasi dari rhizosfer
berbagai tanaman memiliki kemampuan untuk mensintesis dan melepaskan auksin
sebagai metabolit sekunder. Kelompok cendawan yang biasa ditemukan di tanah
6

antara lain adalah Aspergillus, Penicillium, Epicoccum, Fusarium, Trichoderma,


Gliomastrik, Memmoniela, Stachybotris (Deuteromycetes), Absida Mucor,
Rhizophus, Zygornyncus (Zygomycetes), Chaetomium, dan Gymnoascus
(Ascomycetes).
Mikroorganisme tanah akan bertumpuk di dekat perakaran tanaman (rhizosfer)
yang menghasilkan eksudat akar dan serpihan tudung akar sebagai sumber makanan
mikroorganisme tanah. Adanya eksudat akar tersebut menyebabkan populasi
mikroorganisme di daerah rhizosfer jauh lebih tinggi dari pada di bagian tanah yang
lain.
2.3 Jamur Rhizosfer Penghasil Hormon IAA
Banyak cendawan rhizosfer yang mempunyai kemampuan sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman sekaligus mampu menekan perkembangan patogen dan
dikenal sebagai Plant Growth Promoting Fungi (PGPF) seperti Trichoderma spp.
dan Rhizoctonia spp. yang telah diketahui juga dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman selain kemampuannya sebagai pengendali hayati. PGPF banyak
ditemukan di sekitar tanaman sehat yang dibudidayakan atau tumbuh dengan
sendirinya, dan PGPF dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui
mekanisme produksi hormon, membantu mineralisasi, dan penekanan
mikroorganisme yang merugikan tanaman (Payangan, 2018). Hal ini selaras dengan
pendapat dari Tajum (2018) yaitu, banyak mikroba khususnya cendawan rhizosfer
yang mempunyai kemampuan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman sekaligus
mampu menekan perkembangan patogen dan dikenal sebagai Plant Growth
Promoting Fungi (PGPF). Mikroba seperti Trichoderma sp., Penicillium sp. dan
Aspergillus sp. merupakan mikroba yang umum terdapat dalam tanah, tumbuh
dengan cepat dan bersifat antagonistik terhadap cendawan lain. Mikroba-mikroba
rhizosfer tersebut juga berpotensi menghasilkan hormon-hormon seperti ammonia,
katalase dan hormon auksin (IAA) yang berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman, sebagai agen pengendalian hayati, dan peningkatan serapan hara
khususnya fosfor (P).
2.4 Pemangkasan
Pemangkasan adalah pemotongan bagian-bagian tanaman yang tidak
dikehendaki agar tanaman tumbuh dengan sehat, kuat pertumbuhan vegetatif dan
7

generatifnya seimbang sehingga menjadi lebih produktif. pemangkasan ini penting


dilakukan untuk mengurangi cabang kopi supaya pembentukan cabang dan
pembuahan bisa berjalan dengan lancar sehingga tanaman tidak membentuk
payung. Oleh karena itu, tanaman kopi harus dipangkas pada bagian cabang
primernya atau diperpendek untuk merangsang pertumbuhan cabang sekunder.
Tujuan pemangkasan antara lain adalah mendapatkan pohon kopi yang rendah agar
memudahkan pemeliharaan dan pemanenan, mendapatkan cabang-cabang baru
yang produktif secera berkelanjutan dan optimal, memudahkan masuknya cahaya
matahari ke tajuk tanaman, memperlancar peredaran udara untuk mengurangi
kelembaban, memperlancar pertumbuhan tanaman, mengatur letak, umur dan
bentuk dari cabang produktif, dan membuang cabang-cabang yang tidak
dikehendaki (cabang tua, kering, sakit, cabang cacing, cabang balik dan tunas air)
(DINTANPANGAN, 2020).
Baihaqi et al. (2015) mengemukakan bahwa, pemangkasan bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, mempertahankan umur ekonomis tanaman juga dapat
mengendalikan penyakit dan memelihara tanaman sehingga dapat memacu
produksi, serta mengatur iklim mikro yang tepat bagi tanaman. Pemangkasan juga
bertujuan untuk mencapai efesiensi pemanfaatan sinar matahari sehingga tanaman
mampu mencapai produktivitas yang tinggi. Selaras dengan pendapat Sukmawati
et al. (2018), selain mampu meperbaiki kualitas serta kuantitas tanaman buah,
pemangkasan tanaman juga dapat memperbaiki kondisi lingkungan tanaman seperti
kelembaban, udara, sirkulasi cahaya, angin dan suhu sehingga aktivitas proses
potosintesis dapat berlangsung dengan baik normal serta produksi oksigen dari
tanaman sebanyak mungkin.
Secara umum mikroorganisme dari tanaman dengan perlakuan pangkas selalu
lebih rendah dari tanaman dengan perlakuan non-pangkas. Hal ini diduga
berhubungan dengan berkurangnya luas permukaan tanaman untuk melakukan
proses fotosintesis sehingga berkurangnya tingkat respirasi tanaman yang
berpengaruh terhadap ketersediaan energi bagi mikroorganisme didalam rhizosfer
tanaman tersebut (Ramadhani et al., 2017).
2.5 Pengaruh Kondisi Lingkungan terhadap Jumlah Jamur Rhizosfer
Keberadaan jamur dipengaruhi oleh faktor lingkungan di habitat jamur, karena
sifat jamur yang saprofit bergantung pada lingkungan dan bahan organik substrat.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi diantaranya keasaman tanah (pH), suhu
tanah dan kelembaban tanah. Suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan jamur
berkisar 25-30°C dan suhu maksimum 25-40°C sedangkan kelembaban yang
optimal untuk pertumbuhan jamur yaitu di bawah 80%. (Fety et al., 2015). Sama
halnya dengan pendapat Fitriani (2017), Keberadaan jamur dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan diantaranya yaitu suhu, kelembaban, dan intensitas
cahaya. Sedangkan substrat tempat jamur tumbuh antara lain serasah daun-daunan
hutan yang lembab dan sedikit cahaya matahari langsung yang sampai ke lantai
hutan yang telah membusuk maupun batang-batang pohon yang menyediakan
banyak nutrisi untuk kehidupan jamur. Pertumbuhan optimum jamur pada kisaran
suhu 25-35ºC, dengan suhu maksimum pada atau di bawah 37°C dan minimum di
atas 5°C, dengan kelembaban udara antara 65%-85% sangat baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan jamur. sedangkan pH optimum untuk
pertumbuhan jamur antara 5-7,5. Menurut Karmina et al. (2017), nilai temperatur
tanah dan kelembaban tanah berpengaruh terhadap tinggi rendahnya nilai pH tanah
di berbagai umur tanaman. Kelembaban dan temperatur tanah yang baik membuat
tanah menjadi memiliki ruang pori yang cukup sehingga sirkulasi udara di dalam
tanah dapat berjalan dengan baik. Dengan tanah yang sehat tanah mampu memiliki
nilai pH netral sehingga tanaman akan tumbuh dengan baik.
2.6 Hutan Pendidikan UB
Sejak tahun 2016, Universitas Brawijaya memperoleh mandat dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengelola hutan seluas 544 ha di lereng
Gunung Arjuno menjadi hutan Pendidikan dan Pelatihan, yang diberi nama UB
Forest (Kurniawan et al., 2019). Penggunaan lahan yang digunakan pada wilayah
penelitian sebagian besar adalah agroforestri dengan tanaman utama merupakan
tanaman tahunan seperti pinus, mahoni, dan kopi. Selain tanaman tahunan, terdapat
pula tanaman semusim seperti talas dan sayur-sayuran. Pada kawasan agroforestri
kopi pinus terdapat perbedaan pengelolaan tanaman kopi. Digolongkan menjadi 4,
yaitu pengelolaan optimal Business As Usual (BAU), pengelolaan sedang Medium
9

management Coffee (MC), pengelolaan tinggi High management Coffee (HC),


pengelolaan rendah Low management Coffee (LC).
Perbedaan pengelolaan dari 4 plot pada Hutan Pendidikan UB antara lain adalah
jumlah pemberian pupuk. Pada plot BAU dan HC dilakukan pemberian pupuk
kompos sebanyak 2 kali setahun, sedangkan pada plot MC dilakukan pemberian
pupuk kompos sebanyak 1 kali setahun, dan pada plot LC tidak dilakukan
pemberian pupuk kompos. Hal ini dapat berpengaruh terhadap produksi tanaman
dan banyaknya mikroorganisme dalam tanah. Dijelaskan oleh Haryadi et al. (2015),
rendahnya produksi tanaman terjadi jika kualitas tanah baik sifat fisik, kimia dan
biologi tanah menurun yang disebabkan oleh hilangnya unsur hara di dalam tanah.
Penambahan unsur hara di dalam tanah untuk meningkatkan produksi tanaman
dapat dilakukan dengan cara pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan
pemakaian pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik dapat
menjaga agroekosistem terutama mencegah terjadinya degradasi lahan dan dapat
memperbaiki kesuburan tanah sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, disamping itu juga dapat menghasilkan komoditi yang
sehat. Pemberian berbagai pupuk organik ini dapat meningkatkan kebutuhan akan
unsur hara serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pemupukan
dengan pupuk organik akan meningkatkan kehidupan organisme dalam tanah
karena memanfaatkan bahan organik sebagai nutrisi yang dibutuhkan organisme
tersebut.
10

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Juli 2021 di
Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Pengambilan sampel tanah dan
kegiatan pemangkasan dilakukan pada lahan agroforestri pinus kopi dari tujuh plot
berbeda yang terletak di kawasan lereng gunung Arjuno, Dusun Sumbersari, Desa
Tawangargo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan pada pengambilan sampel tanah adalah cetok, mistar,
kamera, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengambilan
sampel tanah adalah plastik kiloan, kresek, ranting pohon, dan label. Pada penelitian
di laboratorium dibutuhkan beberapa alat seperti cawan petri, gelas ukur,
erlenmeyer, hot plate, botol schott, autoklaf, timbangan analitik, tabung reaksi,
vortex, mikro pipet, drygalski, jarum ose, bunsen, laminary air flow cabinet,
sentrifuge, sentrifuge tube, spektrofotometer, mikroskop, object glass, deck glass,
dan kamera. Sedangkan bahan yang dibutuhkan untuk penelitian di laboratorium
adalah sampel tanah, agar-agar, kentang, dextrose, chloramphenicol, aquades,
media PDA (Potato Dextrose Agar), media PDB (Potato Dextrose Broth), L-
tryptophan, alkohol, methanol, IAA sintesis, H2SO4, FeCl3.6H2O, kertas saring,
plastik wrap, alumunium foil, tissue, dan label. Alat yang digunakan untuk
mengukur faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah adalah HOBO
Sensor.
3.3 Metode Penelitian
Untuk menentukan jumlah keanekaragaman jamur rizosfer penghasil IAA
dilakukan dengan beberapa tahap, dimulai dengan pembuatan 7 plot di Lahan
Agroforestri Pinus Kopi Hutan Pendidikan UB, pengambilan sampel tanah,
pembuatan media PDA, isolasi jamur dengan metode pengenceran, purifikasi setiap
jamur yang memiliki morfologi berbeda, pengujian kandungan hormon IAA pada
jamur, dan identifikasi jamur.
11

3.3.1 Pembuatan Plot Pengambilan Sampel Tanah


Pembuatan plot pengambilan sampel tanah dilakukan pada daerah rizosfer di
kawasan agroforestri tanaman pinus kopi, yang dibedakan berdasarkan dengan
pengelolaan tanaman kopi dan jumlah vegetasinya. BAU (Business As Usual)
merupakan plot yang menggunakan standar pengelolaan tanaman kopi perhutani
dengan kriteria rutin dilakukan pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian gulma
dalam satu tahun. HC (High management Coffee) merupakan plot dengan
pengelolaan tanaman kopi tinggi dengan kriteria dilakukan pemupukan,
pemangkasan dan pengendalian gulma dalam satu tahun. MC (Medium
management Coffee) merupakan plot pengelolaan tanaman kopi sedang dengan
kriteria jarang dilakukan pemupukan, pemangkasan dan pengendalian gulma. LC
(Low management Coffee) merupakan plot pengelolaan tanaman kopi rendah
dengan kriteria tidak dilakukan pemupukan, pemangkasan dan pengendalian gulma
kecuali hanya pada saat awal penanaman. Pemupukan menggunakan pupuk
kompos yang didapat dari pabrik peternakan ayam di wilayah tersebut. Masing-
masing plot berukuran 40 x 60 m2 . Selanjutnya dilakukan penandaan menggunakan
tali rafia pada plot yang telah diukur. Kemudian dilakukan pemasangan alat
pengukur faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban.

Tabel 1. Perbedaan Jumlah Individu Tanaman dan Perlakuan pada Tiap Plot
Penggunaan LC LC MC MC HC HC
BAU
Tanaman 1.1 1.2 2.1 2.2 3.1 3.2
Kopi 1371 1850 1713 1267 2679 2263 2454
Pinus 713 946 717 613 725 746 383
Total
(individu/2400 2083 2796 2429 1879 3404 3008 2838
m2 )
Pemupukan Tidak Tidak
1x 1x 2x 2x 2x
Kompos dilakukan dilakukan
Keterangan : BAU (Business as Usual), HC (High Management Coffee), MC (Medium
Management Coffee), dan LC (Low Management Coffee)
3.3.2 Pengukuran Faktor Lingkungan
Pengamatan lingkungan bertujuan untuk mengetahui kondisi iklim mikro pada
lokasi pengamatan dengan menggunakan alat HOBO sensor. Pengamatan iklim
mikro yang diukur meliputi jumlah vegetasi, suhu (oC), kelembaban (%), tanah
pada masing-masing plot pengamatan. Peletakan HOBO sensor dipasangkan di
daerah perakaran antara tanaman kopi dan pinus dengan kedalaman ± 5-10 cm dari
12

permukaan tanah. Hal ini dikarenakan iklim mikro merupakan iklim di lapisan
udara dekat permukaan bumi dengan tinggi ±2 meter (Sanger et al., 2016).
Pengambilan data suhu dan kelembaban tanah mengghunakan aplikasi HOBO
Mobile Apps.
3.3.3 Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah diambil dari sub plot pada masing-masing plot BAU, LC, MC,
dan HC dengan perlakuan pemangkasan dan LC, MC, dan HC tanpa perlakuan
pemangkasan. Subplot berjumlah lima di setiap plot, sehingga total sampel adalah
35. Subplot berukuran 10 x 10 m2 . Pengambilan sampel tanah rizosfer dilakukan
dengan menggunakan metode komposit sampling dengan tujuan agar sampel tanah
yang diambil benar-benar representatif (Yamani, 2012), dengan mengambil sampel
tanah secara diagonal di lima titik subplot sedalam 0-20 cm, sebanyak 100 g. Tanah
kemudian dikompositkan dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah
diberi label, lalu dibawa ke Laboratorium Pengendalian Hayati Universitas
Brawijaya.
Pengambilan sampel tanah pada masing-masing plot BAU, LC 1.1, MC 2.1,
HC 3.1, LC 1.2, MC 2.2, dan HC 3.2 dengan perlakuan pertama yaitu triming
(pemangkasan tanaman pinus) pada LC 1.1, MC 2.2, dan HC 3.2, dan tanpa
perlakuan triming pada LC 1.2, MC 2.1, dan HC 3.1. Plot BAU tidak dilakukan
triming maupun pruning karena BAU merupakan plot kontrol. Perlakuan kedua
dilakukan kegiatan pruning (pemangkasan tanaman kopi) untuk seluruh plot kecuali
BAU dan perlakuan ketiga merupakan 1 bulan setelah dilakukannya pruning.
Pemangkasan tanaman kopi (pruning) dilakukan pada seluruh plot kecuali
BAU. Sedangkan kegiatan triming tidak dilakukan di seluruh plot, karena projek
awal penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu pengaruh triming
terhadap tanaman kopi. Kegiatan pruning dilakukan dengan memangkas batang
utama tanaman kopi dengan jarak 50 cm dari permukaan tanah, arah
pemangkasannya miring dengan tujuan agar air hujan tidak tergenang di atas batang
yang telah dipangkas. Sedangkan kegiatan triming dilakukan oleh petani dengan
jarak 10 sampai 12 meter dari tanah.
13

A. Perlakuan pertama (triming) mengambil sampel pada 7 plot.


1) BAU = Kontrol
2) LC 1.1 = Triming BAU LC 1.1 MC 2.1 HC 3.1
Tidak di Tidak di
3) MC 2.1 = Tidak di triming Kontrol Triming
triming triming
4) HC 3.1 = Tidak di triming
5) LC 1.2 = Tidak di triming LC 1.2 MC 2.2 HC 3.2
6) MC 2.2 = Triming Tidak di
Triming Triming
7) HC 3.2 = Triming triming

B. Perlakuan kedua (pruning) mengambil sampel pada 7 plot


1) BAU = Kontrol
2) LC 1.1 = Triming dan Pruning BAU LC 1.1 MC 2.1 HC 3.1
Triming
3) MC 2.1 = Pruning Kontrol Pruning Pruning
Pruning
4) HC 3.1 = Pruning
5) LC 1.2 = Pruning MC 2.2 HC 3.2
LC 1.2
6) MC 2.2 = Triming dan Pruning Triming Triming
Pruning
7) HC 3.2 = Triming dan Pruning Pruning Pruning

C. Bulan ketiga (setelah 1 bulan triming dan pruning) mengambil sampel pada 7
plot
1) BAU = Kontrol LC 1.1
2) LC 1.1 = 1 bulan triming dan pruning MC 2.1 HC 3.1
BAU 1 bulan 1 bulan 1 bulan
3) MC 2.1 = 1 bulan pruning Kontrol Triming
Pruning Pruning
4) HC 3.1 = 1 bulan pruning Pruning
5) LC 1.2 = 1 bulan pruning
6) MC 2.2 = tidak diberi perlakuan LC 1.2 MC 2.2 HC 3.2
1 bulan 1 bulan 1 bulan
7) HC 3.2 = tidak diberi perlakuan Triming Triming
Pruning
Pruning Pruning
Pada masing-masing plot terdiri dari 5 subplot, sehingga total sampel adalah
sebanyak 35. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode komposit sampling.
Contoh desain subplot : Contoh desain subsubplot yang diambil 5

60 m titik dengan metode sampling :

10 m
1 2 3 4 5 6

A x x
B 1 2 3
x 10 m
40 m
C 4 5
x x

D
14

3.3.4 Pembuatan Media PDA


Media PDA (Potato Dextrose Agar) dibuat melalui beberapa tahap, diawali
dengan menimbang bahan sesuai dengan komposisi yaitu kentang sebanyak 500 g,
agar-agar 15 g, dan dextrose 40 g. Kemudian kupas dan cuci kentang hingga bersih,
lalu potong menjadi bagian-bagian kecil dan rebus hingga tekstur kentang menjadi
lembut, ekstrak kentang yang dihasilkan kemudian disaring sambil dipanaskan
dalam beakerglass, tambahkan aquades hingga volume nya menjadi satu liter,
kemudian masukkan dextrose dan agar kedalamnya dan diaduk hingga homogen.
Setelah mendidih pindahkan media yang sudah jadi ke dalam botol schott sebagai
tempat penyimpanan, sterilkan media kedalam autoklaf. Selanjutnya setelah panas
kukuh dimasukkan chloramphenicol sebanyak 50 mg. Step yang terakhir adalah
menuangkan media cair yang telah dibuat kedalam cawan petri yang telah
disterilisasi di dalam LAFC. Ditunggu hingga media memadat dan bungkus
pinggiran cawan petri dengan menggunakan plastik wrap dan kertas HVS
3.3.5 Isolasi Jamur Rizosfer
Isolasi jamur rizosfer menggunakan teknik pengenceran berseri (dillution
method). Proses isolasi jamur dilakukan dengan beberapa tahap, diawali dengan
menyiapkan tabung erlenmeyer berisi 90 ml air aquadest dan tiga tabung reaksi
untuk tiga kali pengenceran masing-masing berisi 9 ml air aquadest steril.
Selanjutnya menimbang sampel tanah sebanyak 10 g dan dimasukkan ke dalam
tabung erlenmeyer berisi aquadest 90 ml yang telah disterilkan, kemudian tabung
dishaker selama 120 menit hingga larutan homogen. Setelah homogen ambil sampel
sebanyak 1 ml dengan menggunakan mikro pipet lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi untuk pengenceran pertama sehingga didapatkan perbandingan 1 : 10 atau
pengenceran 10-1 . Setelah itu mengambil 1 ml sampel dari tabung pertama dan
dimasukkan ke dalam tabung ke dua untuk mendapatkan perbandingan 1 : 100 atau
pengenceran 10-2 kemudian dihomogenkan dengan vortex. Proses ketiga dilakukan
dengan cara yang sama dengan proses kedua sehingga diperoleh tingkat
pengenceran 10-3 . Penumbuhan jamur dilakukan dengan mengambil sampel
sebanyak 0,5 ml dengan mikropipet dari pengenceran 10-3 . Selanjutnya isolasi
sampel ke dalam media PDA dan diratakan dengan menggunakan stik L hingga
kering. Amati cawan setiap hari untuk melihat pertumbuhan jamur.
15

3.3.6 Purifikasi Jamur


Purifikasi atau pemurnian dilakukan pada setiap jamur yang dianggap berbeda
berdasarkan morfologinya yang meliputi warna dan bentuk koloni. Hifa jamur
diambil menggunakan jarum ose, kemudian diletakkan di cawan petri steril yang
baru berisi media PDA. Purifikasi dilakukan dalam LAFC (Laminar Air Flow
Cabinet) untuk mencegah kontaminasi dari mikroorganisme lain. Hasil isolasi
diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Menurut Sunaryanto (2011), waktu
inkubasi proses isolasi pada cawan agar sampai dapat dilihat koloninya dengan
mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14 hari.
3.3.7 Pengujian Jamur Penghasil IAA
Uji kemampuan jamur sebagai penghasil hormon IAA dilakukan dengan
metode Patten dan Glick (2002). Metode tersebut dilakukan dengan cara, isolat
diinokulasikan pada 45 ml PDB cair yang ditambah dengan 0,1 g/L Ltriptofan dan
diinkubasi pada inkubator goyang dengan kecepatan 100 rpm dengan suhu ruangan
selama lima hari. Pengukuran kadar IAA diukur dengan mengambil sebanyak 10
ml kultur kemudian disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 8000 rpm.
Supernatant yang dihasilkan kemudian disaring dengan kertas saring, 1 ml
Supernatan yang diperoleh ditambahkan dengan 4 ml reagen Salkowski (75 mL
H2SO4 pekat, 3,75 ml FeCl3.6H2O 0,5 M dan 125 ml aquades steril) dimasukkan
ke dalam masing-masing tabung reaksi. Kemudian melakukan inkubasi pada
ruangan gelap selama 30 menit. Setelah 30 menit amati perubahan warna yang
terjadi pada sampel. Perubahan warna sampel menjadi merah muda setelah inkubasi
mengindikasikan bahwa isolat mampu menghasilkan IAA. Mengukur konsentrasi
IAA yang dihasilkan oleh isolat diukur dengan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 520 nm. Konsentrasi IAA dihitung setelah dibandingkan
dengan absorbansi larutan standar IAA.
3.3.8 Pembuatan Kurva Standar IAA
Pembuatan kurva standar IAA dibuat dengan metode Pattern dan Glick (2002)
melalui beberapa tahap diawali dengan menyiapkan 50 ml metanol yang telah
dilarutkan 2,5 mg IAA sintesis konsentrasi 50 ppm. Kemudian larutan IAA sintesis
dipipet ke dalam tabung reaksi masing-masing 20 µl (1 ppm), 100 µl (5 ppm), 200
µl (10ppm), 300 µl (15 ppm), 400µl (20 ppm), 500 µl (25 ppm), 600 µl (30 ppm),
16

700 µl (35 ppm), 800 µl (40 ppm) dan 900 µl (45 ppm). Setelah itu tambahkan
metanol sehingga volume masing-masing tabung reaksi menjadi 1000 µl, setelah
itu tambahkan 4 ml Reagen Salkowski pada masing-masing tabung reaksi
kemudian homogenkan. Setelah homogen, inkubasi tabung reaksi selama 30 menit
pada ruang gelap di suhu ruang hingga larutan berubah menjadi warna merah muda.
Lalu ukur abrsorbansi larutan standar IAA menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 520 nm. Hasil yang diperoleh dari spektrofotometer dibuat
kurva larutan standar IAA yang menunjukkan hubungan antara larutan standar IAA
(x) dan absorbansinya (y), dan akan diperoleh persamaan:

Y = a + bx

Keterangan:
a = Intersep
b = Slope (Koefisien Regresi)
Y = Absorbansi
x = Konsentrasi
Pembuatan kurva ini bertujuan memperoleh suatu persamaan untuk
perhitungan konsentrasi IAA dari supernatan tersebut. Kurva standar IAA diperoleh
dengan mengukur nilai absorbansi larutan IAA standar berbagai konsentrasi yang
telah diberi Reagen Salkowski (A’ini, 2013).
3.3.9 Identifikasi Jamur
Identifikasi jamur dilakukan dengan cara memindahkan satu koloni jamur pada
media PDA steril yang baru dan disimpan dalam ruang inkubator. Kemudian
mengambil jamur yang telah tumbuh di media PDA selama satu minggu
menggunakan jarum preparat dan di goreskan pada obyek glass yang telah diberi
sedikit media PDA, setelah itu ditutup dengan deck glass. Proses pengamatan jamur
menggunakan mikroskop dengan melihat ciri-ciri morfologinya seperti bentuk,
warna dan miselium. Kemudian untuk mengidentifikasi jamur dapat dilakukan
dengan cara mencocokkannya dengan ciri-ciri yang terdapat pada buku Pictorial
Atlas of Soil and Seed Fungi Third Edition (Watanabe, 2010).
17

3.3.10 Pengukuran Nilai pH


Menimbang 10 g sampel tanah yang sudah kering udara dan yang sudah lolos
ayakan 2 mm kemudian masukkan dalam botol plastik. Menambahakan 10 ml
aquades (untuk penetapan pH H2O). Kemudian menimbang 10 g tanah kering udara
yang sudah lolos ayakan 2 mm kemudian masukkan ke dalam botol plastik,
tambahkan 10 ml KCl 1 N (untuk penetapan pH KCl 1N). Setelah itu mengocoknya
dengan mesin pengocok selama 60 menit kemudian diukur menggunakan pH meter
yang sudah dikalibrasi dengan larutan penyangga pH= 4 dan pH= 7 (catat pH yang
ditampilkan pada pH meter).
3.3.11 Bahan Organik (%)
Kandungan bahan organic diukur menggunakan metode Walkey – Black yaitu
menimbang 0,5 g tanah yang telah lolos ayakan 0,5 mm (0,25 g untuk tanah yang
organiknya tinggi dan 0,1 g tanah untuk bahan organik) masukkan ke labu
Erlenmeyer 500 ml. Tambahkan 10 ml K2Cr2O7 1N ke dalam labu Erlenmeyer.
Menambahkan 20 ml H2SO4 ke dalam labu Erlenmeyer dan kemudian
digoyangkan supaya tanah bereaksi sempurna. Biarkan campuran tersebut selama
30 menit, lalu tambahkan H2SO4 dilakukan di ruang asam. Sebuah blanko (tanpa
tanah) dikerjakan dengan cara yang sama. Kemudian campuran tadi diencerkan
dengan H2O 200ml dan tambahkan 100 ml H3PO4 85%, menambahkan indikator
Difenilamina 30 tetes. Setelah itu larutan dapat ditritasi dengan FeSO4.7H2O 1N
melalui buret. Adanya perubahan warna gelap menjadi hijau terang menandakan
titrasi dihentikan.
Perhitungan C. Organik :
𝑚𝑙. 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝑙. 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 3 𝑥 𝐹𝑘𝑎
𝐶. 𝑂𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 (%) =
𝑚𝑙. 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Perhitungan Bahan Organik :
𝐵𝑂 (%) = % 𝐶. 𝑂𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 𝑥 1,73
18

3.4 Variabel Pengamatan


A. Pengamatan Hasil Pemangkasan
Diamati hubungan jumlah jamur penghasil IAA dengan dilakukannya
pemangkasan dan tanpa pemangkasan di setiap plotnya.
B. Pengamatan Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan yang diamati adalah jumlah vegetasi dan iklim mikro
seperti suhu, kelembaban tanah, pH, dan kandungan BO yang ada pada tanah
tersebut.
C. Jumlah Jamur Penghasil Hormon IAA
Jumlah jamur penghasil hormon IAA diamati dari banyaknya isolat yang
berubah menjadi warna merah muda setelah dicampur dengan reagen salkowski.
Hal ini menandakan jamur mampu menghasilkan IAA.

3.5 Analisis Data


3.5.1 Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme
secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah
individu masing-masing jenis pada suatu komunitas. Untuk itu dilakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan dari Shannon-Wiener
(Kusumaningsari et al., 2015).
𝑠

𝐻 = − ∑ 𝑝𝑖 𝐼𝑛 𝑝𝑖
𝑖=𝑠

Keterangan :
H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
𝑛𝑖
Pi = 𝑁

ni = Jumlah individu dari suatu jenis ke-i


s = Jumlah total individu seluruh jenis
Menurut Insafitri (2010), kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
(H’) adalah sebagai berikut,
H’ ≤ 1 = Keanekaragaman jenis rendah,
1< H’ < 3 = Keanekaragaman jenis sedang
H’ ≥ 3 = Keanekaragaman jenis tinggi
19

3.5.2 Perhitungan Indeks Keseragaman (e)


Indeks keseragaman (Evenness index) yang digunakan berdasarkan fungsi
Shannon-Wiener untuk mengetahui sebaran tiap individu dalam luasan area
pengamatan (Kusumaningsari et al., 2015).
𝐻′ 𝐻′
E = 𝐻 𝑚𝑎𝑥 = 𝐼𝑛 𝑆

Keterangan :
E = Indeks Kemerataan
H’ = Indeks Keanekaragaman
H max = In S
S = Jumlah Spesies
Menurut Insafitri (2010), kriteria nilai indeks keseragaman adalah sebagai berikut,
0 < e ≤ 0,4 = Keseragaman populasi kecil,
0,4 < e ≤ 0,6 = Keseragaman populasi sedang,
e > 0,6 = Keseragaman populasi tinggi.
Semakin kecil nilai indeks keanekaragaman (H’) maka indeks keseragaman (e) juga
akan semakin kecil, yang mengisyaratkan adanya dominansi suatu spesies terhadap
spesies lain.
3.5.3 Perhitungan Indeks Dominansi (C)
Menurut Insafitri (2010), Indeks dominansi (C) digunakan untuk
mengetahui sejauh mana suatu kelompok biota mendominansi kelompok lain.
Dominansi yang cukup besar akan mengarah pada komunitas yang labil maupun
tertekan. Dominansi ini diperoleh dari rumus :
𝑛
𝑛
𝑛𝑖 2
𝐶 = ∑ 𝑃𝑖 2 = ∑ ( )
𝑁
𝑖=𝑙
𝑖=𝑙

Keterangan :
C = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu jenis ke- i
N = jumlah seluruh individu dalam total n
Pi = ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
20

Semakin besar nilai indeks dominansi (C), maka semakin besar pula kecenderungan
adanya jenis tertentu yang mendominasi.
Menurut Munthe et al. (2012), kriteria indeks dominansi adalah sebagai berikut,
0 < C ≤ 0,5 = tidak ada genus yang mendominasi
0,5 < C < 1 = terdapat genus yang mendominasi
3.5.4 Perhitungan Uji Korelasi Jumlah Jamur Penghasil IAA
A. Uji Korelasi antara Jamur Penghasil IAA dengan Pemangkasan
Data pengamatan jamur penghasil IAA dan pemangkasan yang didapatkan
dianalisis menggunakan uji korelasi dengan menggunakan anova pada aplikasi
SPSS (Statistical Package for The Social Sciences). Kaidah pengujian yaitu
berdasarkan perbandingan antara Fhitung dengan Ftabel dan nilai probabilitasnya. Jika
Fhitung ≤ Ftabel, maka Ho diterima, sedangkan jika Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak.
Berdasarkan nilai probabilitas dapat dilihat jika Probabilitas (sig) > α, maka Ho
diterima, sedangkan jika Probabilitas (sig) < α, maka Ho ditolak (Oktofiyani et al.,
2016). Hasil dari perhitungan tersebut akan menunjukkan bahwa jumlah jamur
penghasil IAA berhubungan dengan adanya pemangkasan.
B. Uji Korelasi antara Jamur Penghasil IAA dengan Jumlah Vegetasi dan Iklim
Mikro
Pengukuran korelasi jumlah jamur penghasil IAA dengan jumlah vegetasi,
suhu, kelembaba, pH, dan bahan organik tanah dilakukan dengan menggunakan
Analisis Korelasi Pearson Product Moment (r) pada aplikasi Microsoft Excel 2013.
Rizal et al. (2018) menyatakan bahwa, interval koefisien 0,00-0,199 menunjukkan
tingkat hubungan sangat rendah, interval koefisien 0,20-0,399 tingkat hubungan
rendah, interval koefisien 0,40-0,599 tingkat hubungan sedang, interval koefisien
0,60-0,799 tingkat hubungan kuat, dan interval koefisien 0,80-1,000 menunjukkan
tingkat hubungan sangat kuat. Arah (-) menunjukkan bahwa hubungan kedua
variabel berlawanan arah, artinya kenaikan suatu variabel maka akan menyebabkan
variabel lain menurun. Sebaliknya arah (+) menunjukan bahwa kenaikan suatu
variabel akan menyebabkan variabel lain ikut naik.
21

DAFTAR PUSTAKA

A’ini, Z. F. 2013. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil IAA (Indole-3-Acetid


Acid) dari Tanah dan Air di Situgunung, Sukabumi. Faktor Exacta 6(3): 231-
240
Adhi, S.R. dan Suganda, T. 2020. Potensi jamur rizosfer bawang merah dalam
menekan Fusarium oxysporum f.sp. cepae, penyebab penyakit busuk umbi
bawang merah. Jurnal Kultivasi. 19(1): 1015-1022
Apriliani, A., Noli, Z. A., dan Suwirmen. 2015. Pemberian Beberapa Jenis dan
Konsentrasi Auksin Untuk Menginduksi Perakaran pada Stek Pucuk Bayur
(Pterospermum javanicum Jungh.) dalam Upaya Perbanyakan Tanaman
Revegetasi. J. Bio. UA. 4(3):178-187
Astriani, F., Leni B., dan Zul D. 2014. Seleksi Isolat Jamur dalam Menghasilkan
Hormon IAA (Indole Acetic Acid) Asal Tanah Gambut Desa Rimbo Panjang
Kabupaten Kampar. JOM. 1(2):1-11
Baihaqi, A., Hamid, A.H., Anhar, A., Abubakar, Y., Anwar, T., dan Zazunar, Y.
2015. Penerapan Teknik Budidaya Serta Hubungan Antara Pemangkasan Dan
Peningkatan Kesuburan Tanah Terhadap Peningkatan Produktivitas Kakao Di
Kabupaten Pidie. Agrisep. 16(2):54-61
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2020. Pemangkasan pada Tanaman
Kopi[online]. https://dintanpangan.temanggungkab.go.id/. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2020
Faradilla, Lusiana. 2018. Analisis Teknik Pemangkasan, Pemupukan, Panen Sering
dan Sanitasi (P3S) terhadap Produktivitas dan Pendapatan Usaha Tani Kakao
(Theobroma cacao L.) di Kabupaten Pinrang, Bantaeng dan Luwu Timur.
Universitas Hasanuddin. Makassar
Fety, Khotimah, S., dan Mukarlina. 2015. Uji Antagonis Jamur Rizosfer Isolat
Lokal terhadap Phytophthora sp. yang Diisolasi dari Batang Langsat (Lansium
domesticum Corr.). Protobiont. 4(1): 218-225
Fitriani, Elvira. 2017. Inventarisasi Jamur di Kawasan Hutan Sekipan Desa
Kalisoro Tawangmangu Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Universitas
Muhammadiyah. Surakarta
Gusmiaty, M. Restu A., dan R. Y. Payangan. 2019. Production of IAA (Indole
Acetic Acid) of The Rhizosphere Fungus in the Suren Community Forest Stand.
IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 343
Haryadi, D., Yetti, H., dan Yoseva, S. 2015. Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis
Pupuk terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kailan (Brassica
alboglabra L.). Jom Faperta. 2(2)
Herlina, L., Pukan, K. K., dan Mustikaningtyas, D. 2016. Kajian Bakteri Endofit
Penghasil IAA (Indole Acetic Acid) untuk Pertumbuhan Tanaman. Sainteknol.
14(1): 51-58
Huda, N., Muin, A., dan Fahrizal. 2015. Asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
pada Tanaman Gaharu Aquilaria spp di Desa Laman Satong Kabupaten
Ketapang. Jurnal Hutan Lestari. 4(1): 72–81
Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area
Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. J. Kelautan. 3(1): 54-59
Karmina, H., W. Fikrinda, A.T. Murti. 2017. Kompleksitas pengaruh temperatur
dan kelembaban tanah terhadap nilai pH tanah di perkebunan jambu biji
varietas kristal (Psidium guajava l.) Bumiaji, Kota Batu. J. Kultivasi 16(3):
430-434
Kurniawan, S., Riyanto, S., Gutama, W.A., Kusumarini, N., Adieb, N., Azizah, N.,
dan Nugroho, G.A. 2019. Go Organic-Gerakan Kelompok Petani Pesanggem
dalam Biokonversi Kulit Kopi Menjadi Kompos dan Pupuk Organik Granule.
J. Bakti Saintek. 3(2): 59-66
Kusumaningsari, S.D., Hendrarto, B., dan Ruswahyuni. 2015. Kelimpahan Hewan
Makrobentos pada Dua Umur Tanam Rhizophora sp. di Kelurahan
Mangunharjo, Semarang. Diponegoro Journal of Maquares. 4(2): 58-64
Munthe, Y. V., Aryawati, R., dan Isnaini. 2012. Struktur Komunitas dan Sebaran
Fitoplankton di Perairan Sungsang Sumatera Selatan. Maspari Journal. 4(1):
122-130
Oktofiyani, R., Nurmalasari, dan Anggraeni, W. 2016. Penerimaan Sistem E-
Learning Menggunakan Technology Acceptance Model (Tam)Study Kasus
Siswa/I Kelas X di Smu Negeri 92 Jakarta. J. Pilar Nusa Mandiri. XII(1): 46-
53
Payangan, R. Y. 2018. Isolasi Cendawan Rhizosfer Penghasil IAA (Indole Acetic
Acid) dari Tegakan Hutan Rakyat Suren. Universitas Hasanuddin. Makassar
Purwanti G., Manurung T.F., dan Darwati H. 2014. Pengaruh Auksin terhadap
Pertumbuhan Bibit Cabutan Alam Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk). J.
Hutan Lestari. 2(1):6-12
Purwantisari, S. dan Hastuti, R. B. 2009. Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenous
Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa
Pakis, Magelang. BIOMA. 11(2): 45-53
Ramadhani, A.N., Hazra, F., dan Widyati, E. 2017. Pengaruh Pemangkasan dan
Pemupukan terhadap Dinamika Rhizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba).
Buletin Tanah dan Lahan. 1(1): 1-7
Rizal, Nur, A. I., dan Kasim M. 2018. Studi kepadatan dan keanekaragaman
Makrozoobentos pada terumbu karang buatan dari sampah plastik di perairan
Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. J.
Manajemen Sumber Daya Perairan. 3(1): 31-41
Rochayat, Y., Amalia, A. C., dan Nuraini, A. 2017. Pengaruh pemangkasan
terhadap pertumbuhan: Percabangan dan pembesaran bonggol tiga kultivar
Kamboja Jepang (Adenium arabicum). Jurnal Kultivasi. 16(2): 382-387
Rusli J. dan Hafsan. 2015. Potensi Cendawan Rhizosfer dalam Menginduksi
Ketahanan Tanaman. J. Biotek. 3(1): 91-95
Sanger, Y.Y.J., Rogi J.E.X., dan Rombang, J. 2016. Pengaruh Tipe Tutupan Lahan
terhadap Iklim Mikro di Kota Bitung. Agri-SosioEkonomi Unsrat. 12(3): 105-
116
Sukmawati, Subaedah St., dan Numba, S. 2018. Pengaruh Pemangkasan Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Berbagai Varietas Cabai Merah (Capsicum annuum
L.). Jurnal Agrotek. 2(1): 45-53
Sunaryanto, Rofiq. 2011. Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium
Fermentasi Antibiotik yang dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Tajum, Yuliana. 2018. Isolasi Cendawan Rhizosfer Penghasil IAA (Indole Acetic
Acid) dari Tegakan Hutan Rakyat Damar. Universitas Hasanuddin. Makassar
Watanabe, T. 2010. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi. CRC Press. New York.
Yamani, A. 2012. Analisis Kadar Hara Makro Tanah pada Hutan Lindung Gunung
Sebatung di Kabupaten Kotabaru. J. Hutan Tropis. 12(2): 181-187

Anda mungkin juga menyukai