Anda di halaman 1dari 65

PENGARUH PEMANGKASAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN

JENIS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN


AGROFORESTRI TANAMAN PINUS DAN KOPI DI HUTAN
PENDIDIKAN “UB FOREST” MALANG

Oleh:
IVAN FAKHRI FIRDAUS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS PERTANIAN

MALANG

2021

i
PENGARUH PEMANGKASAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN
JENIS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN
AGROFORESTRI TANAMAN PINUS DAN KOPI DI HUTAN
PENDIDIKAN “UB FOREST” MALANG

Oleh :

IVAN FAKHRI FIRDAUS

175040207111028

MINAT STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat ntuk memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS PERTANIAN

JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

MALANG

2021

ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan yang ada di dalam skripsi ini
merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh saya sendiri, dengan dibawah
bimbingan dosen pembimbing. Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang jelas ditujukan rujukannya dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Malang, September 2021

Ttd

Ivan Fakhri Firdaus

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ivan Fakhri Firdaus


NIM : 175040207111028
Judul Penelitian : Pengaruh Pemangkasan Terhadap Keanekaragaman
Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Kawasan
Agroforestri Tanaman Pinus dan Kopi di Hutan
Pendidikan “UB Forest” Malang

Disetujui,
Pembimbing Utama,

Rina Rachmawati, S.P., M.P., M.Eng


NIP. 19810125 200604 1 002

Diketahui,
Ketua Jurusan,

Luqman Qurata Aini, S.P., M.Si., Ph.D.


NIP. 19720919 199802 1 001

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan rahmat dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyusun
skripsi dengan judul “Keanekaragaman dan Identifikasi Semut (Hymenoptera :
Formicidae) Pada Kawasan Agroforestri Tanaman Pinus dan Kopi Dengan
Perlakuan Trimming dan Prunning di Hutan Pendidikan UB, Malang”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, membimbing, serta memberikan arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
1. Bapak Luqman Qurata Aini, SP., M.Si., Ph.D selaku Ketua Jurusan dan
Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
2. Ibu Rina Rachmawati, SP., MP.,M.Eng. selaku Dosen Pembimbing
Pendamping Skripsi
3. Kedua orangtua yang telah mendoakan dan mendukung dalam proses
penulisan proposal penelitian ini.
4. Kepada Fanny Rahma Wiranti, Vivin Farida Lestari, Bakhrina Nurul
Azka, Theresia Rani Kartika Ayu yang telah membantu baik di lapang
maupun dalam pembuatan skripsi ini hingga akhir.
Penulis senantiasa menyadari bahwa dalam penyusunan proposal
penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi materi,
sistematika, maupun susunan bahasanya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Malang, 08 Oktober 2021

Ivan Fakhri Firdaus

v
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ivan Fakhri Firdaus, lahir di Jakarta, 07 Maret


1999 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan bapak Suyanarto dan
Ibu Shinta Yulia Dewi Kurniasih. Penulis bertempat tinggal di Karawaci, Kota
Tangerang, Kecamatan Kelapa Dua, Kelurahan Bencongan.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Karawaci
Baru 3, Kota Tangerang pada tahun 2005 – 2011, pendidikan menengah pertama
di SMPN 9 Kota Tangerang, pada tahun 2011 – 2014, pendidikan menengah atas
di SMAN 8 Kota Tangerang pada tahun 2014 – 2017. Penulis melanjutkan
pendidikan Strata-1 di Universitas Brawijaya dengan Program Studi
Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian pada tahun 2017 dengan melalui seleksi
mandiri.
Selama menjadi mahasiswa aktif, penulis turut serta dalam kegiatan non-
akademik. Penulis aktif dalam organisasi HIMATA (Himpunan Mahasiswa
Tangerang) pada tahun 2017. Selain itu panitia juga turut berpartisipasi pada
kepanitiaan yang diadakan oleh HIMATA, yaitu HI-Fest 2019 (Himata Festival)
sebagai divisi keamanan pada tahun 2019. Penulis mengambil peminatan Hama
dan Penyakit Tumbuhan (HPT) pada tahun 2019. Penulis juga pernah melakukan
kegiatan magang berupa webinar sebagai Divisi Marketing pada tahun 2020,
kegiatan webinar dilakukan secara daring dikarenakan adanya pandemic Covid-
19.

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
RIWAYAT HIDUP................................................................................................vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL...................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................xi
I. PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
1.4 Hipotesis....................................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian.....................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................4
2.1 Semut.........................................................................................................4
2.2 Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Keanekaragaman Semut.....9
2.3 Pemangkasan...........................................................................................10
2.4 Hutan Pendidikan “UB Forest”...............................................................11
III. METODE PENELITIAN............................................................................12
3.1 Waktu dan Tempat..................................................................................12
3.2 Alat dan Bahan........................................................................................12
3.3 Prosedur Penelitian..................................................................................13
3.4 Pengawetan dan Identifikasi Semut........................................................16
3.5 Analisis Data...........................................................................................17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................20
4.1 Keanekaragaman dam Kelimpahan Semut (Hymenoptera: Formicidae)
pada Hutan Pendidikan “UB Forest” Malang....................................................20
4.2 Pengaruh Pengelolaan Lahan Terhadap Kenakeakaragaman Semut
(Hymenoptera : Formicidae) Pada Hutan Pendidikan “UB Forest” Malang.....24
4.3 Pengaruh Pemangkasan Terhadap Keanekaragaman Semut
(Hymenoptera : Formicidae) Pada Hutan Pendidikan “UB Forest” Malang.....28
V. Penutup........................................................................................................38

vii
5.1 Kesimpulan..............................................................................................38
5.2 Saran........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39
LAMPIRAN...........................................................................................................46

viii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
Tabel 1. Koordinat dan ketinggian lokasi pada masing-masing lahan penelitian. 12
Tabel 2. Pengamatan Vegetasi..............................................................................14
Tabel 3. Frekuensi perawatan pada masing-masing lahan....................................16
Tabel 4. Nilai Kriteria Indeks Shannon- Wienner (H΄) (Odum, 1996).................17
Tabel 5. Nilai Kriteria Indeks Kemerataan (E) (Krebs, 1985, dalam Gonawi,
2009)......................................................................................................................18
Tabel 6. Nilai Kriteria Indeks Dominansi (D) (Odum, 1993)...............................18
Tabel 7. Nilai Kriteria Korelasi Pearson Product Moment (Riduwan, 2003)......18
Tabel 8. Hasil identifikasi spesies dan jumlah semut pada berbagai pengolahan
lahan pada saat sebelum pruning...........................................................................20
Tabel 9. Hasil identifikasi spesies dan jumlah semut pada berbagai pengolahan
lahan pada saat setelah pruning..............................................................................21
Tabel 10. Perbandingan indeks keanekaragaman pada kedua perlakuan..............25
Tabel 11. Perbandingan indeks kemerataan pada kedua perlakuan......................25
Tabel 12. Perbandingan indeks dominansi pada kedua perlakuan........................26
Tabel 13. Data kondisi lingkungan pada saat sebelum pruning............................28
Tabel 14. Data kondisi lingkungan pada saat setelah pruning..............................29
Tabel 15. Nilai koefisien korelasi antara keanekaragaman semut dengan kondisi
lingkungan pada saat sebelum pruning..................................................................30
Tabel 16. Nilai koefisien korelasi antara kelimpahan individu semut dengan
kondisi lingkungan pada saat sebelum pruning.....................................................30
Tabel 17. Nilai koefisien korelasi antara keanekaragaman semut dengan kondisi
lingkungan pada saat setelah pruning....................................................................30
Tabel 18. Nilai koefisien korelasi antara kelimpahan individu semut dengan
kondisi lingkungan pada saat setelah pruning........................................................30

ix
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
Gambar 1. Morfologi Kepala Semut (Hashimoto, 2003).......................................4
Gambar 2. Morfologi Thorax Semut (Hashimoto, 2003).......................................5
Gambar 3. Morfologi Abdomen Semut (Hashimoto, 2003)...................................6
Gambar 4. Peta Lokasi Hutan Pendidikan "UB Forest" Kecamatan Karangploso,
Malang...................................................................................................................11
Gambar 5. Lokasi pengamatan melalui citra Google Earth.................................12
Gambar 6. Plot Pemasangan Perangkap...............................................................13
Gambar 7. Sub Plot Pemasangan Perangkap........................................................15
Gambar 8. Skema Pemasangan Perangkap Pada Sub Plot...................................15
Gambar 9. Grafik perbandingan jumlah individu semut saat sebelum dan sesudah
pruning. NT = Non Trimming, T = Trimming, P = Prunning, TP = Trimming
Prunning, K = Kontrol...........................................................................................22
Gambar 10. Spesies yang ditemukan pada saat setelah pruning. A: Lahan BAU
(K); B: Merupakan gabungan dari lahan LC (TP) (P), MC (P) (TP), dan HC (P)
(TP)........................................................................................................................23
Gambar 11. Boxplot pengaruh pemangkasan terhadap kelimpahan semut pada (a)
sebelum pruning dan (b) setelah pruning...............................................................34
Gambar 12. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS)
kemiripan komposisi spesies semut terhadap penggunaan lahan berdasarkan
indeks Bray-Curtis. (a) sebelum pruning (Nilai Stress = 0,168); (b) setelah
pruning (Nilai stress = 0,175)................................................................................35
Gambar 13. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS)
kemiripan komposisi spesies semut terhadap perlakuan pemangkasan berdasarkan
indeks Bray-Curtis. (a) sebelum pruning (Nilai Stress = 0,168); (b) setelah
pruning (Nilai stress = 0,175)................................................................................35
Gambar 14. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS)
kemiripan komposisi spesies semut terhadap manajemen lahan berdasarkan indeks
Bray-Curtis. (a) sebelum pruning (Nilai stress = 0,168); (b) setelah pruning (Nilai
stress = 0,175)........................................................................................................35

x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
Lampiran Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh pemangkasan terhadap
kelimpahan semut pada sebelum pruning..............................................................46
Lampiran Tabel 2. Hasil analisis ragam pengaruh pemangkasan terhadap
kelimpahan semut pada setelah pruning................................................................46
Lampiran Tabel 3. Hasil analisis ragam perbandingan kelimpahan semut pada
sebelum dan setelah pruning..................................................................................46

Lampiran Gambar 1. Dokumentasi kenampakan lahan di hutan pendidikan “UB


Forest”. (a) lahan BAU; (b) lahan HC; (c) lahan MC; (d) lahan LC. ……………47
Lampiran Gambar 2. Proses pemangkasan. (a) pemangkasan tanaman pinus
(trimming); (b) pemangkasan tanaman kopi (pruning)..........................................47
Lampiran Gambar 3. Perangkap Pitfall. (a) proses pemasangan perangkap
Pitfall pada lahan; (b) perangkap Pitfall yang sudah terpasang di lahan; (c)
pengumpulan sampel semut yang terperangkap....................................................48
Lampiran Gambar 4. Spesies semut yang ditemukan pada berbagai pengolahan
lahan di “UB Forest”, Malang................................................................................49

xi
1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem agroforestri sebagai sebuah bentuk praktik pemanfaatan lahan
secara tradisional yang dianggap menguntungkan secara ekonomi, sehingga
banyak yang memanfaatkan nya hingga saat ini (Saha, 2006; Quinkenstein et al.,
2009). Berdasarkan jenis penyusunnya, praktik pemanfaatan agroforestri dapat
dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu: agroforestri sederhana dan agroforestri
komplek (Irawan et al., 2012). Agroforestri sederhana merupakan kombinasi
tanaman tahunan dengan tanaman semusim pada suatu lingkup pengolahan lahan,
sedangkan agroforestri komplek merupakan suatu sistem pertanian yang terdapat
banyak jenis tanaman berbasis pohon baik sengaja ditanam maupun tumbuh alami
pada sebidang lahan dan memiliki ekosistem menyerupai hutan. Bentuk
agroforestri kompleks inilah yang banyak ditemukan pada lokasi penelitian di UB
Forest. Pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri juga dianggap paling sesuai
dari sisi ekologi dan ekonomi (van Noordwijk et al., 2012) karena dapat
mengurangi resiko dari kerusakan lahan (Jiang et al., 2017) dan juga mengurangi
resiko serangan hama dan penyakit (Pumarino et al., 2015) dan juga
menguntungkan dari segi ekonomi. Kemampuan agroekosistem dalam
menjalankan fungsinya dapat dilihat berdasarkan kondisi kesehatan atau
kestabilan ekosistem tersebut salah satunya yaitu jenis keragaman baik vegetasi
maupun fauna dapat menunjukkan kesehatan dari suatu ekosistem tersebut
(Wheeler et al., 2015).
Penelitian ini akan difokuskan kepada keanekaragaman semut, dan
komposisi nya pada setiap lahan. Semut merupakan jenis serangga yang memiliki
populasi cukup stabil sepanjang musim dan tahun karena jumlah nya yang banyak
dan stabil menjadikan semut salah satu koloni serangga terpenting dalam suatu
ekosistem (Haneda dan Yuniar, 2015). Semut seringkali dijadikan sebagai bio-
indikator dalam penilaian lingkungan, seperti penebangan hutan, pertambangan,
gangguan terhadap vegetasi, pembuangan limbah, dan faktor penggunaan lahan
(Wang et al., 2000). Menurut Wielgoss et al., (2009) telah menunjukkan bahwa
faktor bentang darat (landscape), lingkungan, dan teknik manajemen lingkungan
2

pertanaman dapat mempengaruhi keragaman jenis semut yang hidup di sekitaran


lingkungan tersebut.
Pada lahan penelitian dilakukan juga pemangkasan pada tanaman kopi dan
pinus, dengan membuang bagian yang sudah tidak dibutuhkan pada tanaman.
Pemangkasan yang dilakukan ialah pemangkasan dahan kopi (pruning) dan
pemangkasan tajuk pinus (trimming). Pemangkasan kopi dapat meningkatkan
produksi buah kopi, karena berkurangnya kompetisi untuk mendapatkan nutrisi,
dan dibuangnya cabang-cabang tua yang sudah tidak produktif. Berdasarkan
penelitian dari Dufour et al., (2019) pemangkasan cabang yang sudah tidak
produktif dapat memberikan nutrisi yang lebih untuk tumbuh bagi cabang pohon
kopi yang masih aktif, dan meningkatkan produksi dari buah kopi sendiri. Selain
itu pemangkasan juga menguntungkan bagi petani kopi, karena pohon kopi yang
mudah dijangkau, sehingga memudahkan pekerjaan pemanenan. Selain itu, dapat
mengurangi volume dedaunan di pangkal pohon kopi, dengan demikian dapat
memudahkan perawatan pohon kopi seperti penyiangan, dan pempukan (Dufour
et al., 2019).
Dalam penelitian sebelumnya oleh Riarnanto (2016) mengenai
keanekaragaman dan peranan semut pada pertanaman kopi di “UB Forest”
Malang, yang memiliki hasil bahwa pada lahan kopi tersebut memiliki habitat
yang masih baik dan belum terganggu. Dalam penelitian tersebut hanya meneliti
mengenai keanekaragaman semut di lahan kopi. Dengan adanya perlakuan
pemangkasan, maka perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pengaruh
pemangkasan terhadap keanekaragaman jenis semut pada tipe penggunaan lahan
pada kawasan agroforestri kopi dan pinus di “UB Forest”.
1.2 Rumusan Masalah
Tujuan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana keanekaragaman spesies semut pada kawasan agroforestri
tanaman pinus dan kopi dengan perlakuan pemangkasan?
2. Bagaimana pengaruh dari pemangkasan terhadap spesies semut pada
kawasan agroforestri tanaman pinus dan kopi?
3

3. Bagaimana pengaruh penggunaan lahan, perlakuan pemangkasan, dan


manajemen lahan yang berbeda terhadap komposisi spesies semut di
kawasan agroforestri tanaman pinus dan kopi?
4

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui keanekaragaman spesies semut pada agroforestri tanaman
kopi dan pinus dengan perlakuan pemangkasan.
2. Mengetahui pengaruh pemangkasan terhadap spesies semut pada kawasan
agroforestri tanaman kopi dan tanaman pinus.
3. Mengetahui komposisi spesies semut pada penggunaan lahan, perlakuan
pemangkasan, dan manajemen lahan yang berbeda.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu:
1. Keanekaragaman spesies semut pada kawasan agroforestri tanaman pinus dan
kopi tergolong tinggi.
2. Perlakuan pemangkasan akan mempengaruhi keanekaragaman spesies semut
pada lahan agroforestri tanaman pinus dan kopi.
3. Penggunan lahan, perlakuan pemangkasan, dan manajemen lahan yang
berbeda memiliki pengaruh terhadap komposisi spesies semut.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dalam penelitian ini adalah memberikan informasi
dasar mengenai pengaruh pemangkasan terhadap keanekaragaman spesies semut
dan komposisi semut berdasarkan penggunaan lahan, perlakuan pemangkasan,
dan manajemen lahan pada kawasan agroforestri tanaman pinus dan kopi. Selain
itu, hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan dalam penelitian
selanjutnya di hutan pendidikan “UB Forest”.
5

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Semut
2.1.1 Morfologi Semut
Semut merupakan serangga sosial memiliki perilaku hidup bersama,
melalui sistem pembagian kerja (eusosial) yang berasal dari Famili Formicidae
yang termasuk dalam ordo Hymenoptera. Jumlah semut diketahui lebih dari
15.000 jenis yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Hoeve (1996), terdapat
sekitar 3500 spesies semut yang hidup di daerah tropis dan beriklim sedang.
Semut tidak memiliki tulang di dalam tubuh nya, namun badan semut dilapisi oleh
lapisan kulit yang keras. Tubuh semut memiliki 3 bagian utama yatu, caput
(kepala), thorax (dada), dan abdomen (perut) (Gambar 1).
a. Kepala (Caput)
Kepala semut terdapat banyak organ sensor, seperti antena, antennal scrobe,
mata, clypeus, frontal carina, mandibular, dan pulp formula. Antena semut
merupakan organ sensor bersegmen yang terletak diantara mata majemuk yang
terbagi menjadi tiga bagian yaitu: Scape (SC), Pedicel (PD), dan Funiculus (FC)/
Flagelum (FU). (Gambar 2).

Gambar 1. Morfologi Kepala Semut (Hashimoto, 2003)


Keterangan : SC: Scape
PD: Pedicel
FU: Flagelum
6

b. Dada (Thorax)
Alitrunk (Mesosoma) merupakan bagian kedua dari tubuh serangga yang
terletak diantara kepala dan abdomen. Alitrunk terdiri dari tiga segmen thorax
yaitu; Prothorax, Mesothorax, dan Metathorax. Bagian dada juga merupakan
tempat letaknya kaki dan sayap. Sedangkan Prothorax memiliki bagian yang
meliputi; protonum (PN), dan propleuron (PR). Mesothorax meliputi bagian:
mesonotum (MS), mesopleuron (MSP). Metathorax meliputi: metapleuron
(MTP).

Gambar 2. Morfologi Thorax Semut (Hashimoto, 2003)


Keterangan : AL : Alitrunk
PN : Pronotum
PR : Propleuron
MS : Mesonotum
MSP : Mesopleuron
MTP : Metapleuron

c. Perut (Abdomen)
Abdomen semut memiliki 7 buah segmen (A1-A7). Segmen Abdomen yang
pertama adalah propodeum (PPD,A1) yang menyatu dengan thorax. Lalu, segmen
kedua adalah petiole (PT,A2), segmen yang ketiga adalah segmen gastral.
Apabila segmen ini utuh dan tidak mengalami reduksi. Sedangkan apabila segmen
ini mengalami penyusutan dan tereduksi disebut dengan post petiole (PPT).
Segmen yang ketiga, keempat, hingga ketujuh disebut dengan gaster (GA). Tergit
segmen ketujuh abdomen disebut dengan pigydium (PY), sedangkan sternit dari
segmen ketujuh disebut dengan hypopygidium (HY). Acidopore merupakan
7

saluran atau organ untuk mengeluarkan asam format yang terletak pada bagian
ujung dari hypopygidium.

Gambar 3. Morfologi Abdomen Semut (Hashimoto, 2003)


Keterangan : GA : Gaster
PT : Petiole
HY : Hypopygisdium
PY : Pigydium
2.1.2 Siklus Hidup Semut
Semut merupakan serangga yang memiliki metamorphosis sempurna
(holometabola) yang mengalami 4 fase dalam siklus hidupnya. Fase tersebut
yaitu, fase telur, fase larva, fase pupa, dan semut dewasa. Siklus hidup tersebut
berlangsung selama 6-10 minggu setelah telur diletakkan.
a. Telur
Telur semut berbentuk oval dan kecil dengan ukuran sekitar 1 mm.
Telur yang akan berkembang menjadi semut ratu akan memiliki ukuran
berkali lipa lebih besar dari ukuran telur biasa, dan lama fase telur adalah
14 hari. Ratu dan semut jantan akan memproduksi telur setelah masa
kopulasi selama 10-20 hari. Semut meletakkan telur nya di lubang pohon
atau di telapak daun (Cadapan et al., 1990)
b. Larva
Tahap perkembangan selanjutnya ialah tahap pra-dewasa (larva dan
pupa). Larva semut memiliki mata dan kaki, dan berbentuk seperti cacing.
Larva semut mendapatkan asupan makanan yang diberikan oleh semut
pekerja, cairan ludah dari kelenjar saliva ratu, cadangan lemak otot terbang
8

ratu. Pada fase ini membutuhkan banyak energy untuk memasuki fase
pupa (Hasmi et al., 2006)
9

c. Pupa
Setiap kali ukuran larva bertambah akan mengalami pergantian kulit,
setelah mencapai ukuran tertentu, larva akan berubah menjadi kepompong,
tahap ini disebut fase pupa. Selama fase ini terjadi perubahan
(metamorphosis) tubuh menjadi semut dewasa (Parr et al., 2004). Lama
fase pupa adalah 14 hari, setelah terbentuk pupa, semut hitam mengalami
periode tidak makan atau non-feeding periode (Cadapan et al., 1990)
d. Semut Dewasa
Fase ini merupakan fase terakhir semut. Organ tubuh yang terbentuk
akan mulai berfungsi, dan terbentuk menurut kastanya. Setiap koloni
semut akan lebih banyak menghasilkan pekerja daripada kasta lain, hal ini
bertujuan untuk meringankan pekerjaan ratu, karena sebagian besar
aktivitas koloni akan dilaksanakan oleh pekerja (Pracaya, 2005).
2.1.3 Sistem Kasta Semut
Sistem kasta pada semut ini terdiri atas dua kasta utama yaitu individu
reproduktif seperti ratu dan jantan, serta kasta non reprodukfit yang terdiri dari
pekerja. Perbedaan kasta tersebut memiliki tugas yang berbeda-beda dan
semuanya saling berinteraksi untuk kelangsungan hidupnya (Hadi et al., 2009).
Pembagian kasta bergantung pada jumlah makanan yang diterima pada fase larva.
Berikut merupakan penjelasan rinci mengenai tugas dari masing-masing kasta:
a. Semut Kasta Jantan Reproduktif
Semut pada kasta jantan reproduktif merupakan semut dewasa yang
memiliki sayap. Tugas utama nya yaitu untuk kawin dengan betina (ratu),
proses kawin dapat terjadi di dalam atau di luar sarang, bahkan diudara.
Ukuran semut jantan lebih kecil dibandingkan dengan semut ratu, dan
memiliki warna kehitam-hitaman. Semut jantan memiliki jumlah yang
lebih banyak dibandingkan ratu, namun masa hidup semut jantan lebih
singkat (Kalshoven, 1981).
10

b. Semut Kasta Betina (Ratu)


Semut pada kasta betina (ratu) memiliki ukuran tubuh yang paling besar
didalam koloni, panjangnya sekitar 4,9 mm. Dalam setiap 100 – 200 semut
pekerja, terdapat seekor ratu yang memiliki bau khas yang disebut dengan
feromon. Namun dalam satu koloni biasanya terdapat lebih dari satu ekor
ratu. Ratu ini memulai hidupnya sebagai serangga bersayap, tetapi sayap
segera dijatuhkan setelah melakukan perkawinan dengan jantan. Ratu
hanya melakukan kawin sekali, kemudia ratu akan merawat keturunannya.
Semut ratu memiliki tugas utama yaitu bertelut untuk membangun koloni
baru, dan ratu memiliki masa hidup hingga 15 tahun.
c. Semut Kasta Pekerja
Semut ini merupakan semut dengan jumlah paling banyak dalam satu
koloni. Semut ini memiliki tugas untuk membuat sarang, merawat dan
memberi makan larva, merawat telur, hingga mempertahankan koloni dari
musuh. Semut ini memiliki ciri-ciri kaki berwarna coklat, thorax
mereduksi, dan tidak memiliki sayap, antena berwarna coklat, memiliki
sengat, dan rahang yang kuat. Semut pekerja memiliki kelenjar yang dapat
menghasilkan asam format yang berfungsi sebagai alat pertahanan untuk
melawan musuh dan melindungi diri dan koloninya.
2.1.4 Peranan Semut
Semut adalah serangga dengan keanekaragaman yang cukup tinggi,
sehingga peranan semut sangat beragam. Seluruh semut termasuk ke dalam
anggota Famili Formicidae. Keberadaan semut sangat melimpah dalam ekosistem,
dan memiliki peranan penting didalamnya baik secara langsung maupun tidak
langsung (Khoo, 1990). Semut dapat memiliki peran positif maupun negatif.
Peran negatif semut diantara merupakan hama yang merugikan bagi tanaman.
Namun, sebagian besar semut memiliki peran positif sebagai pengurai secara
sendirinya ataupun bersimbiosis denga ntumbuhan dan berbagai organisme
lainnya (Yamane, 1996), sebagai bioindikator perubahan kondisi ekosistem, dan
juga berperan penting sebagai predator hama. Pada proses pembuatan sarang
dalam tanah, semut berperan sebagai penyubur tanah, dalam proses ini semut
membuat rongga-rongga tanah yang dapat merubah struktur fisik tanah. Selain itu
11

aktifitas semut untuk mencari dan mengumpulkan bahan makanan yang terjadi di
sarang akan memicu kesuburan tanah di daerah sekitar sarang semut. Lapisan
tanah sekitar sarang semut pada umumnya memiliki lapisan humus serta memiliki
kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang jauh dari sarang semut
(Keller dan Gordon, 2009).
Manfaat dari semut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh manusia
seperti peranannya sebagai predator. Namun secara ekologi dapat bermanfaat bagi
hewan dan tumbuhan lain. Dalam rantai makanan, semut memilik peran penting
sebagai predator untuk mengendalikan hama di perkebunan (Riyanto, 2007).
Umumnya semut yang berperan sebagai predator memangsa serangga hama
seperti ulat, kumbang, belalang, wereng, penggerek batang, dan kutu putih.
Sebagai contoh pada semut Anolepis menjadi predator bagi serangga kecil seperti
thrip dan kutu putih (Ikbal, et al., 2014). Selain itu, semut dapat berperan sebagai
herbivor, yang memakan biji-bijian dari tumbuhan dan buah. Semut pekerja
Paratrechina sp bersifat omnivora yang memakan serangga hidup dan mati, biji-
bijian, buah-buahan, eksudat tanaman, dan makanan rumah tangga (Ikbal et al.,
2014).
2.2 Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Keanekaragaman Semut
Banyaknya hutan lindung yang mengalami deforestasi akibat aktivitas
manusia dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan menjadi
sumber ancaman terhadap fungsi ekosistem dan penggunaan lahan yang
berkelanjutan. Melakukan konversi hutan dapat menyebabkan gangguan
ekosistem seperti, tutupan vegetasi yang berkurang, kematian flora dan fauna,
fauna kehilangan habitatnya, perubahan cuaca, dan terjadi erosi di musim hujan.
Pada jangka panjang akan mengakibatkan kerusakan biotik dan abiotik dan akan
mempengaruhi fungsi kawasan dan kehidupan flora dan fauna didalamnya
(Fransina dan Agus, 2010)
Semut adalah serangga yang dapat ditemukan pada hampir setiap jenis
penggunaan lahan dan memiliki beragam peran dalam ekosistem. Semut dapat
berperan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi ekosistem. Keragaman
semut dapat menjadi indikator kestabilan ekosistem, dinilai dari tingginya
keragaman semut maka rantai makanan dan proses ekologis seperti parasitisme,
12

kompetisi, pemangsaan, predasi, dan simbiosis dalam suatu ekosistem semakin


kompleks dan bervariasi sehingga menimbulkan keseimbangan ekosistem.
Keragaman semut yang tinggi dapat mengindikasikan keseimbangan ekosistem
karena memiliki tingkat elastisitas tinggi, dan sebaliknya apabila keragaman
semut rendah maka menunjukkan adanya tekanan dan mempengaruhi kualitas
ekosistem. Pada penelitian yang dilakukan Fransina dan Agus (2010)
menunjukkan keragaman semut yang berbeda berdasarkan tipe penggunaan lahan.
Keragaman semut tertinggi yaitu pada kawasan hutan murni, sedangkan areal
pemukiman penduduk memiliki keragaman yang paling rendah. Hal tersebut
terjadi karena ketersediaan pakan pada jenis semut yang berbeda berpengaruh
terhadap penggunaan tipe lahan yang berbeda.
2.3 Pemangkasan
Salah satu yang mempengaruhi dari produksi kopi adalah menerapkan
teknik budidaya tanaman. Salah satunya yaitu, pemangkasan cabang (Pruning).
Pemangkasan cabang dilakukan untuk mengoptimalkan produksi kopi. Selain itu
melakukan pemangkasan juga dapat mempermudah pemungutan hasil panen
(Panggabean, 2011). Terdapat beberapa macam jenis pemangkasan, antara lain
pemangkasan bentuk, pemangkasan pemeliharaan, dan pemangkasan peremajaan
(rejuvenasi) (Wintgens, J.N. 2004). Pemangkasan bentuk bertujuan untuk
membentuk mahkota pohon sesuai dengan yang dikehendaki agar tanaman
tumbuh tetap pendek, sedangkan pemangkasan pemeliharaan bertujuan untuk
menyeleksi cabang-cabang produktif, dan membuang cabang-cabang tua yang
sudah tidak produktif dan memberantas hama dan penyakit. Pemangkasan
pemeliharaan terdiri dari pewiwilan, pemangkasan beratm dan pemangkasan
cabang yang terserang hama atau penyakit. Sedangkan pemangkasan peremajaan
(rejuvenasi) bertujuan untuk meremajakan kopi yang sudah berumur tua dan tidak
produktif menjadi muda kembali tanpa perlu melakukan penanaman ulang.
Umumnya bagian tanaman kopi yang dibuang adalah cabang-cabang tua, cabang
kering, dan cabang yang sudah tidak berguna dengan tujuan mendapatkan
distribusi unsur hara ke cabang muda yang lebih produktif. Manfaat dan fungsi
pemangkasan umumnya agar pohon tetap rendah sehingga memudahkan dalam
perawatan, membentuk cabang-cabang produksi yang baru, dan mempermudah
13

pengendalian hama dan penyakit. Dengan dilakukan nya pemangkasan, tajuk


tanaman kopi akan terbuka, sehingga akan mempermudah sinar matahari yang
masuk dan memperlancar aliran udara, sehingga merangsang pembungaan dan
mempermudah proses penyerbukan (Najiyati et al., 2007). Pemangkasan tajuk
dilakukan untuk meningkatkan penerimaan cahaya matahari oleh tanaman
budidaya di bawah naungan pinus. Kegiatan pemangkasan tajuk hingga lebih dari
50% dari bagian bawah tajuk pinus dapat menurunkan produksi getah pinus. Hal
ini disebabkan pemangkasan tajuk berkaitan dengan produksi fotosistesis pada
pohon pinus. Pada pemangkasan 50% bagian bawah tajuk pinus dapat
meningkatkan bagian bawah tajuk pohon pinus dapat meningkatkan fraksi cahaya
lolos hingga 80% sehingga dapat meningkatkan laju fotosintesis, luas daun
spesifik dan bobo biomassa tanaman (Purnomo dan Sitompul, 2006).
2.4 Hutan Pendidikan “UB Forest”
Hutan Pendidikan “UB Forest” seluas 544,74 ha telah diresmikan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 19 September 2016
berdasarkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: 676/MenLHK-Sekjen/2015. Hutan Pendidikan “UB Forest”
terletak di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut (Pusrembang SDM,
2017) dan berada di lereng Gunung Arjuno yang memiliki ketinggian 3339 meter.
Komoditas utama di kawasan hutan produksi yaitu tanaman pinus dan kopi.
Namun banyak juga terdapat tanaman sawi, wortel, jahe, dan jenis sayuran
lainnya. Hutan pendidikan ini dibentuk dengan tujuan menjadi lahan penelitian
mahasiswa serta tempat belajar dan juga menghasilkan produk yang dapat
bersaing.
14

Gambar 4. Peta Lokasi Hutan Pendidikan "UB Forest" Kecamatan Karangploso,


Malang.

III. METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di kawasan agroforestri Hutan Pendidikan UB,
Dusun Sumbersari, Desa Tawangargo, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang
memiliki geoposisi 7o53’35” LS dan 112o53’41” BT. Proses identifikasi dilakukan
di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Pengambilan sampel jenis semut dilakukan pada bulan September hingga
Desember 2020.

Gambar 5. Lokasi pengamatan melalui citra Google Earth

Tabel 1. Koordinat dan ketinggian lokasi pada masing-masing lahan penelitian


Perlakuan
Pengelolaan Ketinggian
Sebelum Setelah Koordinat
Lahan (mdpl)
Pruning Pruning
15

LC T TP 7o49’35”LS; 112o34’37”BT 1209


LC NT P 7o49’36”LS; 112o34’37”BT 1200
MC NT P 7o49’45”LS; 112o34’22”BT 1166
MC T TP 7o49’45”LS; 112o34’22”BT 1164
HC NT P 7o49’47”LS; 112o34’22”BT 1147
HC T TP 7o49’47”LS; 112o34’22”BT 1149
BAU K K 7o49’25”LS; 112o34’46”BT 1280

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu gelas plastik, cetok, tali rafia, botol vial,
plastik klip, kertas label, saringan, pinset, Eppendorf tube, dan mikroskop
portable. Bahan yang digunakan yaitu air, deterjen bubuk, alkohol 70% dan jenis
semut yang didapat.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Penentuan Lokasi Pengamatan
Pengambilan sampel dilakukan di Dusun Sumbersari, Desa Tawangargo,
Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Plot penelitian dikelompokkan
menjadi 7 jenis plot. Keseluruhan lokasi pengamatan berupa penggunaan lahan
tanaman kopi dengan naungan pohon pinus. Plot tersebut diantara lain adalah
High Management Coffee (HC) lahan tanaman kopi dengan kepadatan vegetasi
tinggi dengan perlakuan pemangkasan dan naungan yang tertutup oleh pohon
pinus, Medium Management Coffee (MC) lahan tanaman kopi dengan kepadatan
vegetasi sedang tanpa perlakuan pemangkasan dan nanungan yang tertutup, Low
Management Coffee (LC) merupakan lahan tanaman kopi dengan kepadatan
vegetasi rendah tanpa perlakuan pemangkasan dan memiliki naungan tertutup,
Business As Usual (BAU) lahan tanaman kopi dengan kepadatan vegetasi yang
tinggi dengan perlakuan pemangkasan dan memiliki naungan yang terbuka. Setiap
plot berukuran 40 x 60 m. pada plot HC, MC, dan LC terbagi lagi menjadi 2 sub
plot. Setiap sub plot memiliki ukuran 10 x 10 m yang ditandai menggunakan tali
rafia.

A1 A2 A3 A4 A5 A6

40 m
16

B1 B2 B3 B4 B5 B6

C1 C2 C3 C4 C5 C6

D1 D2 D3 D4 D5 D6

60 m

Gambar 6. Plot Pemasangan Perangkap


17

3.3.2 Perlakuan Pemangkasan


Perlakuan pemangkasan pada tanaman kopi (Pruning) dilakukan dengan
cara memotong dahan tanaman kopi dengan tinggi 50 cm dari permukaan tanah.
Sedangkan untuk perlakuan pemangkasan tanaman pinus (Trimming) dilakukan
dengan cara memotong tajuk yang berada pada 10 – 12 meter dari permukaan
tanah.
3.3.3 Pengamatan Kondisi Lingkungan
a. Suhu dan Kelembaban Tanah
Pengukuran suhu dan kelembaban tanah dilakukan dengan alat sensor
HOBO MX2200. Alat tersebut dipasang di tanah yang berada di antara tanaman
kopi dan pinus. Data harian suhu dan kelembaban dapat di akses menggunakan
aplikasi HOBO Mobile Apps.
3.3.4 Vegetasi
Pengamatan vegetasi dilakukan dengan menghitung jumlah, total, serta
presentasi tanaman pinus dan kopi. Pengamatan vegetasi dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2. Pengamatan Vegetasi
LC LC MC MC HC HC
Penggunaan BAU
(T) (NT) (NT) (T) (NT) (T)
Tanaman (K)
(TP) (P) (P) (TP) (P) (TP)
Kopi 329 444 411 304 642 543 588
Pinus 171 227 172 147 174 179 91
Total (individu/2400
500 671 583 451 816 722 679
m2)
Total (individu/ha) 2083 2796 2429 1879 3404 3008 2829
Presentase Kopi (%) 66 66 70 67 79 75 87
Presentase Pinus (%) 34 34 30 33 21 25 13
3.3.5 Pengambilan Sampel
Pengambilan semut dilakukan dengan cara Pit-fall trap, pemasangan pit-
fall dilakukan dengan cara membenamkan gelas plastik ke dalam tanah hingga
menyisakan bibir gelas plastik, lalu gelas tersebut di isi oleh air dan ditambahkan
dengan detergen/sabun (Ribeiro et al. 2011). Setiap perangkap Pit-fall berjumlah
16 buah pada setiap plot nya. Sehingga total keseluruhan perangkap yang
18

terpasang pada 7 plot yaitu berjumlah 112 perangkap. Setiap perangkap diletakkan
pada setiap sudut dari sub plot. Setiap sampel semut yang didapat lalu
dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberi label sesuai dengan plot pengamatan.
Berikut adalah denah penempatan perangkap pada satu plot.
A1 A2 A3 A4 A5 A6
B1 B2 B3 B4 B5 B6
C1 C2 C3 C4 C5 C6
D1 D2 D3 D4 D5 D6
Gambar 7. Sub Plot Pemasangan Perangkap

Ket:

= Perangkap
= Sub Plot
Gambar 8. Skema Pemasangan Perangkap Pada Sub Plot.

Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali pengambilan. Pengambilan


sampel pertama yaitu setelah pemangkasan pinus dan sebelum pemangkasan kopi
pada tanggal 16 September – 21 September 2020, pengambilan sampel kedua
yaitu setelah pemangkasan pinus dan kopi pada tanggal 13 Maret – 18 Maret
2021. Berikut ini adalah skema pengambilan sampel serangga:
A. Pengambilan sampel pertama, setelah pemangkasan pinus dan sebelum
pemangkasan kopi :
1) BAU : Kontrol
2) LC 1.1 : Trimming
3) LC 1.2 : Tidak trimming
4) MC 2.1 : Tidak trimming
5) MC 2.2 : Trimming
6) HC 3.1 : Tidak trimming
19

7) HC 3.2 : Trimming
B. Pengambilan sampel kedua, yaitu setelah pemangkasan pinus dan kopi :
1) BAU : Kontrol
2) LC 1.1 : Trimming dan pruning
3) LC 1.2 : Pruning
4) MC 2.1 : Pruning
5) MC 2.2 : Trimming dan Pruning
6) HC 3.1 : Pruning
7) HC 3.2 : Trimming dan Pruning
Lalu, pada masing-masing plot penelitian dilakukan perawatan yang
meliputi pemupukan kompos dan penyiangan. Pada masing-masing lahan
dilakukan perawatan dengan frekuensi yang berbeda. Berikut merupakan tabel
perawatan yang dilakukan pada masing-masing plot penelitian.
Tabel 3. Frekuensi perawatan pada masing-masing lahan

Perawatan LC (T) LC (NT) MC MC HC HC BAU


(TP) (P) (NT) (T) (NT) (T) (K)
(P) (TP) (P) (TP)
Pemupukan Tidak Tidak 1x 1x 2x 2x 2x
kompos dilakukan dilakukan
Penyiangan Tidak Tidak 1x 1x 3x 3x 2x
dilakukan dilakukan
3.4 Pengawetan dan Identifikasi Semut
Sampel semut yang terkumpul lalu diawetkan dengan teknik awetan basah
menggunakan alkohol. Tujuan pengawetan ini untuk menjaga semut agar tidak
membusuk dan dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Pengawetan semut
dilakukan dengan memasukkan sampel ke dalam botol vial yang berisi alkohol
70%. Setelah itu, dilakukan pensortiran semut dengan menggunakan wadah
cawan petri berdasarkan subfamili yang berbeda. Setiap pensortiran semut akan
dimasukkan ke dalam eppendorf tube yang diberi label sesuai dengan subfamili.
Tahap selanjutnya yaitu dilakukan identifikasi semut yang sudah disortir
menggunakan mikroskop portable. Seluruh spesimen semut diidentifikasi sampai
tingkat morfospesies dengan mengacu pada buku Identification Guide to The Ant
Genera of Borneo (Hashimoto, 2003)
20

3.5 Analisis Data


Pengukuran keanekaragaman spesies semut pada setiap plot nya dihitung
menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H΄), indeks
kemerataan Shannon-Wienner (E), dan dominansi spesies pada setiap plot dengan
rumus Indeks Simpson (1/D) (Magurran, 2004). Selanjutnya untuk melakukan
perhitungan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman
dengan faktor lingkungan setempat dengan menggunakan uji korelasi Pearson
Product Moment (r). Pengaruh pemangkasan terhadap keanekaragaman jenis
semut menggunakan analisis ragam (ANOVA). Untuk mengetahui hasil
kemiripan semut pada berbagai plot akan digunakan uji ANOSIM, apabila nilai P
dibawah α (0,05) maka hasil menunjukkan bahwa berbeda nyata. Sedangkan
untuk perbedaan komposisi semut dianalisis menggunakan analisi Non Metric
Multidimentional Scaling (NMDS). Lalu, seluruh data yang terkumpul dari
berbagai jenis plot akan disusun menjadi database dengan program Microsoft
Excel. Database berisi informasi tentang sampel diolah menggunakan perangkat
lunak RStudio (R Core Team, 2017) dan Biodiversity Calculator (Al Young
Studios, 2021).
1. Indeks Shannon-Wienner (H΄)
Indeks Shannon- Wienner (H΄) menunjukkan kekayaan spesies dalam
suatu komunitas dan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu per-
spesies. Berikut merupakan kriteria dari Indeks Keanekaragaman (Odum,
1996):
Tabel 4. Nilai Kriteria Indeks Shannon- Wienner (H΄) (Odum, 1996)
Nilai Tolak Ukur Keterangan
H΄<1,0 Keanekaragaman rendah.
1,0<H΄<3,00 Keanekaragaman sedang.
H΄>3,00 Keanekaragaman tinggi.

2. Indeks Kemerataan Jenis (E)


Indeks Kemerataan Jenis (E) menunjukkan pola kemerataan spesies
dengan spesies lain dalam ekosistem. Berikut merupakan kriteria dari Indeks
kemerataan Krebs, (1985), dalam Gonawi, (2009):
21

Tabel 5. Nilai Kriteria Indeks Kemerataan (E) (Krebs, 1985, dalam Gonawi, 2009)
Nilai Tolak Ukur Keterangan
E<0,4 Kemerataan populasi rendah
0,4< E<0,6 Kemerataan populasi sedang
E>0,6 Kemerataan populasi tinggi

3. Indeks Dominansi Simpson (D)


Indeks Dominansi Simpson (D) Menunjukkan ada atau tidaknya spesies
yang mendominasi spesies lainnya dalam suatu komunitas. Berikut
merupakan kriteria dari Indeks (Odum, 1993):
Tabel 6. Nilai Kriteria Indeks Dominansi (D) (Odum, 1993)
Nilai Keterangan
0,00 < D ≤ 0,50 Dominansi rendah
0,50 < D ≤ 0,75 Dominansi sedang
0,75 < D ≤ 1,00 Dominansi Tinggi

4. Korelasi (Pearson Product Moment)


Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara
dua variabel. Apabila koefisien korelasi bernilai positif (+) maka dikatakan
korelasi searah, dan juga sebaliknya, apabila koefisien korelasi bernilai
negatif (-) maka dikatakan korelasi tidak searah (Telussa et al., 2013). Berikut
kategori dari korelasi (Riduwan, 2003):
Tabel 7. Nilai Kriteria Korelasi Pearson Product Moment (Riduwan, 2003)
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,800 – 1,000 Sangat kuat
0,600 – 0,800 Kuat
0,400 – 0,600 Cukup kuat
0,200 – 0,400 Rendah
0 – 0,100 Sangat rendah

Analisis perbedaan komposisi semut dengan Non Metric Multidimentional


Scaling (NMDS) disajikan dalam bentuk diagram. Nilai stress digunakan untuk
melihan apakah hasil output mendekati keadaan yang sebenarnya atau tidak.
Apabila nilai stress mendekati nilai 0 maka output yang dihasilkan mirip dengan
22

keadaan yang sebenarnya. Kriteria nilai stress yaitu, apabila < 0,05 merupakan
plot sempurna, dengan kemungkinan tidak ada kesalahan dengan
menginterpretasikannya. Nilai stress = 0,15 menggambarkan plot yang cukup
akurat dengan tingkat kesalahan interpretasi rendah. Nilai stress >0,2
menggambarkan plot kurang baik untuk digunakan. Nilai stress > 0,2 sangat besar
kemungkinan terjadi kesalahan dalam menginterpretasikannya (Clarke, 1993).
23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Keanekaragaman dam Kelimpahan Semut (Hymenoptera:
Formicidae) pada Hutan Pendidikan “UB Forest” Malang
Hasil dari penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan “UB Forest”
diperoleh sebanyak 6 spesies pada setiap perlakuan dengan jumlah individu 705
(Tabel 8) sebelum perlakuan pruning dan 1.099 (Tabel 9) setelah perlakuan
pruning.
Tabel 8. Hasil identifikasi spesies dan jumlah semut pada berbagai pengolahan lahan
pada saat sebelum pruning
Pengolahan Lahan
No. Spesies BAU LC LC MC MC HC HC Peranan
(K) (T) (NT) (NT) (T) (NT) (T)
Dolichodorinae
1. Dolichoderus sp1 11 4 1 4 5 2 1 Predator
Myrmicinae
2. Pheidole sp1 18 0 8 3 0 20 6 Omnivora
3. Meranoplus sp1 4 10 0 0 4 0 0 Omnivora
Formicinae
4. Camponotus sp1 5 8 0 9 2 0 0 Predator
Ponerinae
5. Odontoponera 83 78 33 50 37 70 39 Predator
sp1
6. Pachyncodyla sp1 35 39 14 34 16 27 25 Predator
Total Spesies 6 5 4 5 5 4 4
Total Individu 156 139 56 100 64 119 71
Keterangan: BAU (Business As Usual), LC (Low Management Coffee), MC (Medium
Management), HC (High Management Coffee), T (Trimming), NT (Non
Trimming), K (Kontrol).
24

Tabel 9. Hasil identifikasi spesies dan jumlah semut pada berbagai pengolahan lahan
pada saat setelah pruning
Pengolahan Lahan
No. Spesies BAU LC LC MC MC HC HC Peranan
(K) (TP) (P) (P) (TP) (P) (TP)
Dolichodorinae
1. Dolichoderus sp1 21 4 8 18 9 3 4 Predator
Myrmicinae
2. Pheidole sp1 7 9 19 16 11 2 3 Omnivora
3. Meranoplus sp1 18 18 3 2 7 41 9 Omnivora
Formicinae
4. Camponotus sp1 6 0 0 0 0 0 0 Predator
Ponerinae
5. Odontoponera sp1 116 81 71 51 68 48 50 Predator
6. Pachyncodyla sp1 58 49 39 77 31 89 39 Predator
Total Spesies 6 5 5 5 5 5 5
Total Individu 226 161 145 164 126 183 105
Keterangan: BAU (Business As Usual), LC (Low Management Coffee), MC (Medium
Management Coffee), HC (High Management Coffee), P (Prunning), TP
(Trimming Prunning), K (Kontrol).

Pada kedua perlakuan, semut yang paling banyak ditemukan yaitu spesies
Odontoponera sp1, sedangkan semut yang paling sedikit ditemukan yaitu
Camponotus sp1. Semut jenis Odontoponera termasuk genus yang memiliki
kelimpahan yang tinggi karena jenis ini mudah beradaptasi. Semut jenis ini
banyak ditemukan pada daerah terganggu atau daerah yang banyak aktivitas
manusia (Latumahina et al., 2014), dan termasuk kedalam kategori dominan pada
lahan organik dan anorganik. Spesies Camponotus sp1 ditemukan dengan jumlah
yang paling sedikit pada kedua perlakuan baik sebelum atau sesudah pruning. Hal
ini dikarenakan kebiasaan semut ini untuk bersarang di kanopi pohon, dan jarang
sekali ditemukan berada di tanah (Pierre, 2013). Berikut merupakan grafik
perbandingan jumlah individu semut pada kedua perlakuan (Gambar 9.).
25

y
250

200

Jumlah Individu Semut


150
Sebelum
Prunning
100
Sesudah
Prunning
50

0 x
LC (T) LC (NT) MC (NT) MC (T) HC (NT) HC (T) BAU (K)
(TP) (P) (P) (TP) (P) (TP)

Pengolahan Lahan

Gambar 9. Grafik perbandingan jumlah individu semut saat sebelum dan sesudah
pruning. NT = Non Trimming, T = Trimming, P = Prunning, TP = Trimming Prunning, K
= Kontrol

Berdasarkan grafik diatas, pada saat sebelum pruning didapat hasil


individu tertinggi pada pengolahan lahan BAU (K) dengan jumlah 156 individu,
sedangkan hasil terendah pada pengolahan lahan LC (NT) dengan jumlah 56
individu. Pada saat setelah dilakukan perlakuan pruning, hasil tertinggi tetap
sama, yaitu pada lahan BAU (K) dengan jumlah individu sebanyak 226, dan hasil
terrendah pada pengolahan lahan HC (TP) sebanyak 105 individu. Pada lahan
BAU (K) didapat jumlah tertinggi pada kedua perlakuan, hal ini dikarenakan pada
lahan tersebut merupakan lahan kontrol yang tidak dilakukan kedua perlakuan
baik Trimming maupun Prunning, sehingga keanekaragaman serangga yang
didalamnya pun masih berlimpah dibanding dengan lahan lain yang diduga
mengakibatkan adanya interaksi. Menurut Shahabudin, (2011) semut memiliki
interaksi dengan variabel ekosistem, salah satunya yaitu keberadaan fauna tanah
lainnya. Selain itu pada lahan BAU (K) juga dilakukan pemupukan kompos
sebanyak 2 kali, hal ini membuat bahan organik yang ada di dalam tanah dapat
mempengaruhi kehidupan semut. Bahan organik yang tinggi mempengaruhi
peningkatan populasi semut dan memberikan perlindungan koloni semut dari
tekanan lingkungan. Semut akan mengambil nutrisi dari bahan organik tanah
sehingga mempengaruhi kelimpahan dan keragaman semut (Herwina et al., 2013).
26

Sedangkan untuk perlakuan sebelum pruning didapat lahan dengan jumlah


terendah pada lahan LC (NT), dan pada saat setelah pruning ditemukan jumlah
individu terendah pada lahan HC (TP). Pada lahan LC (NT) memiliki jumlah
vegetasi paling rendah yaitu sebanyak 2083 individu/ha diantara lahan yang
lainnya. Hal ini membuat keragaman vegetasi yang rendah akan membuat fungsi
ekosistem di atas dan di dalam tanah mengalami perubahan dari segi struktur
vegetasi yang akan mempengaruhi fungsi ekosistem dalam tanah termasuk proses-
proses pembentukan tanah, struktur tanah, dan komunitas biota tanah (Enny,
2013). Pada lahan HC (TP) dilakukan penyiangan sebanyak 3 kali dan pemupukan
kompos sebanyak 2 kali. Pada lahan HC termasuk ke dalam lahan dengan
manajemen pengelolaan lahan yang tinggi, dimana campur tangan manusia
terbanyak terdapat pada lahan HC. Dimana hal ini dapat mempengaruhi
keanekaragaman semut yang dikarenakan terdapat perubahan penggunaan lahan
menjadi areal pertanian (Latumahina et al., 2014).

A B

Dolichoderus sp1
Pheidole sp1

Camponotus sp1 Meranoplus sp1


Odontoponera sp1
Pachyncodyla sp1

Gambar 10. Spesies yang ditemukan pada saat setelah pruning. A: Lahan BAU (K); B:
Merupakan gabungan dari lahan LC (TP) (P), MC (P) (TP), dan HC (P) (TP).

Berdasarkan hasil dari diagram venn, ditemukan kelimpahan spesies yang


berbeda pada sebelum dan setelah pruning. Spesies Meranoplus sp1 dan
27

Camponotus sp1 pada sebelum pruning tidak ditemukan pada lahan HC (NT) (T).
Sedangkan pada setelah pruning spesies Camponotus sp1 hanya ditemukan pada
lahan BAU (K). Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies Camponotus sp1,
merupakan spesies yang paling sensitif terhadap pemangkasan. Perbedaan jenis
semut yang ditemukan antara BAU (K) dan seluruh lahan penelitian tersebut
kemungkinan disebabkan oleh kondisi habitat yang bervariasi. Variasi jumlah
spesies dan individu semut di lokasi tertentu kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor seperti suhu udara pada lokasi, ketersediaan lokasi sarang, suplai
makanan, dan struktur habitat mikro. Terdapat 4 spesies yang berperan sebagai
predator seperti Dolichoderus sp1, Camponotus sp1, Odontoponera sp1, dan
Pachyncodyla sp1. Banyak nya predator yang terdapat di lahan penelitian
menunjukkan bahwa asosiasi yang telah ada di dalamnya dapat berubah karena
kehadiran spesies semut lain (Triyogo et al., 2020). Banyaknya jumlah predator
yang berkoloni membuat jumlah individu dari Camponotus sp1 semakin sedikit,
dan hanya ditemukan di BAU (K) yang merupakan lahan kontrol. Hal ini
menunjukkan pada lahan yang dipangkas, terdapat kompetisi antar spesies. Dan
juga sisa-sisa kayu hasil dari pemangkasan tidak dipindahkan keluar area
penelitian, hal ini membuat spesies Pachyncodyla sp1 memiliki jumlah koloni
yang lebih besar dibanding dengan Camponotus sp1. Pachyncodyla sp1 biasanya
bersarang di dalam kayu gelondong yang membusuk dan berada di dalam tanah
(Aminullah, et al., 2015).
4.2 Pengaruh Pengelolaan Lahan Terhadap Kenakeakaragaman Semut
(Hymenoptera : Formicidae) Pada Hutan Pendidikan “UB Forest” Malang
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat berbagai macam jumlah spesies,
pada berbagai macam jenis pengolahan lahan terdapat pula jumlah spesies yang
beragam, maka terdapat kemungkinan semakin baik pula keanekaragaman yang
ada di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan dengan indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), indeks kemerataan Shannon-Wiener (E),
dan juga indeks dominansi Simpson (D) (Tabel 10, 11, dan 12).
28

Tabel 10. Perbandingan indeks keanekaragaman pada kedua perlakuan


Indeks
Pengelolaan Lahan Kategori
Keanekaragaman (H’)
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Pruning Pruning pruning pruning pruning pruning
BAU (K) BAU (K) 1,31 1,32 Sedang Sedang
LC (T) LC (TP) 1.13 1,20 Sedang Sedang
LC (NT) LC (P) 1,00 1,21 Sedang Sedang
MC (NT) MC (P) 1,16 1,24 Sedang Sedang
MC (T) MC (TP) 1,14 1,23 Sedang Sedang
HC (NT) HC (P) 1,01 1,16 Sedang Sedang
HC (T) HC (TP) 0,96 1,15 Rendah Sedang
Keterangan: BAU (Business As Usual), LC (Low Management Coffee), MC (Medium
Management Coffee), HC (High Management Coffee) K (Kontrol), T
(Trimming), NT (Non Trimming), P (Pruning), TP (Trimming Pruning).
Tabel 11. Perbandingan indeks kemerataan pada kedua perlakuan
Pengelolaan Lahan Indeks Kemerataan (E) Kategori
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Pruning Pruning pruning pruning pruning pruning
BAU (K) BAU (K) 0,73 0,77 Tinggi Tinggi
LC (T) LC (TP) 0,70 0,75 Tinggi Tinggi
LC (NT) LC (P) 0,72 0,75 Tinggi Tinggi
MC (NT) MC (P) 0,72 0,76 Tinggi Tinggi
MC (T) MC (TP) 0,71 0,74 Tinggi Tinggi
HC (NT) HC (P) 0,72 0,72 Tinggi Tinggi
HC (T) HC (TP) 0,69 0,71 Tinggi Tinggi
Keterangan: BAU (Business As Usual), LC (Low Management Coffee), MC (Medium
Management Coffee), HC (High Management Coffee) K (Kontrol), T
(Trimming), NT (Non Trimming), P (Pruning), TP (Trimming Pruning).
29

Tabel 12. Perbandingan indeks dominansi pada kedua perlakuan


Indeks Dominansi
Pengelolaan Lahan Kategori
(1/D)
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Pruning Pruning pruning pruning pruning pruning
BAU (K) BAU (K) 0,37 0,40 Rendah Rendah
LC (T) LC (TP) 0,36 0,37 Rendah Rendah
LC (NT) LC (P) 0,35 0,38 Rendah Rendah
MC (NT) MC (P) 0,33 0,37 Rendah Rendah
MC (T) MC (TP) 0,34 0,36 Rendah Rendah
HC (NT) HC (P) 0,34 0,34 Rendah Rendah
HC (T) HC (TP) 0,31 0,32 Rendah Rendah
Keterangan: BAU (Business As Usual), LC (Low Management Coffee), MC (Medium
Management Coffee), HC (High Management Coffee), K (Kontrol), T
(Trimming), NT (Non Trimming), P (Pruning), TP (Trimming Pruning).
Indeks keanekaragaman dapat menggambarkan keadaan populasi
organisme dengan tujuan untuk mempermudah menganalisa informasi jumlah
individu masing-masing jenis pada suatu komunitas (Krebs, 1989). Selain itu
semut seringkali dijadikan sebagai bio-indikator dalam penilaian kondisi
ekosistem. Holldobler dan Wilson (1990) menyatakan kehadiran semut dapat
mengindikasikan kesehatan ekosistem dan memberikan gambaran tentang
kehadiran organisme lain. Semut juga dapat digunakan sebagai indikator biologi
untuk menilai perubahan lingkungan (Agosti & Alonso, 2000; Shahabudin. 2011).
Berdasarkan hasil indeks tersebut, diperoleh hasil dari indeks
keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks dominansi (D) dari
masing-masing lahan pada perlakuan sebelum dan sesudah pruning. Pada indeks
keanekaragaman (H’) didapat kategori sedang pada kedua perlakuan baik sebelum
pruning maupun sesudah pruning. Nilai keanekaragaman tertinggi pada kedua
perlakuan didapatkan pada lahan BAU (K) setelah pruning sebesar 1,32.
Sedangkan, nilai keanekaragaman terendah didapatkan pada lahan HC (T) sebesar
0,96 sebelum pruning. Sedangkan untuk nilai indeks kemerataan pada kedua
perlakuan baik sebelum pruning dan sesudah pruning termasuk ke dalam kategori
tinggi. Nilai indeks kemerataan tertinggi pada kedua perlakuan yaitu pada lahan
30

BAU (K) dengan nilai indeks 0,77 pada setelah pruning. Sedangkan, untuk nilai
indeks kemerataan terendah pada kedua perlakuan yaitu lahan HC (T) sebesar
0,69 pada sebelum pruning. Kategori indeks dominansi pada kedua perlakuan
termasuk ke dalam kategori rendah, dengan nilai indeks tertinggi yaitu pada lahan
BAU (K) setelah pruning sebesar 0,40. Sedangkan nilai indeks terendah pada
lahan HC (T) sebelum pruning sebesar 0,31.
Banyak faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies dan individu
semut, seperti pengambilan sampel yang berbeda sehingga kondisi lingkungan
yang ada pada “UB Forest” berbeda pula. Perlakuan pruning dan trimming pada
berbagai lahan dengan jenis pengolahan yang berbeda juga mempengaruhi
banyaknya individu semut yang terdapat didalamnya. Persaingan antar semut
maupun dengan serangga lain yang lebih dominan juga mempengaruhi nilai
keanekaragaman semut didalam kawasan tersebut. Spesies semut yang lebih kuat
akan mempengaruhi kekuatan koloni karena banyak nya sumber makanan yang
dimonopoli oleh spesies tersebut (Andersen, 2000). Sehingga semakin tinggi nilai
indeks kemerataan menandakan bahwa komunitas di dalamnya stabil, begitu pula
sebaliknya. Kategori indeks keanekaragaman (Tabel 10) termasuk ke dalam
kategori sedang, sehingga menyebabkan indeks kemerataan cenderung tinggi. Hal
ini menandakan bahwa kondisi komunitas di dalamnya termasuk stabil. Sesuai
dengan penyataan Odum (1993) dalam Ariyono et al., (2014) bahwa indeks
kemerataan menunjukkan kelimpahan organisme yang hampir seragam dan
merata antar jenis, sehingga tinggi nya nilai keseragaman, menunjukkan bahwa
komunitas tersebut stabil. Sedangkan, menurut pernyataan dari Latumahina et al.,
(2014) indeks kemerataan dapat digunakan sebagai indikator gejala dominansi
antara tiap spesies dalam suatu komunitas. Begitu pula dengan nilai dominansi
(Tabel 12) yang termasuk ke dalam kategori rendah. Spesies yang mendominasi di
kedua perlakuan yaitu Odontoponera sp1. Krebs (1999) dalam Ariyono et al.,
(2014) menyatakan bahwa, indeks dominasi menunjukkan seberapa besar peranan
dari suatu spesies organisme yang berhubungan dengan komunitas secara
keseluruhan. Semakin rendah nilai indeks dominansi maka semakin kecil pula
dominasi populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis sama dan
tidak ada kecenderungan dominasi dari satu spesies atau genus. Selain itu, pada
31

lahan penelitian hanya terdapat dua jenis tanaman, yaitu tanaman pinus, dan
tanaman kopi, dimana hal tersebut mempengaruhi dari hubungan antara jumlah
spesies dengan individu yang menyusun suatu komunitas (Heddy dan Kurniati,
1994).
IV.3 Pengaruh Pemangkasan Terhadap Keanekaragaman Semut
(Hymenoptera : Formicidae) Pada Hutan Pendidikan “UB Forest”
Malang
Pemangkasan yang dilakukan pada plot penelitian memberikan pengaruh
terhadap keanekaragaman semut dan memiliki hubungan dengan kondisi iklim
mikro. Maka untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman semut dengan
kondisi iklim perlu dilakukan dengan analisis korelasi, yang digunakan untuk
mengukur tingkat kekuatan hubungan antara dua atau lebih variabel (Telussa et
al., 2013). Berikut merupakan tabel data iklim mikro yang meliputi, suhu,
kelembaban, dan jumlah vegetasi pada sebelum pruning (Tabel 13) dan setelah
pruning (Tabel 14).
Tabel 13. Data kondisi lingkungan pada saat sebelum pruning
Pengelolaan Kondisi Lingkungan
Lahan Suhu udara (℃) Kelembaban (%) Jumlah Vegetasi
LC (T) 18,90 86,06 2083
LC (NT) 18,98 80,33 2796
MC (NT) 18,93 84,70 2429
MC (T) 18,88 88,26 1879
HC (NT) 19,11 81,80 3404
HC (T) 19,33 79,73 3008
BAU (K) 18,81 86,05 2829
Keterangan: LC (Low Management Coffee), MC (Medium Management Coffee), HC
(High Management Coffee), BAU (Business As Usual), NT (Non Trimming),
T (Trimming), K (Kontrol)
32

Pengelolaa Kondisi Lingkungan


n Lahan Suhu udara (℃) Kelembaban (%) Jumlah Vegetasi
LC (TP) 18,81 100,50 2083

LC (P) 18,60 92,43 2796

MC (P) 18,46 97,21 2429

MC (TP) 18,56 93,28 1879

HC (P) 18,48 90,43 3404

HC (TP) 18,96 93,38 3008

BAU (K) 18,71 90,73 2829

Tabel 14. Data kondisi lingkungan pada saat setelah pruning


Keterangan: LC (Low Management Coffee), MC (Medium Management Coffee), HC
(High Management Coffee), BAU (Business As Usual), TP (Trimming
Prunning), P (Prunning), K (Kontrol)

Berdasarkan tabel di atas didapat bahwa pada perlakuan sebelum pruning,


suhu tertinggi berada pada lahan HC (T) yaitu sebesar 19,33 oC, sedangkan suhu
terendah pada lahan BAU (K) sebesar 18,81 oC. Sedangkan pada saat setelah
pruning didapat suhu tertinggi pada lahan HC (TP) dengan suhu sebesar 18,96 oC.
Lalu, suhu terendah pada lahan MC (P) yaitu sebesar 18,46 oC. Selanjutnya, untuk
nilai kelembaban didapat pada nilai tertinggi pada sebelum pruning yaitu, MC (T)
sebesar 88,26%, lalu untuk nilai terendah pada lahan HC (T) sebesar 79,73%.
Lalu pada saat setelah pruning didapat nilai kelembaban tertinggi pada lahan LC
(TP) dengan nilai 100,50%, sedangkan untuk kelembaban terendah pada lahan HC
(P) yaitu sebesar 90,43%.
Selanjutnya hasil dari pengukuran kondisi lingkungan tersebut
dikorelasikan antara kondisi lingkungan dengan keanekaragaman semut pada saat
sebelum pruning (Tabel 15) dan setelah pruning (Tabel 17) dan korelasi antara
kondisi lingkungan dengan kelimpahan semut pada saat sebelum pruning (Tabel
16) dan setelah pruning (Tabel 18).
33

Tabel 15. Nilai koefisien korelasi antara keanekaragaman semut dengan kondisi
lingkungan pada saat sebelum pruning.
Variabel Koefisien Korelasi Kategori Kategori

Suhu udara -0,82 (P=0,02) Korelasi sangat kuat Suhu H’

Kelembaban 0,79 (P= 0,03) Korelasi kuat Kelembaban


H’
Jumlah vegetasi -0,33 (P= 0,46) Tidak ada korelasi Tidak ada korelasi
Keterangan: Ketebalan panah menujukkan kekuatan korelasi
Tabel 16. Nilai koefisien korelasi antara kelimpahan individu semut dengan kondisi
lingkungan pada saat sebelum pruning.

Variabel Koefisien Korelasi Kategori Kategori

Suhu udara -0,40 (P = 0,36) Tidak ada korelasi -


Kelembaban 0,37 (P = 0,40) Tidak ada korelasi -
Jumlah vegetasi 0,10 (P = 0,82) Tidak ada korelasi -

Tabel 17. Nilai koefisien korelasi antara keanekaragaman semut dengan kondisi
lingkungan pada saat setelah pruning.

Variabel Koefisien Korelasi Kategori Kategori

Suhu udara -0,22 (P =0,62) Tidak ada korelasi -


Kelembaban -0,08 (P = 0,86) Tidak ada korelasi -
Jumlah vegetasi -0,40 (P = 0,37) Tidak ada korelasi -

Tabel 18. Nilai koefisien korelasi antara kelimpahan individu semut dengan kondisi
lingkungan pada saat setelah pruning

Variabel Koefisien Korelasi Kategori Kategori

Suhu udara -0,31 (P = 0,48) Tidak ada korelasi -


Kelembaban -0,22 (P = 0,62) Tidak ada korelasi -

Jumlah Vegetasi 0,25 (P = 0,58) Tidak ada korelasi -

Berdasarkan tabel diatas didapat hasil korelasi antara keanekaragaman


semut dengan kondisi lingkungan yang meliputi suhu udara, kelembaban dan juga
jumlah vegetasi. Pada sebelum pruning didapat suhu udara berkorelasi sangat kuat
dengan keanekaragaman semut, dan kelembaban berkorelasi kuat dengan
34

keanekaragaman semut. Suhu udara rata-rata pada saat sebelum pruning yaitu
berkisar 18,99℃, yang merupakan suhu udara yang sesuai untuk pertumbuhan
semut. Menurut (Rizali, 2007) suhu udara 15-27℃ sesuai untuk pertumbuhan
semut, dimana suhu yang lebih tinggi bersifat toleran apabila terdapat naungan
yang cukup dengan kelembaban optimal. Suhu udara berbanding lurus dengan
kelimpahan, distribusi dan keanekaragaman semut. Dikarenakan semut
merupakan organisme thermopolic yang sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan. Semut umumnya menyukai udara yang sejuk dan lembab untuk
beraktivitas dan bereproduksi (Shattuck, 2000). Suhu merupakan faktor penting
untuk berbagai kelompok semut untuk bersaing mendapatkan sumber makanan
pada suatu area yang sama, sehingga memungkinkan untuk terjadinya kompetisi
antar spesies dalam suatu komunitas (Cerdá et al., 1998). Suhu udara rata-rata
pada setelah pruning berkisar 18,65℃, dan tidak berbeda signifikan dengan suhu
rata-rata sebelum pruning. Rata-rata suhu yang tidak berbeda jauh tersebut
memungkinkan didapat hasil korelasi setelah pruning yang dinyatakan tidak
berkorelasi. Pada hasil korelasi antara suhu udara dan kelimpahan individu
didapat hasil yang tidak berkorelasi pada sebelum pruning dan sesudah pruning.
Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari penelitian yang dilakukan oleh Stuble
et al., (2012) memanipulasi suhu secara eksperimental, ditemukan pergantian
giliran sejumlah individu semut dalam aktivitas mencari makan, hal ini berarti
suhu udara dengan jelas mempengaruhi aktivitas mencari makan semut.
Setidaknya, untuk beberapa spesies, juga dapat mengatur permulaan dan
penghentian aktivitas mencari makan baik setiap hari nya (Talbot, 1943), atau
musiman (Sanders, 1972; Markin et al., 1974). Meskipun dalam keseluruhan di
lahan penelitian mengalami peningkatan kekayaan spesies dari sebelum pruning
dan sesudah pruning, justru terdapat beberapa spesies yang mengalami penurunan
kelimpahan seiring dengan meningkatnya suhu di dalam lokasi penelitian. (Stuble
et al., 2012).
Sama halnya seperti suhu udara, kelembaban memiliki pengaruh terhadap
keanekaragaman semut. Kelembaban mempengaruhi penyebaran dan
perkembangan semut didalam komunitas tersebut. Kelembaban udara yang sesuai
untuk perkembangan semut adalah 85% (Shattuck, 2000) sehingga, pada sebelum
35

pruning perkembangan dan penyebaran semut masih tergolong baik berdasarkan


suhu udara dan kelembaban optimal untuk pertumbuhan, dan aktivitas semut. Lalu
pada saat setelah dilakukan pruning menunjukkan kelembaban tidak berkorelasi
dengan keanekaragaman semut. Hal dikarenakan terjadi peningkatan kelembaban
yang menyebabkan perkembangan, penyebaran, aktivitas, dan reproduksi semut
menjadi tidak optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Garden et al., 2007)
bahwa perilaku manusia akan menurunkan keanekargaman jenis dan
menimbulkan biodiversitas tidak stabil. Begitu pula dengan hasil rata-rata
kelembaban pada setelah pruning yaitu berkisar 80,2%. Hal ini menyebabkan
ketidaksesuaian terhadap perkembangan semut sebagaimana pernyataan dari
(Shattuck, 2000) yang menyatakan kelembaban yang sesuai untuk perkembangan
semut yaitu 85%. Kelembaban juga tidak berkorelasi dengan kelimpahan semut
pada sebelum pruning dan setelah pruning. Udara yang lembab dapat merangsang
lebih banyak semut untuk keluar dari sarangnya, untuk mencari makan. Koloni
semut juga harus bersaing dengan spesies lainnya dalam hal mencari makan. Hal
tersebut memungkinkan terjadinya peningkatan aktivitas semut untuk mencari
makan, sehingga jumlah koloni semut yang berada di dalam sarang juga akan
berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gordon et al., (2013) bahwa semut
pencari makan yang sedang beraktivitas, dan kembali ke sarang, akan cenderung
merangsang lebih banyak semut untuk keluar mencari makan ketika kelembaban
lebih tinggi. Apabila ketersediaan makanan rendah pada kondisi yang lembab,
maka tingkat kembali nya semut pencari makan ke dalam sarang akan sangat
rendah.
Keanekaragaman semut diperoleh hasil tidak berkorelasi dengan jumlah
vegetasi pada kedua perlakuan baik sebelum pruning maupun sesudah pruning.
Hal ini terjadi karena pada kedua perlakuan memiliki jumlah vegetasi yang sama
dan suhu yang kurang cocok untuk pertumbuhan vegetasi. Menurut purwowidodo,
(1996) suhu yang cocok untuk pertumbuhan vegetasi antara 22 - 37℃. Suhu yang
lebih atau kurang dari batas normal mengakibatkan pertumbuhan yang lambat
atau berhenti dikarenakan kadar air dalam udara dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Selain itu, hasil buangan dari perlakuan pemangkasan juga
tidak dipindahkan keluar lahan. Selain itu, vegetasi dan kelimpahan semut pada
36

sebelum pruning dan sesudah pruning didapat hasil yang tidak berkorelasi.
Vegetasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas mencari
makan semut, karena semut harus melewati vegetasi untuk mencapai sumber
makanannya. Kayu-kayu sisa dari pemangkasan yang tidak dibuang,
memungkinkan dapat meningkatkan tingkat kesulitan dari medan tempuh semut,
yang sama seperti pada sebelum pemangkasan. Di sisi lain, berkurangnya daerah
mencari makan semut bisa dikarenakan peningkatan kompetisi intraspesifik dalam
populasi dengan kepadatan yang tinggi (Benstein, 1975).
Berdasarkan hasil analisis ragam pada saat sebelum pruning (F 6,21 = 3,729;
P = 0,011, Gambar 10a) dan setelah pruning (F 6,21 = 1,497; P = 0,227, Gambar
10b). Jika dibandingkan, kelimpahan semut antara sebelum dan sesudah pruning
memiliki hasil yang berbeda nyata (F1,54 = 11,96; P = 0,001; Gambar 10c). Pada
saat sebelum pruning memiliki hasil berbeda nyata dimana pemangkasan tajuk
pinus (Trimming) berpengaruh terhadap kelimpahan semut, sedangkan pada saat
setelah pruning memiliki hasil tidak berbeda nyata, dimana pemangkasan dahan
kopi (Prunning) mempengaruhi kelimpahan semut. Dengan dilakukannya
pemangkasan dapat mempengaruhi jumlah individu yang ditemukan pada masing-
masing lahan. Selain itu, terdapat beberapa faktor seperti perbedaan kondisi iklim
pada saat sebelum dan sesudah pruning. Kondisi lingkungan pada saat setelah
pruning, didapat hasil kondisi kelembaban yang lebih tinggi dibanding dengan
sebelum pruning. Kondisi kelembaban tersebut menjadi salah satu faktor terhadap
reproduksi semut menjadi tidak optimal. Aktivitas semut juga terganggu dengan
adanya aktivitas manusia yaitu pemangkasan, yang menjadikan semut sulit untuk
membuat sarang dan berkoloni. Dengan pemberian perlakuan pemangkasan,
diduga dapat menganggu aktivitas dan koloni semut dikarenakan sarang yang ada
pada ranting pohon menjadi hilang. Tanaman yang diberikan perlakuan
pemangkasan, yang dapat menghilangkan banyak ranting dan cabang akan
membatasi sumber daya sarang yang tersedia bagi semut yang bersarang di
ranting (Philpott et al., 2018). Selain itu, pemangkasan juga memberikan dampak
pada semut yang bersarang dan koloni didalamnya untuk berpindah ke suatu
tempat untuk membangun sarangnya kembali. Berdasarkan penelitian dari Yusah
and Foster (2016) menunjukkan bahwa semut dari bersarang pada kanopi yang
37

tinggi, disusun oleh berbagai pengaruh, termasuk dimensi fisik inang pohon,
ketersediaan tempat bersarang seperti kayu mati dan epifit. Dalam hal ini dapat
memungkinkan untuk adanya eksistensi beberapa spesies semut, dan
kemungkinan menjadi salah satu pendorong tingkat tinggi nya keanekaragaman
spesies semut.

a b

Gambar 11. Boxplot pengaruh pemangkasan terhadap kelimpahan semut pada (a)
sebelum pruning, (b) setelah pruning, dan (c) perbandingan antara sebelum dan sesudah
pruning.

Pada setiap plot, pemberian perlakuan, dan manajemen yang berbeda


menunjukkan perbedaan komposisi spesies yang berada di dalamnya. Kemiripan
komposisi ini dianalisis menggunakan ANOSIM (Analysis of similarity) untuk
melihat kemiripan komposisi spesies semut dan NMDS (Non-Metric
Multidimensional Scalling) untuk melihat perbedaan komposisi semut. Jarak
antara jenis pengelolaan lahan dalam grafik NMDS menunjukkan komposisi dari
38

semut tersebut, apabila plot pada grafik NMDS berdekatan berarti menunjukkan
kemiripan komposisi yang tinggi, begitu pula sebaliknya jika jarak antar tipe
penggunaan lahan berjauhan maka tingkat kemiripan komposisi semut semakin
rendah. Berdasarkan analisis komposisi semut, didapat hasil bahwa penggunaan
lahan memiliki pengaruh terhadap perbedaan komposisi semut pada sebelum
pruning (R anosim = 0,276; P = 0,004; Gambar 10a) dan setelah pruning (R
anosim = 0,193; P = 0,013; Gambar 10b). Perlakuan pemangkasan tidak
berpengaruh terhadap perbedaan komposisi semut pada sebelum pruning (R
anosim = 0,082; P = 0,125; Gambar 11a) dan setelah pruning (R anosim = 0,104;
P = 0,108; Gambar 11b). Sedangkan, manajemen lahan memiliki pengaruh
terhadap perbedaan komposisi semut pada sebelum pruning (R anosim = 0,139; P
= 0,037; Gambar 12a) dan setelah pruning (R anosim = 0,178; P = 0,01; Gambar
12b).

a b

Gambar 12. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS) kemiripan


komposisi spesies semut terhadap penggunaan lahan berdasarkan indeks Bray-Curtis. (a)
sebelum pruning (Nilai Stress = 0,168); (b) setelah pruning (Nilai stress = 0,175).

a b
39

Gambar 13. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS) kemiripan


komposisi spesies semut terhadap perlakuan pemangkasan berdasarkan indeks Bray-
Curtis. (a) sebelum pruning (Nilai Stress = 0,168); (b) setelah pruning (Nilai stress =
0,175).

a b

Gambar 14. Hasil Analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS) kemiripan


komposisi spesies semut terhadap manajemen lahan berdasarkan indeks Bray-Curtis. (a)
sebelum pruning (Nilai stress = 0,168); (b) setelah pruning (Nilai stress = 0,175).

Komposisi semut terhadap penggunaan lahan ditemukan berpengaruh


terhadap kelimpahan semut. Komposisi komunitas semut juga sangat dipengaruhi
oleh habitat terkait dengan ketinggian vegetasi dan perbedaan vegetasi di
sekitarnya, serta lokasi spasial dari vegetasi di dalam agroekosistem tersebut.
Vegetasi yang lebih tinggi memungkinkan untuk dapat berfotosintesis lebih,
karena akan mengalami lebih sedikit persaingan untuk mendapatkan cahaya
(Kenzo et al., 2006) dan oleh karena itu bisa memberikan lebih banyak
karbohidrat sumber daya bagi semut, baik secara langsung nectar atau tidak
langsung melalui serangga penghisap getah (Bluthgen et al., 2000). Selanjutnya,
tutupan kanopi juga berkorelasi positif dengan kekayaan vegetasi dan kelimpahan
vegetasi, yang menjadikan salah satu atau kombinasi faktor yang dapat
mempengaruhi komposisi semut (Philpott et al., 2018)
Komposisi semut terhadap pemangkasan diperoleh hasil tidak berpengaruh
terhadap kelimpahan semut. Pada agroekosistem kopi, variasi ketersediaan ukuran
sarang mempengaruhi semut bersarang dan variasi kekayaan spesies yang menjadi
sumber daya bagi semut mempengaruhi kekayaan semut yang bersarang di tanah
(Philpott et al., 2018). Area yang memiliki lebih banyak vegetasi memungkinkan
dapat menampung spesies yang berbeda. Perbedaan dalam individu spesies pohon
seperti ukuran tajuk, batang, keberadaan epifit, atau jumlah sarang yang tersedia
40

di kanopi dapat ditemukan lebih banyak variasi spesies semut (Klimes, et al.,
2012). Pada spesies semut tertentu seperti Dolichoderus sp1 umumnya ditemukan
pada pohon-pohon besar dengan epifit yang besar (Yusah and Foster, 2016). Sisa-
sia pemangkasan yang tidak dibuang keluar lahan dapat menambah ketersediaan
struktur bersarang semut. Selain itu pada penelitian Tanaka et al, (2010)
ditemukan banyak spesies yang bersarang pada dahan mati yang disebabkan oleh
adanya struktur tambahan yang berasal dari sisa-sisa pemangkasan,
memungkinkan dapat meningkatkan kolonisasi spesies semut yang bersarang di
kayu mati, seresah daun, lubang pohon atau rongga pohon itu sendiri.
Komposisi semut terhadap manajemen lahan diperoleh hasil berpengaruh
terhadap kelimpahan semut. Manajemen lahan yang dimaksud adalah penyiangan
dan pemupukan kompos yang dilakukan pada lahan MC, HC, dan BAU dengan
intensitas 1-3 kali. Sedangkan untuk LC tidak dilakukan penyiangan dan
pemupukan kompos karena termasuk ke dalam kategori lahan dengan manajemen
yang rendah. Komunitas semut sangat merespon efek dari pengelolaan dan
kondisi lingkungan. Menurut dari penelitian (Dahms et al., 2005), area rumput
yang dikelola memiliki keragaman struktural yang relatif rendah. Menghilangkan
biomassa tanaman dapat mengubah kondisi lingkungan seperti peningkatan
tutupan tanah terbuka, peningkatan suhu tanah, dan penurunan tutupan seresah
yang secara langsung atau tidak langsung mengubah komposisi komunitas semut
(Kim et al., 2017). Menghilangkan biomassa dapat menciptakan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan bagi spesies semut sehingga mencegah
semut berkolonisasi dan pertumbuhan populasi semut. Berdasarkan penelitian dari
Myers et al., (2015), bahwa penghilangan biomassa, pemanenan berulang,
pemupukan yang dilakukan telah mengubah kondisi lingkungan yang
menyebabkan perbedaan tingkat kematian, kolonisasi, dan kekuatan kompetisi
yang bervariasi dan menghasilkan perbedaan besar dalam komposisi komunitas
semut.
41

V. Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Hasil keanekaragaman di Hutan Pendidikan “UB Forest” berdasarkan
indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) menunjukkan hasil
keanekaragaman yang sedang pada seluruh lahan baik sebelum pruning
maupun setelah pruning.
2. Perlakuan pemangkasan tidak memberikan pengaruh terhadap kelimpahan
semut.
3. Tipe penggunaan lahan dan manajemen lahan memiliki pengaruh terhadap
perbedaan komposisi semut. Sedangkan perlakuan pemangkasan tidak
berpengaruh terhadap perbedaan komposisi semut.
5.2 Saran
Sebaiknya penelitian yang akan melakukan penelitian yang serupa atau
melanjutkan penelitian di Hutan Pendidikan “UB Forest” sebaiknya menerapkan
ulangan yang lebih banyak dalam pemasangan perangkap. Dan juga dapat
menggunakan jenis perangkap yang berbeda seperti Bait Trap dan Hand
Collecting atau kombinasi dari kedua metode penangkapan tersebut. Supaya data
yang diperoleh semakin kaya dan dapat dijadikan sebagai acuan atau data dasar
dalam melakukan konservasi ekosistem di Hutan Pendidikan “UB Forest”.
42

DAFTAR PUSTAKA
Agosti D, Alonso LE. 2000. The All protocol Ants: Standard methods for
measuring and monitoring biodiversity. Smithsonian Institution Press.
Washington DC 280: 204-206.
Al Young Studios. 2021. Biodiversity Calculator.
https://www.alyoung.com/labs/biodiversity_calculator.html. Diakses
pada 7 September 2021).
Aminullah, Y., Mahmudati, N., Zaenab, S. 2015. Keanekaragaman Makrofauna
Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non
Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu Sebagai Bahan Ajar Biologi
SMA. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia Volume 1 (2): 178-187.
Andersen, A. 2000. Global Ecology of Rainforest Ants: Functional Groups in
Relation to Environtmental Stress and Disturbance, In: Agosti, D., Majer,
J.D., Alonso, L.E., Schultz, T.R., editor. Ants : Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian
Institution Press.
Ariyono, R. Q., Djauhari, S., dan Sulistyowati, L. 2014. Keanekaragaman Jamur
Endofit Daun Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.) pada Lahan
Pertanian Organik dan Konvensional. Jurnal HPT. 2(1): 19-28.
Bernstein, R. A. 1975. Foraging Strategies of Ants in Response to Variable Food
Density. Ecology 56: 213-219.
Bluthgen, N., Verhaagh, M., Goitia, W., Jaffe, K., Morawetz, W. & Barthlott, W.
2000: How Plants Shape the Ant Community in the Amazonian
Rainforest Canopy: The Key Role of Extrafloral Nectaries and
Homopteran Honeydew. – Oecologia 125: 229-240.
Cadapan, E.P., Moezir M. dan Prihatin A.A. 1990. Semut Hitam Berita
Perlindungan Tanaman Perkebunan 2 (1): 5-6.
Cerdá X, Retana J, Cros S (1998) Critical thermal limits in Mediterranean Ant
Species: Trade-off Between Mortality Risk and Foraging Performance.
Funct Ecol 12(1):45–55
Clarke K.R. 1993. Non-Parametric Multivariate Analysis of Changes in
Community Structure. Australian Journal of Ecology. 18: 117-143.
43

Dahms, H., Wellstein, C., Wolters, V., Dauber, J. 2005. Effects of Management
Practices on Ant species Richness and Community Composition in
Grasslands (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecologische Nachrichten
7: 9-16.
Enny, Widyanti. 2013. Pentingnya Keragaman Fungsional Organisme Tanah
Terhadap Produktivitas Lahan. Jurnal Tekno Hutan Tanaman, Vol. 6,
No.1.
Fransina, S.L., Ismanto, Agus. 2010. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap
Keanekaragaman Semut Alam Hutan Lindung Gunung Nona-Ambon.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Garden, J., McAlpine, B.,Possingham, C.,dan Jones, N.,2007. Habitat Structure is
More Important Than Vegetation Composition for Local Level
Management Terrestrial Reptile and Small Mammal Species Living in
Urban Remnants: A Case Study from Brisbane, Australia. Austral Ecol
(32):669-685.
Gonawi GR. 2009. Habitat Struktur Komunitas Nekton Di Sungai Cihideung-
Bogor Jawa Barat (Skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Gordon, D. M., Dektar, K. N., Pinter-Wollman, N. 2013. Harvester Ant Colony
Variation in Foraging Activity and Response to Humidity. Department of
Biology, Stanford University, California.
Hadi, M. Tarwojo, U. Dan Rahardian, R. 2009. Biologi Insekta Entomologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Haneda, N.F., dan Yuniar, N. 2015. Komunitas Semut (Hymenoptera:
Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda di Desa Bungku
Provinsi Jambi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanana IPB.
Bogor.
Hashimoto, Y. 2003. Identification Guide To the Ant Genera of Borneo.
Inventory and Collection Total protocol for understanding of
biodiversity, UMS Press. Japan
Hasmi, A., Lebrun E, dan Plowes R. 2006. A Field Key To The Ants
(hymenoptera : Formicidae) Found at Brackenridge Field Laboratories
(Rev). University of Texas at Austin. Texas.
44

Heddy, S. Kurniati, W. 1994. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. Jakarta: Rajawali


Pers.
Herwina, H., Nasir, N., Jumjunidang, M.,dan Yaherwandi, M., 2013. The
Composition of Ant Species on Banana Plants With Banana Bunchy Top
Virus (BBTV) Symptoms in West Sumatera, Indonesia. Jurnal Asian
Myrmicology, 5:151–155.
Hoeve, W. van. (1996). Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Serangga. Terj. dari
Encyclopedie van het Dierenrijk. PT Ichtiar Baru Van Hoeve: 256 hlm.
Holldobler B, Wilson EO. 1990. The ants. Harvard University Press.
Ikbal, M., N.S. Putra, & E. Martono. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem
Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta.
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 18, No. 2, 2014: 79–88.
Palu : Universitas Muhammadiyah Palu.
Irawan, U.S., Harum, Purwanto, Gumelar dan Gunawan. 2012. Apa itu
agroforestri?. Pnpm Mandiri. Jakarta. 24pp.
Jiang XJ, Liu W, Wu J, Wang P, Liu C, Yuan ZQ. 2017. Land Degradation
Controlled And Mitigated By Rubber‐Based Agroforestry Systems
Through Optimizing Soil Physical Conditions And Water Supply
Mechanisms: A Case Study In Xishuangbanna, China. Land Degradation
& Development 28(7): 2277-2289.
Jurzenski J, Albrecht M, Hoback WW. 2012. Distribution And Diversity Of Ant
Genera From Selected Ecoregions Across Nebraska. The Prairie
Naturalist 44(1):17─29.
Kalshoven, L. G. E., 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeven. Terjemahan dari: De
Plagen van de Culture in Indonesia. P.t Ichtiar Baru. Jakarta.
Keller & Gordon, 2009). Monograph of Nylanderia (Hymenoptera: Formicidae)
of the World, Nylanderia in the Afrotropics. Zootaxa. 3110: 10–36.
Kenzo, T., Ichie, T.,Watanabe, Y., Yoneda, R., Ninomiya, I. & Koike, T. 2006:
Changes In Photosynthesis And Leaf Characteristics With Tree Height In
Five Dipterocarp Species In A Tropical Rain Forest. – Tree Physiology
26: 865-873.
45

Khoo. Y. H. 1990. A note on the Formicidae (Hymenoptera) from Pitfall Traps at


Ulu Kinchin, Pahang, Malaysia. Malayan Nature Journal 43: 290-293.
Kim, T. N., A. F. Fox, B. D. Wills, T. D. Meehan, D. A. Landis, And C. Gratton.
2017. Harvesting Biofuel Grasslands Has Mixed Effects On Natural
Enemy Communities And No Effects On Biocontrol Services. Journal Of
Applied Ecology 54:2011–2021
Klimes, P., C. Idigel, M. Rimandai, T. Fayle, M. Janda, G. Weiblen, And V.
Novotny. 2012. Why Are There More Arboreal Ant Species In Primary
Than In Secondary Forests? J. Anim. Ecol. 81: 1103–1112.
Krebs, C. J. 1989. Ecology The Experiment Analysis of Distribution and
Abundance. Harper and Row Publisher. New York.
Krebs, J.C. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins. New York. Hal. 361-
367.
Latumahina, F.S., Musyafa, Sumardi dan Putra, N.S. 2014. Kelimpahan dan
Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon. Jurnal
Biospecies 7(2): 53-58.
Magurran, A.E. 2004. Measuring Biologycal Diversity. New Jersey (US):
Blackwell Publishing.
Markin, G. P., J. O’Neal, J. H. Dillier, And H. L. Collins. 1974. Regional
Variation In The Seasonal Activity Of The Imported Fire Ant, Solenopsis
Saevissima Richteri. Environ. Entomol. 3:446–452.
Myers, J. A., J. M. Chase, R. M. Crandall, And I. Jimenez. 2015. Disturbance
Alters Beta-Diversity But Not The Relative Importance Of Community
Assembly Mechanisms. Journal Of Ecology 103: 1291–1299.
Najiyati, Sri, Danarti. 2007. Kopi: Budidaya dan Penanganan Pasca Panen.
Penebar Swadaya: Jakarta
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemah: Tjahyono Samingan.
Odum, E. P. 1996 . Dasar – Dasar Ekologi : edisi ketiga. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
46

Parr C. L., H. G. Robertson, H. C. Biggs, & S. L. Chown. 2004. Response Of


African Savanna Ants To Long-Term Fire Regimes. Journal Of Applied
Ecology 41.
Philpott, S. M., I. Perfecto, I. Armbrecht, And C. L. Parr. 2010. Ant Diversity And
Function In Disturbed And Changing Habitats, Pp. 137–157. In L. Lach,
C. L. Parr, And K. L. Abbott (Eds.), Ant Ecology. Oxford University
Press, Oxford.
Philpott, S. M., Serber, Z., De la Mora, A. 2018. Influences of Species
Interactions With Aggressive Ants and Habitat Filtering on Nest
Colonization and Community Composition of Arboreal Twig-Nesting
Ants. Dryad Digital Repository.
Pierre, E.M. 2013. An Ecological Study Of Pteroma Pendula (Lepidoptera:
Psychidae) In Oil Palm Plantations With Emphasis On The Predatory
Activities Of Oecophylla Smaragdina (Hymenoptera: Formicidae) On
The Bagworm. Disertasi Institute Of Biological Science Faculty Of
Science University Of Malaya Kuala Lumpur: 135.
Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pumarino L, Sileshi GW, Bripenberg S, Kaartinen R, Barrios E, Muchane MN,
Midega C, Jonsson M. 2015. Effects Of Agroforestry On Pest, Disease
And Weed Control: A Meta-Analysis. Basic And Applied Ecology.
16(7): 573-582.
Pusrembang SDM. 2017. Sekeping Informasi dari “UB Forest” Malang.
http://bp2sdm.menlhk.go.id/pusrenbang/index.php. Diakses pada tanggal
18 Januari 2021.
Quinkenstein, A., Woellecke, J., Böhm, C., Gruenewald, H., Freese, D.,
Schneider, B.U. Dan Huettl, R.F. 2009. Ecological Benefits Of The Alley
Cropping Agroforestry System In Sensitive Regions Of Europe.
Environmental Science & Policy, 12 (8): 1112-1121.
R Core Team. 2017. A Language And Environment For Statistical Computing. R
Foundation For Statistical Computing, Vienna, Austria.
47

Ribeiro-Júnior MA, Rossi R, Miranda CL, Ávila-Pires TCS. 2011. Influence Of


Pitfall Trap Size And Design On Herpetofauna And Small Mammal
Studies In A Neotropical Forest. Zoologia 28(1):80-91.
Riduwan, 2003. Dasar-dasar Statistika. Alfa Beta. Bandung.
Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi Dan Peranan Semut Pada Tanaman Di
Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241-
253.
Rizali, A., 2007. Keragaman Semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. Tesis.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pp 17-34.
Saha, S.K. 2006 Agroforestry and Biodiversity Conservation in Tropical
Landscapes. Editors: G. Schroth, G. A. B. da Fonseca, C. A. Harvey, C.
Gascon, H. L. Vasconcelos and A. N. Izac, Island Press, Washington DC,
2004, ISBN 1- 55963-357-3, Paperback, 524pp.
Sanders, C. J. 1972. Seasonal And Daily Activity Patterns Of Carpenter Ants
(Camponotus Spp.) In Northwestern Ontario (Hymenoptera:
Formicidae). Can. Entomol. 104:1681–1687.
Shahabudin. 2011. Effect Of Land Use Change On Ecosystem Function Of Dung
Beetles: Experimental Evidence From Wallacea Region In Sulawesi,
Indonesia. Jurnal Biodiversitas 12(3): 177-181.
Shattuck, S., 2000. Australian Ants: Their Biology and Identification.
Collingwood: CSIRO Sydney. Pp 197-199.
Sitompul, S.M dan D. Purnomo. 2005. Peningkatan Fungsi Agronomi Sistem
Agroforestri Jati, Pinus dengan Penggunaan Varietas Tanaman Jagung
Toleran Irradiasi Rendah. Agrosains. 7(2): 93-100.
Stuble, K. L., Pelini, S. L., Diamond, S. E., Fowler, D. A., Dunn, R. R., Sanders.,
N. J. 2012. Foraging By Forests Ants Under Experimental Climatic
Warming: A Test At Two Sites. Ecology And Evolution 2013; 3(3): 482-
491.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, dan
Kualitatif). Alfabeta, Bandung.
Talbot, M. 1943. Response of the ant Prenolepis imparis Say to temperature and
humidity changes. Ecology 24:345–352.
48

Tanaka, H.O., Yamane, S. & Itioka, T. 2010: Within-Tree Distribution Of Nest


Sites And Foraging Areas Of Ants On Canopy Trees In A Tropical
Rainforest In Borneo. – Population Ecology 52: 147-157.
Telussa, Ade M., Elvinus R. Persulessi, Dan Zeth A. Leleury. 2013. Penerapan
Analisis Korelasi Parsial Untuk Menentukan Hubungan Pelaksanaan
Fungsi Manajemen Kepegawaian Dengan Efektivitas Kerja Pegawai.
BAREKENG: Jurnal Ilmu Matematika Dan Terapan 7.1: 15-18.
Triyogo, A., Budiadi, S.M., Widyastuti., Subrata, S.A., Budi, S.S. 2020.
Abundance Of Ants (Hymenoptera: Formicidae) And The Functional
Groups In Two Different Habitats. Jurnal Ilmu Kehutanan 21 (5): 2079-
2087.
Van Noordwijk M, Tata HL, Xu J, Dewi S, Minang PA. 2012. Segregate Or
Integrate For Multi-Functionality And Sustained Change Through
Rubber-Based Agroforestry-The Future Of Global Land Use. Pg 69-104.
Springer. Dordrecht.
Wang C, Strazanac J, Butler L. 2000. Abundance, Diversity, And Activity Of
Ants (Hymenoptera: Formicidae) In Oak─Dominated Mixed
Appalachian Forest Treated With Microbial Pesticides. Environmental
Ecology 29(3):579-586
Wheeler BW, Lovell R, Higgins SL, White MP, Alcock I, Osborne NJ, Husk K,
Sabel CE, Depledge MH. 2015. Beyond Greenspace: An Ecological
Study Of Population General Health And Indicators Of Natural
Environment Type And Quality. International Journal Of Health Geo-
graphics 14(1): 17.
Wielgoss, A, T. Tscharntke, D. Buchori, B. Fiala, & Y. Clough. 2009.
Temperature and A Dominant Dolichoderine Ant Species Affect Ant
Diversity in Indonesian Cacao Plantations. Journal Agriculture,
Ecosystems and Environment 135: 253–259.
Wintgens, J.N (Ed). 2004. Cofee: Growing, Processing and Sustainable
Production. WILEY-VCH Verlag GmbH &Co. Weinheim.
49

Yamane, S.,Itino, T. dan Rahman, N. Abd. 1996. Ground Ant Fauna In The a
Bornean Dipterocarp Forest. The Raffles Buletin Of Zoology 44 (1): 253-
262.
Yusah, K. M., And W. A. Foster. 2016. Tree Size And Habitat Complexity Affect
Ant Communities (Hymenoptera: Formicidae) In The High Canopy Of
Bornean Rain Forest. Myrmecol. News 23: 15–23.
50

LAMPIRAN

Lampiran Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh pemangkasan terhadap kelimpahan


semut pada sebelum pruning

Sumber db JK KU F P
Keragaman

Pengelolaan 6 2272 378,6 3,729 0,0111


Lahan

Galat 21 2132 101,5

Lampiran Tabel 2. Hasil analisis ragam pengaruh pemangkasan terhadap kelimpahan


semut pada setelah pruning.

Sumber db JK KU F P
Keragaman

Pengelolaan 6 2375 395,8 1,497 0,227


Lahan

Galat 21 5553 264,4

Lampiran Tabel 3. Hasil analisis ragam perbandingan kelimpahan semut pada sebelum
dan setelah pruning.

Sumber db JK KU F P
Keragaman

Pengelolaan 6 2375 395,8 1,497 0,227


Lahan

Galat 21 5553 264,4


51

a b

c d

Lampiran Gambar 1. Dokumentasi kenampakan lahan di hutan pendidikan “UB


Forest”. (a) lahan BAU; (b) lahan HC; (c) lahan MC; (d) lahan
LC.

a b
52

Lampiran Gambar 2. Proses pemangkasan. (a) pemangkasan tanaman pinus (trimming);


(b) pemangkasan tanaman kopi (pruning)

a b

Lampiran Gambar 3. Perangkap Pitfall. (a) proses pemasangan perangkap Pitfall pada
lahan; (b) perangkap Pitfall yang sudah terpasang di lahan; (c)
pengumpulan sampel semut yang terperangkap

Dolichoderus sp.1 Pheidole sp.1


53
54

Meranoplus sp.1 Camponotus sp.1

Odontoponera sp.1 Pachyncodyla sp.1

Lampiran Gambar 4. Spesies semut yang ditemukan pada berbagai pengolahan lahan di
“UB Forest”, Malang.

Anda mungkin juga menyukai