BP : 1810532040
1.
A. Dalam two-tier board system terdapat dua dewan terpisah, satu dewan yang
bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan mengelola operasional perusahaan
(management board) dan satu dewan lainnya melakukan fungsi monitoring dan
pengawasan (supervisory board). Pada dasarnya management board merupakan
executive directors sedangkan supervisory board merupakan non-executive
directors. Pemisahan fungsi monitoring dan pengawasan tersebut dimaksud untuk
menghindari benturan kepentingan yang diharapkan akan dapat memberi hasil
yang maksimal.
Dalam one-tier board system, keseluruhan wewenang pelaksanaan fungsi
perusahaan atau organisasi dilaksanakan oleh satu board atau dewan yang disebut
board of directors. Pada system ini, board of directors berfungsi menetapkan
kewajiban, melaksanakan kegiatan operasional, dan sekaligus melakukan
pengawasan atau monitoring
C. Menurut saya, dalam penerapan model two-tier ini di Indonesia jika dibandingkan
dengan dengan negara-negara asia lainnya yaitu seharusnnya hal ini akan lebih
efektitif karena adanya pemisahan tugas yang jelas di antara board, karena
kebanyakan perusahaan di Indonesia menganut system kekeluargaan, jadi di sini
akan lebih spesifik terlihat tugas pemilik perusahaan untuk mengawasi
pelaksanaan tugas.
2.
A. Komite audit memiliki peran untuk memenuhi prinsip akuntabilitas dalam usaha
pengawasan terhadap proses manajemen risiko dan keberlangsungan fungsi
pengawasan perusahaan. Komite audit memiliki kekuatan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap laporan dari auditor internal perusahaan
B. Hubungan kerja antara komite audit dengan internal auditor yaitu bertanggung
jawab untuk mempekerjakan, mengawasi, memberi kompensasi, dan memecat
kepala departemen audit internal, dan auditor internal harus melaporkan temuan
audit mereka langsung ke komite audit, yang pada akhirnya bertanggung jawab
kepada komite itu sendiri.
C. Menurut saya salah satu mekanisme yang dapat diandalkan yaitu mekanisme
pengendalian internal, karna diharapkan dapat dipercaya menjadi sebuah
mekanisme yang efisien dan merupakan mekanisme governance low-cost.
4.
A. Konsep ini mempertegas posisi CG sebagai konsepsi yang dinamis sesuai dengan
perubahan lingkungan korporasi serta terdapatnya perbedaan praktik CG sesuai
dengan lingkungan (konteks) spesifik dimana korporasi tersebut berada.
Menyangkut hal ini, Blair (1995) berpendapat bahwa terdapatnya perbedaan
sistem (lingkungan) korporasi dari sudut pandang governance akan
“memperkaya” praktik CG yang diharapkan dapat berkembang ke arah penemuan
struktur CG yang semakin efisien, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya,
aspek legal serta perangkat institusional lainnya yang spesifik, sehingga
merupakan paradigma yang berlawanan dengan pendekatan “universalis” yang
percaya pada terdapatnya konsepsi CG yang dapat diterapkan lintas negara
(universal).