DISUSUN OLEH :
KELOMPOK V
2. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium tuberculosa. Sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 /mm dan tebal 0,3-0,6 /mm.
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini tahan
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahan dalam
lemari es).
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dengan tebal 0,3-0,6
mikron. Kuman ini lebih tahan terhadap asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman ini lebih tahan terhadap terhadap asam, gangguan kimia dan
fisik.
5. Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru jika tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi di bagi atas 2 yaitu:
5.1 Komplikasi dini
1. Pleurtis
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laringitis
5. Menjalar ke organ lain yaitu usus
6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Fase Intensif (2-3 bulan).
2. Fase Lanjutan (4-7 bulan).
Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat
tambahan adalah Kanamisin, Kulnolon, Makvolide, dan Amoksilin ditambah
dengan asam klavulanat, derivat rifampisin atau INH.
Tuberculosis paru diobati karena agens kemotherapi (agen anti
tuberkulosis) selama periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan
digunakan: isoniasid (INH), rifampicin (RIF), streptomisin (SM), etambutol
(EMB), dan pirazinamid (PZA). Kapreomisin, kanamisin, etionamid, natirum
para-aminosalisilat, amikasin dan siklisin merupakan obat-obat baris kedua.
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat-obatan terus
menjadi isu berkembang di seluruh dunia. Meski TB yang resisten terhadap obat
telah teridentifikasi sejak tahun 1950, insiden dari resisten banyak obat telah
menciptakan tantangan baru. Beberapa jenis resisten obat harus dipertimbangkan
ketika merencanakan terapi efektif:
a. Resisten obat primer adalah resisten terhadap satu agens tuberculosis garis
depan pada individu yang sebelumnya belum mendapatkan pengobatan.
b. Resiten obat didapat atau sekunder adalah resisten terhadap satu atau lebih
agens anti tuberculosis pada pasien yang sedang menjalani terapi.
c. Resisten banyak obat adalah resisten terhadap dua agens, sebut saja, INH dan
RIF Pengobatan yang direkomendasikan bagi kasus tuberculosis yang baru
didiagnosa adalah regimen pengobatan beragam termasuk INH, RIF dan PZA
selama 4 bulan, dengan INH dan RIF dilanjutkan untuk tambahan 2 bulan
(totalnya 6 bulan).
Sekarang ini, setiap agens di buat dalam pil terpisah. Pil anti tuberculosis
baru three in-one yang terdiri atas INH, RIF dan PZA telah dikembangkan, yang
akan memberikan dampak besar dalam meningkatkan kepatuhan terhadap
regimen pengobatan. Pada awalnya etambutol dan streptomycin disertakan dalam
terapi awal sampai sampai pemeriksaan resisten obat didapatkan. Regimen
pengobatan, bagaimanapun tetap dilanjutkan selama 12 bulan.
Individu akan dipertimbangkan non infeksius setelah menjalani 2 sampai 3
minggu terapi obat kontinu. Isoniasid (INH) mungkin digunakan sebagai tindakan
preventif bagi mereka yang diketahui beresiko terhadap penyakit signifikan,
sebagai contoh, anggota keluarga dari pasien yang berpenyakit aktif.
Regimen pengobatan profilaktik ini mencakup penggunaan dosis harian INH
selama 6 sampai 12 bulan. Untuk meminimalkan efek samping, dapat diberikan
piridoksin (vitamin B6).
Enzim-enzim hepar, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin di pantau
setiap bulan (Brunner & Suddarth, 2002 hal. 586-587).
Panduan OAT di Indonesia WHO dan IULTD (Intrenational Union Against
Tubercolosis and Lung Diase) merekomendasikan panduan OAT standar, yaitu:
1. Kategori-1
Tahap intensif terdiri dari Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z)
dan Etambutol (E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yag terdiri dari Inosiasid
(H) dan Rifampicin (R), diberikan dalam tiga kali dalam seminggu selama empat
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negative, Rontgen Positif yang “sakit berat”
c. Penderita TBC Ekstra Paru berat
2. Kategori-2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Inosiasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan
untuk:
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3. Kategori-3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
Penderita paru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan.
Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis),
pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
OAT sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru
BTA positif dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif,
diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
BAB II
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan dan kelelahan
Tanda : Kesulitan tidur pada malam atau demam malam hari dan
berkeringat pada malam hari
Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan
Tanda : Penurunan BB
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk, gangguan tidur pada malam
hari
Tanda : pasien meringis, tidur tidak nyenyak
Pernapasan
Gejala : batuk berdarah, Batuk produktif, Sesak nafas, Takipnea
Cardiovaskuler
Gejala : takikardia
(Doengoes, 2000)
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat badan
menurun. Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal
dalam pernapasan.
2. Perkusi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani. Bila
mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
3. Auskultasi
Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas tambahan
berupa rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi
oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, auskultasi memberikan suara amforik.
Bila mengenai pleura, auskultasi memberikan suara napas yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.
4. Palpasi
badan teraba hangat (demam)
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap
aktif penyakit
Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10
mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen)
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara
berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang
secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
Anemia bila penyakit berjalan menahun
Leukosit ringan dengan predominasi limfosit
LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut
kembali normal pada tahap penyembuhan.
GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan
paru.
Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya
sel raksasa menunjukkan nekrosis.
Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya
infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air
dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
b. Radiologi
Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium
lesi sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas TB
dapat termasuk rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikan TB yang
lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrous. Pada foto thorax
tampak pada sisi yang sakit bayangan hitam dan diafragma menonjol ke
atas.
Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronchus atau kerusakan paru karena TB.
Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC adalah penebalan
pleura, efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio
lusen dipinggir paru atau pleura).
c. Pemeriksaan fungsi paru
Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara
residu: kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder
terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan
penyakit pleural.
Data Subyektif
Pasien mengeluh panas
Batuk/batuk berdarah
Sesak bernafas
Nyeri dada
Malaise dan kelelahan
Data Obyektif
Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada
auskultasi memberi suara limforik.
Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak)
Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal
dan sub mandibula.
Kadang terjadi abses.
3) Rencana Tindakan
A. Dx 1
Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi
kuman tuberkulosis.
Tujuan: Tujuan: Tidak terjadi penyebaran infeksi setelah dilakukan
tindakan keperawatan dalam waktu 3x 24 jam.
Kriteria Hasil :
-Klien mengidentifikasi interfensi untuk mencegah resiko penyebaran
infeksi
-Klien menunjukkan teknik untuk melakukan perubahan pola hidup dalam
melakkan lingkungan yangnyaman.
-TB yang diderita klien berkurang/ sembuhIntervensi
Intervensi
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet
udara selama batuk, bersin,meludah, bicara, tertawa ataupun menyanyi.
Untuk Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi
program pengobatan untukmencegah pengaktifan berrulang. Pemahaman
bagaimana penyakit disebarkan dan kesadarankemungkinan tranmisi
membantu pasien / orang terdekat untuk mengambil langkah mencegah
infeksike orang lain
2. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat
karib, dan tetangga.
Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran/ terjadinya infeksi.
3. Anjurkan pasien untuk batuk/ bersin dan mengeluarkan dahak pada tisu,
menghindari meludahsembarangan, kaji pembuangan tisu sekali pakai dan
teknik mencuci tangan yang tepat. Dorong untukmengulangi demonstrasi.
Perilaku yang diperlukan untuk melakukan pencegahan penyebaran
infeksi.
4. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh masker/ isolasi
pernafasan.
Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien an membuang stigma
sosial sehubungandengan penyakit menular.
5. Observasi TTV (suhu tubuh).
Untuk mengetahui keadaan umum klien karena reaksi demam indikator
adanya infeksi lanjut.
6. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang
tuberkolusis, contoh tahanan bawah gunakan obat penekan imun adanya
dibetes militus, kanker, kalium.
7. Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola
hidup dan menghindarimenurunkan insiden eksaserbasi.
8. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada
adanya rongga/ penyakitluas sedang, resiko penyebaran infeksi dapat
berlanjut sampai 3 bulan.
9. Dorong memilih/ mencerna makanan seimbang, berikan sering makanan
kecil dan makanan besardalam jumlah yang tepat.
Adanya anoreksia dan malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan
terhadap proses infeksi danmengganggu penyembuhan.
10. Kolaborasi dengan dokter tentang pengobatan dan terapi.
Untuk mempercepat penyembuhan infeksi.
B. Dx 2
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau
sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x30 menit,
diharapkan bersihan jalan napas pasien efektif dengan kriteria hasil :
-pasien melaporkan sesak berkurang
-pernafasan teratur
-ekspandi dinding dada simetris
-ronchi tidak ada
-sputum berkurang atau tidak ada
-frekuensi nafas normal (16-24)x/menit
Intervensi
Mandiri
1) Auskultasi suara nafas, perhatikan bunyi nafas abnormal
Untuk mengidentifikasi kelainan pernafasan berhubungan dengan
obstruksi jalan napas
2) Monitor usaha pernafasan, pengembangan dada, dan keteraturan
Untuk menentukan intervensi yang tepat dan mengidentifikasi derajat
kelainan pernafasan
3) Observasi produksi sputum, muntahan, atau lidah jatuh ke belakang
Merupakan indikasi dari kerusakan jaringan otak
4) Pantau tanda-tanda vital terutama frekuensi pernapasan
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
5) Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi
Meningkatkan ekspansi paru optimal
6) Ajarkan klien napas dalam dan batuk efektif jika dalam keadaan sadar
Batuk efektif akan membantu dalam pengeluaran secret sehingga jalan
nafas klien kembali efektif
7) Berikan klien air putih hangat sesuai kebutuhan jika tidak ada
kontraindikasi
Untuk meningkatkan rasa nyaman pasien dan membantu pengeluaran
sekret
8) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
Fisioterapi dada terdiri dari postural drainase, perkusi dan fibrasi yang
dapat membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan nafas
klien kembali efektif
9) Lakukan suction bila perlu
Membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan nafas klien
kembali efektif secara mekanik
10) Lakukan pemasangan selang orofaringeal sesuai indikasi
Membantu membebaskan jalan napas
Kolaborasi
a. Berikan O2 sesuai indikasi
Memenuhi kebutuhan O2
b. Berikan obat sesuai indikasi misalnya bronkodilator, mukolitik,
antibiotik, atau steroid
Membantu membebaskan jalan napas secara kimiawi
C. Dx 3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan
kerusakan membran alveolar kapiler.
Tujuan: Setelah diberikan askep selama 2x30 menit diharapkan
pertukaran gas kembali efektif dengan kriteria :
Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang
Pasien melaporkan tidak letih atau lemas
Napas teratur
Tanda vital stabil
Hasil AGD dalam batas normal (PCO2 : 35-45 mmHg, PO2 : 95-100
mmH
Intervensi :
Mandiri
1. Mengkaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot
aksesori, napas bibir, ketidak mampuan berbicara / berbincang
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan atau kronisnya
proses penyakit
2. Mengobservasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, serta mencatat
adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis pusat (circumoral).
Sianosis kuku menggambarkan vasokontriksi/respon tubuh terhadap
demam. Sianosis cuping hidung, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut
dapat mengindikasikan adanya hipoksemia sistemik
3. Mengobservasi kondisi yang memburuk. Mencatat adanya
hipotensi,pucat, cyanosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, serta
dispnea berat dan kelemahan.
Mencegah kelelahan dan mengurangi komsumsi oksigen untuk
memfasilitasi resolusi infeksi.
4. Menyiapkan untuk dilakukan tindakan keperawatan kritis jika
diindikasikan
Shock dan oedema paru-paru merupakan penyebab yang sering
menyebabkan kematian memerlukan intervensi medis secepatnya. Intubasi
dan ventilasi mekanis dilakukan pada kondisi insufisiensi respirasi berat.
Kolaborasi
1) Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan, misalnya: nasal kanul dan
masker
Pemberian terapi oksigen untuk menjaga PaO2 diatas 60 mmHg, oksigen
yang diberikan sesuai dengan toleransi dengan pasien
2) Memonitor ABGs, pulse oximetry.
Untuk memantau perubahan proses penyakit dan memfasilitasi perubahan
D. Dx 4
Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual muntah dan intake tidak adekuat.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai
laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
Mandiri
1. Catat status nutrisi pasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas
mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat
mual/rnuntah atau diare.
Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat
2. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet
pasien.
3. Monitor intake dan output secara periodik.
Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
4. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi
Buang Air Besar (BAB).
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah
untuk meningkatkan intake nutrisi.
5. Anjurkan bedrest.
Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan
metabolik.
6. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan
yang dapat merangsang muntah.
7. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
Kolaborasi:
1. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat
unruk kebutuhan metabolik dan diet.
2. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
E. Dx 5
Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeridapat berkurang atau
terkontrol, dengan KH:
Menyatakan nyeri berkurang atau terkontrol
Pasien tampak rileks
Intervensi:
Mandiri
1. Observasi karakteristik nyeri, mis tajam, konstan , ditusuk. Selidiki
perubahan karakter /lokasi/intensitas nyeri.
Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur
2. Pantau TTV
Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami
nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
3. Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi,
musik tenang, relaksasi/latihan nafas
Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan
membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode
batuk.
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan
keefektifan upaya batuk.
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif,
meningkatkan kenyamanan
F. Dx 6
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
hipertermi dapat diatasi, dengan kriteria hasil :
-Pasien melaporkan panas badannya turun.
-Kulit tidak merah.
-Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,70C.
-Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
-Tekanan darah dalam batas normal : 120/110-90/70 mmHg.
-RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
Intervensi :
Mandiri
1) Pantau TTV
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
2) Observasi suhu kulit dan catat keluhan demam
Untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh pasien
3) Berikan masukan cairan sesuai kebutuhan perhari, kecuali ada
kontraindikasi.
Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
4) Berikan kompres air biasa/hangat
Untuk menurunkan suhu tubuh
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan IV.
Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
2) Kolaborasi pemberian obat antipiretik
Untuk menurunkan suhu tubuh yang bekerja langsung di hipotalamus
G. Dx 7
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu
melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria hasil:
Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan
tanda vital dalam rentan normal.
Intervensi:
1. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea,
peningkatan kelemahan atau kelelahan.
Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan
intervensi
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut
sesuai indikasi.
Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat
3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan
kebutuhan metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan.
4. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat.
Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau
menunduk ke depan meja atau bantal.
5. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan
peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
H. Dx 8
Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan
berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, informasi yang tidak
akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan pasien
meningkat, dengan kriteria hasil:
Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan
pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki
kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis
paru.
Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
Menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi
1. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan,
tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang
dipercaya.
Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik.
Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
2. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal
minum obat.
Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
3. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya
terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat
Tuberkulosis dengan obat lain.
Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah
putus obat.
4. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan
penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah. Mencegah keraguan
terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
5. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
6. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat
warna hijau.
7. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap
penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan,
pengecatan..
Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi
paru/bronkus.
8. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh
kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema,
pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis,
u1serasi Gastro, Instestinal, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring,
dan penularan kuman.