Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE PADA LANSIA

1. KONSEP TEORI LANSIA

A. DEFINISI LANJUT USIA

Seseorang dapat dikatakan lanjut usia apabila telah berusia 60 tahun atau

lebih, yang disebabkan oleh faktor tertentu sehingga tidak dapat memenuhi

kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Nugroho, 2014).

Secara umum, seseorang juga dapat dikatakan lanjut usia (lansia) apabila

usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan

menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

Lansia merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk

mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini

berkaitan erat dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta

meningkatkan kepekaan secara individual (Effendi & Makhfudli, 2009).

B. BATASAN LANJUT USIA

WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia kronologis atau biologis

menjadi 4 kelompok yaitu middle age (usia 45-59 tahun), elderly (usia 60-74

tahun), old (usia 75-90 tahun), very old ( diatas 90 tahun) (Azizah, 2014).

Menurut Depkes RI (2013) menggolongkan lansia dalam kategori yaitu pralansia

(usia 45-59 tahun), lansia (usia >60 tahun), lansia dengan resiko tinggi (usia 70

tahun atau lebih) dengan masalah kesehatan, lansia yang masih mampu

melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa, lansia tidak potensial

lansia yang tidak


berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan

orang lain (Eka, 2015).

2. KONSEP DASAR MEDIS


A. DEFINISI
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002), stroke adalah kehilangan fungsi
otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak). Stroke
adalah salah satu manifestasi neurologic yang umum yang timbul secara
mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak.
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan
harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi
otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja
(Muttaqin, 2008).
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran
darah otak (Corwin, 2009). Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah 
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan  oleh berhentinya suplai darah ke
bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama
beberapa tahun (Smeltzer et al, 2002).
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat
diklasifikasikan menjadi :
1) Stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid
yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada
saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat.
Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah
akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2) Stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh
darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun
tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi
proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.

B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), penyebab stroke adalah sebagai berikut :
a. Trombosis serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi yang
menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan
kongesti disekitarnya. Trombosis ini biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemia serebri.
b. Emboli serebri
Emboli serebri merupakan penyumbatan darah otak ke bekuan darah,
lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat system arteri serebri. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa di
bawah ini yang dapat menyebabkan emboli,yaitu : katub-katub jantung
yang rusak akibat penyakit jantung reumatik, infark myocardium, fibrilasi
dan keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah membentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali mengeluarkan embolus-embolus kecil. Endocarditis
oleh bakteri dan nonbakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalan pada
endocardium.
c. Iskemik serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Hemorargik serebral
Perdarahan intracranial atau intraserebri meliputi perdarahan di dalam
ruang subarachnoid dan di dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini
dapat terjadi karena arterosklerosis dan hepertensi. Pecahnya pembuluh
darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak
yang dapat menyebabkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak,edema dan mungkin
heniasi otak.

C. PATOFISIOLOGI
Cedera vascular serebral (CVS), yang sering disebut dengan stroke, adalah
cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak.
1. Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah
sehingga menyebabkan iskemia dan hipoksia si sebelah hilir. Penyebab
stroke hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi
arteri venosa. Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah
mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan
perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya
perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh
akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan
menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu,
darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat
menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada
daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada
sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
2. Stroke Iskemik
Penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi
akibat thrombus (bekuan darah di arteri serebri) atau embolus (bekuan
darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat onklusi aliran darah, biasanya karena
aterosklerosis berat. Sering kali individu mengalami satu atau lebih
serangan iskemik sementara (transient ischemic attack, TIA) sebelum
stroke trombotik yang sebenarnya terjadi. TIA adalah gangguan fungsi
otak singkat yang reversible akibat hipoksia serebral. TIA mungkin
terjadi ketika pembuluh darah aterosklerosis mengalami spasme, atau
saat kebutuhan oksigen otak meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat
dipenuhi karena aterosklerosis yang berat. Trombus umumnya terjadi
karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah,
sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus
menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks
iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak.
Berdasarkan definisi TIA berlangsung kurang dari 24 jam. TIA yang
sering terjadi menunjukkan kemungkinan terjadinya stroke trombotik
yang sebenarnya. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam
periode 24 jam. Selama periode perkambangan stroke, individu
dikatakan mengalami stroke in evolution. Pada akhir periode tersebut,
individu dikatakan mengalami stroke lengkap (completed stroke).
b. Stroke Embolik
Stroke Embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus
yang terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang
menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark miokardium atau
fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis komunis atau
aorta. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri
serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut
menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi
gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh
pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.

Menurut Zullies Ikawati (2011), berdasarkan klasifikasi Amerikan Heart


Association, terdapat dua macam tipe stroke:
1. Tipe Oklusif atau penyumbatan, disebut juga stroke iskemik adalah stroke
yang disebabkan karena adanya penyumbatan pembuluh darah.
2. Tipe Hemoragi atau perdarahan adalah stroke yang disebabkan karena
perdarahan intracranial. Stroke hemoragi terdiri dari:
a) Hemoragi Subarachnoid
Terjadi karena darah memasuki daerah subarachnoid berhubungan
dengan trauma, pecahnya aneurism intracranial, atau rupture of an
arteriovenous malformation (AVM).
b) Hemoragi Intraserebral (pembuluh darah yang pecah dalam parenkim
otak membentuk sebuah hematoma). Tipe hemoragi ini sangat sering
terjadi berhubungan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol
dan kadang karena pemberian terapi antitrombotik atau terapi
trombolitik.
c) Hematoma Subdural (berkumpulnya darah di bagian bawah dura,
disebabkan umumnya oleh trauma.
Menurut Zullies Ikawati (2011), Elemen-elemen vasoaktif darah yang
keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila
darah yang keluar darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar
93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lebar. Sedangkan
bila terjadi perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5cc dan terdapat
di pons sudah berakibat fatal.

D. MANIFESTASI KLINIK
Stoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala
sisa karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya.
1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)
2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah  anggota badan (biasanya
hemiparesis) yang timbul mendadak.
3. Tonus otot lemah atau kaku
4. Menurun atau hilangnya rasa
5. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
6. Afasia (bicara tidak lancar atau kesulitan memahami ucapan)
7. Disartria (bicara pelo atau cadel)
8. Gangguan persepsi
9. Gangguan status mental
10. Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala.
E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko merupakan suatu hal yang dapat meningkatkan kecenderungan
seseorang untuk mengalami stroke. Penelusuran faktor resiko penting
dilakukan agar dapat menghindari dan mencegah serangan stroke. Ada dua
faktor resiko yang mempengaruhi stroke non hemoragik diantaranya faktor
resiko yang dapat dikontrol dan faktor resiko yang tidak dapat dikontrol
(Indrawati et al., 2016). Faktor resiko yang dapat di kontrol yaitu:
a. Pernah terserang stroke, seseorang yang pernah mengalami stroke,

termasuk TIA, rentan terserang stroke berulang. Seseorang yang

pernah mengalami TIA akan sembilan kali lebih beresiko mengalami

stroke dibandingkan yang tidak mengalami TIA.

b. Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting pada

stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Pada keadaan hipertensi,

pembuluh darah mendapat tekanan yang cukup besar. Jika proses

tekanan berlangsung lama, dapat menyebabkan kelemahan pada

dinding pembuluh darah sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah.

Hipertensi juga dapat menyebabkan arterosklerosis dan penyempitan

diameter pembuluh darah sehingga mengganggu aliran darah ke

jaringan otak.

c. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung, antara lain penyakit

jantung koroner, penyakit jantung rematik, dan orang yang

melakukan pemasangan katup jantung buatan akan meningkatkan


resiko stroke. Stroke emboli umumnya disebabkan kelainan

kelaianan jantung tersebut.

d. Diabetes melitus (DM), seseorang dengan diabetes melitus rentan

untuk menjadi ateroklerosis, hipertensi, obesistas, dan gangguan

lemak darah. Seseorang yang mengidap diabetes melitus memiliki

resiko dua kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengidap DM.

e. Hiperkolesterolemia, dapat menyebabkan arterosklerosis yang

dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke itu

sendiri.

f. Merokok, perokok lebih rentan terhadap terjadinya stroke

dibandingkan mereka yang bukan perokok. Hal tersebut disebabkan

oleh zat nikotin yang terdapat di dalam rokok membuat kerja jantung

dan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah meningkat. Nikotin

juga mengurangi kelenturan arteri yang dapat menyebabkan

aterosklerosis.

g. Gaya hidup, diet tinggi lemak, aktivitas fisik kurang, serta stres

emosional dapat meningkatkan risiko terkena stroke. Seseorang

yang sering mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang

melakukan aktivitas fisik rentan mengalami

obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, dan penyakit jantung.

Seseoraang yang sering mengalami stres emosional juga dapat

mempengaruhi jantung dan pembuluh darah sehingga berpotensi

meningkatkan resiko serangan stroke.


Faktor-faktor resiko yang tidak dapat dikontrol. Ada beberapa faktor

resiko terkena stroke yang tidak dapat atupun dimodifikasi. Faktor-faktor

tersebut antara lain faktor usia, jenis kelamin, ras, dan genetik/keturunan.

a. Usia, resiko mengalamai stroke meningkat seiring bertambahnya

usia. Resiko semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Usia rentan

terkena serangan stroke adalah usia 65 tahun ke atas. Dari 2065

pasien stroke akut yang dirawat di 28 rumah sakit di Indonesia,

35,8% berusia diatas 65 tahun dan 12,9% kurang dari 45 tahun.

b. Jenis kelamin, stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak

dibandingkan Perempuan.

c. Genetik, resiko stroke meningkat jika ada orang tua atau

saudara kandung yang mengalami stroke atau TIA.

F. PENATALAKSANAAN MEDIK
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan
melakukan tindakan sebagai berikut :
1. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendiryang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
2. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
3. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan
gerak pasif.
5. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang
berlebihan,
Pengobatan Konservatif
a) Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
b) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
c) Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.
d) Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya
trombosis atau emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.
Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
1) Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2) Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4) Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

Menurut Arif Muttaqin (2008), pada pasien yang mengalami stroke dapat
dilakukan beberapa cara untuk menanganinya. Yaitu dapat dilakukan hal-hal
berikut:
1. Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20 -30.
2. Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.
3. Pemberian osmoterapi yaitu :
a) Bolus marital 1gr/kg BB dalam 20 -30 menit kemudian dilanjutkan
dengan dosis 0,25 gr/kg BB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam.
Target osmolaritas 300-320 mmol/liter.
b) Gliserol 50% oral 0, 25 - 1gr/kg BB setiap 4 atau 6 jam atau geiseral
10%. Intravena 10 ml/kg BB dalam 3 -4 jam (untuk odema cerebri
ringan, sedang).
c) Furosemide 1 mg/kg BB intravena.
4. Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai
PCO2 = 29-35 mmHg.
5. Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supra
tentoral dengan pergeseran linea mediarea atau cerebral infark disertai
efek rasa.
6. Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara cerebral
oleh karena disamping menyebabkan hiperglikema juga naiknya resiko
infeksi.

G. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi stroke meliputi hipoksia
serebral, penurunan aliran darah serebral, dan luasnya area cidera.
1. Hipoksia Serebral
Diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi
otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta
hematocrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Aliran Darah Serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh
darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas dan memperbaiki aliran darah serebral.
3. Embolisme Serebral
Dapat terjadi setelah infark miocard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal
dari dari katub jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.

2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak,
pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala,
mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala
kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat
anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes militus.
6) Aktivitas/istirahat:
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya
rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur.

7) Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF,
polisitemia. Dan hipertensi arterial.
8) Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
9) Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkoontinentia urine, anuria,
distensi kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
10) Makanan/caitan :
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan,
dysphagia
11) Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial.
Kelemahan dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur,
dyspalopia, lapang pandang menyempit. Hilangnya daya sensori pada
bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada
sisi yang sama di muka.
12) Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
13) Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas. Suara nafas,
whezing, ronchi.
14) Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan
persepsi dan orientasi Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan
mengatur kebutuhan nutrisi. Tidak mampu mengambil keputusan.
15) Interaksi Sosial
Gangguan dalam bicara, Ketidakmampuan berkomunikasi.

B. Pemeriksaan fisik
1) Keluhan saat ini (TD,RR,NADI,SUHU)
2) Persyarafan (GCS, pemeriksaan 12 saraf cranial)
3) Endokrin (inspeksi, palpasi)
4) Muskuloskeletal (inspeksi, palpasi )
5) Perkemihan (inspeksi, palpasi)
6) Integument (inspeksi dan palpasi)
7) Imunitas (inspeksi,palpasi, aukultasi)

C. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium


 Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan atau
obstruksi arteri.
 Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga
mendeteksi, melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh
pemindaian CT).
 CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya
secara pasti.
 MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar
terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami
lesi dan infark akibat dari hemoragik.
 EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunya impuls listrik
dalam jaringan otak.
 Pemeriksaan laboratorium :
 Lumbang fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan pendarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
 Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
 Pemeriksaan kimia darah: pada strok akut dapat terjadi hiperglikemia.
 Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian
berangsur-rangsur turun kembali.
 Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran
darah ke otak terhambat
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
ke otak
3. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan
kerusakan neurovaskuler
4.     Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler
5.   Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
6.   Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
fisik.
7. Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran.
8. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran

4. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Tupen : Setelah dilakukan 1. Monitor tekanan perfusi
Perfusi jaringan tindakan keperawatan selama serebral
serebral  b.d 3 x 24 jam, diharapkan suplai 2. Catat respon pasien
aliran darah ke aliran darah keotak lancar
terhadap stimuli
otak terhambat. dengan kriteria hasil:
1. mendemonstrasikan status 3. Monitor tekanan
sirkulasi yang ditandai intrakranial pasien dan
dengan respon neurology
a. Tekanan systole terhadap aktivitas
dandiastole dalam 4. Monitor jumlah drainage
rentang yang diharapkan cairan serebrospinal
b. Tidak ada 5. Monitor intake dan output
ortostatikhipertensi cairan
c. Tidak ada tanda tanda 6. Restrain pasien jika perlu
peningkatan tekanan 7. Monitor suhu dan angka
intrakranial (tidak lebih WBC
dari 15 mmHg) 8. Kolaborasi pemberian
2. mendemonstrasikan antibiotik
kemampuan kognitif yang 9. Posisikan pasien pada
ditandai dengan: posisi semifowler
10. Minimalkan stimuli dari
 berkomunikasi dengan
lingkungan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan
menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan
orientasi memproses
informasi membuat
keputusan dengan benar
3. menunjukkan fungsi
sensori motori cranial yang
utuh : tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada
gerakan gerakan involunter
2 Kerusakan Tupen : Setelah dilakukan 1. Dengarkan setiap ucapan
komunikasi tindakan keperawatan selama  klien dengan penuh
verbal b.d 3 x 24 jam, diharapkan klien perhatian
penurunan mampu untuk berkomunikasi 2. Gunakan kata-kata
sirkulasi ke otak lagi dengan kriteria hasil:
1. dapat menjawab sederhana dan pendek
pertanyaan yang diajukan dalam komunikasi dengan
perawat klien
2. dapat mengerti dan 3. Dorong klien untuk
memahami pesan-pesan mengulang kata-kata
melalui gambar 4. Berikan arahan / perintah
3. dapat mengekspresikan yang sederhana setiap
perasaannya secara verbal interaksi dengan klien
maupun nonverbal
3 Defisit Tupen : Setelah dilakukan 1. Monitor kemempuan klien
perawatan diri; tindakan keperawatan selama untuk perawatan diri yang
mandi,berpakaia 3x 24 jam, diharapkan mandiri.
n, makan, kebutuhan mandiri klien 2. Monitor kebutuhan klien
toileting b.d terpenuhi, dengan kriteria
kerusakan hasil: untuk alat-alat bantu
neurovaskuler 1. Klien terbebas dari bau untuk kebersihan diri,
badan berpakaian, berhias,
2. Menyatakan kenyamanan toileting dan makan.
terhadap kemampuan 3. Sediakan bantuan sampai
untuk melakukan ADLs klien mampu secara utuh
3. Dapat melakukan ADLS untuk melakukan self-
dengan bantuan care.
            4. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang
dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan
secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya.
6. Ajarkan klien/ keluarga
untuk mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin
sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien
jika mendorong
pelaksanaan aktivitas
sehari-hari. 
4 Kerusakan Tupen : Setelah dilakukan 1. Monitoring vital sign
mobilitas fisik tindakan keperawatan selama sebelm/sesudah latihan
b.d kerusakan 3x24 jam, diharapkan klien dan lihat respon pasien
neurovaskuler dapat melakukan pergerakan saat latihan
fisik dengan kriteria hasil :
1. Klien meningkat dalam 2. Konsultasikan dengan
aktivitas fisik terapi fisik tentang
2. Mengerti tujuan dari rencana ambulasi sesuai
peningkatan mobilitas dengan kebutuhan
3. Memverbalisasikan 3. Bantu klien untuk
perasaan dalam menggunakan tongkat
meningkatkan kekuatan saat berjalan dan cegah
dan kemampuan berpindah terhadap cedera
4. Memperagakan 4. Ajarkan pasien atau
penggunaan alat Bantu tenaga kesehatan lain
untuk mobilisasi (walker) tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu
pasien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika
klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
5 Pola nafas tidak Tupen : Setelah dilakukan 1. Buka jalan nafas,
efektif tindakan perawatan selama 3 guanakan teknik chin lift
berhubungan x 24 jam, diharapkan pola atau jaw thrust bila perlu
dengan nafas pasien efektif dengan 2. Posisikan pasien untuk
penurunan kriteria hasil :
memaksimalkan ventilasi
kesadaran 1. Menujukkan jalan nafas
3. Identifikasi pasien
paten ( tidak merasa
perlunya pemasangan
tercekik, irama nafas
alat jalan nafas buatan
normal, frekuensi nafas
4. Pasang mayo bila perlu
normal,tidak ada suara
5. Lakukan fisioterapi dada
nafas tambahan
jika perlu
2. Mendemonstrasikan batuk
6. Keluarkan sekret dengan
efektif dan suara nafas
batuk atau suction
yang bersih, tidak ada
7. Auskultasi suara nafas,
sianosis dan dyspneu
catat adanya suara
(mampu mengeluarkan
tambahan
sputum, mampu bernafas
8. Lakukan suction pada
dengan mudah, tidak ada
mayo
pursed lips).
9. Berikan bronkodilator bila
3. Menunjukkan jalan nafas
perlu
yang paten (klien tidak
10. Berikan pelembab udara
merasa tercekik, irama
11. Kassa basah NaCl
nafas, frekuensi pernafasan
Lembab
dalam rentang normal,
12. Atur intake untuk cairan
tidak ada suara nafas
mengoptimalkan
abnormal
keseimbangan.
4. Tanda Tanda vital dalam
13. Monitor respirasi dan
rentang normal (tekanan
status O2
darah, nadi, pernafasan
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
6 Resiko Tupen : Setelah dilakukan 1. Anjurkan pasien untuk
kerusakan tindakan perawatan selama 3 menggunakan pakaian
integritas kulit x 24 jam, diharapkan pasien yang longgar
b.d immobilisasi mampu mengetahui dan  2. Hindari kerutan padaa
fisik mengontrol resiko dengan tempat tidur
kriteria hasil : 3. Jaga kebersihan kulit agar
1. Integritas kulit yang baik
tetap bersih dan kering
bisa dipertahankan
4. Mobilisasi pasien (ubah
(sensasi, elastisitas,
posisi pasien) setiap dua
temperatur, hidrasi,
jam sekali
pigmentasi)
5. Monitor kulit akan adanya
2. Tidak ada luka/lesi pada
kemerahan
kulit
6. Oleskan lotion atau
3. Perfusi jaringan baik
minyak/baby oil pada
4. Menunjukkan pemahaman
derah yang tertekan
dalam proses perbaikan
7. Monitor aktivitas dan
kulit dan mencegah
mobilisasi pasien
terjadinya sedera berulang
8. Monitor status nutrisi
5. Mampu melindungi kulit
pasien
dan mempertahankan
9. Memandikan pasien
kelembaban kulit dan
dengan sabun dan air
perawatan alami
hangat
7 Resiko Aspirasi Tupen : Setelah dilakukan 1. Aspiration precaution
berhubungan tindakan perawatan selama 3 2. Monitor tingkat
dengan x 24 jam, diharapkan tidak kesadaran, reflek batuk
penurunan terjadi aspirasi pada pasien dan kemampuan menelan
tingkat dengan kriteria hasil :
kesadaran 1. Klien dapat bernafas 3. Monitor status paru
dengan mudah, tidak 4. Pelihara jalan nafas
irama, frekuensi 5. Lakukan suction jika
pernafasan normal diperlukan
2. Pasien mampu menelan, 6. Cek nasogastrik sebelum
mengunyah tanpa terjadi makan
aspirasi, dan 7. Hindari makan kalau
mampumelakukan oral residu masih banyak
hygien 8. Potong makanan kecil
3. Jalan nafas paten, mudah kecil
bernafas, tidak merasa 9. Haluskan obat
tercekik dan tidak ada sebelumpemberian
suara nafas abnormal 10. Naikkan kepala 30-45
derajat setelah makan
8 Resiko Injury Tupen : Setelah dilakukan 1. Sediakan lingkungan yang
berhubungan tindakan perawatan selama 3 aman untuk pasien
dengan x 24 jam, diharapkan tidak 2. Identifikasi kebutuhan
penurunan terjadi trauma pada pasien
keamanan pasien, sesuai
tingkat dengan kriteria hasil:
kesadaran 1. Klien terbebas dari cedera dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif  pasien dan
2. Klien mampu menjelaskan riwayat penyakit terdahulu
cara/metode pasien
untukmencegah 3. Menghindarkan
injury/cedera lingkungan yang
3. Klien mampu menjelaskan berbahaya (misalnya
factor resiko dari memindahkan perabotan)
lingkungan/perilaku 4. Memasang side rail
personal tempat tidur
4. Mampumemodifikasi gaya 5. Menyediakan tempat tidur
hidup untukmencegah yang nyaman dan bersih
injury 6. Menempatkan saklar
5. Menggunakan fasilitas lampu ditempat yang
kesehatan yang ada mudah dijangkau pasien.
6. Mampu mengenali 7. Membatasi pengunjung
perubahan status 8. Memberikan penerangan
kesehatan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
10. Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
11. Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan penyebab
penyakit.
Pathway
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan.
        Jakarta: Salemba Medika
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester,
Yasmin asih. Jakarta: EGC.
Tim SAK Ruang Rawat Inap RSUD Wates. 2006. Standard Asuhan Keperawatan
Penyakit Saraf. Yogyakarta: RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo

Anda mungkin juga menyukai