Anda di halaman 1dari 57

Sejarah Negeri-Negeri Rendah

Orang Frisi Orang Belgi

Orang Kamavi,
Orang Gallia Belgica (55 SM – Abad ke-5 M)
Orang Tubanti
Kananefati Germania Inferior (83 M – Abad ke-5 M)

Orang Franka Sali Orang Batavi

tidak berpenghuni Orang Franka Sali


Orang Saksen
(abad ke-4 – ke-5) (4th–5th c.)

Kerajaan orang Frisia Kerajaan orang Franka (481–843)—Kekaisaran Karoling (800–843)


(Abad ke-6 – 734) Austrasia (511–687)

Negeri Franka Tengah (843–855) Negeri


Franka
Kerajaan Lotharingia (855– 959) Barat
Kadipaten Lotharingia Hilir (959–) (843–)
Negeri Frisia

Kadipaten Kabupaten
Brabant Henegouwen
K. K.
Kemerdekaan Kabupaten Keuskupan (1183–1430) Kabupaten (1071–1432) Kadipaten
Luik
Frisia Holland Utrecht Vlaanderen Luksemburg
(Abad (880–1432) (695–1456) Kadipaten (862–1384) Kabupaten (1059–1443)
(980–1794)
ke-11 – ke-16) Gelre Namen
(1046–1543) (981–1421)

 
Belanda Burgundia (1384–1482)

Belanda Habsburg (1482–1795)  


(Tujuh Belas Provinsi sesudah 1543)

Republik Belanda Belanda Spanyol  


(1581–1795) (1556–1714)

  Belanda Austria
(1714–1795)

Republik
  Perserikatan Negara-Negara Belgia
Luik
(1790)
(1789–1791)
     

Republik Batavia (1795–1806) berkaitan dengan Republik Prancis Pertama (1795–1804)


Kerajaan Holland (1806–1810) bagian dari Imperium Prancis Pertama (1804–1815)

   

 
Kepangeranan Belanda (1813–1815)
Perserikatan Kerajaan Belanda (1815–1830)
K. A.
Luksemburg
Kerajaan Belgia (1830–)
Kerajaan Belanda (1839–) (1815–)
K. A.
Luksemburg
(1890–)

Prasejarah (sebelum 800 SM)

Perubahan-perubahan bersejarah atas bentang alam

Prasejarah kawasan yang kini menjadi Negeri Belanda lebih banyak dipengaruhi letak
geografinya yang rendah dan terus-menerus berubah.
 

Negeri Belanda pada 5500 SM Negeri Belanda pada 3850 SM Negeri Belanda pada 2750 SM

   Gisik dan gumuk


   Dataran endapan pasir akibat pasang
    surut, dataran endapan lumpur akibat
pasang surut, rawa asin
   Rawa gambut dan daerah lanau dataran
banjir
(termasuk alur sungai tua dan celah di
tepian sungai yang sudah terisi lanau atau
gambut)
   Lembah-lembah sungai utama (tidak
tertutup gambut)
Negeri Belanda pada 500 SM Negeri Belanda pada 50 M
   Gumuk sungai (gumuk Pleistosen)
   Perairan terbuka (laut, laguna, sungai)
   Bentang alam Pleistosen (> -6 m
dibandingkan dengan NAP)
   Bentang alam Pleistosen ( -6 m – 0 m)
   Bentang alam Pleistosen ( 0 m – 10 m)
   Bentang alam Pleistosen ( 10 m – 20
m)
   Bentang alam Pleistosen ( 20 m – 50
m)
   Bentang alam Pleistosen ( 50 m – 100
m)
   Bentang alam Pleistosen ( 100 m – 200
m)

Kelompok masyarakat pemburu-peramu tertua (sebelum 5000 SM)

Arca kecil dari kayu ek setinggi 125 cm (49,2 inci), ditemukan di Willemstad, Negeri Belanda. Diperkirakan dibuat
sekitar tahun 4500 SM. Terpajang di Rijksmuseum van Oudheden, Leiden.

Kawasan yang kini menjadi Negeri Belanda sudah dihuni manusia purba sekurang-kurangnya
pada 37.000 tahun yang lampau, terbukti dari penemuan alat-alat yang terbuat dari batu api
di Woerden pada 2010.[1] Pada 2009, sisa-sisa sebuah tengkorak manusia Neanderthal
berumur 40.000 tahun ditemukan dalam kegiatan pengerukan pasir dari dasar Laut Utara di
perairan lepas pantai Zeeland.[2]

Pada Zaman Es terakhir, Negeri Belanda merupakan daerah beriklim tundra dengan vegetasi
yang jarang, dan penduduknya bertahan hidup dengan bermata pencaharian sebagai
pemburu-peramu. Selepas Zaman Es, Negeri Belanda didiami pelbagai kelompok masyarakat
berkebudayaan Batu Tua. Diketahui bahwa sekitar tahun 8000 SM, sekelompok masyarakat
berkebudayaan Batu Madya bermukim di dekat Bergumermeer (Friesland). Sekelompok
masyarakat yang bermukim di tempat lain diketahui sudah pandai membuat perahu. Perahu
Pesse adalah perahu tertua di dunia yang ditemukan di Negeri Belanda.[3][4] Berdasarkan
analisis penentuan umur C14, perahu ini dibuat pada kurun waktu 8200–7600 SM.[4] Perahu
Pesse kini terpajang di Museum Drents di Assen.
Masyarakat pribumi pemburu-peramu berkebudayaan Swifterbant terbukti sudah berdiam di
Negeri Belanda sejak sekitar 5600 SM.[5] Kebudayaan ini berkaitan erat dengan sungai-sungai
dan perairan terbuka serta masih berkerabat dengan kebudayaan Ertebølle (5300–4000 SM)
di kawasan selatan Skandinavia. Di kawasan barat Negeri Belanda, suku-suku pengusung
kebudayaan yang sama boleh jadi sudah mendirikan pondok-pondok perburuan untuk
keperluan berburu selama musim dingin, termasuk berburu anjing laut.

Kedatangan budaya bercocok tanam (sekitar 5000–4000 SM)

Kepandaian bercocok tanam masuk ke Negeri Belanda sekitar 5000 SM bersama


kebudayaan Tembikar Linear, yang mungkin dibawa masyarakat-masyarakat tani dari
kawasan tengah Eropa. Kegiatan bercocok tanam hanya dilakukan di dataran tinggi löss
(tanah hasil endapan debu yang terbawa angin) di pelosok selatan Negeri Belanda (kawasan
selatan Limburg), namun bahkan di tempat itu pun praktik bercocok tanam tidak bertahan
lama. Lahan-lahan usaha tani tidak berkembang di semua daerah lain di Negeri Belanda.

Ada pula sejumlah jejak keberadaan permukiman-permukiman kecil yang tersebar di seluruh
Negeri Belanda. Para pemukim di negeri ini mulai beternak antara 4800 SM dan 4500 SM.
Arkeolog Belanda, Leendert Louwe Kooijmans, menulis bahwa "semakin lama semakin jelas
bahwasanya transformasi bercocok tanam dari komunitas-komunitas prasejarah merupakan
suatu proses yang sepenuhnya alamiah dan berlangsung sangat lamban."[5] Transformasi ini
terjadi seawal-awalnya pada 4300 SM–4000 SM,[6] dan melibatkan pengenalan biji-bijian
dalam jumlah kecil ke dalam spektrum perekonomian tradisional yang luas.[7]

Kebudayaan Bejana Corong dan kebudayaan-kebudayaan lainnya


(sekitar 4000–3000 SM)

Hunebed D27, dolmen terbesar di Negeri Belanda, berlokasi di dekat Desa Borger, Provinsi Drenthe.
Kebudayaan Bejana Corong adalah sebuah kebudayaan tani yang berkembang mulai dari
Denmark melewati Jerman sampai ke kawasan utara Negeri Belanda. Pada kurun waktu
dalam prasejarah Negeri Belanda ini, didirikan peninggalan-peninggalan menonjol yang
pertama, yakni dolmen-dolmen, monumen-monumen makam dari batu berukuran besar.
Dolmen-dolmen ini ditemukan di Provinsi Drenthe, dan mungkin sekali didirikan antara 4100
SM dan 3200 SM.

Di kawasan barat, kebudayaan Vlaardingen (sekitar 2600 SM), yang tampaknya merupakan
sebuah kebudayaan pemburu-peramu yang lebih primitif, terus bertahan hidup sampai
memasuki Zaman Batu Muda.

Kebudayaan Gerabah Dawai dan kebudayaan Bejana Genta (sekitar


3000–2000 SM)

Sekitar 2950 SM, terjadi peralihan dari kebudayaan tani Bejana Corong ke kebudayaan
gembala Bejana Dawai, sebuah ruang lingkup arkeologi yang luas muncul di kawasan barat
dan tengah Eropa, yang dihubung-hubungkan dengan perkembangan rumpun bahasa India-
Eropa. Peralihan ini mungkin sekali merupakan dampak dari perkembangan-perkembangan
di kawasan timur Jerman, dan berlangsung dalam dua generasi.[8]

Kebudayaan Bejana Genta juga berkembang di Negeri Belanda.[9][10]

Kebudayaan Bejana Dawai dan kebudayaan Bejana Genta bukanlah kebudayaan asli Negeri
Belanda namun pada hakikatnya merupakan kebudayaan-kebudayaan lintas Eropa yang
berkembang di hampir seluruh kawasan utara dan tengah Eropa.

Bukti pertama penggunaan roda berasal dari kurun waktu ini, yakni sekitar 2400 SM.
Kebudayaan ini juga mulai mencoba-coba mengolah tembaga. Bukti-bukti mengenai
perkembangan ini meliputi paron-paron batu, pisau-pisau tembaga, dan sebilah mata tombak
tembaga yang ditemukan di Veluwe. Temuan-temuan peralatan tembaga menunjukkan
bahwa kala itu sudah ada hubungan dagang dengan kawasan-kawasan lain di Eropa karena
tanah Negeri Belanda tidak mengandung tembaga.

Zaman Perunggu (sekitar 2000–800 SM)


 

Sarana upacara dari perunggu (bukan pedang, namun disebut "Pedang Jutphaas"), diperkirakan berasal dari 1800–
1500 SM dan ditemukan di kawasan selatan Utrecht.

Zaman Perunggu mungkin sekali bermula sekitar 2000 SM dan berakhir sekitar 800 SM. Alat-
alat perunggu tertua ditemukan di sebuah makam pribadi dari Zaman Perunggu yang disebut
makam "Pandai Logam Wageningen". Lebih banyak lagi benda Zaman Perunggu dari masa-
masa yang lebih kemudian telah ditemukan di Epe, Drouwen, dan daerah-daerah lain.
Kepingan benda-benda perunggu yang ditemukan di Voorschoten tampaknya disiapkan
untuk didaur ulang. Kegiatan daur ulang menunjukkan betapa berharganya perunggu bagi
masyarakat Zaman Perunggu. Benda-benda perunggu yang lumrah dari kurun waktu ini
meliputi pisau, pedang, kapak, fibula (peniti), dan gelang tangan.

Lokasi kebudayaan Elp dan kebudayaan Hilversum pada Zaman Perunggu.

Sebagian besar benda peninggalan Zaman Perunggu di Negeri Belanda ditemukan di


Drenthe. Salah satu jenis dari benda-benda peninggalan ini menunjukkan bahwa jaringan
dagang pada kurun waktu ini sudah membentang sampai ke tempat-tempat yang jauh, yakni
sejumlah situlae (ember) perunggu berukuran besar hasil temuan di Drenthe yang agaknya
dibuat di kawasan timur Prancis atau di Swiss. Benda-benda ini digunakan sebagai wadah
untuk mencampur minuman anggur dengan air (adat Romawi/Yunani). Banyaknya barang
temuan di Drenthe yang berupa barang-barang langka dan bernilai tinggi, misalnya beberapa
untai kalung manik-manik timah, menyiratkan bahwa Drenthe merupakan sebuah pusat
dagang di Negeri Belanda pada Zaman Perunggu.

Masyarakat-masyarakat pribumi berkebudayaan Bejana Genta (2700–2100 SM) berkembang


menjadi masyarakat-masyarakat berkebudayaan Bejana Kawat Duri (2100–1800 SM). Pada
milenium kedua SM, Negeri Belanda merupakan daerah perbatasan antara kawasan
berkebudayaan Zaman Perunggu Atlantik dan kawasan berkebudayaan Zaman Perunggu
Nordik, dan terbagi menjadi wilayah utara dan wilayah selatan yang dipisahkan aliran Sungai
Rhein.

Di wilayah utara, berkembang kebudayaan Elp (sekitar 1800–800 SM),[11] yakni kebudayaan
arkeologi Zaman Perunggu yang ditandai pembuatan tembikar gerabah bermutu rendah yang
disebut "Kümmerkeramik" (atau "Grobkeramik"). Tahap permulaan dari kurun waktu
perkembangan kebudayaan Elp bercirikan tumuli atau gundukan-gundukan makam (1800–
1200 SM) yang berkaitan erat dengan tumuli semasa di kawasan utara Jerman serta
Skandinavia, dan tampaknya masih berkerabat dengan kebudayaan Tumulus (1600–1200
SM) di kawasan tengah Eropa. Tahap permulaan ini disusul tahap perkembangan berikutnya
yang bercirikan adat penguburan kebudayaan Padang Tempayan atau adat kremasi (1200–
800 SM). Wilayah selatan didominasi kebudayaan Hilversum (1800–800 M), yang tampaknya
mewarisi keterkaitan budaya dengan Britania dari kebudayaan Bejana Kawat Duri
sebelumnya.

Zaman pra-Romawi (800 SM – 58 SM)

Zaman Besi

Rekonstruksi tempat tinggal Zaman Besi di Reijntjesveld, dekat Desa Orvelte, Provinsi Drenthe.
 

Pedang besi lengkung asli dari Vorstengraf, Oss, tersimpan di Rijksmuseum van Oudheden.

Zaman Besi mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat yang bermukim di Negeri Belanda.
Bijih besi terdapat di seluruh pelosok Negeri Belanda, termasuk besi rawa gambut yang
diekstrasi dari bijih di daerah rawa gambut (moeras ijzererts) di kawasan utara Negeri
Belanda, bola-bola berkandungan besi alami yang ditemukan di Veluwe, dan bijih besi merah
dekat sungai-sungai di Brabant. Para pandai logam berkelana dari satu permukiman kecil ke
permukiman kecil lainnya dengan membawa serta perunggu dan besi untuk ditempa menjadi
alat-alat berdasarkan pesanan, yakni kapak, pisau, jarum peniti, mata panah, dan pedang.
Beberapa temuan bahkan menyiratkan bahwa para pandai logam ini sudah pandai pula
membuat pedang berbahan baja Damaskus dengan menggunakan metode penempaan yang
sudah lebih maju sehingga mampu memadukan kelenturan besi dengan kekuatan baja.

Di Oss, sebuah makam yang diperkirakan berasal dari tahun 500 SM ditemukan di dalam
sebuah gundukan makam selebar 52 meter (gundukan makam terbesar di kawasan barat
Eropa). Makam yang dijuluki "kubur raja" (Vorstengraf) ini berisi benda-benda yang luar biasa,
antara lain sebilah pedang besi bertatahkan emas dan batu koral.

Pada abad-abad menjelang kedatangan bangsa Romawi, wilayah utara yang dahulu dihuni
masyarakat berkebudayaan Elp berkembang menjadi masyarakat yang mungkin sekali
berkebudayaan Jermanik Harpstedt,[12] sementara wilayah selatan dipengaruhi kebudayaan
Hallstatt dan berasimilasi ke dalam kebudayaan Keltik La Tène. Suku-suku rumpun Jermanik
yang berpindah ke arah selatan dan barat, serta kebudayaan Hallstatt yang meluas ke arah
utara kala itu menarik masyarakat yang bermukim di Negeri Belanda ke dalam ruang lingkup
pengaruh mereka.[13] Keadaan ini selaras dengan keterangan dalam catatan Yulius Kaisar
bahwasanya Sungai Rhein merupakan batas antara wilayah masyarakat Keltik dan wilayah
masyarakat Jermanik.

Kedatangan suku-suku rumpun Jermanik


 

Persebaran suku-suku utama dari rumpun Jermanik ca. 1 M.

Suku-suku rumpun Jermanik mula-mula mendiami kawasan selatan Skandinavia, Schleswig-


Holstein, dan Hamburg,[14] tetapi masyarakat-masyarakat berkebudayaan Zaman Besi dari
kawasan yang sama, seperti masyarakat berkebudayaan Wessenstedt (800–600 SM) dan
masyarakat berkebudayaan Jastorf, mungkin pula termasuk dalam kelompok ini.[15]
Memburuknya iklim di Skandinavia sekitar 850–760 SM yang semakin pesat sekitar 650 SM
mungkin memicu perpindahan suku-suku ini. Bukti-bukti arkeologi menyiratkan bahwa pada
sekitar 750 SM, Negeri Belanda sampai ke Vistula dan kawasan selatan Skandinavia didiami
masyarakat Jermanik yang relatif seragam.[14] Di kawasan barat Negeri Belanda, dataran-
dataran banjir di daerah pesisir untuk pertama kalinya didiami kaum pendatang baru ini,
karena daerah-daerah yang lebih tinggi di sekitarnya sudah mengalami pertambahan
populasi dan menjadi lahan tandus.[16]

Ketika proses perpindahan ini rampung sekitar 250 SM, terbentuklah kelompok-kelompok
budaya dan bahasa.[17][18]

Kelompok pertama, yang diberi nama masyarakat "Jermanik Laut Utara", mendiami kawasan
utara Negeri Belanda (daerah di sebelah utara sungai-sungai besar) dan menyebar ke seluruh
pesisir Laut Utara sampai ke Jutland. Kelompok ini kadang-kadang disebut pula masyarakat
"Ingveon", dan mencakup suku-suku yang kemudian hari berkembang menjadi antara lain
orang Frisia purwa dan orang Saksen purwa.[18]

Kelompok kedua, yang oleh para ahli diberi nama masyarakat "Jermanik Weser-Rhein" (atau
"Jermanik Rhein-Weser"), tersebar di sepanjang kawasan tengah dari daerah aliran Sungai
Rhein serta Sungai Weser, dan mendiami kawasan selatan Negeri Belanda (daerah di sebelah
selatan sungai-sungai besar). Kelompok ini kadang-kadang disebut pula masyarakat
"Istveon", dan terdiri atas suku-suku yang kemudian hari berkembang menjadi suku Franka
Sali.[18]
Masyarakat Keltik di kawasan selatan Negeri Belanda

Persebaran diakronik masyarakat Keltik, menunjukkan perluasan wilayah di kawasan selatan Negeri Belanda:
   Pusat kebudayaan Hallstatt, pada abad ke-6 SM
   Perluasan wilayah maksimal masyarakat Keltik, pada 275 SM
   Daerah orang Lusitania di Iberia, tempat keberadaan masyarakat Keltik tidak dapat dipastikan
   daerah-daerah tempat bahasa-bahasa Keltik masih dituturkan secara luas sampai sekarang

Kebudayaan Keltik berasal dari kebudayaan Hallstatt (ca. 800–450 SM) di kawasan tengah
Eropa, yakni kebudayaan yang meninggalkan jejak berupa benda-benda bekal kubur yang
ditemukan di Hallstatt, Austria.[19] Kemudian hari, pada kurun waktu perkembangan
kebudayaan La Tène (ca. 450 SM sampai Negeri Belanda ditaklukkan bangsa Romawi),
kebudayaan Keltik ini, baik melalui difusi maupun migrasi, menyebar luas sampai ke kawasan
selatan Negeri Belanda. Kawasan selatan Negeri Belanda ini merupakan batas utara dari
daerah persebaran orang Galia.

Pada bulan Maret 2005, 17 keping uang logam Keltik ditemukan di Echt, Limburg. Kepingan-
kepingan uang perak yang bercampur tembaga dan emas ini diperkirakan berasal dari sekitar
tahun 50 SM sampai 20 M. Pada bulan Oktober 2008, harta karun berupa 39 keping uang
emas dan 70 keping uang perak Keltik ditemukan di daerah Amby, Maastricht.[20] Kepingan-
kepingan uang emas diyakini berasal dari masyarakat Eburones.[21] Benda-benda buatan
masyarakat Keltik juga telah ditemukan di daerah Zutphen.[22]

Meskipun harta karun sangat jarang ditemukan, pada beberapa dasawarsa terakhir, sejumlah
kepingan uang logam dan benda-benda buatan Keltik lainnya telah ditemukan di seluruh
kawasan tengah, timur, dan selatan Negeri Belanda. Menurut para arkeolog, barang-barang
temuan ini membuktikan bahwa sekurang-kurangnya daerah Lembah Sungai Maas di Negeri
Belanda termasuk dalam ruang lingkup pengaruh kebudayaan La Tène. Para arkeolog
Belanda bahkan berspekulasi bahwa Zutphen (yang terletak di kawasan tengah wilayah
Negeri Belanda) merupakan daerah permukiman masyarakat Keltik sebelum kedatangan
bangsa Romawi, dan sama sekali bukan daerah permukiman masyarakat Jermanik.[22]

Para ahli berbeda pendapat mengenai luas yang sebenarnya dari ruang lingkup pengaruh
budaya Keltik.[16][23] Pengaruh budaya Keltik dan kontak-kontak antara kebudayaan Galia dan
kebudayaan Jermani perdana di sepanjang Sungai Rhein diduga sebagai sumber dari
sejumlah kata serapan dari bahasa Keltik dalam kosakata bahasa proto Jermanik. Namun
menurut ahli bahasa berkebangsaan Belgia, Luc van Durme, bukti toponim dari keberadaan
masyarakat Keltik di Negeri-Negeri Rendah nyaris tidak ada sama sekali.[24] Meskipun
masyarakat Keltik pernah bermukim di Negeri Belanda, inovasi-inovasi Zaman Besi tidak
menampakkan pengaruh budaya Keltik yang cukup berarti, dan justru menampakkan hasil
pengembangan kebudayaan Zaman Perunggu yang dilakukan masyarakat setempat.[16]

Teori Blok Barat Laut

Beberapa orang ahli (De Laet, Gysseling, Hachmann, Kossack, dan Kuhn) menduga ada
masyarakat lain, bukan Jermanik maupun Keltik, yang mendiami Negeri Belanda sampai
dengan Zaman Romawi. Ahli-ahli ini berpandangan bahwa Negeri Belanda pada Zaman Besi
adalah bagian dari "Blok Barat Laut" (bahasa Belanda: Noordwestblok) yang membentang
mulai dari Sungai Somme sampai ke Sungai Weser.[25][26] Menurut pandangan mereka,
peradaban yang memiliki bahasa sendiri ini melebur ke dalam peradaban Keltik yang datang
dari arah selatan dan peradaban Jermanik yang datang dari arah timur selambat-lambatnya
pada Zaman Pra-Romawi.

Zaman Romawi (57 SM – 410 M)

Suku-suku pribumi

Pada masa Perang Galia, wilayah suku-suku Belgi di sebelah selatan Oude Rijn dan di
sebelah barat Sungai Rhein ditaklukkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Yulius
Kaisar dalam serangkaian aksi militer yang dilancarkan sejak 57 SM sampai 53 SM.[26] Suku-
suku yang mendiami Negeri Belanda kala itu tidak meninggalkan keterangan tertulis,
sehingga segala informasi mengenai suku-suku ini pada kurun waktu pra-Romawi bersumber
dari keterangan yang ditulis orang Yunani dan Romawi mengenai mereka. Salah satu
keterangan tertulis semacam ini adalah Commentarii de Bello Gallico (Ulasan Perihal Perang
Galia) yang ditulis sendiri oleh Yulius Kaisar. Menurut keterangan Yulius Kaisar, dua suku
utama penghuni kawasan yang kini menjadi wilayah kedaulatan Negeri Belanda adalah suku
Menapii dan suku Eburones, kedua-duanya bermukin di kawasan selatan Negeri Belanda,
yakni kawasan yang diperangi Yulius Kaisar. Yulius Kaisar mencetuskan gagasan bahwa
Sungai Rhein adalah pembatas alam antara Galia dan Germania Magna. Akan tetapi Sungai
Rhein bukanlah garis perbatasan yang kaku, karena Yulius Kaisar juga menerangkan bahwa
sebagian wilayah Galia Belgika didiami banyak suku pribumi (termasuk suku Eburones) yang
tergolong suku-suku "Germani Cisrhenani" (suku-suku Jermanik seberang sini, suku-suku
Jermanik di tepi barat Sungai Rhein) atau campuran berbagai suku bangsa yang berbeda-
beda asal-usulnya.

Suku Menapii mendiami wilayah yang membentang dari kawasan selatan Zeeland, melewati
Brabant Utara (dan mungkin sekali Holland Selatan), sampai ke kawasan tenggara
Gelderland. Pada penghujung Zaman Romawi, wilayah kekuasaan mereka tampaknya
terbagi-bagi atau menyusut, sehingga akhirnya hanya meliputi daerah yang kini menjadi
kawasan barat negara Belgia.

Suku Eburones, suku terbesar di antara suku-suku Germani Cisrhenani, mendiami wilayah
yang luas termasuk sekurang-kurangnya sebagian dari wilayah Limburg Belanda,
membentang ke sebelah timur sampai ke Sungai Rhein di Jerman, dan juga ke sebelah barat
laut sampai ke kawasan delta, sehingga berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan
suku Menapii. Wilayah kekuasaaan kekuasaan suku Eburones mungkin pula membentang
sampai ke Gelderland.

Mengenai daerah delta itu sendiri, Yulius Kaisar secara sambil lalu mengulas tentang Insula
Batavorum (pulau orang Batavi) di Sungai Rhein, tanpa menjelaskan apa-apa mengenai
penghuninya. Kemudian hari, pada zaman Kekaisaran Romawi, suku yang bernama Batavi
menjadi suku yang penting di daerah ini.[27] Kemudian hari, sejarawan Tacitus mencatat
bahwa suku Batavi pada mulanya merupakan salah satu puak suku Chatti, yakni salah satu
suku di Jerman yang tidak pernah disebut-sebut Yulius Kaisar.[28] Meskipun demikian, para
arkeolog mendapati bukti-bukti adanya peradaban yang berkelanjutan di daerah delta. Oleh
karena itu, para arkeolog menduga bahwa mungkin suku Chatti adalah suku kecil yang
berpindah ke daerah delta, lalu berbaur dengan masyarakat (mungkin sekali bukan suku
rumpun Jermanik) yang sudah lebih dahulu mendiami daerah itu, dan mungkin saja suku
Chatti adalah bagian dari suku yang lebih terkenal, misalnya suku Eburones.[29]
 

Suku-suku yang tercatat dalam laporan Yulius Kaisar.

Suku-suku pada zaman Kekaisaran Romawi.


Kurun waktu penjajahan Romawi sekitar 450 tahun lamanya menimbulkan perubahan besar
di kawasan yang kelak menjadi wilayah kedaulatan Negeri Belanda. Seringkali perubahan itu
melibatkan konflik berskala besar antara bangsa Romawi dan suku-suku Jermanik merdeka
di sepanjang Sungai Rhein.

Suku-suku lain yang pada akhirnya mendiami pulau-pulau di daerah delta pada zaman
penjajahan Romawi sebagaimana yang diriwayatkan Plinius Tua adalah orang Kananefati di
Holland Selatan, orang Frisi di sebagian besar kawasan yang kini menjadi wilayah kedaulatan
Negeri Belanda di sebelah utara Oude Rijn; Orang Frisiaboni di kawasan yang membentang
mulai dari daerah delta sampai ke sebelah utara Brabant Utara, orang Marsaci di kawasan
yang membentang mulai dari pesisir Vlaanderen sampai ke daerah delta, dan orang Sturi.[30]

Yulius Kaisar melaporkan bahwa ia telah membinasakan orang Eburoni, namun sebagai
gantinya orang Teksuandri mendiami sebagian besar daerah Brabant Utara, dan daerah yang
sekarang menjadi wilayah provinsi Limburgh, yakni kawasan yang dilewati aliran Sungai
Maas dan tampaknya pada zaman Kekaisaran Romawi dihuni (dari utara ke selatan) orang
orang Betasi, orang Katualini, orang Sunuci, dan orang Tungri (sejarawan Tacitus melaporkan
bahwa Tungri adalah nama baru bagi masyarakat yang sebelumnya disebut orang Germani
Cisrhenani).

Plinius Tua meriwayatkan bahwa di sebelah utara Alter Rhein, selain orang Frisi, ada pula
sejumlah orang Chauci yang bermukim sampai ke daerah delta, dan dua suku lain yang
diketahui berasal dari kawasan timur Negeri Belanda, yakni orang Tuihanti (atau orang
Tubanti) dari daerah Twenthe di Overijssel, dan orang Kamavi dari Hamaland di kawasan
utara Gelderland, salah satu dari suku-suku pertama yang kelak dinamakan orang Franka.
Orang Sali, yang juga tergolong orang Franka, mungkin berasal dari daerah Salland di
Overijssel, sebelum terpaksa pindah ke wilayah Kekaisaran Romawi akibat rongrongan
masyarakat Saksen pada abad ke-4. Mula-mula orang Sali berpindah ke Batavia, kemudian ke
Toksandria.

Permukiman-permukiman bangsa Romawi di Negeri Belanda

Permukiman-Permukiman Bangsa Romawi


Topeng prajurit Perbatasan wilayah Kekaisaran
berkuda Romawi, Romawi di sekitar Sungai Rhein
ditemukan di dekat sekitar tahun 70 M.
kota Leiden.

Mulai sekitar tahun 15 SM, daerah sekitar Sungai Rhein di Negeri Belanda menjadi daerah
pertahanan Limes Germanicus Hilir. Setelah berkali-kali dilanda peperangan, Sungai Rhein
akhirnya menjadi garis batas utara wilayah kekuasaan bangsa Romawi di daratan Eropa.
Sejumlah kota kecil berdiri dan sejumlah perkembangan berlangsung di sepanjang garis
batas ini. Daerah di sebelah selatan garis perbatasan diintegrasikan ke dalam Kekaisaran
Romawi. Daerah yang dulunya merupakan wilayah Gallia Belgica ini dijadikan bagian dari
provinsi Germania Inferior. The Suku-suku yang sudah lebih dahulu mendiami atau
dipindahkan ke daerah ini warga Kekaisaran Romawi. Daerah di sebelah utara Sungai Rhein,
yang didiami orang Frisi dan orang Chauci, tetap berada di luar pemerintahan Romawi tetapi
kerap didatangi dan dikendalikan bangsa Romawi.

Bangsa Romawi mendirikan benteng-benteng militer di sepanjang Limes Germanicus, berikut


sejumlah kota kecil dan permukiman yang lebih kecil lagi di Negeri Belanda. Kota-kota
bangsa Romawi yang lebih menonjol berlokasi di Nijmegen (Ulpia Noviomagus Batavorum)
dan Voorburg (Forum Hadriani).

Mungkin reruntuhan peninggalan bangsa Romawi yang paling menarik adalah puing-puing
Brittenburg yang misterius itu, muncul dari balik pasir pantai di Katwijk beberapa abad yang
lalu, hanya untuk dikubur kembali. Puing-puing ini merupakan bagian dari Lugdunum
Batavorum.

Bekas-bekas permukiman, benteng kuil, dan bangunan-bangunan bangsa Romawi lainnya


telah ditemukan di Alphen aan de Rijn (Albaniana), Bodegraven, Cuijk, Elst Overbetuwe,
Ermelo, Esch, Heerlen, Houten, Kessel di Brabant Utara, Oss (yakni De Lithse Ham dekat
Maren-Kessel), Kesteren di Neder-Betuwe, Leiden (Matilo), Maastricht, Meinerswijk (sekarang
bagian dari Arnhem), Tiel, Utrecht (Traiectum), Valkenburg di Holland Selatan (Praetorium
Agrippinae), Vechten (Fectio) sekarang bagian dari Bunnik, Velsen, Vleuten, Wijk bij
Duurstede (Levefanum), Woerden (Laurium atau Laurum) dan Zwammerdam (Nigrum
Pullum).

Pemberontakan orang Batavi


 

Sepanjang sejarah Negeri Belanda, teristimewa semasa Perang Delapan Puluh Tahun, orang Batavi diagung-agungkan
sebagai pejuang-pejuang gagah berani yang menjadi cikal bakal bangsa Belanda. "Orang Batavi Mengalahkan Bangsa
Romawi di Sungai Rhein", ca. 1613, karya Otto van Veen.

Konspirasi Klaudius Sivilis, 1661, karya Rembrandt, menggambarkan peristiwa sumpah setia orang Batavi kepada
Gaius Iulius Civilis, pemimpin pemberontakan orang Batavi melawan penjajah Romawi pada tahun 69 M.

Orang Batavi, orang Kananefati, dan suku-suku perbatasan lainnya sangat disegani sebagai
prajurit-prajurit tangguh di seluruh wilayah kekaisaran. Menurut tradisi, warga suku-suku ini
menjalani masa bakti sebagai prajurit dalam barisan pasukan berkuda Romawi.[31] Budaya
daerah perbatasan dipengaruhi bangsa Romawi, suku-suku rumpun Jermanik, dan
masyarakat Galia. Pada abad-abad pertama sesudah Galia ditaklukkan bangsa Romawi,
usaha dagang tumbuh subur. Peninggalan-peninggalan budaya bendawi bangsa Romawi,
Galia, dan Jermanik ditemukan bercampur baur di kawasan ini.

Meskipun demikian, orang Batavi memberontak melawan bangsa Romawi dalam peristiwa
Pemberontakan Batavia pada tahun 69 M. Pemimpin pemberontak adalah seorang pribumi
Batavi yang bernama Gaius Iulius Civilis. Salah satu penyebab pemberontakan adalah karena
pemuda-pemudi Batavia dijadikan budak belian oleh bangsa Romawi. Sejumlah castella
Romawi diserang dan dibakar. Prajurit-prajurit Romawi di Xanten dan tempat-tempat lain,
serta pasukan-pasukan bantu yang beranggotakan orang Batavi dan orang Kananefati dalam
legiun-legiun pimpinan Vitellius turut bergabung dengan kubu pemberontak, sehingga
memecah kesatuan bala tentara Romawi yang bertugas di kawasan utara wilayah
kekaisaran. Pada bulan April 70 M, beberapa legiun yang dikerahkan Vespasianus di bawah
pimpinan Quintus Petillius Cerialis pada akhirnya berhasil mengalahkan orang Batavi dan
merundingkan penyerahan diri pemberontak dengan Gaius Iulius Civilis di suatu tempat yang
terletak di daerah antara Sungai Waal dan Sungai Maas dekat Noviomagus (Nijmegen), yang
mungkin sekali disebut "Batavodurum" oleh orang Batavi.[32] Kemudian hari, orang Batavi
berbaur dengan suku-suku lain dan menjadi bagian dari orang Franka Sali.

Para pujangga Belanda pada abad ke-17 dan ke-18 memandang pemberontakan orang
Batavi, yang didorong rasa cinta akan kemerdekaan dan dilakukan demi memerdekakan diri
sendiri ini, sebagai aksi yang serupa dengan pemberontakan bangsa Belanda melawan
bangsa Spanyol dan segala bentuk lain dari tirani. Menurut pandangan nasionalis ini, orang
Batavia adalah leluhur "sejati" bangsa Belanda. Pandangan semacam inilah yang
menyebabkan nama "Batavia" berulang kali dipergunakan bangsa Belanda. Jakarta dulunya
adalah sebuah kota yang diberi nama "Batavia" oleh bangsa Belanda pada tahun 1619.
Republik Belanda yang dibentuk pada tahun 1795 berdasarkan prinsip-prinsip revolusioner
Prancis disebut Republik Batavia. Bahkan sekarang ini "orang Batavia" merupakan istilah
yang kadang-kadang dipakai sebagai sebutan bagi orang Belanda, sama seperti istilah "orang
Galia" dijadikan sebutan bagi orang Prancis dan istilah "orang Teuton" dijadikan sebutan bagi
orang Jerman.[33]

Munculnya orang Franka

Peta sebaran orang Franka Sali (hijau) dan Franka Ripuari (merah) pada akhir era Romawi.

Para pengkaji periode migrasi pada Zaman Modern sepakat bahwa identitas orang Franka
muncul pada paruh pertama abad ke-3 dari berbagai kelompok-kelompok kecil masyarakat
Jermanik yang sudah ada sebelumnya, termasuk orang Sali, orang Sikambri, orang Kamavi,
orang Brukteri, orang Kati, orang Katuari, orang Ampsivari, orang Tenkteri, orang Ubi, orang
Batavi, dan orang Tungri, yang mendiami bagian hilir dan bagian tengah lembah Sungai Rhein
di antara Zuyder Zee dan Sungai Lahn serta membentang ke timur sejauh Weser, tetapi lebih
banyak bermukim di sekitar IJssel dan daerah di antara Sungai Lippe dan Sungai Sieg.
Konfederasi orang Franka mungkin sekali mulai terbentuk pada era 210-an.[34]

Orang Franka pada akhirnya terbagi menjadi dua kelompok, yakni orang Franka Ripuari
(bahasa Latin: Ripuari) yang mendiami daerah tengah lembah Sungai Rhein pada zaman
penjajahan Romawi, dan orang Franka Sali yang berasal dari Negeri Belanda.

Orang Franka dicatat sebagai kawan maupun lawan (laeti maupun dediticii) dalam karya-
karya tulis Romawi. Sekitar tahun 320, orang Franka berhasil menguasai daerah sekitar
Sungai Scheldt (sekarang menjadi daerah Vlaanderen Barat dan kawasan barat daya Negeri
Belanda), dan melakukan perompakan di Selat Inggris, menghambat kelancaran angkutan
laut menuju Britania. Pasukan-pasukan Romawi dapat mengamankan kawasan itu, tetapi
tidak mengusir orang Franka, yang tetap saja ditakuti sebagai gerombolan perompak di
sepanjang daerah pesisir setidaknya sampai masa pemerintahan Yulianus Si Murtad (358),
yakni masa ketika orang Franka Sali diizinkan menetap di Toksandria sebagai salah satu
foederati Kekaisaran Romawi, menurut keterangan Ammianus Marcellinus.[34]

Lenyapnya orang Frisi

Kawasan sekitar Laut Utara ca. 250-500 M.

Ada tiga faktor yang menyebabkan orang Frisi menghilang dari kawasan utara Negeri
Belanda. Yang pertama, menurut Panegyrici Latini (Naskah VIII), orang Frisi kuno dipaksa
pindah ke permukiman baru di dalam wilayah Kekaisaran Romawi sebagai laeti (kaum hamba
tani Romawi) sekitar tahun 296.[35] Keterangan ini adalah kabar paling akhir mengenai orang
Frisi dalam catatan sejarah. Nasib mereka selanjutnya hanya dapat diduga melalui catatan
arkeologi. Penemuan sejenis gerabah khas Frisia dari abad ke-4, yang disebut terp Tritzum,
menyiratkan bahwa orang-orang Frisi, dalam jumlah yang tidak diketahui, berpindah ke
Vlaanderen dan Kent,[36] agaknya sebagai laeti di bawah paksaan bangsa Romawi. Yang
kedua, lingkungan daerah pesisir yang rendah di kawasan barat laut Eropa mulai semakin
amblas sekitar tahun 250, dan perlahan-lahan terhenti sepanjang 200 tahun berikutnya.
Subsidensi tektonik, naiknya permukaan air tanah, dan pusuan ribut mengakibatkan sejumlah
daerah terendam transgresi laut. Keadaan ini semakin diperparah perubahan iklim di daerah
pesisir sehingga menjadi lebih dingin dan lebih lembap. Andaikata masih ada orang Frisi
yang tersisa di daerah pesisir, tentunya mereka punah akibat tenggelam.[37][38][39][40] Yang
ketiga, selepas runtuhnya Kekaisaran Romawi, terjadi penurunan jumlah penduduk seiring
terhentinya akitivitas bangsa Romawi dan penarikan mundur lembaga-lembaga bangsa
Romawi. Sebagai akibat dari ketiga faktor ini, orang Frisi dan orang Frisievoni menghilang
dari daerah bekas permukiman asli mereka. Sebagian besar daerah pesisir tetap tidak
berpenghuni selama dua abad selanjutnya.[37][38][39][40]

Abad Pertengahan Awal (411–1000)

Orang Frisia

Perkiraan kasar persebaran orang Franka dan orang Frisia sekitar tahun 716 M

Seiring membaiknya keadaan iklim, suku-suku rumpun Jermanik sekali lagi beramai-ramai
hijrah meninggalkan kampung halaman mereka di sebelah timur menuju tempat-tempat lain.
Kurun waktu berlangsungnya migrasi besar-besaran ini dikenal dengan sebutan "Zaman
Migrasi" (Volksverhuizingen). Kawasan utara Negeri Belanda dibanjiri kaum pendatang, yakni
orang Angli, orang Yuti, dan terutama orang Saksen. Banyak di antara kaum pendatang ini
tidak menetap di kawasan utara Negeri Belanda tetapi terus bergerak menuju Inggris, dan
kini dikenal dengan sebutan orang Angli-Saksen. Kaum pendatang yang tidak melanjutkan
perjalanan menuju Inggris kelak dikenal dengan sebutan "orang Frisia", sekalipun bukan
keturunan orang Frisi. Para warga Frisia yang baru ini menetap di kawasan utara Negeri
Belanda, dan menjadi cikal bakal bangsa Frisia modern.[41][42] Orang Frisia maupun orang
Angli-Saksen terdahulu lahir dari konfederasi-konfederasi kesukuan yang identik, sehingga
bahasanya pun sangat mirip. bahasa Frisia Lama berkerabat dekat dengan bahasa Inggris
Lama,[43] sehingga dialek-dialek bahasa Frisia modern pun pada gilirannya berkerabat dekat
dengan bahasa Inggris modern. Pada akhir abad ke-6, daerah kekuasaan orang Frisia di
kawasan utara Negeri Belanda telah meluas sampai ke daerah pesisir Laut Utara, dan meluas
sampai ke Dorestad di sebelah selatan pada abad ke-7. Selama kurun waktu ini, sebagian
besar kawasan utara Negeri Belanda dikenal dengan sebutan Frisia. Daerah kekuasaan orang
Frisia yang sangat luas ini adakalanya juga disebut Frisia Magna atau Frisia Raya.

Dorestad dan jalur-jalur dagang utama

Pada abad ke-7 dan ke-8, daerah ini disebut-sebut dalam catatan sejarah orang Franka
sebagai kerajaan orang Frisia. Wilayah kerajaan ini meliputi provinsi-provinsi yang terletak di
daerah pesisir Negeri Belanda dan daerah pesisir Laut Utara Jerman. Pada kurun waktu ini,
bahasa Frisia dipertuturkan di seluruh kawasan selatan daerah pesisir Laut Utara. Pada abad
ke-7, kerajaan orang Frisia (650–734) di bawah pemerintahan Raja Aldegisel dan Raja
Redbad berpusat di kota Utrecht.

Dorestad adalah pekan (emporium) terbesar di kawasan barat laut Eropa, yang berkembang
di sekitar sebuah bekas benteng Romawi. Pekan ini adalah tempat berdagang yang ramai,
tiga kilometer panjangnya, dan terletak di daerah tempat aliran Sungai Rhein dan Sungai Lek
berbelok ke sebelah tenggara kota Utrecht, tak jauh dari kota Wijk bij Duurstede
modern.[44][45] Sekalipun terletak jauh dari pesisir, Dorestad merupakan pusat dagang di
kawasan Laut Utara yang banyak memperjualbelikan barang-barang dari Rheinland
Tengah.[45][46] Salah satu barang dagangan utama yang diperjualbelikan di Dorestad adalah
minuman anggur, yang agaknya didatangkan dari kebun-kebun anggur di sebelah selatan
Mainz.[46] Dorestad juga terkenal karena percetakan uang logamnya. Antara tahun 600
sampai kira-kira tahun 719, Dorestad berulang kali diperebutkan orang Frisia dan orang
Franka.

Orang Franka

Gerak ekspansi orang Franka dari tahun 481 sampai tahun 870 M

Setelah pemerintahan Romawi di kawasan ini runtuh, orang Franka bergerak memperluas
daerah kekuasaan mereka sampai sehingga tumbuh banyak kerajaan kecil bentukan orang
Franka, terutama di Köln, Doornik, Le Mans, dan Kamerijk.[34][47] Raja-raja Doornik akhirnya
menundukkan raja-raja orang Franka lainnya. Pada kurun waktu 490-an, Klovis I berhasil
menundukkan dan mempersatukan seluruh daerah kekuasaan orang Franka di sebelah barat
Sungai Maas, termasuk kerajaan-kerajaan orang Franka di kawasan selatan Negeri Belanda.
Klovis kemudian meneruskan aksi penaklukannya ke wilayah Galia.

Setelah Klovis I wafat pada tahun 511, keempat putranya membagi-bagi wilayah kerajaannya.
Theuderik I mendapatkan daerah-daerah yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Austrasia
(termasuk kawasan selatan Negeri Belanda). Anak dan cucu Theuderik I berturut-turut
memerintah menggantikannya sampai Kerajaan Austrasia dipersatukan dengan kerajaan-
kerajaan orang Franka lainnya pada tahun 555 oleh Klothar I, yang menjadi penguasa tunggal
atas seluruh wilayah kekuasaan orang Franka pada tahun 558. Klothar I membagi-bagikan
wilayah kerajaannya kepada keempat putranya, tetapi keempat wilayah hasil pembagian ini
berubah menjadi tiga kerajaan saja sepeninggal Karibert I pada tahun 567. Kerajaan
Austrasia (termasuk kawasan selatan Negeri Belanda) diberikan kepada Sigebert I. Kawasan
selatan Negeri Belanda seterusnya menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Austrasia until
sampai pada masa pemerintahan wangsa Karoling.

Orang-orang Franka yang berekspansi sampai ke Galia akhirnya menetap dan mengadopsi
bahasa Latin Umum yang dituturkan masyarakat setempat.[18] Meskipun demikian, bahasa
Jermanik masih tetap digunakan sebagai bahasa kedua oleh para pejabat publik di kawasan
barat Austrasia dan Neustria sampai kurun waktu 850-an. Bahasa Jermanik punah di daerah-
daerah ini pada abad ke-10.[48] Pada masa ekspansi ke Galia, banyak puak orang Franka yang
tetap tinggal di utara (yakni di kawasan selatan Negeri Belanda, Vlaanderen, dan sebagian
kecil kawasan utara Prancis). Muncul kesenjangan budaya yang kian melebar antara
masyarakat Franka yang tetap tinggal di utara dan para pemimpin Franka di Galia, yakni di
kawasan yang sekarang menjadi wilayah negara Prancis.[47] Orang Franka Sali tetap tinggal
di kampung halaman aslinya dan di daerah-daerah tetangga di sebelah selatan serta tetap
menuturkan bahasa aslinya, bahasa Franka Lama, yang berkembang menjadi bahasa
Belanda Lama pada abad ke-9.[18] Garis batas antara wilayah penutur bahasa Belanda dan
wilayah penutur bahasa Prancis akhirnya terbentuk, tetapi mula-mula jauh lebih ke selatan
dari letaknya saat ini.[18][47] Di daerah-daerah yang dilewati Sungai Maas dan Sungai Rhein di
Negeri Belanda, orang Franka menguasai pusat-pusat politik dan perdagangan, khususnya di
Nijmegen dan Maastricht.[47] Orang-orang Franka di daerah ini masih tetap berhubungan
dengan orang Frisia di utara, terutama di tempat-tempat seperti Dorestad dan Utrecht.

Keraguan pada Zaman Modern mengenai perbedaan antara orang Frisia,


orang Franka, dan orang Saksen

Santo Wilibrordus, misionaris Angli-Saksen dari Northumberland, Rasul Frisia, Uskup Utrecht yang pertama.
Pada akhir abad ke-19, para sejarawan Belanda meyakini bahwa orang Franka, orang Frisia,
dan orang Saksen adalah cikal bakal bangsa Belanda. Beberapa sejarawan bahkan
melangkah lebih jauh lagi dengan menjabarkan atribut-atribut, nilai-nilai, dan kelebihan-
kelebihan tertentu yang konon dimiliki suku-suku bangsa ini, dan mengedepankannya
sebagai cerminan pandangan-pandangan kebangsaan dan keagamaan pada abad ke-19.
Pada khususnya, diyakini bahwa teori ini menjelaskan mengapa warga Belgia dan kawasan
selatan Negeri Belanda (yakni orang Franka) memeluk agama Kristen Katolik, sementara
warga kawasan utara Negeri Belanda (orang Frisia dan orang Saksen) memeluk agama
Kristen Protestan. Salah satu penyebab kesuksesan teori ini adalah teori-teori antropologi
yang didasarkan atas suatu paradigma kesukuan. Karena bersifat inklusif secara politis dan
geografis, tetapi menjunjung tinggi keberagaman, teori ini selaras dengan kebutuhan bina
bangsa dan integrasi pada kurun waktu 1890–1914. Teori ini diajarkan di sekolah-sekolah
Negeri Belanda kala itu.

Meskipun demikian, kerugian-kerugian dari tafsir sejarah ini mulai muncul ke permukaan.
Teori berasas kesukuan ini menyiratkan bahwa garis-garis perbatasan eksternal
sesungguhnya lemah atau tidak wujud, dan bahwasanya ada garis-garis perbatasan internal
yang jelas. Mitos asal usul ini menyajikan sebuah premis historis, teristimewa pada Perang
Dunia II, bagi separatisme regional dan aneksasi ke Jerman. Selepas tahun 1945, paradigma
kesukuan kehilangan daya pikatnya di kalangan antropolog dan sejarawan. Manakala
keakuratan landasan tema tiga-suku dipertanyakan, teori ini pun tidak lagi diminati orang.[33]

Karena langkanya sumber-sumber tertulis, pengetahuan mengenai kurun waktu ini sangat
bergantung pada penafsiran data arkeologi. Pandangan tradisional yang menyatakan bahwa
ada keterpisahan yang jelas antara orang Frisia di sebelah utara serta daerah pesisir, orang
Franka di sebelah selatan, dan orang Saksen di sebelah timur terbukti secara historis
bermasalah.[49][50][51] Bukti-bukti arkeologi secara dramatis menunjukkan model-model yang
berlainan dari satu daerah ke darah lain, dengan kesinambungan demografi untuk sejumlah
kawasan di Negeri Belanda dan depopulasi serta kemungkinan bergantinya populasi di
kawasan-kawasan lain, terutama di daerah pesisir Frisia dan Holland.[52]

Kemunculan bahasa Belanda

Bahasa yang menjadi cikal bakal bahasa belanda Lama (atau bahasa Franken Hilir Barat) dan
bahasa Franken Hilir Lama (atau bahasa Franka Lama) tidak diketahui secara pasti, tetapi
diduga bahwa bahasa tersebut adalah bahasa yang dituturkan orang Franka Sali. Kendati
orang Franka sudah lama digolongkan ke dalam rumpun suku Jermanik Weser-Rhein, bahasa
Belanda memiliki sejumlah ciri khas rumpun bahasa Ingvaeonik, dan digolongkan ke dalam
rumpun bahasa tersebut oleh ahli-ahli bahasa modern. Bahasa Belanda juga memiliki
sejumlah ciri kas bahasa Saksen Lama. Bahasa Belanda Lama, bahasa Saksen Lama, bahasa
Inggris Lama, dan bahasa Frisia Lama masih berkerabat dekat. Nyaris tidak ada peninggalan
tertulis dalam bahasa yang dituturkan orang Franka, dan peninggalan tertulis dalam bahasa
Belanda Lama sangat langka serta tidak lagi utuh, sehingga tidak banyak yang dapat
diketahui mengenai perkembangan bahasa Belanda Lama. Bahasa Belanda Lama bertransisi
menjadi bahasa Belanda Pertengahan sekitar tahun 1150.[18]

Masuknya agama Kristen

Agama Kristen yang dibawa masuk ke Negeri Belanda oleh bangsa Romawi tampaknya
hilang sama sekali (setidaknya di Maastricht) setelah bangsa Romawi hengkang dari Negeri
Belanda sekitar tahun 411.[47]

Orang Franka menerima agama Kristen setelah raja mereka, Klovis I, memeluk agama Kristen
Katolik pada tahun 496. Agama Kristen masuk ke kawasan utara sesudah orang Franka
menaklukkan Friesland. Orang Saksen di kawasan timur sudah memeluk agama Kristen
sebelum Sachsen ditaklukkan, dan menjadi sekutu orang Franka.

Para misionaris Hibernia-Skotlandia dan Angli-Saksen, teristimewa Wilibrordus, Wolframus,


dan Bonifasius, berjasa memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Franka dan
Frisia pada abad ke-8. Bonifasius gugur sebagai martir karena dibunuh orang Frisia di
Dokkum pada tahun 754.

Penjajahan Franka dan penggabungan dengan Kekaisaran Romawi Suci


 

Dewangga dari awal abad ke-16, bergambar peristiwa pembaptisan Radboud, Raja Orang Frisia yang mangkat pada
tahun 719.

Pada permulaan abad ke-8, mulai sering timbul konflik antara orang Frisia dan orang Franka
di sebelah selatan. Konflik-konflik ini menimbulkan serangkaian perang yang mengakibatkan
Frisia menjadi jajahan Kekaisaran Orang Franka. Dalam Pertempuran Boorne pada tahun 734,
orang Frisia di wilayah Belanda dikalahkan orang Franka, dan dengan demikian kawasan di
sebelah barat Sungai Lauwers pun menjadi jajahan mereka. Kawasan di sebelah timur
Sungai Lauwers menjadi jajahan orang Franka tahun 785 setelah Karel Agung mengalahkan
Widukind.

Keturunan orang Franka berdasarkan bahasa, yakni masyarakat penutur bahasa Belanda di
Negeri Belanda dan Vlaanderen sekarang ini, tampaknya sudah lepas dari endonim "Franka"
sekitar abad ke-9. Pada masa itu, identitas Franka sudah berubah dari identitas suku bangsa
menjadi identitas bangsa, menjadi terlokalisasi dan terbatas pada daerah yang sekarang
bernama Franken dan teristimewa daerah yang sekarang menjadi Provinsi Île-de-France di
Prancis.[53]

Meskipun tidak lagi menyebut dirinya "orang Franka", masyarakat Negeri Belanda masih
menjadi bagian dari Kekaisaran Orang Franka di bawah kepemimpinan Karel Agung. Karena
wangsa Karoling berasal dari Austrasia, yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai
Maas, kota Aachen, kota Maastricht, kota Liège dan kota Nijmegen menjadi jantung
kebudayaan zaman wangsa Karoling.[47] Karel Agung memenuhi kebutuhan palatium (majelis
istana)[54] di Nijmegen paling sedikit empat kali.

Wilayah kekuasaan Kekaisaran Wangsa Karoling pada akhirnya meliputi Prancis, Jerman,
kawasan utara Italia, dan banyak lagi tempat lain di Eropa Barat. Pada tahun 843, kekaisaran
orang Franka dipecah menjadi tiga bagian, sehingga terciptalah Negeri Franka Barat di
kawasan barat, Negeri Franka Timur di kawasan timur, dan Negeri Franka Tengah di kawasan
tengah wilayah kekuasaan orang Franka. Sebagian besar wilayah Negeri Belanda sekarang
ini adalah bekas bagian wilayah Negeri Franka Tengah, sementara daerah Vlaanderen adalah
bekas bagian wilayah Negeri Franka Barat. Inilah salah satu faktor penting yang turun-
temurun membedakan daerah Vlaanderen dari daerah-daerah penutur bahasa Belanda
lainnya.

Negeri Franka Tengah (bahasa Latin: Francia Media) adalah kerajaan orang Franka berumur
pendek tanpa identitas sejarah maupun suku bangsa sebagai pemersatu warganya yang
terdiri atas bermacam-macam suku bangsa. Kerajaan ini dibentuk berdasarkan Perjanjian
Verdun tahun 843 yang membagi wilayah Kekaisaran wangsa Karoling kepada putra-putra
Ludwig Si Warak. Wilayah kerajaan yang diapit Negeri Franka Timur dan Negeri Franka Barat
ini terdiri atas daerah-daerah kekuasaan orang Franka di antara Sungai Rhein dan Sungai
Schelde, daerah pesisir Vlaanderen di tepi Laut Utara, bekas wilayah Kerajaan Burgundia
(kecuali bagian baratnya yang kemudian hari dikenal dengan nama Bourgogne), Provence,
dan Kerajaan Italia.

Negeri Franka Tengah jatuh ke tangan Lothair I, putra sulung dan pengganti Ludwig Si Warak,
sesudah berperang melawan adik-adiknya, Ludwig Si Jerman dan Karel Si Gundul. Sebagai
wujud pengakuan terhadap gelar kaisar yang disandang Lothair I, wilayah Negeri Franka
Tengah mencakup kota-kota kekaisaran, yakni Aachen, kota tempat Karel Agung
bermastautin, dan Roma. Pada tahun 855, sebelum menghembuskan napas terakhirnya di
Biara Prüm, Kaisar Lothair I membagi wilayah kekuasaannya kepada putra-putranya.
Sebagian besar daerah di sebelah utara Pegunungan Alpen, termasuk Negeri Belanda,
diwariskan kepada Lothair II sehingga disebut Lotharingia (bahasa Prancis: Lorraine).
Sesudah Lothair II wafat pada tahun 869, Lotharingia dibagi-bagi kedua pamannya, Ludwig Si
Jerman dan Karel Si Gundul, sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian
Meerssen tahun 870. Meskipun beberapa daerah di Negeri Belanda dikuasai orang Viking,
Negeri Belanda secara teknis menjadi bagian dari Negeri Franka Timur pada tahun 870.
Negeri Franka Timur akhirnya berubah nama menjadi Kekaisaran Romawi Suci pada tahun
962.

Serbuan orang Viking


 

Rorik, pahlawan Viking yang menaklukkan dan memerintah Friesland, gambar romantisasi dari tahun 1912, karya
Johannes Hermanus Koekkoek

Pada abad ke-9 dan ke-10, orang Viking menyerbu kota-kota pantai dan tepi sungai yang tak
terlindung, milik orang Frisia dan orang Franka, di kawasan Negeri-Negeri Rendah (bahasa
Belanda: Nederlanden). Meskipun tidak pernah menetap dalam jumlah besar, orang Viking
membangun pangkalan-pangkalan di daerah-daerah tersebut yang digunakan dalam jangka
panjang, bahkan dalam kasus-kasus tertentu diakui sebagai penguasa. Dalam tradisi sejarah
bangsa Belanda dan Frisia, pusat dagang Dorestad mengalami kemerosotan akibat serbuan-
serbuan orang Viking yang dilancarkan dari tahun 834 sampai tahun 863. Meskipun
demikian, karena tidak ada bukti arkeologi meyakinkan terkait keberadaan orang Viking yang
ditemukan di Dorestad (per 2007), tradisi sejarah tersebut akhir-akhir ini mulai diragukan
kebenarannya.[55]

Salah satu keluarga Viking terkemuka di Negeri-Negeri Rendah adalah keluarga Rorik dari
Dorestad (berbasis di Wieringen) dan adiknya, "Harald Muda" (berbasis di Walcheren). Kedua
adik-beradik ini diduga sebagai kemenakan Harald Klak.[56] Sekitar tahun 850, Lothair I
mengakui Rorik sebagai penguasa sebagian besar wilayah Friesland, dan pada tahun 870,
selaku raja bawahan wangsa Karoling, Rorik diterima menghadap Kaisar Karel Si Gundung di
Nijmegen. Serbuan-serbuan orang Viking berlanjut pada kurun waktu tersebut. Rodulf, putra
Harald, dan pengawal-pengawalnya tewas dibunuh orang-orang Oostergo pada tahun 873.
Rorik sendiri wafat sebelum tahun 882.
kumpulan-kumpulan harta terpendam peninggalan orang Viking yang sebagian besar berupa
barang-barang perak telah ditemukan di kawasan Negeri-Negeri Rendah. Dua kumpulan
ditemukan di Wieringen. Sekumpulan besar harta karun yang ditemukan di Wieringen pada
tahun 1996 diperkirakan berasal dari sekitar tahun 850 dan diduga berkaitan dengan Rorik.
Penguburan harta kekayaan semacam ini dipandang sebagai salah satu indikasi keberadaan
sebuah permukiman permanen di Wieringen.[57]

Sekitar tahun 879, Godfrid tiba di Friesland membawa sepasukan besar prajurit yang meneror
kawasan Negeri-Negeri Rendah. Dengan menjadikan Ghent sebagai pangkalannya, pasukan
Godfried menggempur Ghent, Maastricht, Liège, Stavelot, Prüm, Koln, dan Koblenz. Karena
berhasil menguasai sebagian besar wilayah Friesland dari tahun 882 sampai akhir hayatnya
pada tahun 885, Godfrid dikenal dalam sejarah sebagai Godfrid, Adipati Friesland.
Kekuasaannya atas Friesland selaku raja bawahan wangsa Karoling diakui Kaisar Karel Si
Tambun. Ketika Godfried tewas terbunuh pada tahun 885, Gerolf dari Holland mengambil alih
tampuk pemerintahan Friesland, dan zaman kekuasaan orang Viking di Friesland pun
berakhir.

Serbuan orang Viking di kawasan Negeri-Negeri Rendah berlanjut lebih dari seabad. Jejak-
jejak serbuan orang Viking yang diperkirakan berasal dari kurun waktu tahun 880 sampai
tahun 890 telah ditemukan di Zutphen dan Deventer. Pada tahun 920, Raja Hendrik Si
Pemburu Unggas Liar asal Saksen membebaskan kota Utrecht dari penjajahan Viking.
Menurut sejumlah tawarikh, serbuan terakhir orang Viking terjadi pada dasawarsa pertama
abad ke-11 di Tiel dan/atau Utrecht.[58]

Serbuan-serbuan orang Viking terjadi bertepatan dengan perang perebutan supremasi di


Negeri Franka Tengah (mencakup Negeri Belanda) di antara para penguasa Prancis dan
Jerman, sehingga melemahkan kekuasaan mereka atas kawasan Negeri-Negeri Rendah.
Perlawanan terhadap orang Viking, kalaupun ada, dilakukan para menak lokal, yang membuat
mereka semakin kuat dan berkuasa.

Abad Pertengahan Madya dan Abad Pertengahan


Akhir (1000–1432)
 

Kapel Santo Nikolaus (bahasa Belanda: Sint-Nicolaaskapel) atau Kapel Valkhof (bahasa Belanda: Valkhofkapel) di
Nijmegen, salah satu bangunan tertua di Negeri Belanda

Bagian dari Kekaisaran Romawi Suci

Raja-raja dan kaisar-kaisar Jerman berdaulat atas Negeri Belanda pada abad ke-10 dan ke-
11. Jerman disebut Kekaisaran Romawi Suci setelah Raja Otto Agung dinobatkan menjadi
kaisar. Kota Nijmegen di Negeri Belanda pernah menjadi salah satu daerah penting bagi
kaisar-kaisar Jerman. Sejumlah kaisar Jerman lahir dan wafat di Nijmegen, demikian pula
Teofanu, Permaisuri Romawi Suci asal Romawi Timur. Utrecht juga merupakan salah satu
kota sekaligus bandar niaga yang penting kala itu.

Keterpecahan politik

Kekaisaran Romawi Suci tidak mampu mempertahankan kesatuan politiknya. Selain kian
merdekanya kota-kota, para penguasa lokal mengubah kabupaten-kabupaten dan kadipaten-
kadipaten mereka menjadi kerajaan-kerajaan partikelir dan hanya memiliki sedikit rasa wajib
berbakti kepada kaisar yang memerintah sebagian besar wilayah kekaisaran secara atas-
nama saja. Sebagian besar kawasan yang kini menjadi wilayah Negeri Belanda diperintah
Bupati Holland, Adipati Gelre, Adipati Brabant, dan Uskup Utrecht. Friesland dan Groningen di
sebelah utara mempertahankan kemerdekaan mereka dan diperintah para menak yang lebih
rendah tingkatannya.

Negara-negara feodal tersebut nyaris terus-menerus saling memerangi. Gelre dan Holland
bertempur memperebutkan kekuasaan atas Utrecht. Utrecht, yang uskupnya memerintah
setengah dari keseluruhan wilayah Negeri Belanda saat ini pada tahun 1000, kian
terpinggirkan seiring kian sukarnya memilih uskup baru, sementara wangsa-wangsa
penguasa negara-negara tetangga justru semakin kuat mengakar. Groningen, Drenthe, dan
sebagian besar Gelre, yang dulunya merupakan bagian dari Swapraja Utrecht, akhirnya
merdeka. Brabant mencoba menaklukkan swapraja-swapraja tetangganya, tetapi tidak
berhasil. Holland juga mengalami kegagalan ketika berusaha mendaulat Zeeland dan
Friesland.

Orang Frisia

Masyarakat yang mula-mula mendiami daerah Holland adalah orang Frisia. Kala itu, daerah
yang jarang penduduknya tersebut dikenal dengan sebutan "Friesland Barat" (bahasa
Belanda: Westfriesland). Seiring pertambahan jumlah permukiman orang Franka, orang Frisia
pun bermigrasi atau berbaur dengan masyarakat pendatang, dan daerah tersebut dengan
cepat berubah menjadi daerah penutur bahasa Belanda Lama. Bagian dari daerah Holland
Utara yang terletak di sebelah utara Alkmaar masih disebut Friesland Barat dalam
percakapan sehari-hari.

Daerah Friesland di kawasan utara Negeri Belanda tetap merdeka pada kurun waktu ini.
Friesland memiliki lembaga pemerintahan sendiri (yang secara kolektif disebut
"Kemerdekaan Frisia") dan menolak pemberlakuan sistem feodal maupun tatanan
kebangsawanan seperti yang ada di praja-praja Eropa lainnya. Orang Frisia memandang
dirinya sebagai sekutu Swiss. Pekik perang orang Frisia adalah "lebih baik mati daripada
membudak". Kemudian hari, orang Frisia kehilangan kemerdekaannya setelah dikalahkan
pada tahun 1498 oleh tentara-tentara bayaran Landsknecht dari Jerman yang dikerahkan
Adipati Saksen-Meißen, Albrecht III.

Kebangkitan Holland

Dirk VI, Bupati Holland (1114–1157) meninjau pekerjaan pembangunan Biara Egmond bersama ibunya, Petronella,
lukisan karya Charles Rochussen, 1881. Karya seni ukir di dalam lukisan ini adalah Timpanum Egmond, yang
menampilkan sosok Dirk dan ibunya mengapit Santo Petrus.
 

Lukisan peristiwa bencana Banjir Santa Elisabet yang menggenangi daerah Grote Waard dari tanggal 18 sampai
tanggal 19 November 1421

Pusat kekuasaan di kawasan yang kian merdeka ini adalah Kabupaten Holland. Cikal bakal
wilayah Kabupaten Holland adalah daerah Kennemerland (daerah sekitar Haarlem sekarang)
yang dianugerahkan kaisar kepada pemimpin orang Dani, Rorik, sebagai tanah pertuanan
pada tahun 862. Di bawah kepemimpinan anak cucu Rorik, daerah ini mengalami pemekaran
dan menjadi salah satu daerah penting di Negeri belanda. Pada tahun-tahun permulaan abad
ke-11, Bupati Dirk III mengutip tol di muara Sungai Maas dan mampu membendung intervensi
militer atasannya, Adipati Lotharingia Hilir.

Pada tahun 1083, nama "Holland" muncul untuk pertama kalinya dalam sebuah akta sebagai
sebutan bagi daerah yang kurang lebih sama dengan wilayah provinsi Holland Selatan
ditambah bagian selatan dari wilayah provinsi Holland Utara saat ini. Pamor Holland terus
meningkat selama dua abad selanjutnya. Bupati Holland menaklukkan hampir seluruh daerah
Zeeland, tetapi orang Frisia di Friesland Barat (bagian utara dari wilayah provinsi Holland
Utara sekarang ini) baru dapat ditundukkan pada tahun 1289 oleh Bupati Floris V.

Ekspansi dan pertumbuhan

Sekitar tahun 1000 Masehi, terjadi perkembangan-perkembangan di bidang pertanian


(kadang-kadang disebut revolusi pertanian) yang menghasilkan peningkatan produksi,
terutama produksi pangan. Ekonomi mulai tumbuh dengan pesat, dan produktivitas yang
tinggi memungkinkan petani untuk menggarap lebih banyak lahan atau menjadi pedagang.

Dari akhir kurun waktu penjajahan Romawi, sebagian besar kawasan barat Negeri Belanda
tidak berpenghuni, sampai para petani dari Vlaanderen dan Utrecht mulai membeli tanah
rawa-rawa di kawasan itu, mengeringkannya, dan menggarapnya sekitar tahun 1100. Proses
tersebut berlangsung dengan cepat sehingga dalam beberapa generasi saja kawasan
tersebut sudah ramai penghuninya. Mereka membuka lahan-lahan usaha tani mandiri yang
bukan bagian dari desa-desa. Usaha tani semacam ini merupakan hal yang unik di Eropa kala
itu.

Serikat-serikat usaha terbentuk dan pasar-pasar tumbuh ramai karena hasil produksi sudah
melebihi kebutuhan masyarakat setempat. Selain itu, pengenalan mata uang membuat
urusan-urusan dagang menjadi lebih mudah ditangani daripada sebelumnya. Kota-kota yang
sudah ada kian bertumbuh, dan kota-kota baru terbentuk di sekitar biara-biara dan puri-puri.
Suatu golongan masyarakat kelas menengah yang menggeluti usaha dagang mulai terbentuk
di kawasan-kawasan perkotaan ini. Usaha dagang dan pemekaran kota mengalami
peningkatan seiring pertumbuhan populasi.

Perang Salib cukup populer di Negeri-Negeri Rendah. Banyak warganya yang ikut serta
berjuang di Tanah Suci, sementara Negeri-Negeri Rendah sendiri relatif damai. Aksi-aksi
penjarahan orang Viking sudah terhenti. Baik Perang Salib maupun keadaan relatif damai di
Negeri-Negeri Rendah merupakan faktor-faktor yang ikut memajukan perdagangan.

Kota-kota muncul dan berkembang, khususnya di Vlaanderen dan Brabant. Seiring


peningkatan kemakmuran dan keberdayaannya, kota-kota mulai membeli hak-hak istimewa
tertentu dari penguasa, antara lain hak-hak kota, yakni hak swatantra dan hak mengesahkan
hukum sendiri. Pada praktiknya, ini berarti kota-kota termakmur menjadi republik-republik
kuasi-independen atas usaha sendiri. Dua di antara kota-kota terpenting adalah Brugge dan
Antwerpen (di Vlaanderen), yang kemudian hari terbilang di antara kota-kota dan bandar-
bandar terpenting di Eropa.

Sengketa Gancu dan Kabelyauw

Jacqueline, Gravin Henegouwen, 1401–1436, tokoh yang dikenal orang Belanda dengan nama "Jacoba van Bayern".
Sengketa Gancu dan Kabelyauw (bahasa Belanda: Hoekse en Kabeljauwse twisten) adalah
serangkaian perang dan pertempuran di Kabupaten Holland yang berlangsung antara tahun
1350 sampai tahun 1490. Sebagian besar dari perang dan pertempuran tersebut berkaitan
dengan perebutan gelar Bupati Holland, tetapi sementara pihak berpendapat bahwa alasan
hakikinya adalah perebutan kekuasaan antara kaum borjuis di kota-kota dan kaum menak
yang memegang tampuk pemerintahan.

Anggota faksi Kabelyauw pada umumnya adalah kota-kota di Holland yang berhaluan
progresif, sementara sebagian besar anggota Faksi Gancu adalah kaum menak yang
berhaluan konservatif. Tokoh-tokoh utama dalam konflik multigenerasi ini antara lain Willem
IV (Bupati Henegouwen merangkap Bupati Holland), Margaretha (Permaisuri Romawi Suci
merangkap Gravin Holland), Willem V (Adipati Bayern merangkap Bupati Holland), Willem VI
(Adipati Bayern-Straubing merangkap Bupati Holland), Jan (Adipati Bayern-Straubing
merangkap Bupati Holland), dan Filips Sang Budiman (Adipati Burgundia merangkap Bupati
Holland), tetapi mungkin yang paling terkenal adalah Jacoba (Gravin Henegouwen
merangkap Gravin Holland).

Pendaulatan Kabupaten Holland oleh Adipati Burgundia, Filips Sang Budiman, merupakan
urusan yang pelik. Para menak terkemuka di Holland mengundang sang adipati untuk
mendaulat Holland, meskipun sang adipati tidak memiliki klaim bersejarah atas Holland.
Menurut beberapa sejawaran, golongan yang berkuasa di Holland menghendaki agar daerah
itu diintegrasikan ke dalam tatanan ekonomi Vlaanderen dan mengadopsi lembaga-lembaga
hukum Vlaanderen. Ketika Eropa diguncang berbagai perang saudara pada abad ke-14 dan
ke-15, Vlaanderen justru semakin sejahtera dan aman tenteram.

Zaman penjajahan Burgundia dan wangsa


Habsburg Spanyol (1433–1567)
 

Negeri-Negeri Rendah pada akhir abad ke-14

Zaman penjajahan Burgundia

Sebagian besar dari kawasan yang kini menjadi wilayah negeri Belanda dan Belgia
digabungkan ke dalam wilayah Kadipaten Burgundia pada tahun 1433. Sebelum
penggabungan, orang Belanda mengidentifikasi diri sebagai warga kota, kadipaten, atau
kabupaten tempat mereka berdiam, maupun sebagai kawula Kekaisaran Romawi Suci.
Zaman penjajahan Burgundia adalah titik awal perjalanan orang Belanda menemukan jati diri
sebagai sebuah bangsa.

Usaha dagang Holland mengalami perkembangan pesat, teristimewa di daerah-daerah


pengapalan dan pengangkutan. Para penguasa baru memperjuangkan kepentingan-
kepentingan dagang orang Belanda. Armada-armada Holland bahkan mampu beberapa kali
mengalahkan armada-armada Liga Hansa. Pada abad ke-15, Amsterdam tumbuh menjadi
bandar niaga utama untuk komoditas gandum dari kawasan Baltik. Amsterdam menyalurkan
gandum ke kota-kota besar di Belgia, kawasan utara Prancis, dan Inggris. Usaha dagang
komoditas gandum sangat penting bagi warga Holland, karena gandum yang dihasilkan
Holland sudah tidak memadai untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Pengatusan tanah
menyebabkan merosotnya permukaan bekas lahan-lahan basah sampai ke taraf yang tidak
lagi memungkinkan diteruskannya pengatusan.

Zaman penjajahan wangsa Habsburg Spanyol


   

Kiri: Adriaan Florenszoon Boeyens, teolog berpengaruh asal Utrecht yang menjadi salah seorang penasihat Kaisar
Karel V, dan kemudian hari terpilih menjadi Paus Hadrianus VI (1522–1523).
Kanan: Desiderius Erasmus (1466–1536), padri, teolog, sekaligus humanis Renaisans asal Rotterdam, potret karya
Hans Holbein Muda, 1523.

Kaisar Karel V (1500–1558) lahir dan besar di kota Gent, Kabupaten Vlaanderen. Ia fasih
bertutur dalam bahasa Prancis. Karel menambah luas wilayah Kadipaten Burgundia dengan
mendaulat Tournai, Artois, Utrecht, Groningen, dan Gelre. Tujuh Belas Provinsi dahulu kala
dipersatukan orang-orang besar Burgundia, leluhur Karel, tetapi secara nominal menjadi
daerah-daerah pertuanan Prancis atau Kekaisaran Romawi Suci. Selama Karel karel belum
akil balig, tugas jabatannya diwakilkan kepada bibinya, Margaretha van Oostenrijk selaku
pemangku sampai tahun 1515. Prancis melepaskan klaim lamanya atas Vlaanderen pada
tahun 1528.[59]

Dari tahun 1515 sampai 1523, pemerintahan Karel di Negeri Belanda dirongrong
pemberontakan kaum tani Friesland (dipimpin Pier Gerlofs Donia dan Wijard Jelckama).
Gelre berusaha mendirikan negara sendiri di daerah yang mencakup kawasan timur laut
Negeri Belanda dan kawasan barat daya Jerman. Akibat kekurangan dana pada abad ke-16,
para prajurit Gelre harus mengisi sendiri pundi-pundinya dengan cara menyerbu dan
menjarah daerah lawan. Prajurit-prajurit Gelre menjadi ancaman besar bagi Negeri Belanda
Burgundia ketika mereka menyerbu Den Haag.

Dari tahun ke tahun para Adipati Burgundia mengambil alih kekuasaan atas Tujuh Belas
Provinsi pembentuk kawasan Negeri-Negeri Rendah baik melalui perkawinan berpamrih,
pembelian tanah, maupun lewat perang. Provinsi-provinsi tersebut kini menjadi wilayah
Negeri Belanda, Negeri Belanda Selatan (sekarang Belgia), dan Luksemburg. Negeri-negeri
yang dikenal dengan sebutan "Lingkungan Burgundia" ini akhirnya dikuasai keluarga
Habsburg. Karel (1500–1558) menjadi penguasa Negeri-Negeri Rendah pada tahun 1506.
Pada tahun 1515, Karel dinobatkan menjadi Raja Spanyol kemudian dinobatkan pula menjadi
Kaisar Romawi Suci. Kekuasaannya atas Negeri-Negeri Rendah ia wakilkan kepada para raja
muda (masih terhitung kerabat dekatnya), sehingga pemerintahan Negeri-Negeri Rendah
praktis diselenggarakan orang-orang Spanyol yang dapat ia kendalikan sepenuhnya. Setiap
provinsi memiliki lembaga pemerintahan dan mahkamah istana masing-masing, yang
didominasi kaum menak setempat. Selain itu, tiap-tiap provinsi mengamalkan tradisi sendiri
dan memiliki hak-hak istimewa ("kebebasan") sendiri yang sudah berabad-abad usianya.
Banyak kota memiliki hak-hak sah dan pemerintahan lokal sendiri, yang biasanya
dikendalikan para saudagar. Di atas semuanya itu, bangsa Spanyol memaksakan suatu
badan pemerintahan menyeluruh, yakni Dewan Negara Belanda, lengkap dengan pejabat-
pejabat dan mahkamah istana sendiri.[60] Para pejabat Spanyol yang diutus Kaisar Karel
mengabaikan tradisi dan kaum menak Belanda maupun pejabat-pejabat lokal sehingga
menumbuhkan rasa nasionalisme anti-Spanyol yang kemudian hari mengobarkan
pemberontakan rakyat Belanda. Ketika gerakan Reformasi Protestan meletus di Negeri
Belanda, Karel (saat itu sudah menjadi Kaisar Romawi Suci) bertekad memberantas ajaran
Protestan tanpa kompromi. Kerusuhan bermula di kawasan selatan, berpusat di metropolis
Antwerpen yang makmur. Negeri Belanda ketika itu merupakan daerah yang kaya di dalam
wilayah kedaulatan negara Spanyol, khususnya sesudah penandatanganan Perjanjian Damai
Cateau-Cambresis tahun 1559, yang menuntaskan perang Prancis-Spanyol yang sudah
berlangsung selama empat dasawarsa, dan memungkinkan Spanyol untuk mereposisi
angkatan bersenjatanya.[61]

Dengan menandatangani Perjanjian Burgundia tahun 1548, yang dijuluki "Transaksi


Augsburg", Karel mengesahkan status Negeri Belanda sebagai sebuah entitas tempat banyak
undang-undang Kekaisaran Romawi Suci tidak berlaku.[62] Berdasarkan Perjanjian ini,
terbentuklah Lingkungan Burgundia di dalam Kekaisaran Romawi Suci, yang terdiri atas
Negeri Belanda dan Franche-Comté. Setahun kemudian, Karel menerbitkan Sanksi Pragmatik
tahun 1549 yang menetapkan bahwa Tujuh Belas Provinsi hanya dapat diwarisi para ahli
warisnya sebagai satu entitas yang utuh.[63]

Reformasi Protestan
 

Halaman judul Statenvertaling tahun 1637, Alkitab bahasa Belanda pertama yang diterjemahkan secara langsung dari
bahasa Ibrani dan Yunani sesuai amanat Sinode Dordrecht, dan terus digunakan sampai abad ke-20.

Reformasi Protestan dengan cepat berakar di kawasan utara Eropa pada abad ke-16,
teristimewa bentuk Lutheran dan Kalvinisnya.[64] Meskipun mula-mula ditindas, umat Kristen
Protestan Belanda akhirnya ditoleransi para penguasa lokal. Pada tahun-tahun era 1560-an,
komunitas Protestan sudah sangat berpengaruh di Negeri Belanda, sekalipun masih
merupakan kelompok minoritas.[65] Di dalam masyarakat yang menggantungkan hidup pada
usaha dagang, kebebasan dan toleransi dianggap sangat penting. Meskipun demikian, para
penguasa Negeri Belanda yang beragama Kristen Katolik, yakni Kaisar Karel V, dan kemudian
hari Raja Filips II, merasa wajib memberantas ajaran Protestan, yang merupakan salah satu
bidah dalam pandangan Gereja Katolik, sekaligus suatu ancaman terhadap stabilitas
keseluruhan sistem politik hierarkis. Di lain pihak, umat Kristen Protestan Belanda yang
sangat mengutamakan moralitas tetap berpegang teguh pada teologi Alkitabiah mereka.
Kesalehan yang tulus ikhlas dan hidup bersahaja dianggap lebih mulia secara moral daripada
kebiasaan bermewah-mewahan dan beragama secara lahiriah yang jamak di kalangan
menak gerejawi.[66] Hukuman-hukuman berat yang digunakan para penguasa untuk
memberantas ajaran Protestan menjadi penyebab dari meningkatnya kekesalan rakyat di
Negeri Belanda, padahal pemerintah-pemerintah lokal di Negeri Belanda sudah memutuskan
untuk menerapkan kebijakan hidup berdampingan secara damai. Pada kurun waktu seperdua
akhir dari abad ke-16, situasi berubah genting. Raja Filips II mengerahkan pasukan demi
pasukan untuk memadamkan pemberontakan dan mengkatolikkan kembali Negeri
Belanda.[67]
Saat berlangsungnya Reformasi Protestan gelombang pertama, ajaran Lutheran sempat
memikat kalangan elit di Antwerpen dan kawasan selatan, tetapi ajaran ini akhirnya
diberantas Spanyol sehingga hanya berkembang di Oost-Friesland.[68]

Gerakan Reformasi Protestan gelombang kedua muncul dalam bentuk ajaran Anabaptis,
yang populer di kalangan petani jelata di Holland dan Friesland. Kaum Anabaptis secara
sosial sangat radikal dan menjunjung tinggi kesetaraan derajat, serta percaya bahwa hari
kiamat sudah sangat dekat. Mereka menolak tatanan kehidupan yang lama, dan membentuk
komunitas-komunitas baru, sehingga lumayan menimbulkan kekacauan. Salah seorang
tokoh Anabaptis Belanda yang terkemuka adalah Menno Simons, perintis gereja Menonit.
Gerakan ini diberi keleluasaan di kawasan utara, tetapi tidak kunjung berkembang dalam
skala besar.[69]

Reformasi Protestan gelombang ketiga, yang pada akhirnya terbukti berdampak permanen,
adalah Kalvinisme. Ajaran Kalvinis tiba di Negeri Belanda pada tahun-tahun era 1540-an, dan
berhasil memikat kalangan elit maupun masyarakat umum, khususnya di Vlaanderen.
Spanyol menanggapi perkembangan ini dengan melancarkan persekusi dan membentuk
lembaga inkuisisi di Negeri Belanda. Kaum Kalvinis memberontak, mula-mula dalam bentuk
aski ikonoklasme pada tahun 1566, yakni perusakan sistematis terhadap arca-arca orang
kudus dan citra-citra agamawi Katolik lainnya di gereja-gereja. Pada tahun 1566, Willem van
Oranje, seorang Kalvinis, mengobarkan Perang Delapan Puluh Tahun demi memerdekakan
seluruh rakyat Belanda tanpa pandang agama dari penjajahan Spanyol. Menurut Jerome
Blum, "kesabaran, toleransi, kebulatan tekad, dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya,
serta keyakinannya akan pemerintahan yang berasaskan mufakat rakyat mampu
mempersatukan rakyat Belanda dan menjaga semangat juang mereka terus berkobar."[70]
Provinsi Holland dan Provinsi Zeeland, yang mayoritas menjadi Kalvinis pada tahun 1572,
tunduk di bawah kepemimpinan Willem. Swapraja-swapraja selebihnya tetap mayoritas
Katolik.[71][72]

Menjelang perang kemerdekaan


Para karyawan tekstil di Leiden, lukisan karya Isaac
van Swanenburg, 1595.
   

Willem van Oranje, Negeri-Negeri Rendah


yang dijuluki Willem Si 1559-1609.
Pendiam.

Negeri Belanda adalah daerah yang bernilai tinggi di dalam wilayah Kekaisaran Spanyol,
khususnya sesudah penandatanganan Perjanjian Damai Cateau-Cambresis tahun 1559.
Perjanjian ini mengakhiri kurun waktu empat puluh tahun peperangan antara Prancis dan
Spanyol yang berlangsung di Italia dari tahun 1521 sampai 1559.[61] Perjanjian Damai
Cateau-Cambresis merupakan semacam titik balik sejarah, bukan saja di Italia selaku medan
perang, melainkan juga di kawasan utara Eropa. Spanyol sudah menyiagakan pasukan-
pasukannya di Negeri Belanda sebagai ancang-ancang untuk menyerang Prancis dari utara
sekaligus dari selatan.

Dengan tuntasnya berbagai masalah besar di antara Prancis dan Spanyol dengan
penandatanganan Perjanjian Damai Cateau-Cambresis, tidak ada lagi alasan bagi Spanyol
untuk mempertahankan keberadaan pasukan-pasukannya di Negeri Belanda. Dengan
demikian, masyarakat di Negeri Belanda dapat kembali melanjutkan kegiatan-kegiatan yang
lazimnya mereka lakukan pada masa damai. Ketika itulah mereka mengetahui bahwa ada
banyak sekali permintaan pasar atas barang-barang jualan mereka. Usaha penangkapan ikan
sudah lama menjadi bagian penting dari ekonomi Negeri Belanda. Meskipun demikian, kini
usaha penangkapan ikan haring saja sudah melibatkan 2.000 perahu yang berpangkalan di
berbagai pelabuhan Negeri Belanda. Spanyol, yang masih menjadi pelanggan utama para
usahawan Belanda, membeli berbagai perabot dan perkakas rumah tangga yang diangkut
dengan 50 kapal besar dari saudagar-saudagar Vlaanderen. Selain itu, barang-barang wol
buatan Belanda sangat disukai di mana-mana. Negeri Belanda memborong cukup banyak
wol dari Spanyol, yang kemudian diolah menjadi barang-barang wol senilai 4 juta florin yang
dijual saudagar-saudagar Brugge. Besarnya kebutuhan wol mentah ketika itu membuat para
usahawan Belanda memborong pula wol dari Inggris hampir sebanyak jumlah wol yang
diborong dari Spanyol. Tolai nilai perdagangan dengan Inggris saja sudah mencapai 24 juta
florin. Sebagian besar dari kegiatan ekspor ke Inggris mendatangkan laba bersih bagi para
usahawan Belanda karena barang-barang yang diekspor adalah buatan mereka sendiri.
Negeri Belanda sudah sampai ke depan pintu gerbang Zaman Keemasan-nya. Brabant dan
Vlaanderen adalah daerah-daerah terkaya dan termaju di Republik Belanda ketika itu.[73]
Negeri Belanda merupakan salah satu negeri terkaya di muka bumi, dengan jumlah populasi
yang mencapai 3 juta jiwa pada tahun 1560. Negeri belanda menjadi negeri dengan kawasan
perkotaan terbesar di daratan Eropa, karena memiliki 25 kota besar yang dihuni 10.000
warga atau lebih, teristimewa Antwerpen, pusat usaha dagang dan keuangan, dengan
populasi mencapai 100.000 jiwa. Spanyol tidak ingin negeri yang kaya ini lepas dari
cengkeramannya, dan enggan membiarkannya lepas dari kendali Gereja Katolik. Inilah
pangkal dari perang yang berkecamuk selama delapan puluh tahun.

Selaku seorang pemeluk agama Kristen Katolik yang taat, Raja Filips benar-benar gusar
melihat keberhasilan gerakan Reformasi Protestan di Negeri-Negeri Rendah, yang memicu
pertambahan jumlah umat Kalvinis. Upaya paksanya untuk menindas umat Protestan,
menyentralisasi pemerintahan, menegakkan hukum, dan mengutip pajak, membuat rakyat
membencinya dan mengobarkan pemberontakan. Fernando Alvarez de Toledo, Adipati Alba
ke-3, diutus bersama sepasukan tentara Spanyol untuk menghukum orang-orang Belanda
pembangkang pada tahun 1567.[74]

Satu-satunya pihak yang membendung sepak terjang Adipati Alba di Negeri Belanda adalah
para menak seperti Lamoraal van Egmont, Filips van Horne, dan lain-lain. Saat pergerakan
pasukan Adipati Alba semakin dekat, Willem Si Pendiam mengungsi bersama seluruh
keluarga dan ketiga saudaranya ke Jerman pada tanggal 11 April 1567. Adipati Alba
mengundang kaum menak yang mengadang pergerakan pasukannya untuk bertatap muka
dan berunding. Begitu tiba di Brussels, mereka semua ditahan, sementara Lamoraal van
Egmont dan Filips van Horne dihukum mati.[74] Adipati Alba selanjutnya membatalkan semua
penjanjian yang pernah disepakati Margarita, Istri Adipati Parma, dengan umat Protestan
Negeri Belanda, serta membentuk lembaga inkuisisi untuk memberlakukan keputusan-
keputusan Konsili Trente.

Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648)


 

Pangeran Maurits dalam Pertempuran Nieuwpoort tahun 1600, lukisan karya Paulus van Hillegaert

Leo Belgicus, peta Negeri-Negeri Rendah yang digambar sedemikian rupa sehingga menyerupai seekor singa, karya
Claes Jansz. Visscher (II), tahun 1609

Perang kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol kerap disebut Perang Delapan Puluh
Tahun (1568–1648). Lima puluh tahun pertama (1568–1618) adalah kurun waktu konflik
yang murni melibatkan Spanyol dan Negeri Belanda. Selama tiga puluh tahun berikutnya
(1618–1648), konflik antara Spanyol dan Negeri Belanda menyatu dengan perang besar di
Eropa yang kemudian hari disebut Perang Tiga Puluh Tahun.[75] Ketujuh provinsi di Negeri
Belanda yang memberontak pada akhirnya menyepakati perjanjian persatuan Uni Utrecht
tahun 1579 dan mendirikan negara Republik Serikat Tujuh Negeri Belanda (atau Perserikatan
Provinsi-Provinsi). Undang-Undang Pemisahan Diri (bahasa Belanda: Plakkaat van
Verlatinghe) disahkan pada tanggal 26 Juli 1581, dan merupakan deklarasi kemerdekaan
resmi Negeri-Negeri Rendah dari kekuasaan Raja Spanyol.

Willem van Oranje (Slot Dillenburg, 24 April 1533 – Delft, 10 Juli 1584), cikal bakal keluarga
Kerajaan Belanda, memimpin orang Belanda dalam bagian pertama Perang Delapan Puluh
Tahun sesudah Egmont dan Horn wafat pada tahun 1568. Pada tahun-tahun permulaan
perang, angkatan perang Spanyol berada di atas angin, tetapi orang Belanda akhirnya mampu
mematahkan aksi-aksi pengepungan Spanyol di Holland. Pada bulan November dan
Desember 1572, seluruh warga Zutphen dan Naarden tewas dibantai Spanyol. Kota Haarlem
dikepung mulai tanggal 11 Desember 1572 sampai tanggal 13 Juli 1573. Oudewater
ditundukkan Spanyol pada tanggal 7 Agustus 1575, dan sebagian besar warganya tewas
terbunuh. Maastricht dikepung, dijarah, dan dihancukan Spanyol dua kali berturut-turut (pada
tahun 1576 dan pada tahun 1579).

Di dalam perang yang lebih banyak melibatkan aksi pengepungan daripada pertempuran ini,
Gubernur Jenderal Alessandro Farnese membuktikan ketangguhannya. Strateginya adalah
menjanjikan keringanan-keringanan kepada kota yang bersedia menyerah, yakni tidak akan
ada lagi pembantaian dan penjarahan, hak-hak istimewa kota tidak akan dihapuskan,
pengampunan dan amnesti penuh akan diberikan, dan warga akan diizinkan untuk kembali ke
Gereja Katolik secara perlahan-lahan. Umat Katolik konservatif di kawasan selatan dan timur
Negeri Belanda mendukung Spanyol. Farnese berhasil merebut kembali Antwerpen dan
hampir semua daerah yang sekarang menjadi bagian dari wilayah negara Belgia.[76] Sebagian
besar daerah penutur bahasa Belanda di Negeri Belanda disebut dari Spanyol, kecuali daerah
Vlaanderen, yang sampai sekarang menjadi bagian dari wilayah negara Belgia. Vlaanderen
adalah daerah yang sangat anti Spanyol. Banyak orang Vlaam mengungsi ke Holland,
termasuk setengah populasi Antwerpen, 3/4 populasi Brugge dan Gent, serta seluruh
populasi Nieuwpoort, Duinkerke, dan desa-desa di Vlaanderen.[77] Keberhasilan Alessandro
Farnese membuat umat Katolik menguasai paruhan selatan dari kawasan Negeri-Negeri
Rendah, dan merupakan bagian dari gerakan Kontra Reformasi.

Perang berlarut-larut sampai setengah abad lagi, tetapi pertarungan utama sudah usai.
Perjanjian Damai Westfalen, yang ditandatangani pada tahun 1648, mengukuhkan
kemerdekaan Perserikatan Provinsi-Provinsi dari penjajahan Spanyol. Orang Belanda mulai
mengembangkan jati diri bangsa sejak abad ke-15, tetapi secara resmi masih menjadi bagian
dari Kekaisaran Romawi Suci sampai tahun 1648. Jati diri bangsa lebih banyak dibentuk oleh
provinsi, dan Holland merupakan provinsi yang terpenting ketika itu. Inilah sebabnya Republik
Tujuh Provinsi akhirnya dikenal di seluruh Eropa dengan nama Holland.

Umat Katolik di Negeri Belanda adalah warga minoritas yang dipinggirkan dan ditindas umat
Kalvinis. Meskipun demikian, selepas tahun 1572, umat Katolik secara mencolok kembali
tampil mengemuka (juga sebagai bagian dari gerakan Kontra Reformasi), mendirikan
seminari-seminari, memperbaharui Gereja mereka, dan menyebar misionaris ke daerah-
daerah Protestan. Kiprah umat Katolik Belanda kerap dipimpin tokoh awam, karena
pemerintah Kalvinis getol menangkap atau menghalang-halangi para padri yang tampak
terlalu berhasil menarik pengikut baru dari kalangan Kalvinis. Jumlah umat Katolik
bertambah sampai akhirnya mencapai kira-kira sepertiga dari populasi Negeri Belanda. Umat
Katolik menjadi umat mayoritas di kawasan selatan.[78][79]
Zaman Keemasan

Peta Republik Belanda karya Jan Janszoon

Selama Perang Delapan Puluh Tahun berlangsung, provinsi-provinsi Belanda menjadi pusat-
pusat dagang yang paling penting di kawasan utara Eropa menggantikan Vlaanderen. Pada
Zaman Keemasan ini, usaha dagang, industri, seni rupa, maupun ilmu pengetahuan di Negeri
Belanda berkembang pesar. Pada abad ke-17 dan ke-18, boleh dikata bangsa Belanda adalah
bangsa termakmur dalam bidang ekonomi dan termaju dalam bidang ilmu pengetahuan
dibanding semua bangsa lain di Eropa. Bangsa baru yang secara resmi berpaham Kalvinis ini
mengalami perkembangan budaya dan ekonomi, sehingga melahirkan apa yang diistilahkan
sejarawan Simon Schama dengan "embarrassment of riches" (jengah kaya).[80] Spekulasi
dalam usaha dagang tulip berbuntut pada kejatuhan pasar saham yang pertama pada tahun
1637, tetapi krisis ekonomi cepat teratasi. Semua perkembangan inilah yang membuat abad
ke-17 dijuluki Zaman Keemasan Negeri Belanda.

Reka cipta[81] kilang gergaji memungkinkan kapal dibuat dalam jumlah besar untuk dipakai
berdagang ke seluruh dunia dan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi Republik
Belanda dengan kekuatan militer. Industri-industri nasional seperti galangan-galangan kapal
dan pabrik-pabrik gula turut pula berkembang.
 

Les Anatomi dari Dr. Nicolaes Tulp, lukisan karya Rembrandt van Rijn, 1632

Bangsa Belanda, yang turun-temurun terbiasa melaut dan mahir membuat peta,[82] kian
tampil mengemuka di kancah perdagangan dunia, menggeser bangsa Portugis dan bangsa
Spanyol. Pada tahun 1602, Serikat Perusahaan Hindia Timur (bahasa Yunani: Verenigde
Oostindische Compagnie, disingkat VOC) didirikan. VOC adalah badan usaha multinasional
pertama di dunia, dan didanai dari hasil penjualan saham. Kegiatan jual beli saham VOC
merupakan bursa saham modern pertama di dunia. VOC menjadi perusahaan dagang
terbesar di dunia pada abad ke-17. Untuk mendanai usaha dagang yang kian berkembang di
Negeri Belanda, Bank Amsterdam didirikan pada tahun 1609. Bank Amsterdam adalah cikal
bakal, atau mungkin juga adalah bank sentral sejati yang pertama di dunia.[83]

Kapal-kapal Belanda berburu paus di perairan Svalbard, berdagang rempah-rempah di India


dan Indonesia (melalui VOC), dan mendirikan koloni-koloni di Nieuw Amsterdam (sekarang
New York), Afrika Selatan, dan Hindia Barat. Selain itu, bangsa Belanda juga merebut
sejumlah koloni Portugis, misalnya koloni-koloni Portugis di kawasan timur laut Brazil,
Angola, Indonesia, dan Sailan. Pada tahun 1640, VOC mulai memonopoli perdagangan
dengan Jepang melalui pos dagang di Dejima.

Bangsa Belanda juga mendominasi perdagangan antarnegara di Eropa.

Kekaisaran bangsa Belanda

Bangsa Belanda di Benua Amerika


 

Nieuw Amsterdam pada tahun 1664

Geoctroyeerde Westindische Compagnie (Perusahaan Hindia Barat Berizin) adalah badan


usaha berizin yang beranggotakan para saudagar Belanda. Pada tanggal 2 Juni 1621, serikat
dagang ini diberi izin memonopoli perdagangan di Hindia Barat (Kepulauan Karibia) oleh
pemerintah Republik Serikat Tujuh Negeri Belanda dan diserahi kewenangan hukum atas
usaha perdagangan budak Afrika, Brazil, Kepulauan Karibia, dan Amerika Utara. Daerah
operasinya membentang dari Afrika Barat sampai ke Benua Amerika dan Kepulauan Pasifik.
Perusahaan ini sangat besar jasanya bagi usaha kolonisasi bangsa Belanda di Benua
Amerika. Benteng-benteng dan permukiman-permukiman pertama bangsa Belanda di
Guyana dan Sungai Amazon didirikan pada era 1590-an. Usaha kolonisasi bangsa Belanda
tidak segiat Inggris dan Prancis. Banyak permukiman bangsa Belanda yang hilang atau
ditinggalkan pada akhir abad itu, tetapi Negeri Belanda mampu melanggengkan
kepemilikannya atas Suriname dan beberapa pulau di Karibia.

Lihat pula

Negeri Belanda pada Perang Dunia II

Daftar Kepala Monarki Negeri Belanda

Daftar Perdana Menteri Negeri Belanda

Demografi Negeri Belanda

Geografi Negeri Belanda

Hindia Belanda

Imperium Belanda

Kanon Sejarah Negeri Belanda

Kebudayaan Negeri Belanda

Politik Belanda
Provinsi-provinsi di Negeri Belanda

Sejarah Belgia

Sejarah Jerman

Sejarah Luksemburg

Sejarah maritim Belanda

Rujukan

1. "Neanderthal may not be the oldest Dutchman | Radio Netherlands Worldwide" (http://www.rnw.nl/en
glish/article/neanderthal-may-not-be-oldest-dutchman) . Rnw.nl. Diakses tanggal 25 Maret 2012.

2. "Neanderthal fossil discovered in Zeeland province | Radio Netherlands Worldwide" (https://web.archi


ve.org/web/20140519074343/http://www.rnw.nl/english/article/neanderthal-fossil-discovered-zeelan
d-province) . Rnw.nl. 16 Juni 2009. Diarsipkan dari versi asli (http://www.rnw.nl/english/article/nean
derthal-fossil-discovered-zeeland-province) tanggal 19 Mei 2014. Diakses tanggal 25 Maret 2012.

3. Van Zeist, W. (1957), "De steentijd van Nederland", Nieuwe Drentse Volksalmanak, 75: 4–11

4. "The Mysterious Bog People – Background to the exhibition" (https://web.archive.org/web/20070309


042811/http://www.civilization.ca/media/docs/pr148beng.html) . Canadian Museum of Civilization
Corporation. 5 Juli 2001. Diarsipkan dari versi asli (http://www.civilization.ca/media/docs/pr148ben
g.html) tanggal 9 Maret 2007. Diakses tanggal 1 Juni 2009.

5. Louwe Kooijmans, L.P., "Trijntje van de Betuweroute, Jachtkampen uit de Steentijd te Hardinxveld-
Giessendam (https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/1108/171_060.pdf?sequenc
e=1) ", 1998, Spiegel Historiael 33, hlmn. 423–428

6. Volkskrant 24 Agustus 2007 "Lahan bercocok tanam prasejarah ditemukan di Swifterbant, 4300–
4000 SM (http://www.volkskrant.nl/wetenschap/article455140.ece/Prehistorische_akker_gevonden_b
ij_Swifterbant) "

7. Raemakers, Daan. "De spiegel van Swifterbant (http://redes.eldoc.ub.rug.nl/FILES/root/2006/d.raema


ekers/Raemaekers.pdf) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20080410084410/http://redes.eld
oc.ub.rug.nl/FILES/root/2006/d.raemaekers/Raemaekers.pdf) 10 April 2008 di Wayback Machine.",
Universitas Groningen, 2006.

8. Dalam J.H.F. Bloemers & T. van Dorp (penyunting), Pre- & protohistorie van de lage landen. De
Haan/Open Universiteit, 1991. ISBN 90-269-4448-9, NUGI 644

9. Lanting, J.N. & J.D. van der Waals, (1976), "Beaker culture relations in the Lower Rhine Basin", dalam
Lanting dkk. (penyunting) Glockenbechersimposion Oberried 1974. Bussum-Haarlem: Uniehoek N.V.

10. Hlm. 93, dalam J. P. Mallory dan John Q. Adams (penyunting), The Encyclopedia of Indo-European
Culture, Fitzroy Dearborn, 1997.
11. Menurut o "Het Archeologisch Basisregister" (ABR), versi 1.0 November 1992, [1] (http://www.racm.n
l/content/documenten%5Cabr%20website.pdf) , Elp Kümmerkeramik diberi tarikh BRONSMA (awal
MBA) sampai BRONSL (LBA) dan perkiraan tarikh ini telah distandardisasi "De Rijksdienst voor
Archeologie, Cultuurlandschap en Monumenten" (RACM)" sebagai kurun waktu yang berawal pada
1800 SM dan berakhir pada 800 SM.

12. Mallory, J.P., In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology and Myth, London: Thames &
Hudson, 1989, hlm. 87.

13. Butler, J.J., Nederland in de bronstijd, Bussum: Fibula-Van Dishoeck, 1969}}.

14. Kinder, Hermann dan Werner Hilgemann, The Penguin Atlas of World History; diterjemahkan Ernest A.
Menze ; dengan peta-peta yang dirancang Harald dan Ruth Bukor. Harmondsworth: Penguin Books.
ISBN 0-14-051054-0 Jilid 1. hlm. 109.

15. The New Encyclopaedia Britannica, edisi ke-15, 20:67

16. Verhart, Leo Op Zoek naar de Kelten, Nieuwe archeologische ontdekkingen tussen Noordzee en Rijn,
ISBN 90-5345-303-2, 2006, hlmn. 67, 81–82

17. The New Encyclopædia Britannica, edisi ke-15, 22:641–642

18. de Vries, Jan W., Roland Willemyns and Peter Burger, Het verhaal van een taal, Amsterdam:
Prometheus, 2003, hlmn. 12, 21–27

19. Cunliffe, Barry. The Ancient Celts. Penguin Books, 1997, hlmn. 39–67.

20. Achtergrondinformatie bij de muntschat van Maastricht-Amby (http://www.maastricht.nl/maastricht/


servlet/nl.gx.maastricht.client.http.GetFile?id=352412&file=Bijlage_-__Unieke_Keltische_muntschat_o
ntdekt_in_Maastricht.pdf) , Kotapraja Maastricht, 2008.

21. Unieke Keltische muntschat ontdekt in Maastricht (http://www.archeonet.be/?p=4289) Diarsipkan


(https://web.archive.org/web/20120402174540/http://www.archeonet.be/?p=4289) 2012-04-02 di
Wayback Machine., Archeonet.be, 15 November 2008. Diakses 6 Oktober 2011.

22. Het urnenveld van het Meijerink (http://www.zutphen.nl/eCache/16161/urnenveld.pdf) , Kotapraja


Zutphen, Diakses Oktober 20116.

23. Delrue, Joke, Universitas Gent

24. van Durme, Luc, "Oude taaltoestanden in en om de Nederlanden. Een reconstructie met de inzichten
van M. Gysseling als leidraad" dalam Handelingen van de Koninklijke commissie voor Toponymie en
Dialectologie, LXXV/2003.

25. Hachmann, Rolf, Georg Kossack and Hans Kuhn, Völker zwischen Germanen und Kelten, 1986, hlmn.
183–212

26. Lendering, Jona, "Germania Inferior" (http://www.livius.org/ga-gh/germania/inferior.htm) Diarsipkan


(https://web.archive.org/web/20200607071937/https://www.livius.org/ga-gh/germania/inferior.ht
m) 2020-06-07 di Wayback Machine., Livius.org. Diakses 6 Oktober 2011.
27. "C. Julius Caesar, Gallic War, Buku 4, bab 10" (http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseu
s:text:1999.02.0001:book=4:chapter=10&highlight=batavi) . www.perseus.tufts.edu. line feed
character di |title= pada posisi 19 (bantuan)

28. Cornelius Tacitus, Germany and its Tribes 1.29 (http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perse


us%3Atext%3A1999.02.0083%3Achapter%3D29)

29. Nico Roymans, Ethnic Identity and Imperial Power. The Batavians in the Early Roman Empire (https://
books.google.com/books?id=qfpKN-oMaWoC) . Amsterdam Archaeological Studies 10.
Amsterdam, 2004. Bab 4. Lihat pula hlm. 249.

30. Plin. Nat. 4.29 (http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus:text:1999.02.0137:book=4:ch


apter=29)

31. Roymans, Nico, Ethnic Identity and Imperial Power: The Batavians in the Early Roman Empire,
Amsterdam: Lembaga Pers Universitas Amsterdam, 2005, hlmn. 226–27

32. Historiae (http://classics.mit.edu/Tacitus/histories.html) , Tacitus, 109 M, diterjemahkan Alfred


John Church dan William Jackson Brodribb.

33. Beyen, Marnix, "A Tribal Trinity: the Rise and Fall of the Franks, the Frisians and the Saxons in the
Historical Consciousness of the Netherlands since 1850" in European History Quarterly 2000
30(4):493–532. ISSN 0265-6914 (https://www.worldcat.org/search?fq=x0:jrnl&q=n2:0265-6914)
Fulltext: EBSCO

34. Previté-Orton, Charles, The Shorter Cambridge Medieval History, jld. I, hlmn. 51–52, 151

35. Grane, Thomas (2007), "From Gallienus to Probus – Three decades of turmoil and recovery", The
Roman Empire and Southern Scandinavia–a Northern Connection! (PhD thesis), Copenhagen:
Universitas Copenhagen, hlm. 109

36. Looijenga, Jantina Helena (1997), "History, Archaeology and Runes", dalam SSG Uitgeverij, Runes
Around the North Sea and on the Continent AD 150–700; Texts and Contexts (disertasi PhD) (https://
web.archive.org/web/20050502101056/http://dissertations.ub.rug.nl/FILES/faculties/arts/1997/j.h.l
ooijenga/thesis.pdf) (PDF), Groningen: Universitas Groningen, hlm. 30, ISBN 90-6781-014-2,
diarsipkan dari versi asli (http://dissertations.ub.rug.nl/FILES/faculties/arts/1997/j.h.looijenga/the
sis.pdf) (PDF) tanggal 2005-05-02, diakses tanggal 2018-08-09. Untuk kesimpulan ini, Looijenga
mengutip D.A. Gerrets (1995), "The Anglo-Frisian Relationship Seen from an Archaeological Point of
View" dalam Friesische studien 2, hlmn. 119–128.

37. Berglund, Björn E. (2002), "Human impact and climate changes – synchronous events and a causal
link?", Quaternary International, 105 (1), Elsevier (dipublikasikan tanggal 2003), hlm. 10

38. Ejstrud, Bo; et al. (2008), Ejstrud, Bo; Maarleveld, Thijs J., ed., The Migration Period, Southern
Denmark and the North Sea (https://www.scribd.com/doc/14806111/The-Migration-Period-southern-
Denmark-and-the-North-Sea) , Esbjerg: Maritime Archaeology Programme, ISBN 978-87-992214-1-7

39. Issar, Arie S. (2003), Climate Changes during the Holocene and their Impact on Hydrological Systems,
Cambridge: Universitas Cambridge, ISBN 978-0-511-06118-9
40. Louwe Kooijmans, L. P. (1974), The Rhine/Meuse Delta. Four studies on its prehistoric occupation and
Holocene geology (disertasi PhD) (http://hdl.handle.net/1887/2787) , Leiden: Lembaga Pers
Universitas Leiden

41. Bazelmans, Jos (2009), "The early-medieval use of ethnic names from classical antiquity: The case of
the Frisians" (https://web.archive.org/web/20170830194912/http://s393993344.online.de/ssoar/han
dle/document/27183) , dalam Derks, Ton; Roymans, Nico, Ethnic Constructs in Antiquity: The Role
of Power and Tradition (http://s393993344.online.de/ssoar/handle/document/27183) , Amsterdam:
Universitas Amsterdam, hlm. 321–337, ISBN 978-90-8964-078-9, diarsipkan dari versi asli (https://bo
oks.google.com/books?id=fM_cmuhmSbIC&pg=PA321) tanggal 2017-08-30, diakses tanggal
2018-08-09

42. Frisii en Frisiaevones, 25–08–02 (bahasa Belanda) (http://www.bertsgeschiedenissite.nl/ijzertijd/eeu


w1ac/frisii.html) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20111003101550/http://www.bertsgesc
hiedenissite.nl/ijzertijd/eeuw1ac/frisii.html) 3 Oktober 2011 di Wayback Machine.,
Bertsgeschiedenissite.nl. Diakses 6 Oktober 2011

43. Kortlandt, Frederik (1999). "The origin of the Old English dialects revisited" (https://openaccess.leiden
univ.nl/bitstream/1887/1937/1/344_121.pdf) (PDF). Universitas Leiden.

44. Willemsen, A. (2009), Dorestad. Een wereldstad in de middeleeuwen, Walburg Pers, Zutphen, pp. 23–
27, ISBN 978-90-5730-627-3

45. MacKay, Angus; David Ditchburn (1997). Atlas of Medieval Europe (https://books.google.com/?id=q5
0IyzCMQxgC&pg=PA57&lpg=PA57&dq=dorestad#PPA57,M1) . Routledge. hlm. 57. ISBN 0-415-
01923-0.

46. Hodges, Richard; David Whitehouse (1983). Mohammed, Charlemagne and the Origins of Europe (htt
ps://books.google.com/?id=6utbT529jLcC&pg=PA99&lpg=PA99&dq=dorestad#PPA99,M1) .
Lembaga Pers Universitas Cornell. hlm. 99. ISBN 978-0-8014-9262-4.

47. Milis, L.J.R., "A Long Beginning: The Low Countries Through the Tenth Century" dalam J.C.H. Blom &
E. Lamberts History of the Low Countries, hlmn. 6–18, Berghahn Books, 1999. ISBN 978-1-84545-
272-8.

48. Holmes, U.T dan A. H. Schutz (1938), A History of the French Language (https://books.google.com/b
ooks?id=jbjX4ebc2lsC&printsec=frontcover&dq=history+of+french+language&hl=en&ei=jRjOTtqdDNP
R4QTr1pQ8&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CDMQ6AEwAA#v=onepage&q=histor
y%20of%20french%20language&f=false) , hlm. 29, Biblo & Tannen Publishers, ISBN 0-8196-0191-8

49. Blok, D.P. (1974), De Franken in Nederland, Bussum: Unieboek, 1974, hlmn. 36–38 mengenai
ketidakpastian jati diri orang Frisia dalam sumber-sumber Franka terdahulu; hlmn. 54–55 mengenai
masalah-masalah terkait “Saksen” sebagai sebuah nama suku.

50. van Eijnatten, J. dan F. van Lieburg, Nederlandse religiegeschiedenis (Hilversum, 2006), hlmn. 42–43,
mengenai ketidakpastian jati diri "orang Frisia" dalam sumber-sumber Franka terdahulu.

51. de Nijs, T, E. Beukers dan J. Bazelmans, Geschiedenis van Holland (Hilversum, 2003), hlmn. 31–33
mengenai sifat fluktuatif dari ciri khas kesukuan dan kesukubangsaan pada kurun waktu Abad
Pertengahan Awal.
52. Blok (1974), hlmn. 117 ff.; de Nijs dll. (2003), hlmn. 30–33

53. van der Wal, M., Geschiedenis van het Nederlands, 1992

54. "Charlemagne: Court and administration" (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/106546/Charl


emagne/256621/Court-and-administration) . Encyclopædia Britannica. ("Karel Agung
mengandalkan palatium, yakni sebuah majelis dengan anggota yang senantiasa berganti-ganti, terdiri
atas kerabat, pengiring kepercayaan dari kalangan rohaniwan maupun nonrohaniwan, dan bermacam-
macam pengikut. Orang-orang ini membentuk suatu majelis istana yang berpindah-pindah tempat
mengikuti perjalanan sang raja bilamana sedang melancarkan kampanye-kampanye militer, dan
berusaha mencari keuntungan dari penghasilan lahan-lahan yasan milik raja yang tersebar di mana-
mana.")

55. Informasi lebih lanjut menganai serbuan-serbuan orang Viking tersaji daring di L. van der Tuuk,
Gjallar. Noormannen in de Lage Landen (http://home.tiscali.nl/gjallar/index.html)

56. Baldwin, Stephen, "Wangsa Harald asal Denmark di Friesland pada abad ke-9" (http://archiver.rootswe
b.ancestry.com/th/read/GEN-MEDIEVAL/2002-09/1031544685) . Temu balik tanggal 9 Oktober
2011.

57. "Vikingschat van Wieringen" (http://www.museumkennis.nl/lp.rmo/museumkennis/i000412.html)


Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20110718064223/http://www.museumkennis.nl/lp.rmo/mu
seumkennis/i000412.html) 18 July 2011 di Wayback Machine., Museumkennis.nl. Temu balik
tanggal 9 Oktober 2011.

58. Jesch, Judith, Ships and Men in the Late Viking Age: The Vocabulary of Runic Inscriptions and Skaldic
Verse (https://books.google.com/books?id=RkNY2KrdvscC&pg=PA82) , Boydell & Brewer, 2001.
ISBN 978-0-85115-826-6. hlm. 82.

59. James D. Tracy (2002). Emperor Charles V, Impresario of War: Campaign Strategy, International
Finance, and Domestic Politics (https://books.google.com/books?id=tXKMvr09dB4C&pg=PA258) .
Cambridge U.P. hlm. 258. ISBN 9780521814317.

60. H.G. Koenigsberger, "The Beginnings of the States General of the Netherlands," Parliaments, Estates
and Representation (1988) 8#2 hlmn. 101–114.

61. Albert Guerard, France, A Modern History, (1959), hlmn. 134–136.

62. Martin van Gelderen (2002). The Political Thought of the Dutch Revolt 1555-1590 (https://books.goog
le.com/books?id=hXK2fxzn2lAC&pg=PA18) . Cambridge U.P. hlm. 18. ISBN 9780521891639.

63. Kamen, Henry (2005). Spain, 1469–1714: a society of conflict (https://web.archive.org/web/2017032


9032322/http://www.pearsoned.co.uk/) (edisi ke-3rd). Harlow, United Kingdom: Pearson Education.
ISBN 0-582-78464-6. Diarsipkan dari versi asli (http://www.pearsoned.co.uk) tanggal 29 March
2017.

64. R. Po-chia Hsia (penyunting). A Companion to the Reformation World (2006) hlmn. 118–134

65. Jonathan I. Israel, The Dutch Republic Its Rise, Greatness, and Fall 1477–1806 (1995) hlm. 104

66. Hsia, (penyunting). A Companion to the Reformation World (2006) hlmn. 3–36
67. Israel, The Dutch Republic Its Rise, Greatness, and Fall 1477–1806 (1995) hlm. 155

68. Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 374–375

69. Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 86–91

70. Jerome Blum dkk., The European World: A History (1970) hlmn. 160-161

71. Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 361–395

72. Diarmaid MacCulloch, The Reformation (2005) hlmn. 367–372

73. Claflin, W. Harold, (penyunting). History of Nations: Holland and Belgium, (New York: P.F. Collier & Son,
1907), hlmn. 72–74, 103–105

74. John Lathrop Motley, The Rise of the Dutch Republic (Harper & Bros.: New York, 1855) hlmn. 106–
115, 121, 122, 207, 213

75. Geoffrey Parker (penyunting), The Thirty Years' War, New York: Routledge Press, 1987, hlm. 2.

76. Violet Soen, "Reconquista and Reconciliation in the Dutch Revolt: The Campaign of Governor-General
Alexander Farnese (1578-1592)," Journal of Early Modern History (2012) 16#1 hlmn. 1–22.

77. Bart de Groof, "Alexander Farnese and the Origins of Modern Belgium," Bulletin de l'Institut Historique
Belge de Rome (1993) Jld. 63, hlmn. 195–219.

78. Baca peta agama (http://www.quirksmode.org/politics/kuyper.html)

79. Charles H. Parker, Faith on the Margins: Catholics and Catholicism in the Dutch Golden Age
(Lembaga Pers Universitas Harvard, 2008)

80. Schama, Simon, The Embarrassment of Riches, Bath: William Collins & Sons, 1987. Di hlm. 8:
"Kesuksesan mereka yang luar biasa itu meluap sampai ke ubun-ubun, tetapi membuat mereka
sedikit muak. Bahkan dokumen-dokumen bermegah diri mereka yang paling tidak sungkan
mengumbar pujian sekalipun dihantui bayang-bayang overvloed, kelimpahan yang meninggi laksana
banjir bandang – suatu dunia yang jenuh dengan wanti-wanti sekaligus euforia... Akan tetapi pada
akhirnya suara hati nurani yang terus-menerus menyengat rasa puas diri melahirkan kesadaran yang
kita maknai sebagai rasa jengah."

81. Menurut "Haarlemmermeer boeck" karangan Jan Adriaanszoon Leeghwater, Kilang gergaji ( (http://w
ww.dbnl.org/tekst/leeg001haer01_01/leeg001haer01_01_0028.php) Ndebele Zimbabwe:
saagmolen) direka cipta di Uitgeest

82. Peta-peta yang digunakan Fernando Álvarez de Toledo, Adipati Alba ke-3 untuk menyerbu kota-kota
Belanda lewat laut maupun darat adalah peta-peta buatan orang-orang Belanda sendiri.

83. Quinn, Stephen. Roberds, William. The Big Problem of Large Bills: The Bank of Amsterdam and the
Origins of Central Banking. Agustus 2005."Archived copy" (https://web.archive.org/web/2011072319
5946/http://www.frbatlanta.org/filelegacydocs/wp0516.pdf) (PDF). Diarsipkan dari versi asli (http://
www.frbatlanta.org/filelegacydocs/wp0516.pdf) (PDF) tanggal 23 July 2011. Diakses tanggal
8 June 2011.

Bahan bacaan lanjutan


Lihat pula: Kepustakaan sejarah Belanda

Arblaster, Paul. A History of the Low Countries. Palgrave Essential Histories Series New York: Palgrave
Macmillan, 2006. 298 pp. ISBN 1-4039-4828-3.

Barnouw, A. J. The Making of Modern Holland: A Short History (Allen & Unwin, 1948) edisi daring (http
s://www.questia.com/library/104575060/the-making-of-modern-holland-a-short-history)

Blok, Petrus Johannes. History of the People of the Netherlands (5 jilid 1898–1912) karya klasik
ternama; bagian 1 sampai tahun 1500, daring di Google (https://books.google.com/books?id=s8kOA
AAAIAAJ&printsec=titlepage&dq=intitle:Netherlands+inauthor:blok&lr=&num=30&as_brr=0&source=g
bs_summary_r&cad=0) ; bagian 2 sampai tahun 1559, daring di Google (https://books.google.com/
books?id=0coOAAAAIAAJ&printsec=titlepage&dq=intitle:Netherlands+inauthor:blok&lr=&num=30&as
_brr=0&source=gbs_summary_r&cad=0) ; bagian 3: Perang Melawan Spanyol 1559–1621, daring di
Google (https://books.google.com/books?id=NH8SAAAAYAAJ&printsec=titlepage&dq=editions:0sw5
yfkxR-fObZWwVX&source=gbs_summary_r&cad=0) ; bagian 4 mengenai Zaman Keemasan, daring
di Google (https://books.google.com/books?id=PckOAAAAIAAJ&printsec=frontcover&dq=editions:0s
w5yfkxR-fObZWwVX#PPP12,M1) ; edisi daring di Google, bagian 5 mengenai abad ke-18 dan ke-19
(https://books.google.com/books?id=gf8bAAAAMAAJ&printsec=titlepage&dq=intitle:Netherlands+in
author:blok&lr=&num=30&as_brr=0&source=gbs_toc_s&cad=1)

Blom, J. C. H. and E. Lamberts, (penyunting) History of the Low Countries (2006) 504 hlmn. pencarian
kutipan dan teks (https://www.amazon.com/dp/1845452720) ; serta edisi daring lengkap (https://w
ww.questia.com/read/1379132)

van der Burg, Martijn. "Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands
between Republicanism and Monarchy (1795-1815)," European Review of History (2010) 17#2,
hlmn. 151–170 daring (http://web.ebscohost.com/ehost/viewarticle?data=dGJyMPPp44rp2%2fdV0%
2bnjisfk5Ie42eqLtaashd%2ff7Ebj3u2L8ra2R7GlsEivqJ5Jr7CyTLiotTjOw6SM8Nfsi9%2fZ8oHt5Od8u6y
xTrKptEyxrKSE3%2bTlVePkpHzgs%2baB35zyeeWzv2ak1%2bxVsq%2buULSmsE6k3O2K69fyVe7a5F7
z4ups4%2b7y&hid=113)

Frijhoff, Willem; Marijke Spies (2004). Dutch Culture in a European Perspective: 1950, prosperity and
welfare (https://books.google.com/books?id=JZfvCVndvXoC) . Uitgeverij Van Gorcum.

Geyl, Pieter. The Revolt of the Netherlands (1555–1609) (Barnes & Noble, 1958) edisi daring (https://w
ww.questia.com/library/98720632/the-revolt-of-the-netherlands-1555-1609) , karya klasik ternama

Van Hoesel, Roger, dan Rajneesh Narula. Multinational Enterprises from the Netherlands (1999) edisi
daring (https://web.archive.org/web/20160307220624/https://www.questia.com/read/103819399/
multinational-enterprises-from-the-netherlands)

Hooker, Mark T. The History of Holland (1999) 264 hlmn. pencarian kutipan dan teks (https://www.am
azon.com/dp/0313306583)

Israel, Jonathan. The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) sebuah sintesis
utama; edisi daring lengkap (https://www.questia.com/read/91981119) ; serta pencarian kutipan
dan teks (https://www.amazon.com/dp/0198207344)
Koopmans, Joop W., dan Arend H. Huussen Jr. Historical Dictionary of the Netherlands (edisi ke-2,
2007)pencarian kutipan dan teks (https://www.amazon.com/Historical-Dictionary-Netherlands-Dictio
naries-Europe/dp/0810856271/)

Kossmann, E. H. The Low Countries 1780–1940 (1978), survei terperinci; teks lengkap daring dalam
bahasa Belanda (gunakan peramban CHROME untuk terjemahan otomatis ke dalam bahasa Inggris)
(http://www.dbnl.org/tekst/koss002lage01_01/)

Kossmann-Putto, J. A. dan E. H. Kossmann. The Low Countries: History of the Northern and Southern
Netherlands (1987)

Milward, Alan S. dan S. B. Saul. The Economic Development of Continental Europe 1780-1870 (edisi ke-
2, 1979), 552 hlmn.

Milward, Alan S. dan S. B. Saul. The Development of the Economies of Continental Europe: 1850-1914
(1977) hlmn. 142–214

Moore, Bob, dan Henk Van Nierop. Twentieth-Century Mass Society in Britain and the Netherlands (Berg
2006) edisi daring (https://www.questia.com/read/118217447/twentieth-century-mass-society-in-brit
ain-and-the)

van Oostrom, Frits, dan Hubert Slings. A Key to Dutch History (2007)

Pirenne, Henri. Belgian Democracy, Its Early History (1910, 1915) 250 hlmn. sejarah kota-kota di
Negeri-Negeri Ranah daring cuma-cuma (https://www.questia.com/read/1276323)

Rietbergen, P.J.A.N. A Short History of the Netherlands. From Prehistory to the Present Day. Edisi ke-5.
Amersfoort: Bekking, 2002. ISBN 90-6109-440-2

Schama, Simon, The Embarrassment of Riches: An Interpretation of Dutch Culture in the Golden Age
(1991) pencarian kutipan dan teks (https://www.amazon.com/dp/0679781242) , survei dengan
cakupan yang luas dan ditulis dengan sangat baik

Schama, Simon. Patriots and Liberators: Revolution in the Netherlands, 1780– 1813 (London: Collins,
1977)

Treasure, Geoffrey. The Making of Modern Europe, 1648–1780 (edisi ke-3, 2003). hlmn. 463–493.

Vlekke, Bernard H. M. Evolution of the Dutch Nation (1945) 382 hlmn. edisi daring (https://www.questi
a.com/read/82243176)

Wintle, Michael P. An Economic and Social History of the Netherlands, 1800–1920: Demographic,
Economic, and Social Transition (Lembaga Pers Universitas Cambridge, 2000) edisi daring (https://ww
w.questia.com/PM.qst?a=o&d=105016141)

Van Tuyll Van Serooskerken, Hubert P. The Netherlands and World War I: Espionage, Diplomacy and
Survival (Brill 2001) edisi daring (https://www.questia.com/read/118479769/the-netherlands-and-wor
ld-war-i-espionage-diplomacy)

Vries, Jan de, dan A. van der Woude. The First Modern Economy. Success, Failure, and Perseverance of
the Dutch Economy, 1500–1815 (Lembaga Pers Universitas Cambridge, 1997)
Vries, Jan de. "Benelux, 1920–1970," dalam C. M. Cipolla (penyunting), The Fontana Economic History
of Europe: Contemporary Economics Part One (1976) hlmn. 1–71

van Zanden, J. L. The Economic History of The Netherlands 1914–1995: A Small Open Economy in the
'Long' Twentieth Century (Routledge, 1997) pencarian kutipan dan teks (https://www.amazon.com/Ec
onomic-History-Netherlands-1914-1995-Contemporary/dp/0415150035/)

Vandenbosch, Amry. Dutch Foreign Policy since 1815 (1959). daring (https://books.google.com/book
s?id=kgbsCAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=intitle:Dutch+intitle:Foreign+intitle:Policy+intitle:since
+intitle:1815&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwih-are3KHZAhVCxWMKHXstDboQ6AEIKTAA#v=onepage&q
&f=false) ; teks lengkap di situs web Questia (https://www.questia.com/library/3392771/dutch-forei
gn-policy-since-1815-a-study-in-small)

Vandenbosch, Amry. The neutrality of the Netherlands during the world war (1927).

Wielenga, Friso. A History of the Netherlands: From the Sixteenth Century to the Present Day (2015) 344
hlmn.

Geografi dan lingkungan hidup


Burke, Gerald L. The making of Dutch towns: A study in urban development from the 10th–17th
centuries (1960)

Lambert, Audrey M. The Making of the Dutch Landscape: An Historical Geography of the Netherlands
(1985); berfokus pada sejarah reklamasi daratan

Meijer, Henk. Compact geography of The Netherlands (1985)

Riley, R. C., and G. J. Ashworth. Benelux: An Economic Geography of Belgium, the Netherlands, and
Luxembourg (1975) daring (https://www.questia.com/read/85882918/benelux-an-economic-geograp
hy-of-belgium-the-netherlands)

Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Sejarah Negeri Belanda.

Chronologisch overzicht van de Nederlandse geschiedenis (Ikhtisar Knonologis Sejarah


Negeri Belanda) (https://web.archive.org/web/20041013072113/http://www.20eeuwenned
erland.nl/periodes)

De Tachtigjarige Oorlog (Perang Delapan Puluh Tahun) (http://dutchrevolt.leidenuniv.nl/Ned


erlands/default.htm)

Dutch Crossing: Journal of Low Countries Studies (http://www.ingentaconnect.com/conten


t/maney/dtc/) , jurnal lintas keilmuan

Sejarah Holland, George Edmundson, 1922, buku elektronik Project Gutenberg. (http://ww
w.gutenberg.org/etext/14971)
Sejarah Negeri Belanda dari tahun 50 SM sampai tahun 2005 (https://web.archive.org/we
b/20120926161214/http://www.innl.nl/page/14332/en)

Sejarah Negeri Belanda: Dokumen-Dokumen Primer (http://eudocs.lib.byu.edu/index.php/H


istory_of_the_Netherlands:_Primary_Documents)

Institut Negeri Belanda untuk Dokumentasi Perang (http://www.niod.nl/)

Belanda: Peta, Sejarah, Geografi, Pemerintahan, Budaya, Fakta, Panduan Wisata dan
Perjalanan | Infoplease.com (http://www.infoplease.com/country/netherlands.html)

Ikhtisar novel-novel sejarah tentang Negeri Belanda dan Belgia (http://www.historical-nove


l.com/) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20110208142100/http://historical-nove
l.com/) 2011-02-08 di Wayback Machine.

Survei singkat mengenai sejarah Negeri Belanda (http://home.zonnet.nl/van.duijvenbode/e


n/geschnl-o.htm)

Kanon Sejarah Negeri Belanda (https://web.archive.org/web/20090612225030/http://ww


w.entoen.nu/default.aspx?lan=e)

Negeri Belanda pada Zaman Prasejarah (http://home.versatel.nl/postbus/index2.html)

Lini masa Negeri Belanda mulai tahun 1914 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/1043528.


stm)

Tur Virtual Sejarah Negeri Belanda (101 situs di Google Earth dengan tautan) (http://bbs.ke
yhole.com/ubb/showflat.php?Cat=&Board=EarthHistory&Number=701881&Searchpage=1
&Main=701881&Words=dutch+history&topic=&Search=true#Post701881) Diarsipkan (htt
ps://web.archive.org/web/20070930024040/http://bbs.keyhole.com/ubb/showflat.php?Ca
t=&Board=EarthHistory&Number=701881&Searchpage=1&Main=701881&Words=dutch+hi
story&topic=&Search=true#Post701881) 2007-09-30 di Wayback Machine.

Sistem Informasi Geografi Negeri Belanda (1812–1997) (http://nlgis.nl)

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Sejarah_Belanda&oldid=19642583"
Terakhir disunting 9 hari yang lalu oleh InternetArchiveBot

Anda mungkin juga menyukai